Saya mengawali tulisan ini dengan dialog menarik antara Tuhan Yesus dengan Simon Petrus seperti yang tertulis di Injil Yohanes 21. Percakapan antara Tuhan Yesus yang sudah bangkit dengan Simon Petrus ini adalah percakapan yang mendalam. Tuhan Yesus bertanya kepada Petrus, “Apakah engkau mengasihi-Ku?” Pertanyaan ini diulang sebanyak tiga kali. Mengapa tidak cukup sekali saja?
Sekali saja memang tidak cukup! Tuhan Yesus tidak ingin hanya mendengar sebuah jawaban Petrus yang keluar dari mulutnya, “Ya, Tuhan, aku mengasihi Engkau”, bukan! Yang dikehendakiNya adalah jawaban yang keluar dari lubuk hati yang terdalam atau sebuah jawaban yang sudah melewati proses bergumul dan mawas diri yang sangat serius dan tuntas.
Ketika mendapat pertanyaan yang ketiga Petrus serta-merta terhenyak, tertegun, dan seolah tak mampu berkata-kata! Ada pergumulan dan pergolakan hebat didalam batinnya. Ia tidak segera menjawab pertanyaan ketiga dari Tuhan Yesus. Ia menangis dan sedih setelah bergulat dengan kedalaman batinnya karena menemukan kenyataan bahwa dirinya sering melakukan hal yang gegabah, tanpa kedalaman, juga kadang angkuh. Pernah dengan lugas dan merasa gagah Petrus di depan Yesus mengatakan, “Biarpun mereka semua tergoncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak!” – Matius 26: 33.
Setelah bergumul hebat dan mawas diri sungguh-sungguh, keluarlah jawaban yang diucapkan oleh Petrus dengan suara lirih dengan diiringi tetesan air mata, “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Baru setelah Petrus menjawab pertanyaan yang ketiga, Tuhan Yesus kemudian menjelaskan lebih jauh tentang arti pelayanan yang sejati. Kepada Petrus disampaikan, “Ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak engkau kehendaki.” – Yohanes 21: 19.
Petrus muda adalah Petrus yang egoistis, merasa sok gagah, merasa lebih tahu/ lebih berani/ lebih mengerti tentang Kristus, dan merasa lebih istimewa di depan Yesus daripada para murid lainnya. Sedangkan Petrus tua adalah Petrus yang mau mawas diri, rendah hati, total penyerahan dirinya, altruis/ tidak lagi memikirkan kepentingannya sendiri. Pada akhirnya Petrus menjadi pemberita injil yang tangguh. Inilah buah dari percakapan yang mendalam antara Tuhan Yesus dengan Petrus, buah dari kesediaan untuk menguji diri sendiri, mawas diri. Sebuah dialog yang indah.
Tulisan sederhana ini juga saya buat dalam rangka membuka dialog iman dengan warga jemaat, sebab sangat sulit untuk menyampaikan apa yang ada di benak saya kepada warga jemaat pribadi lepas pribadi, pasti akan memakan waktu yang sangat lama. Melalui tulisan ini saya ingin mengajak warga jemaat untuk meningkatkan kesungguhannya dalam membangun relasi dengan Tuhan. Karena hanya Tuhan Yesus lah yang memungkinkan kita mengalami perubahan hidup: dari egoistis ke altruis; dari beriman yang mau gampangnya ke beriman yang tangguh dan tahan uji; dari beriman yang mencari roti yang fana ke beriman yang mencari roti kehidupan; dari beriman yang sekedar menunggu “dhawuh” ke beriman yang mau bergumul.
Hal ini amat penting kita perhatikan, karena:
- Agama itu tidak pernah tunggal, hampir di setiap agama selalu muncul sekte/ sempalan/ bidat yang ajaran dan praktik ritualnya seringkali tidak wajar;
- Adalah kenyataan bahwa berbagai ajaran yang aneh itu mengelilingi hidup kita;
- Tidak setiap warga jemaat telah memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi hal-hal itu.
Akhir-akhir ini sering kita jumpai adanya persekutuan yang pengajaran dan praktik imannya tidak wajar. Pengaruh persekutuan itu sudah mulai memasuki dan meresahkan kehidupan jemaat. Mengingat hal ini, maka dianggap perlu adanya pedoman teologi sederhana untuk menjadi pegangan bagi setiap warga jemaat. Harapannya, melalui pedoman itu tidak ada lagi warga jemaat yang jatuh ke dalam godaan untuk mengikuti persekutuan seperti itu.
Bahwa persekutuan seperti itu berusaha untuk mengembangkan jumlah pengikutnya itu adalah hak mereka; kita tidak memiliki hak untuk membatasi atau melarangnya. Sedangkan, bagi warga jemaat yang sudah terlanjur mengikuti bahkan aktif di dalamnya, tulisan atau pedoman sederhana ini adalah sebuah sapaan dan juga sebuah cermin yang diberikan untuk mengajak sejernih-jernihnya mawas diri terhadap penghayatan dan praktik imannya. Sebagai sebuah jemaat kita memiliki kerinduan untuk bisa kembali bersama-sama sehati dan sejiwa dalam penghayatan dan praktik iman.