Sekolah, Memanfaatkan Waktu Luang Refleksi Pekan Syukur YBPK GKJW (4-10 Mei 2023)

21 April 2023

Pada tanggal 31 Desember 2022 saya bertanya melalui WhatsApp ke Jakub Santoyo, teman seangkatan di STT Duta Wacana mengenai asal muasal kata sekolah. Dia satu-satunya teman seangkatan yang kursus bahasa Latin ke ibu Renete G. Drewes-Siebel M.A. Dia memberikan jawab pada hari Selasa, 3 Januari 2023, “Sekolah berasal dari bahasa Latin: schola, bentuk dasar tunggal. Bentuk jamaknya: scholae. Secara harafiah schola berarti intermission of work, leisure for learning, kegiatan waktu luang, kegiatan waktu senggang. Dari paparan makna ini dapat saya ungkapkan bahwa sekolah adalah kegiatan waktu senggang dari kegiatan pokok dan utama manusia dari masa anak-anak sampai dewasa.

Bagi anak-anak kegiatan pokok dan utama adalah belajar dengan bermain.  Belajar dengan bermain pada anak-anak dapat dilihat pada kegiatan anak-anak belajar bahasa dari sang ibu. Tidak hanya belajar kosa kata, tetapi juga wujud atau tindakan dari kosa kata tersebut. Ibu berkata kepada anaknya, “hak-hak-hak” sambil menyorongkan sendok ke mulut si anak. Setelah mulut si anak terbuka, isi sendok masuk ke mulut anak, si ibu berkata “nyam nyam nyam”. Apa yang dipahami si ibu sangat berbeda dengan apa yang dipahami si anak. Dan anak-anak menangkap satu-persatu kosa kata, paham artinya, wujudnya, menggunakannya atau melakukannya. Dan begitulah seterusnya setiap hari sehingga anak menangkap paham si ibu dan menerjemahkannya sendiri setiap kosa kata tersebut bagi dirinya.

Kegiatan pokok dan utama tersebut di atas, saya sudah tulis dalam “Margana Mulat Sarira” hal 20. Saya sebut sebagai fase hubungan emosional-afektif antara anak dan ibu, ketika ibu menuntut kebersihan, pengaturan milik, dan mau berbagi dengan orang lain. Anak belajar menguasai diri sendiri supaya ibu senang. Fase ini sesungguhnya sudah terbangun oleh fase hubungan anak dengan ibunya sewaktu dalam kandungan, menyusu dan digendong. Dalam fase itu, ibu menawarkan kepada anak kesempatan mengalami cinta dan membalas cinta pula. Hubungan ini disebut juga sebagai hubungan simbiosis atau bersatu, atau dalam psiko analisis Freud disebut ‘narsisme primer’. Narsisme primer dilihat oleh Freud sebagai sumber psikologis untuk mistisisme.

Pada fase berikutnya adalah hubungan menghadapi realita. Kita ambil contoh tentang Lamafa. Lamafa adalah julukan untuk penangkap ikan Paus secara tradisional menggunakan tempuling (tombak) oleh para nelayan di desa Lamalera, pantai Selatan Pulau Lembata. Secara administratif desa Lamalera berada di kecamatan Wulandoni kabupaten Lambata, Nusa Tenggara Timur. Seorang Lamafa dipilih berdasarkan kekuatan, ketangkasan, dan ketangguhannya pada waktu menombak kepala Paus sasaran. Dia juga harus seorang laki-laki yang santun, taat beribadah, berbudi, serta tingkah lakunya tidak tercela.

Proses menjadi Lamafa, anak-anak di Lamalera ikut berlayar dengan paledang, perahu khusus yang dirancang untuk berburu paus. Peledang berlayar mengandalkan layar dari anyaman daun pandan. Juru mudinya harus mahir mengarahkan paledang menuju paus sasaran. Baleo adalah sebutan untuk Paus yang disasar. Paus sasaran bukan Paus anak dan bukan Paus yang tengah bunting. Anak-anak berada dalam paledang menonton Lamafa melakukan pekerjaan mereka dari menentukan paus sasaran, mengemudikan paledang dan menggunakan tombak. Dari seringnya anak-anak diajak menonton dan tanpa banyak bicara, lahirlah Lamafa-lamafa yang handal. Anak-anak menonton Lamafa, menerjemahkan semua hal yang dikerjakan oleh Lamafa, merekam dalam ingatan dan batin si anak dan membiasakan diri mengerjakan pekerjaan Lamafa.

