Tidak lain adalah bumi yang satu ini, rumah bersama segenap ciptaan. Tidak ada tempat lain untuk pulang dan meletakkan kepala. Tidak ada ruang lain untuk bersua dalam relasi intim dengan sesama dan Tuhan, selain bumi yang satu ini. Rumah ini biasa teduh, tapi kami menemukan tak selalu begitu.
10 April 2021, serupa hari Sabtu lainnya. Kecuali ketika waktu menunjukkan pukul dua paska tengah hari. Lalu segalanya berubah tak biasa. Gempa berkekuatan lebih dari 6 SR itu mengguncang petak kecil rumah bersama ini. Namun gempa bukan sekadar angka. Ratusan rumah yang rusak sedang, ratusan lain yang rusak parah, atau beberapa yang harus rata kembali dengan tanah bukan sekadar angka. Yang terluka hingga melepaskan nyawa itu bukan sekadar angka. Namun, kami menyaksikan sendiri, hanya butuh beberapa menit untuk meruntuhkan bangunan-bangunan yang dibangun selama beberapa tahun. Hanya sejenak saja, semua kerja keras itu hilang menyisakan puing reruntuhan.
Ketika dapur umum dibuka di Sukoanyar, kami mendengar suara-suara warga. “Mbangun omah mataun-taun, ngrubuhno mung limang menit (membangun rumah bertahun-tahun, merobohkannya hanya lima menit)”; “Nembe rampung dandan-dandan, saiki kudu mulai nol (Baru selesai memperbaiki, sekarang harus mulai dari nol)”, “Senenge aku, sing susah dituweni (Bahagia sekali aku, yang susah dikunjungi)”. Dari kisah para ibu, ada yang anaknya sering dijumpai melamun, beberapa anak gampang kaget mendengar suara agak keras, takut ketika masuk rumah dan selalu minta ditemani. Ada pula remaja yang pingsan ketika melihat rumahnya roboh, karena ketika gempa di sedang berada di kebun, ketika bangun dia tertegun, “Nanti kita tinggal di mana?”
Di Pepanthan Tamanayu, Pronojiwo, sebuah keluarga, Pak Misdi dan Bu Karni, melihat teras rumah mereka utuh, mereka berlari ke rumah tetangga Muslim yang meninggal karena tertimpa gempa. Mereka membantu di rumah tetangga itu hingga purna, lalu pulang ke rumah, dan menemukan bahwa teras itu berdiri, tetapi di dalam rumah semua sudah hancur tak karuan. Mereka mendahulukan yang lain, hingga tak sadar mereka pun terhitung korban gempa. Baru 1 Desember 2020 kemarin Jemaat Pronojiwo menyambut erupsi Semeru, dan sekarang harus sekali lagi menerima tamu gempa. Bukan hanya kami yang terluka, saudara Muslim yang menyiapkan hari kemenangannya, Idul Fitri, pun harus berpuasa di tengah derita.
Di Tambakasri, bersama kami menggumulkan, ada yang bilang bahwa pengertian yang benar melalui Firman Tuhan, akan menghasilkan hidup yang penuh kebaikan. Namun, kami pun menemukan tak sedikit yang melupakan jalan firman. Ketika bencana, semua sama. Ketika rumah bersama ini porak poranda, tak ada yang berbeda. Semua menangis dengan cara yang sama, semua terluka dengan sama menyakitkannya. Apakah sungguh bencana ini tak memandang apa pun, melibas segalanya?
Gempa itu melahirkan duka yang mendalam, bukan hanya untuk GKJW tetapi untuk segenap penduduk rumah bersama. Menundukkan kami pada sebuah kenyataan, manusia yang kerap jemawa ini ternyata tak seberkuasa yang dipikirkannya. Ketika mahkotanya diringkus oleh kedahsyatan alam, semua diam.
