Pengantar dari Admin:
Telah terbit Buku “Patunggilan Kang Nyawiji – Jejak Protestanisme di Pedalaman Jawa Timur jilid 1“.
Buku ini menceritakan sejarah awal kelahiran GKJW yang disusun dari berbagai sumber baik dalam maupun luar negeri. Didalamnya diceritakan kekhasan pekabaran injil di bumi Jawa Timur: “Meneruskan kabar sukacita Kristus bagi wong cilik.“
Buku ini dapat diperoleh secara langsung dengan harga Rp. 110.000 di Kolportage Majelis Agung GKJW (Jl. S.Supriyadi 18 Malang) atau dengan menghubungi whatsapp di nomer 0856-4529-5495, 0821-3913-4133, 0888-5503-106. Terdapat potongan harga 10% bagi jemaat atau warga jemaat yang datang langsung ke Kolportage Majelis Agung GKJW.
Pembelian buku ini dapat pula dilakukan melalui toko online Kolportage GKJW di Tokopedia: https://www.tokopedia.com/kolportage18 atau di Shopee: https://shopee.co.id/colportage18.
Buku Patunggilan Kang Nyawiji – Jejak Protestanisme di Pedalaman Jawa Timur jilid 1″ adalah karya Tim Sejarah GKJW (Ibu Sulistiani, Pdt. Yuli Mardiyati, & Bpk. Hari Wahyono) dan diterbitkan oleh BPK. Gunung Mulia.
Dibawah ini adalah ulasan Pdt. Gideon Hendro Buono tentang buku tersebut:
A. Berziarah Bersama Buku Patunggilan Kang Nyawiji 1
Membaca (apalagi menulis) sejarah serupa ziarah. Kita dihadapkan pada kenyataan-kenyataan masa lalu, menyusun kepingan-kepingan yang terserak, kagum, bahkan kadang marah. Jarak segera hadir seiring kenyataan bahwa dulu dan kini sedemikian berbeda. Namun, pada saat yang sama, kedekatan segera hadir, karena dalam perbedaan itu, samar-samar yang lalu itu beresonansi dengan masa kini. Masa kini – yang ajaib hingga yang biasa-biasa saja – kembali terasa segar. Kita menempatkan diri kita pada posisi-posisi yang dulu pernah ada, memihak, mengoreksi, lalu kembali berjalan untuk cerita yang akan datang. Pada saat yang sama, segera, masa lalu pun tak sekadar tumpukan data yang mati, dia hidup dalam dialog dengan segala pengalaman yang sedang terjadi sekarang (Groce, 1959: 44). Sekarang, yang telah lewat, dan masa depan seperti jemari yang saling bergenggaman.
Mungkin karena sejarah adalah memori, dan manusia tidak lain adalah rangkaian memori tiada henti (Nielson, 2015: 11078). Karenanya, kita mengalami rasa sakit yang sama, bersukacita dengan cara yang sama, kecewa dengan serupa, berharap dengan cara yang tak berbeda. Manusia terhubung melalui jejaring memori, yang kadang terlalu sulit digambarkan dengan jelas. Wajar jika Derrida (1976: 61) menyebut bahwa segala hal adalah jejak. Kita tak pernah benar-benar menggenggam, karena setelah sesuatu berjalan, maka sesuatu itu tidak pernah ada lagi. Namun dari jejak itu kita tahu bahwa seseorang, sebuah peristiwa, pernah berada di situ. Dan tak akan ada hari ini tanpa masa lalu. Masa depan pun tak dibangun dari ketiadaan. Selalu ada bangunan yang menyusun dari cerita sebelumnya. Karena itu sekalipun ‘hanya’ jejak, Derrida melihatnya sebagai satu-satunya kemungkinan.
Jejak-jejak itu saling bertemu dalam sistem kenangan yang saling terhubung, saling mengubah, saling membentur, lalu narasi pun mengalir. Melalui narasi itu, hidup menjadi tertanggungkan. Sejarah lalu menjadi jaminan, bahwa kita akan baik-baik saja atau perlu merasa waspada ketika melihat kenyataan masa lalu yang sebangun. Demikianlah, tanpa memori, tak ada narasi. Dan hidup akhirnya tak bermakna. Memaknai memori dalam sejarah akhirnya menjadi proses memberikan makna pada hidup.
Namun, karena segalanya adalah jejak, maka kita tak bisa jemawa mengatakan kita yang paling benar, atau bahkan yang paling tahu. Sejarah memencarkan makna ke segala arah. Setiap orang bisa mengambil makna khusus untuk dirinya, dari bangunan-bangunan preferensi hidupnya. Atas sebuah narasi yang sama, orang bisa mengambil kesimpulan yang sama sekali berbeda. Mungkin demikianlah ziarah, ziarah menundukkan kita, menjadikan kita lebih rendah hati, karena kemungkinan pemaknaan bisa berlipat ganda tanpa mampu kita kendalikan. Dan kita pun lalu tidak sekadar terbuka kepada masa lalu dan masa depan, tetapi terbuka kepada yang lain. Menyadari bahwa kita menjalani hidup tak pernah sendiri. Bukankah dalam ziarah selalu ada penghormatan dan kerelaan untuk melepas keakuan?
Mungkin karena itulah Soekarno menyatakan jas merah, ‘Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah’ (orang kerap salah menyebutnya melupakan, padahal meninggalkan). Ketika kita meninggalkan sejarah, menjadi makhluk ahistoris, maka kita menumpulkan diri kita pada makna.