Dalam Alkitab kita menyaksikan bahwa Yesus memanggil para murid dengan ajakan “ikutlah Aku”. Kata “ikut” menunjuk kerelaan para murid untuk beranjak, bergerak, berjalan di belakang Yesus. Orang yang berjalan di belakang Yesus pasti harus menyelaraskan langkahnya dengan langkah Yesus. Mereka juga harus memandang apa yang dipandang Yesus. Mereka memperhatikan bagaimana Yesus menghadapi masalah dan bagaimana menyelesaikan masalah. Mereka mendapatkan pengalaman dari Yesus bagaimana keluar dari tekanan, hadangan dan hambatan dari orang Farisi, dari sikap intoleran, dari kepentingan politik. Mereka diajak berjalan menyusuri pantai, ladang gandum, padang gurun, gunung dan lembah yang masing-masing tempat mempunyai pergumulan sendiri. Para murid memperoleh pengalaman dan sungguh dimampukan untuk mengembangkan diri sebagai manusia Allah. Apa yang sudah mereka peroleh dari Sang Guru Yesus memampukan mereka menjadikan bangsa-bangsa menjadi murid Yesus.

Baca Juga:  Peresmian Gedung Baru PAUD ESTER YBPK Sidoasri

Proses belajar dari ibu, dari Lamafa, dan dari Yesus tersebut di atas tidak dilakukan di sekolah, apalagi sekolah unggulan, tetapi dalam hidup dan kehidupan nyata. Anak-anak dibiasakan menghadapi masalah dan menyelesaikan masalah. Semua terjadi dalam kegiatan pokok dan utama anak-anak. Kegiatan pokok dan utama anak-anak tersebut menjadi simulasi untuk langkah laku kegiatan berikutnya. Mereka dapat menerjemahkan berbagai hal dari pengalamannya menonton pelaku pendahulunya, karena menerjemahkan merupakan menindak lakukan ungkapan isi hatinya. Mereka dapat secara kreatif meningkatkan tindak laku mereka. Seperti Yesus berkata kepada Filipus: “Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu.”

Dunia ini merupakan sistem terbuka, semua manusia dapat mengambil sikap dalam belajar. Halnya terjadi karena pada setiap pribadi ada suatu daya hidup yang dimasukkan dalam setiap manusia oleh Sang Khalik. Kalau menggunakan bahasa Alkitab halnya dinyatakan dalam istikah “meniupkan nafas hidup” (Kejadian 2:7). Daya hidup ini dalam kenyataannya membawa manusia mencari dan menerima. Manusia pencari dalam pewayangan ditampakkan pada tokoh Palguna-Palgunadi, sedang manusia penerima dinampakkan pada tokoh Arjuna. Begitulah manusia menjadi ahli karena kebiasaan yang dijalani dalam hidup dan kehidupan ini.

Di luar kegiatan pokok dan utama anak-anak, yaitu waktu senggang mereka dipakai untuk mempelajari berhitung, menulis, etika, dan estetika. Untuk itu diperlukan seorang ahli yang dapat memberi penjelasan mengenai berhitung, menulis, etika dan estetika, yaitu guru. Guru mempunyai tugas mengajar, mentransfer ilmu dengan menjelaskan ilmu yang sulit menjadi prinsip-prinsip sederhana untuk disampaikan kepada murid yang masih sederhana dan awam. Guru menanamkan semangat belajar yang bermetode dan bersistem.

Dan tanpa disengaja dan mungkin disengaja juga, Guru membawa murid-murid mundur ke belakang tanpa batas. Jikalau murid tidak memahami tentang sesuatu ilmu, guru akan memberi penjelasan mengenai suatu ilmu tersebut. Sehingga pemahaman si murid sebatas penjelasan si Guru. Si murid menjadi semakin dungu. Dari kenyataan ini Guru adalah sosok yang menguasai seni menjaga jarak. Jarak itu nampak dalam, bahwa Guru paham dan murid tidak paham. Saya lebih senang menggunakan kata pendidik dan anak didik. Mendidik adalah mengajak anak didik menggali potensi diri dan mengembangkannya sedemikian rupa sehingga ada sikap dan perilaku yang dewasa atas potensi dirinya bagi kehidupan.

Michel Foucault dalam The Discourse on Language mengatakan bahwa setiap sistem pendidikan merupakan suatu alat politik yang akan meneguhkan atau memodifikasi penyisihan diskursus dengan pengetahuan dan kekuasaan yang dimilikinya. Sejauhmana GKJW dengan YBPKnya menangkap ritualisasi kata, kualifikasi aturan, pembentukan suatu difusi doktrinal yang berlaku dalam sitem pendidikan yang berlaku? Dan bagimana GKJW dan YBPK menempatkan misi visinya dalam sistem pendidikan yang berlaku?