Hari Bumi 2021 ini membawa kami pada refleksi yang sama: manusia bukan segala-galanya di hadapan alam, di hadapan Tuhan. Rumah bersama ini satu-satunya yang kita miliki, jika rumah ini luluh lantak, semua tak bisa berontak. Satu-satunya jalan untuk terus hidup tak lain menjaga rumah bersama ini, bumi yang satu ini. Relasi adalah kunci, solidaritas adalah kompas. Ada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan, tetapi ada yang tetap bisa kita lakukan. Kita tak lagi bisa meneruskan laku yang mengabaikan alam, membiarkan ketidakadilan kepada alam, apalagi perusakan.
Namun, berbicara masalah ekologi tak bisa tidak bicara ekonomi. Karena masalah alam biasa muncul karena masalah kebutuhan hidup. Hutan dibuka untuk perumahan, alam diambil untuk penghidupan. Selalu ada timbal balik yang tak terhindarkan. Bicara masalah alam pada dirinya sendiri saja akan menjadi pembicaraan yang menggantung di awang-awang, dan akhirnya menjadi suara sunyi belaka. Lalu bagaimana?
Setelah sebuah gunung meletus, penderitaan bercampur jeri, tapi sesudahnya tanah di sekitarnya menjadi lebih subur, tanaman tumbuh lebih ngrembaka. Alam punya caranya untuk menjadikan bencana menjadi kehidupan. Ketika Kelud Meletus tahun 2014 silam, beberapa bulan kami melihat Kelud seperti hamparan tanah lapang yang terbakar. Namun, dalam hitungan tak lebih dari setahun, lumut hijau mulai tumbuh di dedahanan, pucuk kembali bertunasan. Bumi, rumah kita bersama ini punya caranya mengembalikan keseimbangan. Lalu semua tak menjadi seimbang lagi karena perusakan, lalu proses itu kembali terjadi. Tak henti. Keseimbangan adalah satu-satunya cara kehidupan menjaga dirinya. Keseimbangan adalah cara rumah kita tetap berjaga. Sedemikian kuat dia menjaga keseimbangan, hingga kita menyebutnya ibu, ibu bumi.
Mungkin, itulah satu-satunya kemungkinan: menjaga keseimbangan. Ekonomi dan ekologi tak bisa dipisahkan, tapi tak bisa lagi tak peduli, tetapi bagaimana hidup berdamai. Menjaga seimbang apa yang kita ambil dan kita kembalikan, yang kita petik dan kita tanam. Menjaga bumi adalah menjaga keadilan. Tak hanya memikirkan diri sendiri saja, kalau tidak ingin melanjutkan bencana. Egois bukan pilihan, altruis perlu menggantikan.
Demikianlah kita mengenal solidaritas. Relawan datang dari berbagai penjuru, meruntuhkan tembok-tembok rumah yang membahayakan, menaikkan genting yang berjatuhan. Lalu ketika sore duduk bersama warga seusai membagikan makanan merata. Tertawa hingga terpingkal, karena kisah-kisah yang diudar tanpa terpaksa, atau kadang kelu bersama mendengar cerita pilu. Semua hadir sebagai kawan yang saling menguatkan. Dukungan doa dan berbagai bantuan berdatangan. Yang jauh tak lagi jauh. Harapan lalu tumbuh, solidaritas itu seolah menjadi jaminan bahwa hari esok masih disediakan. Dan Tuhan dirasakan. Mimbar itu tak lagi hanya berdiri di gereja, tetapi di tengah kesetiakawanan menjaga harmoni, di mana-mana, selama kasih, solidaritas, kesetiaan, dan keadilan ditumbuhkan.
Menjaga rumah, menjaga ibu, menjaga kehidupan adalah mengijinkan kehadiran Tuhan dirasakan. Selama masih diberikan kesempatan hidup di bumi, mari terus mencintainya dengan kasih yang nyata, bukan hanya mimpi. Ada begitu banyak cara mencintai bumi, jangan sewenang-wenang menebang pohon, jangan sembarangan menanam pohon yang menghabiskan air, dan bisa diteruskan. Menjadikannya keseharian. Mencintai tak hanya ucapan belaka, tetapi aksi nyata. Cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang mewujud. Untuk itu, jangan berhenti!
Pdt. Ferry Novita Sukerdi
Pdt. Gideon Hendro Buono
Pdt. Karji
Pdt. Yuli Erna Wati