Ibadah Minggu

14 April 2021

2

Pada tahun 2008 saya mendapatkan kesempatan untuk melayani ibadah Minggu di dua jemaat di wilayah Kota Köln, Jerman. Di jemaat pertama kehadiran jemaat –sempat saya hitung- 4 orang ditambah 2 pengiring nyanyian (orgen dan saxophone) dan pendeta yang menterjemahkan khotbah saya dari bahasa Inggris ke bahasa Jerman. Gedung gereja menurut dugaan saya cukup kalau untuk 300 orang. Total yang hadir 8 orang, termasuk saya. Sedangkan di ibadah kedua, tapi beda jemaat, gereja tak terlalu besar dan yang hadir lumayan banyak.

Pada bulan Mei 2010 saya diutus GKJW untuk mengikuti acara di kantor Dewan Gereja-gereja se- Dunia di Jenewa. Di akhir acara saya sempat singgah dan tinggal beberapa hari di Keluarga Pdt. Volker Niesel di Schangnau. Indah sekali pemandangan di sekeliling pastori. Pada hari Minggu saya diajak oleh Pak Pendeta Volker Niesel ke jemaat di Trub (Reformierte Kirchgemeinde Trub), ada semacam tukar pelayanan. Pdt. Volker Niesel akan melayani ibadah Minggu. Jarak dari Schangnau ke Trub sekitar 20 km. Ibadah pada waktu itu dihadiri oleh 5 orang. 2 adalah saya dan Bu Lusi Niesel, 3 lainnya warga jemaat setempat, dan Pak Pendeta Volker Niesel sebagai pelayan ibadah. Gedung gereja memang tidak besar tetapi dugaan saya cukup kalau untuk 100 orang. Sepanjang ibadah berlangsung dalam hati bertanya-tanya, “Sudah datang jauh-jauh dari Schangnau, ternyata yang hadir ibadah hanya 3 orang. Berarti hanya mereka yang benar-benar mendapatkan manfaat dari ibadah Minggu yang mau hadir!”

Sedangkan di benua lain saya juga menemukan hal menarik tentang ibadah Minggu. Pada tahun 2007 saya diutus oleh GKJW untuk mengikuti pertemuan gereja di Dar Es Salaam, Tanzania, Afrika. Ketika tiba hari Minggu oleh panitia saya ditugasi untuk menyampaikan kata sambutan di 2 kali ibadah Minggu di sebuah jemaat. Saya tercengang saat tiba di gereja. Gedung gerejanya amat besar dan juga jumlah warga jemaat yang hadir, saya menduga tak kurang dari 3000 (tiga ribu) orang. Masing-masing ibadah berlangsung sekitar 2,5 jam. Jadi saya harus mengikuti ibadah selama 5 jam. Ibadah kedua di tempat yang sama jumlah yang hadir juga banyak sekali. Kedua ibadah itu masing-masing berlangsung semarak, sekali pun gereja protestan.

Sembilan tahun kemudian, saya mendapat kesempatan lagi ke Afrika, yakni di Rwanda (2016). Pada hari Minggu saya bersama 2 teman dari Afrika dan 1 dari Jerman bermaksud hanya mengikuti ibadah, tetapi secara tiba-tiba oleh pendeta setempat saya diminta berkhotbah dan ikut melayani perjamuan kudus. Saya sulit memenuhi permintaan ini selain saya hanya mengenakan baju batik juga tidak menyiapkan khotbah. Namun pendeta setempat meminta dengan sangat agar saya mau berkhotbah dan ikut melayani perjamuan kudus. Iba dengan permintaan itu, maka akhirnya saya memenuhi permintaan itu dan saya meminta waktu sekitar 10 menit untuk mempersiapkan diri. Khotbah saya sampaikan dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke bahasa setempat. Perjamuan kudus pun saya layankan dengan mengenakan baju batik (Entah apa yang akan saya terjadi pada diri saya, kalau hal ini saya lakukan di jemaat GKJW). Gedung gerejanya amat besar dan ibadah juga berlangsung lama. Penuh semangat warga dalam ibadah, juga gereja protestan.

Di Afrika saya melihat dengan jelas adanya kontras antara gedung gereja yang amat besar dengan rumah-rumah penduduk di sekitar gereja yang amat sederhana, bahkan masih banyak yang berdinding tanah liat. Juga kontras antara kemiskinan dengan semaraknya ruang ibadah. Sementara di Jerman dan Swiss juga ada kontras antara kemakmuran dengan kosongnya ruang ibadah pada hari Minggu.

Baca lanjutan tulisan ini

Renungan Harian

Renungan Harian Anak