Sebuah kesadaran yang harus dimiliki bahwa manusia masih berada dibawah kuasa Allah. Esensi adanya laki-laki dan perempuan tidak akan membedakan potensi atau kemampuan yang diberikan Allah kepada manusia. Hanya saja yang tidak dapat dipungkiri adalah laki-laki dan perempuan memiliki kepribadian dan kodrat yang saling berbeda. Karena saling berbeda itulah keduanya dipanggil supaya saling melengkapi. Sehingga diharapkan ada pemahaman bahwa sama sekali tidak ada alasan untuk menganggap bahwa perempuan itu lebih rendah derajat atau martabatnya daripada laki-laki. Pikiran seperti itu muncul dari kebudayaan yang ingin menempatkan laki-laki sebagai yang utama, atau bisa jadi sebuah rekayasa budaya oleh laki-laki untuk menguasai perempuan.
Mandat kepada manusia itu tertuang dalam Kejadian 1:28, “Beranak-cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”[8] Ayat ini mengingatkan kepada manusia bahwa mereka bukan sekedar penerima mandat saja, tetapi juga dipahami sebagai pemelihara sekaligus sebagai penikmat alam ciptaan Tuhan Allah. Manusia bisa memanfaatkan semua apa yang ada dalam alam semesta ini, serta terus terlibat dalam karya Allah demi kesempurnaan ciptaan yang terus diupayakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan sesuai dengan peradapan zaman.
Namun satu hal yang tidak dapat dilupakan adalah bahwa semua yang dilakukan oleh manusia sebagai teman sekerja Allah hanyalah untuk kemulianNya. Segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia akan berkenan kepada Allah asalkan berlandaskan kepada iman dan ditujukan bagi kemulian Allah. Sehingga perwujudan yang terjadi adalah demi kelangsungan, keharmonisan dan kesejahteraan hidup seluruh ciptaan karya Allah, bukan yang sebaliknya yang terjadi, yaitu disharmonisasi kehidupan atau dapat dikatakan sebagai sebuah kehidupan yang mengarah kehancuran.
Pemahaman kita akan diperkuat dengan makna ungkapan ‘gambar Allah’, dimana Allah adalah Tuhan atas semua ciptaan. Demikian jugalah manusia, dibawah Allah, menjadi ‘tuan kedua’[9] atas ciptaan-ciptaan lainnya.[10] Kedudukan manusia seperti itu mengandung tanggung jawab langsung kepada Allah. Segala perbuatan manusia harus dipertanggungjawabkan kepada Allah.
Dalam catatan sepanjang sejarah, perjalan kehidupan manusia tidaklah mudah ataupun sederhana. Beragam predikat negatif telah disandangnya, mulai dari figur yang melawan Allah, tidak berperikemanusiaan, umat yang tidak setia kepada Tuhan. Sebutan yang melegakan juga pernah didapatkannya, sebagai umat yang setia, umat yang militan pembela kebenaran dan beragam cibiran dan sanjungan lainnya.
Namun manusia tidak pernah dianggap sebagai ciptaan yang melepaskan hubungan dengan Tuhan. Tuhan juga tidak akan pernah melepaskan perhatian kepada manusia. Dalam kehidupan manusia, Allah senantiasa hadir, sehingga dimensi ilahi itu tidak akan pernah hilang dalam diri manusia. Sebuah pemahaman bahwa disitulah janji kesetiaan Allah senantiasa berlaku, bahwa Tuhan selalu bersama dengan manusia. Hanya saja manusia hendaknya menyadari bahwa pemberlakuan janji Allah tidak selalu dapat diungkapkan dengan perkataan manusia. Pemberlakuan janji Allah itu melibatkan pengalaman hidup nyata.[11]