Keluarga Dalam Keberagaman Materi Sarasehan Bulan Keluarga 2018

21 June 2018

Bacaan            : Kolose 3 : 5 – 17 (Nats : ayat 11)
Metode            : Sharing

Pengantar :

Sipit, keriting, hitam, pendek atau gendut merupakan kondisi fisik yang biasa, namun menjadi tidak biasa ketika orang tua Aji mengatakan “sipit, keriting, hitam pendek atau gendut” dengan mimik muka yang tidak cerah dan suara yang meninggi, apalagi kalau ditambah kata “dasar.. sipit/ keriting/hitam”. Setiap kali itu terjadi, Aji kecil belajar bahwa mereka yang berbeda dengan dirinya yang bermata bulat, berambut lurus, berkulit sawo matang dan tinggi bisa diperlakukan berbeda (atau bahkan dilabeli dengan seenaknya), sebagaimana yang digambarkan oleh orang dewasa yang ia percaya. Kondisi lain yang berkaitan dengan ciri fisik tertentu, ras, bahasa, suku maupun agama tertentu sebenarnya netral dan biasa, namun seringkali dikaitkan dengan perilaku dan sifat tertentu yang cenderung tidak baik. Karena anak-anak melewati proses belajar dari kehidupan terdekatnya maka ekspresi yang terus berulang itu akan menimbulkan prasangka. Karena memiliki pengalaman awal tentang yang sipit, keriting, hitam, pendek dan gendut dari ekspresi orang tuanya, maka Aji akan memiliki prasangka bahwa mereka yang seperti itu berbeda dengannya, sehingga hal yang wajar jika ia berbuat tidak baik. Begitu juga dengan mereka yang berpakaian tertentu, yang ibadahnya begitu dan doanya begini. Sebuah penelitian pada anak-anak Amerika – Afrika, bahkan yang masih berusia 3 tahun, nampaknya sudah berpikir untuk tidak menginginkan menjadi orang kulit hitam. Ketika mereka ditawari bermain boneka kulit putih atau kulit hitam, sebagian besar mereka menolak boneka hitam, karena anggapan bahwa boneka putih lebih cantik dan unggul. Bagaimana anak sampai pada kesimpulan ini? Bermula dari pengalaman awal ketika melihat bagaimana orang tua dan orang dewasa yang mereka percayai bersikap dan berekspresi, baik melalui mimik, raut muka dan sikap tubuh/gesturnya.

Apakah itu prasangka?

Prasangka adalah sikap yang cenderung negatif terhadap orang lain atau anggota kelompok sosial tertentu. Prasangka bukan bawaan, tapi bisa diwariskan karena ia  berangkat dari proses berpikir terhadap apa yang dianggapnya benar, atau dari perasaan suka – tidak suka dan dari kecenderungan seseorang bertindak. Prasangka yang terus dipelihara akan menimbulkan sikap-sikap diskriminasi (membeda-bedakan).  Sementara, kenyataan yang terjadi dalam kehidupan ini : Adakah ciptaan Tuhan yang benar-benar sama? Hampir pasti tidak ada. Tuhan terlampau kreatif dan besar dalam karya penciptaan, sehingga manusia yang hanya menciptakan batas-batas persamaan dan tidak menerima keberagaman sebagai kekayaan, sedang mengerdilkan karya besar Tuhan.

Baca Juga:  “Saling Memberi Rasa Aman Dalam Keluarga”

Prasangka itu pernah mewarnai pandangan jemaat Kolose, ketika mereka melihat perbedaan sebagai alasan pembenaran diri dan sikap diskriminasi. Mereka yang bersunat merasa lebih tinggi dari yang tidak bersunat, para budak adalah kelompok yang tidak berharga bagi mereka yang merdeka, dan orang Yahudi merasa lebih suci daripada orang Yunani. Akibatnya, mereka yang berbeda, pantas untuk dijauhi atau tidak pantas menerima kasih. Karena itulah,  Paulus mengajak jemaat dewasa dalam bersikap. Perbedaan tidak mungkin dihilangkan, namun diterima, dihargai dan disikapi. Orang yang berakar di dalam cinta Kristus, dipanggil untuk hidup sebagai manusia baru yang bertumbuh membagikan cinta dalam kehidupan dengan penuh belas kasih, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran.

