Sejarah

Keberadaan GKJW tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dua tokohnya, yaitu Johanes Emde dan C.L.Coolen. Kedua tokoh ini tidak memiliki latar belakang khusus teologi. Jadi keduanya adalah orang kristen awam yang tergerak untuk memberitakan injil Kristus kepada orang-orang yang dijumpainya. Disamping itu kedua orang ini sepertinya mewakili dua corak pandangan teologis tentang iman kristen.

C.L Coolen begitu besar perhatiannya pada masalah-masalah budaya setempat, sedangkan Johanes Emde amat menentang budaya atau tradisi setempat. Sehingga pada akhirnya kedua corak teologi yang ditebarkan oleh kedua orang tersebut sedikit banyak mewarnai teologi GKJW. Emde mengatakan bahwa menjadi orang kristen berarti melepas sarung atau kain kebaya, dalam arti harus mengikuti pola budaya barat (Belanda),

Sedangkan C.L Coolen mengatakan bahwa menjadi kristen tidak perlu melepaskan tradisi dan budaya yang selama ini mewarnai kehidupannya. Jadi setelah dibaptis tetap boleh memakai sarung, kain kebaya, nonton wayang, dan lain sebagainya. Yang paling penting adalah perubahan dalam hal menjalani dan menghayati moralitas baru yang bersumber dari kasih Allah di dalam Yesus Kristus. Sehingga iman bukan hanya persoalan kulit, melainkan persoalan pergumulan dan perubahan hati yang amat mendasar.

Baptisan Kudus pertama terjadi tanggal 12 Desember 1843 di Surabaya. Sejak waktu itu jumlah mereka terus bertambah dan terbentuklah persekutuan-persekutuan orang percaya yang kemudian menyatukan diri dalam satu persekutuan gerejawi pada tanggal 11 Desember 1931 dengan nama “Pasamuwan-pasamuwan Kristen ing Tanah Djawi Wetan”. Pengakuan resmi pemerintah dinyatakan dalam Besluit Gubernur Djenderal Hindia Belanda yang menyebut persekutuan gereja ini dengan nama “Oost-Javaansche Kerk”. Nama ini kemudian diubah menjadi “Greja Kristen Jawi Wetan” dengan S.K. Dirjen Bimas (Kristen) Protestan Departeman Agama Republik Indonesia pada tahun 1979.

Dalam dinamika perkembangan GKJW, dua corak pemberitaan Injil itulah GKJW mengalami pertumbuhannya, terutama dengan munculnya tokoh-tokoh baru. Sehingga di daerah atau jemaat tertentu warga dan kiprah jemaat  memiliki perbedaan  dengan  warga   atau   kiprah    jemaat lainnya. Misalnya: bolehkah rumah ibadah dipakai untuk tempat rapat? Apakah diperkenankan rumah ibadah dipakai untuk tempat makan? Hal yang barangkali lebih prinsipial adalah, di tempat tertentu merupakan suatu kebiasaan kalau ada ibadah ucapan syukur 7 hari atau 40 hari atau bahkan seribu hari setelah kematian anggota keluarga. Sementara itu di jemaat lain kebiasaan seperti itu sudah benar-benar tabu.