2
B. Membaca Historiografi Buku Patunggilan Kang Nyawiji 1
Membaca buku Patunggilan Kang Nyawiji 1 ini membawa keasyikan yang sama ketika membaca buku-buku tulisan Raffles, Wallace, Weber, Sartono, hingga novel sejarah karya Umberto Eco. Tim Sejarah GKJW seperti menghadirkan kisah itu persis di depan mata kita. Mereka menyajikan data dengan sedemikian gamblang. Tampak bahwa kerja keras mereka mengumpulkan, membandingkan, dan memilah data-data – dari berbagai sumber lokal, manca, data-data konteks, hingga sumber-sumber terbaru – dikerjakan dengan serius dan cermat.
Dialog berbagai sumber ini sangat penting, paling tidak untuk beberapa hal: pertama, yang paling sepele, Tim Sejarah GKJW memberikan perhatian bahwa sejarah adalah proses yang tidak berhenti. Mereka mengikuti cara penulisan sejarah-sejarah yang terus berkembang. Sekaligus membuka diri pada perubahan yang bisa saja terjadi di masa depan. Sejarah itu masih sedang terjadi, dan akan terus membangun dirinya.
Kedua, melalui upaya mengizinkan data-data yang ada saling bermusyawarah, sehingga kisah yang tersaji dalam buku ini alih-alih merupakan kebenaran, yang sebenarnya terjadi adalah upaya rekonstruksi rendah hati atas kekayaan sejarah GKJW yang mustahil dirangkum dalam puluhan jilid buku sejarah sekali pun. Melalui berbagai data itu kita kemudian tahu, bahwa sejak awal, GKJW adalah realitas majemuk, pemahaman pun majemuk, satu-satunya kemungkinan mendamaikan kemajemukan ini adalah menyajikan semuanya dalam lanskap yang jujur. Setiap waktu, orang punya cara yang berbeda untuk menilai sebuah obyek yang sama. Orang menggunakan istilah-istilah yang berbeda.
Makna yang majemuk tersebut menunjukkan bahwa data selalu mengamplifikasi dirinya sendiri. Yang dulu baik bisa jadi begitu buruk hari ini. Atau sebaliknya. Tetapi dengan meletakkannya pada sebuah lanskap, kita kemudian tahu bahwa mereka memilih cara pemaknaan demikian bukan tanpa sebab. Maka, membaca sejarah bukan sekadar membaca cerita, tetapi membaca cara berpikir dan perubahannya. Dengan semakin banyak data yang disajikan, semakin lengkap – dan itu yang sedang dilakukan buku ini – maka duduk perkara menjadi semakin jelas. Hal ini persis seperti yang diungkapkan Kuntowijoyo (2003:45) sebagai pola pembacaan sejarah secara diakronis. Dalam pembacaan diakronis, sejarah dilihat sebagai ‘rangkaian kejadian yang susul-menyusul tidak saja menjawab mengenai apa yang ada, tetapi juga mengapa sesuatu ada dan bagaimana terjadinya’ (Wijaya, 2016: 30).
Hal tersebut misalnya tampak dalam upaya merinci kisah Lembaga-lembaga Pengabaran Injil di Belanda (Bab III), gambaran budaya orang Jawa ‘pedalaman’ (Bab IV), benturan pietisme dengan Coolen (Bab VII), latar belakang dan kisah OSS/ Orang Saleh Surabaya (Bab X-XII) posisi NZG dalam pengabaran Injil di Jawa Timur (Bab XV), hingga latar belakang pembukaan Hutan Kracil/ Kranji menjadi Majawarna (Bab XVII). Data-data yang sebelumnya tidak ditemukan dalam buku-buku sejarah GKJW berbahasa Indonesia dihadirkan di sana, membuat posisi-posisi yang awalnya membingungkan menjadi cukup terjelaskan. Hal tersebut membuat kita bisa melihat tokoh-tokoh dalam sejarah GKJW – misalnya Coolen, Emde, Jellesma yang asing, maupun misalnya Pak Dasimah, Singatruna, Ditatruna, Anip, Tosari, yang berasal dari Bumiputera – menjadi lebih jelas. Data-data baru yang ditambahkan dalam buku ini jelas sangat berguna bagi pecinta sejarah maupun bagi GKJW sendiri.
