3
Merenung-renungkan pengalaman-pengalaman di atas menyebabkan munculnya pertanyaan-pertanyaan a.l.:
- Mengapa di masyarakat yang ruang-ruang ibadahnya sepi pengunjung, tetapi makmur? Sedangkan di masyarakat yang semarak ruang ibadahnya, tetapi miskin?
- Mengapa di masyarakat yang tak tertarik pada hidup beragama, tetapi rendah tingkat korupsi dan kasus kriminalnya? Sebaliknya, masyarakat yang khusuk beragama tetapi korupsi menjamur dan juga tinggi kasus-kasus kriminal lainnya?
- Mungkinkah GKJW akan mengalami keadaan seperti gereja-gereja di Eropa, ibadah Minggu yang sepi pengunjung?
Untuk pertanyaan 1 dan 2 saya menduga sudah banyak yang menjawabnya melalui berbagai buku dan tulisan. Atau 2 (dua) buah buku karya Denny JA yaitu “Spiritualitas Kebahagiaan” (Juli 2020) dan “Bergesernya Pemahaman Beragama” (Januari 2021) barangkali bisa menolong kita mendapatkan jawaban atas 2 pertanyaan di atas. Sedangkan pertanyaan ketiga adalah bagian yang menjadi pergumulan kita.
***
Adalah sebuah keniscayaan bahwa masa pandemi ini mengubah secara signifikan tatanan ibadah dan sikap warga terhadapnya. Mau tidak mau kita melihat kenyataan adanya pemahaman dan cara baru dalam ibadah Minggu. Pada masa sebelum pandemi gereja selalu mendorong warganya untuk aktif mengikuti ibadah ke gereja, kini justru menghalanginya. Semula warga akan selalu dikunjungi oleh pendeta atau anggota majelis jemaat kalau tidak mau ke gereja dengan alasan bisa mengikutinya lewat internet; sekarang justru itu disarankan.
Seorang pendeta bisa dikenai siasat gereja ketika melayani perjamuan kudus tidak sebagaimana lazimnya. Dahulu ada pendeta yang menjadi perbincangan karena melayani perjamuan kudus tidak lazim. Untuk warga sakit pendeta tidak datang mengunjungi lalu melayani perjamuan kudus, tetapi anggota majelis jemaat mengantar roti dan anggur perjamuan yang sudah didoakan oleh pendeta dan majelis di ibadah perjamuan kudus di gereja. Model pelayanan ini menghebohkan, waktu itu. Namun, kini justru itu yang terjadi dan bahkan disarankan! Bahkan dahulu ada warga yang tidak bisa memasuki gedung gereja karena tidak memiliki lembar bukti telah mengikuti persiapan perjamuan kudus! Kini, siapa yang mampu mencermati satu persatu warga dalam merespons pelayanan perjamuan kudus?
Apakah pertanyaan, “Mungkinkah GKJW akan mengalami keadaan seperti gereja di Eropa yang sepi pengunjung” ini adalah pertanyaan yang mengada-ada? Bisa “ya”, bisa juga “tidak”. Atau kekhawatiran seperti itu bisa secepatnya dilupakan, bisa juga secepatnya diantisipasi. Jikalau yang kita maknai dalam ibadah Minggu adalah kesemarakannya: gedung gereja yang makin besar dan indah, sound system yang makin sempurna, kursi yang ada selalu penuh terisi, kegiatan-kegiatan mulai anak sampai dengan adiyuswa semarak; maka kekhawatiran itu tak beralasan. Namun, jikalau ibadah Minggu adalah soal otentisitas hati, maka perlu diperhatikan munculnya kekhawatiran ini.