Dimanakah benih manusia baru ini disemaikan? Di keluarga. Di sanalah tempat yang subur untuk menumbuhkan cinta yang nyata terhadap kehidupan yang beragam.  Untuk mengurangi prasangka, ada beberapa hal yang perlu diupayakan dengan sungguh dalam keluarga, diantaranya :

  1. Orang tua dan orang dewasa sebaiknya memberi pengalaman masa kanak-kanak yang baik, sehingga anak-anak tidak diajarkan dengan berbagai ungkapan yang sifatnya mengecam, baik melalui kata-kata, suara, raut muka dan sikap tubuh.
  2. Toleransi, bukan Fanatisme : sejak dini, keluarga perlu mengajari anak-anak menghargai semua orang, termasuk yang berbeda dengan dirinya, keluarganya dan kelompoknya, sehingga prasangka sulit berkembang di sana. Tidak ada yang paling benar dan paling baik. Orang tua (orang dewasa) pertama-tama perlu duduk bersama untuk menyadari kelompok yang berbeda di lingkungan mereka, misalnya : beda agama, beda gereja, beda status ekonomi, beda bahasa, dll. kemudian…
  3. Relasi antar kelompok : penelitian mengungkapkan bahwa jika seseorang membangun relasi yang bersahabat dengan berbagai kelompok di luar kelompoknya, maka prasangka terhadap kelompok itu akan berkurang drastis. Seseorang akan melihat individu dalam kelompok itu dari sisi positifnya. Jika sudah ada daftar kelompok yang berbeda (seperti di nomer 2), buatlah kegiatan bersama yang memungkinkan anak-anak bertemu dan memiliki pengalaman baik dan positif dengan kelompok yang berbeda itu.
  4. Mencari kesamaan (membuat ulang batas antara “kita” dan “mereka”) : ketika mendapati kelompok yang berbeda, seseorang perlu melihatnya sebagai bagian dari kelompok yang sama dalam lingkup yang lebih besar. Sehingga, ketika muncul prasangka, orang dapat diingatkan untuk memasukkan mereka yang berbeda itu menjadi “kita”, seperti : kita sama-sama orang Jawa Timur, Surabaya, atau Indonesia. Mari membantu anak memiliki pengalaman baik dalam keberagaman, misalnya dengan ungkapan yang sering dia dengar dari orang dewasa yang dipercayainya, “Kita berbeda sekolahnya, ibadahnya, ngomongnya, tapi kita sama-sama orang Jawa Timur/Indonesia lho..”

Keluarga, dengan orang tua dan orang dewasa di dalamnya, sejatinya sosok yang dipercayai dan siap diteladani oleh anak-anak yang sedang bertumbuh dalam karakter yang baik. Panggilan bagi keluarga adalah, mendampingi anak-anak yang dianugerahkan Tuhan yang sekaligus anak-anak masyarakat. Harapannya, melalui pengasuhan orang tua dan orang dewasa mereka siap keluar dari rumah menjadi bagian dari masyarakat yang membaktikan hidupnya untuk damai sejahtera bersama sekaligus anak-anak Tuhan yang menjadi jalan berkat untuk kebaikan. Dunia yang penuh dengan manusia baru, sebagaimana pesan Paulus harus dimulai dari keluarga. Mungkin tidak mudah, karena orang dewasa dalam keluarga telah hidup dan tumbuh dalam berbagai prasangka atas keberagaman yang terjadi. Karena itu,  mendidik anak-anak yang menerima dan mencintai keberagaman, harus diawali dengan orang dewasa mendidik dirinya sendiri membongkar prasangka-prasangka yang masih dimilikinya. Perlu lebih dulu jujur melihat diri sendiri, menyadari dan menerima serta berpulih atasnya. Di atas semua itu, mari yakin “…damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu..”

Bahan Sharing :

  1. Mari melihat lingkungan anak-anak di sekitar kita. Apakah orang tua sudah melatihkan hidup dalam keberagaman (bukan sekedar mengajarkan) pada anak-anak? Misalnya : Apakah ia belajar di sekolah yang mayoritas sama (agamanya mayoritas sama, latar belakang ekonomi keluarganya sama, kecerdasan siswa juga sama). Apakah ia hanya bermain dengan mereka yang hobinya sama? Jika iya, upaya apa yang perlu ditempuh untuk mengimbanginya? Kegiatan keluarga seperti apa yang memungkinkan anak-anak bertemu dengan beragam orang dan memiliki beragam pengalaman yang positif ?
  2. Pernahkah saudara mempunyai prasangka tertentu terhadap seseorang yang sudah berhasil saudara hilangkan? Bagikan pengalaman saudara menghilangkan prasangka itu dan mengupayakan relasi yang baik?
  3. Pernahkah saudara mendapatkan perlakuan berbeda / diskriminatif, karena prasangka orang lain? Bagaimana saudara melewati situasi itu dan mengupayakan situasi yang lebih baik? Bagikan pengalaman saudara.
Baca Juga:  “Saling Memberi Rasa Aman Dalam Keluarga”

Gambar: Designed by Freepik

Renungan Harian

Renungan Harian Anak