Ketiga, mungkin yang paling penting. Seiring dengan perkembangan historiografi Indonesia saat ini, para sejarawan semakin menyadari bahwa penulisan sejarah Indonesia yang selama ini selalu berada dalam bayang-bayang historiografi kolonialisme. Ceritanya tentang Indonesia tetapi sudut pandang yang dipakai adalah sudut pandang kolonial. Akhirnya yang asing didamba-damba, dan merasa malu dengan milik sendiri, karena dianggap tak berharga. Sejak tahun 1957, para sejarawan lalu mengembangkan sebuah metode baru mengembangkan sejarah, yang disebut historiografi Indonesiasentris, yang asli Indonesia bukan dari luar, bukan sejarah impor. Tokoh-tokoh serupa Soekarno, Yamin, hingga yang modern seperti Pramoedya hingga Sartono kerap dianggap pembawa perubahan pada pola pembacaan sejarah yang demikian. Sejarah yang ada dijungkirbalikkan. Demikianlah, proses historiografi selalu merupakan proses dekonstruksi (Purwanto, 2001). Tokoh yang dulu oleh para kolonial disebut pembangkang, ganti disebut pahlawan (Piliang, 2001: 2). Namun, nyatanya historiografi yang demikian, khususnya yang sekarang ini tersedia, lebih bernuansa Jawasentris. Menolak apa-apa yang asing akhirnya menjadikan para sejarawan Indonesiasentris melihat sejarah secara anakronistis dan akhirnya menjadi tidak kritis (Purwanto, 2006: 47). Historiografi Indonesiasentri lantas menjadi perkembangan historiografi tanpa perubahan struktural (2001: 32)
Berbagai tawaran diberikan dalam upaya menjembatani kedua kutub (kolonial dan Indonesiasentris) mulai dari model historiografi Kartodirdjo (1993) dan Kuntowijoyo (2003) yang berusaha untuk membedakan sejarah dengan ilmu alam, yang pasti kebenarannya dengan mengatakan bahwa ilmu sejarah menjejakkan satu kakinya di humaniora dan satu kaki lain di ilmu sosial. Hingga historiografi-historiografi yang lebih baru, seperti historiografi pembebasan (Sulistiyono, 2008) yang berorientasi menyoroti persoalan ketidakadilan dan eksploitasi aktual masyarakat, yang justru dilanggengkan oleh para penulis sejarah. Dari sana muncul penulisan sejarah ‘baru’ tentang perempuan, komunisme, berbasis agama atau etnis tertentu, dan seterusnya. Intinya adalah upaya supaya jangan sampai sejarah justru menjadi alat penindasan baru yang dilegitimasi oleh penulis sejarahnya maupun institusi (termasuk negara).
Tim sejarah GKJW melalui buku Patunggilan Kang Nyawiji 1 tampak sangat peduli pada ketegangan-ketengan tradisi historiografi tersebut. Paling sedikit dari sumber-sumber yang mereka pakai, yang merentang mulai Maandberigt NZG dan Mededeelingen yang jelas-jelas sangat Belanda, hingga tulisan-tulisan primer dan sekunder dari tokoh-tokoh GKJW (sekalipun tokoh-tokoh yang dipilih masih tokoh-tokoh pemimpin). Lebih jauh upaya pembangunan jembatan dan perjuangan itu juga dilakukan dengan mengetengahkan kisah tokoh-tokoh yang selama ini tidak terlalu dilirik oleh sejarah, bahkan cenderung disunyikan. Sebut saja mulai dari kisah-kisah Amarentia Menuel hingga Pak Sarmi, yang selama ini mungkin bahkan tidak pernah didengar namanya oleh kebanyakan orang GKJW, tetapi memiliki peran yang sangat besar dalam sejarah GKJW. Buku ini berhasil membunyikan tokoh-tokoh sunyi tersebut dari data dan analisis yang mungkin belum pernah dilakukan sebelumnya.
Yang juga menarik adalah gambar sampul buku yang menggambarkan kendi dan cornflower (Centaurea cyanus), yang langsung mengingatkan pada upaya mengawinkan tradisi Jawa dan Eropa. Selain menunjuk pada fenomena masuknya Kekristenan ke Jawa Timur, yang menjadi tema utama buku tersebut, gambar tersebut dengan jenaka menunjukkan pilihan historiografi yang sedang dilakukan oleh Tim Sejarah GKJW. Dalam kendi tersebut menancap cornflower, memberikan kehidupan baginya. Seolah mengatakan tidak perlu yang berbeda lantas selalu dipertentangkan, karena upaya perjumpaan bisa sangat mungkin menghadirkan estetika sekaligus etika baru yang eklektis, hibrid, dan saling mendukung. Data-data sejarah yang disajikan dalam buku ini adalah upaya merengkuh berbagai tradisi berbeda demi kehidupan Injil di Jawa Timur.