“Beribadahlah kepada TUHAN dengan takut
dan ciumlah kaki-Nya dengan gemetar…”
Mazmur 2: 11
Pengantar
Beberapa Minggu yang lalu –entah kenapa- tiba-tiba saja saya teringat bahwa saya pernah menulis sebuah refleksi dalam sebuah buku tipis judulnya, “Ngawi- Bossey-Ngawi” (tidak dipublikasikan). Buku tipis itu bagi saya pribadi amat istimewa karena memiliki kenangan penting dan juga berisi hampir semua kegiatan penting yang saya ikuti selama di Swis, Roma- Vatikan, Jerman, dan Belanda.
Awalnya buku tipis itu saya tulis tangan dan itu saya lakukan di sepanjang perjalanan sejak dari Jenewa sampai di Solo. Penulisan saya lakukan baik di dalam pesawat maupun di ruang tunggu bandara: Jenewa, Heathrow/ London, Kuala lumpur, Jakarta, dan Solo pada tanggal 5-6 Maret 1994. Saat itu sepertinya saya tidak mengenal lelah, mungkin mirip mahasiswa yang dituntut menyelesaikan skripsi bulan depan padahal belum banyak yang dikerjakan. Bisa berhari-hari lupa tidur dan makan.
Setelah kembali dan melayani jemaat, lembaran-lembaran refleksi itu hanya saya simpan. Baru awal tahun 2000 ketika jemaat memiliki inventaris komputer catatan reflektif itu saya tulis ulang. Setelah selesai pun saya simpan kembali.
***
Buku tipis itu sudah lama sekali tidak saya ingat. Ketika beberapa Minggu yang lalu muncul kembali ingatan tentang buku tipis itu, saya segera mencarinya, tetapi tak berhasil menemukan. Baru ketika saya sedang rileks –pasrah itu tak mungkin lagi ditemukan- lalu saya menemukan flashdisk yang sudah 15 tahunan tergeletak. Saya ambil dan kemudian saya tancapkan flasdisk itu ke laptop dan ternyata tulisan itu masih ada! Bagian terpenting yang ingin saya baca lagi dari buku itu ialah catatan reflektif saya selama mencicipi kehidupan berekumene di beberapa negara di Eropa saat saya masih muda pada tahun 1993-1994.
Setelah saya membacanya kembali buku itu secara cermat saya menemukan ada 2 (dua) catatan harian yang isinya makin mengusik pikiran saya. Saya mengingat sudah beberapa waktu saya bergumul tentang makna ibadah Minggu. 2 (dua) catatan harian hampir 30 tahun yang lalu yang mengusik benak saya baik kalau saya kutipkan di bawah ini.
- “Pada Sabtu berikutnya kami diajak oleh keluarga ini ke beberapa tempat yang sering dikunjungi oleh turis, yaitu ke Montreoux dan ke pegunungan dekat Kota Bern. Kebetulan pada saat itu adalah hari-hari pertama turun salju, sehingga pemandangan masih tampak indah. Kami juga sempat mengunjungi beberapa desa di Kota Bern. Banyak juga gedung gereja yang sempat kami lihat. Kesan kami, gereja-gereja cenderung selalu dibuka, sehingga kapan pun setiap orang bisa masuk, sekali pun pada hari Minggu. Tak tahu persis, apakah keadaan tersebut merupakan cermin dari tingkat spiritualitas orang-orang Swiss? Yang jelas orang Kristen jarang yang mau ke gereja!
Namun dalam hal praktik hidup, perilaku mereka patut disimak. Sejauh yang dapat diamati perilaku orang Swiss pada umumnya baik. Misalnya dalam hal kejujuran dan penghargaan terhadap sesama. Dalam hal ini memang bisa kita diskusikan, yaitu: bagaimanakah iman Kristen menanggapi kenyataan: 1) seseorang begitu rajinnya ke gereja dan beribadah namun hidup sehari-harinya tidak jujur, korup, penuh dengki, dan culas; dan 2) seseorang tidak pernah ke gereja namun senantiasa menjaga perilakunya dengan baik, jujur, tidak korup, dan menghargai sesama?”- Jenewa, 23 Oktober 1993. - “Pada akhir bulan Nopember 1993 semua mahasiswa ditugasi “live in” di jemaat-jemaat di sekitar Swiss. Kebetulan saya mendapat tugas bersama dengan seorang peserta (rahib) dari Jerman untuk “live in” sebuah jemaat di Desa Obeireiden (lebih kurang 30 km dari Zurich). Pada hari Minggu saya mendapat tugas berkhotbah, karena kawan saya yang dari Jerman itu penganut Katolik. Khotbah disampaikan dalam bahasa Inggris lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh pendeta jemaat. Gedung gereja dapat memuat sekitar 300 orang, tetapi yang hadir dalam ibadat saat itu sekitar 60-an, itu pun karena seusai ibadah ada rapat. Menurut pendeta setempat, jika usai ibadah tak ada rapat kehadiran ibadah rata-rata kurang dari 10 orang.
Namun, ironisnya (?), pada hari yang sama pada sore harinya pukul 17.00 di gereja ini diselenggarakan konser musik menjelang Natal. Saya menyaksikan sendiri bahwa sebelum pukul 17 gedung gereja sudah penuh, bahkan perlu kursi tambahan. Jadi, itulah realita keberadaan gereja di desa itu bahwa konser musik jauh lebih menarik daripada ibadat Minggu. Sayup-sayup terdengar bisikan dalam hati: Perlukah GKJW mengantisipasi keadaan seperti itu?” – Obeireden, 29 Nopember 1993.
Saya termenung sejenak setelah membaca kalimat terakhir di atas. Segera kemudian saya mencoba mengingat-ingat kembali pengalaman-pengalaman saya yang berhubungan dengan ibadah Minggu setelah masa tahun 1990-an. Siapa tahu akan menunjukkan data yang berbeda.