Bencana Alam dari Perspektif Perjanjian Lama

21 October 2018

Peristiwa air bah yang diharapkan akan menjadikan manusia sadar akan perannya, nampaknya tidak dapat bertahan lama. Padahal Allah berjanji memulihkan dimensi surgawiNya di tempat manusia hidup. Kendala terberat yang menghambat pemulihan dimensi itu bukan dari titah lainnya tetapi justru muncul dari sang pelestari alam yaitu manusia. Sampai kapankah peran negatif penghambat pengembalian dimensi ini akan berakhir, adalah ungkapan yang mudah dijawab. Hal itu terjadi sepanjang manusia tidak merasa sebagai diri yang diberi hak dan wewenang Allah yang egois dalam menjaga alam semesta ciptaan Allah tersebut.

 

Penutup

Peristiwa kerusakan alam yang mengarah kepada bencana alam, membuat banyak pendapat yang argumentatif dalam pola pikir manusia. Ada yang menganggap bahwa hal itu merupakan siklus natural yang tidak seorangpun mampu menghentikannya. Lebih menarik lagi ada pendapat yang berdalih bahwa bencana alam itu adalah sebuah proses pemeliharaan Allah terhadap alam dengan gaya rekontruksi pemulihanNya. Dengan berdalih bahwa Allah disamping sebagai Sang Pencipta juga sebagai Sang Pemelihara. Namun jika hal itu terungkap hanya sebagai hal untuk menutupi kesalahan fatal manusia, yang sejatinya sebagai pemicu kerusakan alam tersebut, maka sungguh tidak sangat terhormat.

Dengan tidak mencari sumber kesalahan dan praduga terhadap gaya pemeliharaan Allah terhadap ciptaanNya yang berakibat banyak ‘titah’ punah dan tidak dapat bertahan hidup, maka akan menjadi sangat sempurna dan terhormat bagi manusia, yang mendapat sebutan  teman sekerja Allah, menjadi ‘tuan kedua’ kembali kepada perannya. Manusia hendaknya kembali menjalankan kehendakNya dengan tidak memaksakan hak kemanusiaannya dalam rangka melestarikan alam, tetapi menurut kehendak Allah yang terus menerus ‘menyempurnakan’ karya cipta agung Allah itu sampai pada akhir generasi yang Allah tetapkan sendiri kapan akan berakhir dunia.

Daftar Pustaka:
[1] Chrstoph Barth etc, Teologi Perjanjian Lama 1, Jakarta: BPK Gunung mulia, 2008 hal 20.

[2] Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2002 hal 10-11.

[3] Sebuah kondisi yang dipakai untuk gurun tandus, tempat semua tercampur baur, hampa dan kosong atau sia-sia dan tidak terdapat kehidupan apapun.

[4] Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2002 hal 772.

[5] Chrstoph Barth etc, Teologi Perjanjian Lama 1, Jakarta: BPK Gunung mulia, 2008 hal 31.

[6] S.Wismoady Wahono, Ph.D. Pro Eksistensi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001, hal 172.

[7] Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2002 hal 2.

[8] Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2002 hal 1.

[9] Peran besar yang diberikan kepada manusia; tentu dengan kepercayaan yang tidak dapat disia-siakan.

[10] S.Wismoady Wahono, Ph.D, Disini Kutemukan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993 hal 81

[11] S.Wismoady Wahono, Ph.D, Disini Kutemukan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993 hal 178

[12] Harun Hadiwiyono, Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014 hal 244.

[13] S.Wismoady Wahono, Ph.D, Disini Kutemukan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993 hal 86.

[14] Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2002 hal 6.

[15] Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2002 hal 1.

[16] Karen Armstrong. In the Beginning, New York: Ballantine Books, 1996 hal 44-45)

Renungan Harian

Renungan Harian Anak