7
Menyimak cermin 1 -30 dalam terang pengertian ibadah sebagaimana ditulis di Pranata GKJW di atas, maka tak salah jika saya menyimpulkan bahwa cermin 1-30 menyiratkan hal-hal a.l.:
- Ibadah Minggu itu tidak penting. Ini dipraktikkan baik oleh pejabat gereja maupun warga jemaat
- Hadir dalam ibadah Minggu karena dipaksa orang tua
- Hadir dalam ibadah Minggu karena menjaga citra keluarga/ pejabat gereja
- Hadir dalam ibadah Minggu itu tak mengubah perilaku
Cermin-cermin di atas memang tidak mencerminkan wajah utuh sikap warga jemaat terhadap Ibadah Minggu. Saya meyakini masih banyak warga jemaat yang sungguh-sungguh “menikmati” ibadah Minggu. Namun demikian adanya cermin-cermin di atas tak baik kalau diabaikan begitu saja, sebab siapa tahu itu adalah ibarat gunung es?
Selama lebih dari satu semester saya pernah tinggal di desa yang penduduknya sebagian besar warga GKJW. Di sekitar gedung gereja terdapat banyak rumah warga jemaat. Selama berbulan-bulan saya menyaksikan sendiri ada banyak warga jemaat yang setiap hari Minggu tidak ke gereja, padahal mereka tinggal hanya beberapa meter dari gedung gereja bahkan di antara mereka ada yang rumahnya hanya sekitar 3 meter dari gedung gereja. Sekali dua kali saya pernah mengobrol dengan mereka juga bertanya tentang alasan tidak mau ke gereja.
Reaksi mereka atas pertanyaan ini biasanya justru dilakukan dengan cara mengajak saya merumpi tentang penilaian negatif mereka terhadap pelayanan jemaat; baru kemudian memberi jawaban mengapa mereka tidak mau ke gereja. Alasan yang beberapa kali sering saya dengar ialah, “Lha, Pak X rajin ke gereja bahkan sering menyampaikan khotbah dalam ibadah Minggu, tetapi masih suka togel. Ke gereja dan tidak ke gereja sama saja!” Bahkan di jemaat ini seseorang yang selama 3 tahun (satu daur jabatan gereja) tidak mengikuti ibadah Minggu dapat terpilih menjadi penatua atau diaken jemaat. Jikalau mengingat pengalaman ini, maka tak lagi heran manakala membaca data tentang rendahnya kehadiran ibadah Minggu di jemaat-jemaat tertentu.
Sebenarnya sudah menjadi data lama bahwa tingkat kehadiran warga dalam ibadah Minggu di GKJW rata-rata di bawah 50%[1]. Memang angka ini bisa diperdebatkan. Misalnya, 50% lainnya kan belum tentu tidak beribadah, tetapi beribadah di tempat lain, entah karena bekerja atau sekolah di kota lain. Andai hal ini benar, alasan yang mendukungnya tidak terlalu kuat. Pertama, jemaat di kota tempat anak-anak sekolah atau bekerja mestinya angka kehadiran ibadah Minggunya mengalami kenaikan; tetapi ternyata tidak, tetap di bawah atau berkisar pada angka 50%. Kedua, bagaimana dengan jemaat di desa yang secara kasat mata tidak ke mana-mana dan hanya tinggal di rumah saat ibadah Minggu berlangsung? Di beberapa jemaat sudah jamak warga mondar-mandir melewati jalan depan gereja saat di gereja sedang berlangsung ibadah Minggu entah mau ke pasar, ke sawah/ ladang, atau sekadar nongkrong merumpi.
