Setelah pernyataan penyatuan jemaat-jemaat di Jawa Timur menjadi Madjelis Agoeng Pasamoewan Kristen Djawi Wetan (atau dalam notula tersebut kadang juga disebutkan sebagai Pasamoean sak tanah Djawi Wetan) pada tanggal 11 Desember 1931, tepat sehari setelahnya, pada tanggal 12 Desember 1931 diadakanlah sidang Majelis Agung pertama di Mojowarno. Notula Sidang Majelis Agung pertama tersebut menjadi bukti sejarah semangat para pendiri GKJW mewujudkan pelayanan persekutuan gereja Tuhan di Jawa Timur tersebut. Notula yang ditulis dengan tulisan tangan rapi dalam Bahasa Jawa halus oleh Mas Poeger tersebut, menunjukkan bagaimana geliat awal kehidupan bergereja dan berpersekutuan di GKJW. Dan tampak dari sana bahwa semangat patunggilan dan gereja gerekan warga menjadi ciri khas sejak awal pendirian GKJW.
Sidang Majelis Agung pertama yang dihadiri oleh 29 utusan dari berbagai Jawa Timur tersebut – dan tidak semuanya adalah pendeta – dibuka oleh Pangarsa Madjelis Agoeng (Ketua Majelis Agung), C. W. Nortier pada pukul 8 pagi. Filipi 4: 4-9 menjadi bacaan Alkitab yang mendasari pembukaan sidang pertama tersebut. Sebelum pembahasan berbagai bahan sidang lain, Majelis Agung menerima persembahan ganden (palu sidang) kayu jati Mas Soetikna, seorang mantri guru, bertuliskan candra sengkala pendirian Majelis Agung GKJW, “Mandjalmaning Resi Wedananing Kristoes” yang berarti 1931. Hal tersebut semakin menunjukkan semangat keikutsertaan warga dalam pelayanan Majelis Agung GKJW sejak masa awal berdirinya GKJW.
Pembahasan dalam sidang tersebut meliputi pernyataan keanggotaan Majelis Agung dengan penyerehan serat kekancingan (surat kuasa penggunaan hak agraria) dari jemaat-jemaat kepada Majelis Agung untuk disimpan sebagai arsip persekutuan baru tersebut. Sikap tersebut menunjukkan kebulatan hati jemaat-jemaat di Jawa Timur untuk menyatukan diri dalam sebuah ikatan bersama, Majelis Agung.
Sidang dilanjukan dengan pemilihan Panitra (sekretaris) dan Warga Hartaka (bendahara) Majelis Agung. Dan dari hasil pemilihan tersebut ditetapkanlah Mas Poeger sebagai Panitra, dan Mas Poertjaja Gadroen sebagai Warga Hartaka. Berikutnya Pangarsa, Panitra, dan Warga Hartaka menjadi Pangreh Padintenan (Pelaksana/ Pelayan Harian) Majelis Agung. Sekalipun mereka tidak bertempat tinggal di suatu wilayah bersama-sama. Namun, mereka diharapkan mampu melaksanakan tugas mereka bersama-sama. Pangarsa sebagai pemimpin Majelis Agung dan pemimpin perwakilan Majelis Agung dalam conferentie para Pandita (konferensi pendeta-pendeta), panitra sebagai pelaksana tugas berkaitan surat dan pencatatan notula, dan warga hartaka sebagai pengelola administrasi harta kekayaan Majelis Agung. C. W. Nortier menyatakan bila anggota pangreh padintenan ini tidak dapat hadir dalam pertemuan, tugasnya tidak dapat diwakili oleh orang lain. Seluruh pangreh padintenan tersebut juga bertugas untuk menjadi perwakilan Majelis Agung dalam conferentie para Pandita pada bulan Februari 1932, bersama dua utusan lain, Mas Koentjana dan Mas Drija Mestaka.
Sidang tersebut juga membahas mengenai pengesahan Tata Gereja baru yang dituliskan oleh Hendrik Kraemer – digabungkan dengan Pranata Gereja yang sudah ada (kemungkinan warisan dari NZG) menjadi Tata dan Pranata yang berlaku bagi seluruh jemaat-jemaat (Raad Pasamoean Alit) di dalam Majelis Agung (Raad Pasamoean Ageng). Tata dan Pranata gereja tersebut mulai diberlakukan bulan Januari 1932 di seluruh jemaat.
Sidang dilanjutkan dengan pembahasan mengenai rekest (permohonan) kepada Kandjeng Goepermen supaya Pasamoean Kristen Djawi Wetan diberikan reektspersoon (rechtspersoon – badan hukum) untuk menjadi Gredja. Dengan menjadi Gereja maka di masa berikutnya Majelis Agung dapat mengelola tanah dan harta kekayaan lain yang dibelinya. Dalam sidang tersebut dinyatakan bahwa tanah dan harta kekayaan jemaat-jemaat se-Majelis Agung juga diatasnamakan satu nama, Majelis Agung. Dituliskan dalam notula tersebut ‘Dene sadaja milikipun pasamoewan ingkang awoejoed siti, grija-griya, gredja lan sapanoengilanipun bade lumebet ing digendom satoenggal, mawi nama Madjelis Agoeng, dados boten pasamoean werni-werni gadah reektspersoon pijambak-pijambak’ (Maka seluruh harta milik jemaat yang berwujud tanah, rumah-rumah, gereja, dan lain-lain akan menjadi satu, dengan nama Majelis Agung, jadi bukan jemaat yang berbeda-beda memiliki badah hukum masing-masing). Dari sana tampak bahwa semangat patunggilan menjiwai berdirinya Majelis Agung GKJW. Istilah yang digunakan dalam sidang tersebut adalah ‘Pasamoean sak tanah Djawi Wetan poenika dados bebadan satunggal’ (Jemaat sewilayah Jawa Timur tersebut menjadi satu tubuh).
Sidang dilanjutkan dengan agenda Majelis Agung berikutnya dan warna sari. Dalam warna sari beberapa tema yang muncul adalah terkait pembelakuan Tata dan Pranata, pendanaan kegiatan pangreh padintenan, perwakilan Majelis Agung dalam Conferentie para Pendita, utusan Majelis Agung untuk Balewiyata, dan rencana sidang Majelis Agung berikutnya pada bulan April 1932 (terlaksana pada 10-11 Mei 1932). Sidang kemudian ditutup pada pukul 13.30 dengan doa oleh Mas Pratjaja Gadroen.
Dalam sidang pertama Majelis Agung GKJW tersebut tampak bahwa semangat gereja gerakan warga dan patunggilan menjadi semangat awal langkah gerak pelayanan GKJW. Semangat itu tidak berasal dari paksaan atau tuntutan tugas, tetapi dari kesadaran dan kerelaan hati jemaat-jemaat sewilayah Jawa Timur. Semangat untuk bersatu itu dikuatkan oleh berjalannya waktu, hingga melahirkan sesanti-sesanti seperti “Gereja Gerakan Warga” dan pada masa berikutnya “Patunggilan Kang Nyawiji”.