Seperti halnya yang dialami oleh bangsa Israel, dimana tidak hanya mengagumi Allah atas segala ciptaanNya saja, tetapi juga kagum atas sikap untuk menghadapi kekacauan dan kuasa-kuasa perusak, dan Allah membuktikan akan kemenanganNya atas “tohu wa bohu”.[3] Dalam hal ini Allah bertindak menurut rencana yang ditetapkan sendiri (Yesaya 40:12-13)[4].
Wujud kekaguman bagi bangsa pilihan dan umat Allah saat ini, semestinya diikuti dengan sebuah tindakan yang sama dengan dan bersama Allah. Akan menjadi mustahil bagi manusia untuk melawan kekacauan itu jika tidak bersama Allah. Sebuah formulasi jelas sudah didapatkan dalam pemahaman ini, yaitu jika yang dilakukan manusia itu menjaga dan melestarikan alam adalah bukti bahwa manusia bekerja bersama Tuhan, namun jika yang terjadi adalah tindakan perusakan alam maka yang sedang bekerja bersama manusia adalah roh jahat.
Peran penting yang terutama itulah yang diberikan kepada manusia diantara segala makhluk. Manusia memang diberikan tempat yang terutama, karena Allah hendak bersekutu dengan manusia dalam suatu perjanjian. Perwujudan perjanjian tersebut dapat dipahami sebagai berikut:
- Manusia dijadikan sebagai tubuh berjiwa dan jiwa bertubuh yang terarah oleh keputusan hatinya.
- Manusia dijadikan manurut gambar Alah dan diberikan kuasa untuk memelihara dunia.
- Manusia dijadikan sebagai laki-laki dan perempuan sebagai mitra yang berbeda dan setingkat-sederajat.
- Manusia mencurigai Allah dan membahayakan hubungan dengan Tuhan dan sesama.
- Tuhan memberkati segala makhluknya dan memanggil manusia agar ia hidup dalam hubungan yang benar dan adil.[5]
Peran Pemegang Mandat Allah
Mengawali pemahaman kita sebelumnya, bahwa manusia memiliki peran sebagai pemegang mandat Tuhan, akan menjadi jelas jika kita memahami manusia sebagai bagian dari ciptaan Allah. Setelah manusia diciptakan, Allah menginginkannya sebagai pengelola bumi dengan dilengkapi beragam kemampuan, diantaranya adalah:
- Sebagai mahkluk religius; artinya Allah melengkapi manusia memiliki kesadaran ketergantungan kepada Allah.
- Sebagai mahkluk sosial; artinya manusia akan dapat merasakan makna kehidupan apabila bersama dengan
- Sebagai mahkluk kultural, yaitu kemampuan yang diberikan Allah agar manusia bisa mengembangkan berbagai talenta atau kemampuan yang dimilikinya.
Dengan tiga keberadaan kemampuan tersebut, manusia dimungkinkan melakukan banyak hal untuk kesejahteraan hidupnya. Tiga keberadaan itu tidak boleh dipisah-pisahkan, karena itu merupakan perwujudan hakekat manusia. Dengan demikian manusia tidak hanya terdiri dari tubuh atau jasmani saja, tetapi juga memiliki sisi kejiwaan dan kepribadian. Dengan demikian manusia juga boleh dikatakan cenderung menjadi makhluk yang kompleks, sehingga tidak mudah dipahami. Bisa juga dipahami bahwa potensi manusia terbukti amat mengagumkan.
Buah potensi itu bisa kita saksikan, misalnya melalui perkembangan ilmu dan pengetahuan, teknologi yang terus berkembang secara dinamis. Dalam proses pembangunan manusia seutuhnya, tidak bisa terjadi tanpa usaha manusia itu sendiri.[6] Disini dapat ditarik pengertian bahwa manusia tidak bisa membangun seutuhnya tanpa bersedia mengusahakannya.
Proses pembangunan atau perkembangan kehidupan manusia memiliki arti bahwa manusia semestinya terbuka secara terus menerus akan adanya beragam kemungkinan baru bagi seluruh komunitas alam. Jika manusia pada awalnya memiliki keberanian untuk masuk dan menerobos beragam masa dan kejadian serta perubahan, maka selayaknyalah generasi lanjutannya untuk mampu berusaha menerima mandat terbaik dari Allah.
Dalam Kejadian 2: 16-17 “Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”[7] Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa Allah memberikan kebebasan kepada manusia, namun juga memberi pemahaman bahwa kebebasan yang diberikan itu ada batasnya.