Transformasi Diri : Sebuah Proses Menuju ke Arah Karakter Kristus Refleksi Paskah

18 April 2019

Peristiwa paskah yang kita yakini bersama sebagai orang Kristen adalah peristiwa kebangkitan Yesus dari kematian. Sebuah peristiwa yang tidak lazim bagi seorang “manusia Yesus” akan tetapi sebuah keniscayaan bagi Yesus yang adalah Tuhan.

Peristiwa kebangkitan Yesus dari kematian adalah sebuah proses perubahan dari kondisi mati menjadi kondisi hidup, dari keadaan gelap menjadi keadaan terang, dari perasaan negatif menjadi perasaan positif, dari suasana berduka menjadi suasana penuh sukacita dan kebahagiaan. Jadi sesungguhnya peristiwa kebangkitan adalah sebuah proses perubahan atau transformasi.

Bagaimana dengan kita? Saat kita merayakan paskah, apakah kita juga mengalami sebuah perubahan akan diri kita? Sebuah transformasi dalam diri menuju kearah hidup yang lebih baik?

Transformasi diri bagi kita tidak lain adalah sebuah proses perubahan diri layaknya proses metamorfosa seekor kupu-kupu. Seekor kupu-kupu sebelumnya adalah seekor ulat yang mengalami proses transformasi menjadi kepompong dan selanjutnya berubah menjadi seekor kupu-kupu muda dan pada akhirnya berubah menjadi seekor kupu-kupu dewasa yang sempurna. Transformasi diri bagi kita adalah sebuah proses perubahan dari karakter-karakter lama kita sebagai manusia menjadi karakter-karakter baru yang ada pada diri Kristus.

Karakter Kristus yang terlihat di dalam tindakan dan perilaku Yesus menghasilkan berbagai sifat-sifat positif seperti halnya rasa belas kasihan, perasaan sukacita/damai sejahtera, penuh kesabaran, murah hati, kebaikan, kesetiaan, kelemah lembutan dan pengendalian diri (Galatia 5:22)

Dalam tulisan ini saya hanya ingin memfokuskan pada 2 (dua) hal yang bisa menjadi awal dari proses perubahan diri kearah karakter Kristus yaitu tindakan memaafkan (mengampuni) dan perasaan bahagia. Tindakan memaafkan berakar pada karakter Kristus seperti rasa belas kasihan, murah hati, kesabaran dan kebaikan. Sedangkan perasaan bahagia tidak lain adalah perasaan sukacita/damai sejahtera yang disertai dengan pengendalian diri (kesadaran diri) yang baik.
Namun, dalam kehidupan nyata kita saat ini tidaklah mudah untuk bisa melakukan dua hal tersebut baik tindakan memaafkan maupun selalu berperasaan bahagia.

Tindakan memaafkan meliputi 3 (tiga) hal yaitu meminta maaf kepada orang lain oleh karena kita bersalah, memaafkan orang lain yang bersalah kepada kita, dan memaafkan diri sendiri karena kita ‘merasa’ bersalah dengan diri kita. Dari ketiga hal itu, yang paling sulit untuk dilakukan adalah memaafkan diri sendiri, mengapa demikian? Karena memaafkan diri sendiri tidak melibatkan orang lain akan tetapi hanya berhubungan dengan diri sendiri. Disini diperlukan kejujuran, keberanian dan kesadaran diri untuk bisa menyelesaikan perasaan bersalah dalam diri. Satu hal lagi yang sangat penting tentang perasaan bersalah, menurut David Hawkins, Ph.D dalam sebuah disertasinya tentang ‘Map of Consciousness’ bahwa perasaan bersalah merupakan perasaan yang sangat merusak diri karena mengandung muatan emosi negatif yang besar energinya ( catatan : emosi berasal dari kata e – motion yang artinya energy in motion ). Perasaan bersalah ini sering kali tidak kita sadari keberadaannya, karena terpendam jauh di pikiran bawah sadar kita.

Sedangkan perasaan bahagia adalah sebuah perasaan yang selalu diharapkan bisa dirasakan oleh orang Kristen sebagai perwujudan dari damai sejahtera dan sukacita, namun tidak mudah untuk bisa terus menerus merasakan perasaan bahagia ini. Perasaan bahagia ini bisa dianalogikan seperti seekor kupu-kupu, semakin kita berusaha mengejarnya maka kupu-kupu itu semakin menjauh dari kita dan terbang kian kemari; akan tetapi saat kita berdiam diri dalam ketenangan pikiran dan hati maka kupu-kupu itu justru mendekat kepada kita bahkan hinggap di atas pundak kita. Demikianlah adanya, bahwa perasaan bahagia bukanlah sesuatu yang harus kita ‘kejar dan raih’ untuk merasakannya, akan tetapi sesuatu yang harus kita ‘lepaskan’ untuk bisa merasakannya. Artinya disini bahwa hanya dengan melepaskan berbagai emosi negatif masa lalu kita bisa merasaakan kebahagiaan itu sendiri.

Jadi sesungguhnya tidak mudahnya memaafkan (khususnya memaafkan diri sendiri) dan merasakan perasaan bahagia oleh karena masih adanya beban emosi negatif yang melekap pada peristiwa traumatis di masa lalu atau masih adanya ‘luka batin’ masa lalu yang belum terselesaikan. Berbagai macam luka batin yang sering dialami selain dari dua hal diatas yaitu kesedihan yang mendalam, kekecewaan, penyesalan diri, marah, benci, dendam, ketakutan ditinggalkan, merasa dihina, dikhianati, dan diperlakukan tidak adil.

Membereskan luka batin masa lalu melalui upaya ‘menetralisir’ berbagai emosi negatif yang ada tidak lain adalah sebuah upaya besar untuk bisa ‚berdamai dengan diri sendiri‛ dan menerima diri apa adanya. Menetralisir disini artinya membuat netral sebuah emosi dari sebelumnya bermuatan negatif sehingga akan memunculkan sebuah perubahan perilaku ke arah yang lebih baik dan bermakna. Sebagai contoh sederhana manakala ada seorang ibu yang phobia terhadap kecoa, setiap kali melihat kecoa secara langsung maka respon ibu ini adalah lari ketakutan atau naik ke atas kursi dengan rasa takut. Respon ini adalah sebuah perilaku yang bersifat spontan dan didorong oleh adanya muatan emosi takut, geli dan jijik terhadap kecoa. Saat muatan emosi tersebut berhasil dinetralisirkan, saat ibu ini kembali melihat kecoa secara langsung maka respon perilakunya akan tetap tenang, nyaman, berani dan yakin bahwa kecoa hanyalah binatang kecil yang tidak menakutkan dan tidak mengancam keselamatan jiwa.

Kiranya Roh Kudus memampukan dan memberi kekuatan kepada kita melalui kesadaran diri untuk berdamai dengan diri sendiri, melepaskan dengan ikhlas berbagai emosi negatif masa lalu sehingga kita bisa dengan mudah memaafkan orang lain dan diri sendiri dengan tulus ikhlas serta bisa senantiasa merasakan perasaan bahagia, damai dan sukacita yang mendalam.

Selamat merayakan Paskah dan selamat menjalani proses transformasi diri ke arah karakter Kristus sehingga menjadikan hidup kita menjadi lebih baik dan bermakna bagi diri sendiri dan sasama.


* Bapak Purnomo adalah warga GKJW Jemaat Lawang

Renungan Harian

Renungan Harian Anak