Tiga masalah. Berkaitan dengan ibadah Minggu saya mencata ada 3 masalah. Pertama adalah sudah terlalu lama kita membiasakan diri terhadap kenyataan bahwa lebih dari separo warga GKJW tak memandang penting ibadah Minggu, karena faktanya mereka dengan sengaja tidak mau beribadah Minggu. Kedua, mereka yang rutin mengikuti ibadah Minggu ternyata tidak semuanya didasari motivasi beribadah. Jika mereka yang termasuk dalam kategori ini jumlahnya hanya satu atau dua barangkali bisa kita sebut kasuistsik, tidak merisaukan, tetapi benarkah begitu? Ketiga adalah persoalan citra diri. Celetukan-celetukan di atas secara tersirat menunjukkan betapa tak sedikit yang beribadah demi menjaga citra diri. Menata serapi mungkin segala sesuatu yang bisa dilihat oleh orang lain begitu pentingnya. Mendapat kesan positif bahwa dirinya rajin beribadah mengalahkan makna ibadah itu sendiri. Misalnya Pak Drembo sambil berangkat ke gereja ia membanting gelas ke arah pintu sambil menyimpan amarah terhadap istrinya. Ketika tiba di gereja ia akan tersenyum manis dan ramah kala menyapa rekan penatua, diaken, dan warga jemaat.
Problem di atas tentu tidak bisa diatasi hanya dengan mengandalkan perasaan atau perkiraan. Jalan terbaik ialah mengecek benar-salahnya melalui penelitian. Cuma, di sini muncul persoalan baru, yaitu: Mampukah gereja mengadakan sebuah penelitian yang menghasilkan data kualitatif? Secara teori sangat mungkin dilakukan, namun sangat sulit dipraktikan karena membutuhkan jenis penelitian yang khusus yang pertanyaannya kepada responden mesti berlapis-lapis. Selain itu penelitian ini membutuhkan dana besar, juga tenaga yang ahli dalam penelitian seperti ini. Sebab jika penelitian yang hanya menghasilkan angka kehadiran dalam ibadah, maka itu sebenarnya tak banyak menunjukkan realita. Perhatikan pengalaman riil saya beberapa hari yang lalu. Menjelang mengakhiri tulisan ini secara khusus saya bertanya kepada seorang teman tentang 2 hal, yaitu:
- Menurutmu pribadi apakah ibadah Minggu itu penting?
- Apakah ada makna signifikan ibadah Minggu terhadap hidupmu sehari-hari?
Menarik adalah adanya permintaan klarifikasi teman saya ini sebelum menjawab, yakni “Jawaban yang dibutuhkan adalah jawaban benar-salah atau jawaban jujur dari hati?” Respons ini menyiratkan bahwa jikalau responden menerima lembaran questioner, maka amat terbuka sekali kemungkinan muncul jawaban yang tidak dari hati.
Penutup
Pergumulan utama yang disodorkan melalui cermin 1 s.d. 30 adalah a.l.:
- Sebuah kerinduan untuk menemukan kembali makna ibadah yang semestinya. Jikalau dalam kehidupan sehari-hari orang membutuhkan citra diri yang baik, bolehlah sedikit ditolerir (walau tetap tidak baik). Misalnya tetap menjamu tamu dengan makanan yang lezat, sekali pun pada waktu itu tuan/ nyonya rumah sedang tidak punya uang dan bahkan terlilit hutang. Namun untuk ibadah: Bolehkah memoles demi citra diri?
- Gedung gereja yang megah dengan segala perlengkapannya ditambah dengan semarak ibadah karena setiap kursi tak ada yang kosong bisa membuai kita sehingga mudah terucap “Betapa Tuhan itu baik. Berkat-Nya melimpah atas kita.” Adakalanya kita melupakan sesuatu yang sebenarnya sudah kita mengerti dengan baik bahwa ibadah sejati itu ada dalam kesunyian karena intensitas melihat ke dalam, bukan ke luar.
- Saya menduga bahwa akan tiba saatnya orang akan lebih mengutamakan yang hakiki daripada yang majasi; orang datang beribadah karena dorongan kuat dari dalam, bukan lagi demi citra diri. Bila saat ini tiba, kita tak perlu terkejut kalau ternyata apa yang dialami oleh gereja-gereja di Eropa soal ibadah Minggu akan juga kita alami.
- Untuk GKJW kini, masih ada waktu untuk berjaga-jaga dan berbenah diri. Semoga!
Sumardijana, Bululawang Paskah 2021
[1] Bahkan di beberapa jemaat kehadiran ibadah Minggu warga dewasa di bawah 40% (lihat Data Komperlitbang MA GKJW tentang Kehadiran Warga Dewasa dalam Ibadah, tahun 2016)