GKJW adalah gereja yang terpanggil untuk bertanggungjawab atas pemberlakuan kasih, kebenaran, keadilan, damai sejahtera bagi masyarakat, bangsa dan negara. Alkitab memberikan kesaksian bahwa semua rasul Yesus disebut murid dan dipanggil untuk memuridkan semua bangsa. Menjadi murid perlu satu kata kunci saja, yaitu mengikut Yesus. Dalam mewujudkan tanggungjawab memuridkan semua bangsa tersebut, GKJW sejak cikal bakalnya sudah melaksanakannya. Lantas dalam kiprah selanjutnya, GKJW juga mendirikan sekolah dari tingkat TK sampai dengan SMA bahkan perguruan tinggi. Namun bukan sekolah dalam arti, memanfaatkan waktu luang, waktu senggang. Sekolah yang ada adalah sekolah yang merampas kegiatan pokok dan utama anak-anak untuk bermain, melihat, mengalami, memikirkan dan menerjemahkan yang didapat dari ibu, dari ayah dan lainnya.

Baca Juga:  Pelepasan dan Pelantikan Pengurus dan Pengawas YBPK GKJW

Pemuridan yang diteladankan oleh Yesus Anak Maryam kepada para murid sudah mandul. Sekolah-sekolah YBPK mengalami musim kering. Kering murid, kering guru, kering dana, kering sarana dan prasarana belajar mengajar. Kemandulan sedang terjadi di tengah semangat merdeka belajar dikumandangkan oleh pemerintah. Kekuatan pemuridan dengan kata kunci “mengikut Yesus” merupakan milik gereja itu, saat ini sudah ditempatkan di mana, kita tidak merasakan gemannya.

Memang pernah ada upaya menggagas Sekolah Menengah Atas Unggulan. Ada pemikiran untuk menyusun kurikulum muatan khusus yang dijiwai dengan Sabda Bahagia. Pada saat sosialisasi sudah banyak masukan dari warga Jemaat, sebaiknya bukan Sekolah Menengah Umum, tetapi Sekolah Kejuruan. Namun suara warga Jemaat sekalipun sampai ke pemegang kebijakan di GKJW ini namun dianggap sepi. Akhirnya, gagasan yang dengan biaya besar itu kandas, karena gagasan berbenturan dengan kebijakan pemerintah Jawa Timur yang mengedepankan pembangunan Sekolah Kejuruan. Dalam kasus ini timbul pertanyaan: “Masihkah GKJW itu gereja gerakan warga?”

Dalam bulan Mei ini ada Hari Pendidikan Nasional dan bagi GKJW ada hari Doa Syukur Yayasan Badan Pendidikan Kristen GKJW. Untuk membaca wajah YBPK, uraian dalam Benih yang Tumbuh 7 Greja Kristen Jawi Wetan, halaman 212, ada tertulis “Sama halnya dengan penilaian pada bagan-bagan lain, terlalu rumit untuk melakukannya, sebab terlalu variable (keadaan dan kemungkinan-kemungkinannya sangat beraneka ragam). Sehingga sulit pula untuk menariknya menuju ke suatu garis yang umum yang kira-kira berlaku untuk semua.” Sementara di halaman 213-214, disebutkan “Hal-hal yang sudah disebut di atas juga merupakan kesulitan dan semua itu harus tidak dilihat sebagai persoalan yang berdiri sendiri, tapi mempunyai kaitannya dengan apa yang hendak diuraikan berikut ini: Sebagaian besar sekolah-sekolah itu berada di desa dan entah karena tata nilai budaya (khususnya dalam hal memberi nilai pada bidang pendidikan), atau entah karena memang keadaan ekonomi, tapi kenyataannya sekolah-sekolah yang ada di desa itu kekurangan uang, baik untuk perawatan gedung, alat-alat perlengkapan maupun untuk jaminan hidup para gurunya.”

Data sekolah-sekolah yang dikelola YBPK GKJW tentu sudah banyak berubah dibandingkan data dalam Benih yang Tumbuh 7 Greja Kristen Jawi Wetan, bahkan mungkin sudah sangat berkurang. Bagaimana YBPK atau bahkan seluruh warga GKJW berusaha untuk membangun kembali sekolah-sekolah yang dikelolanya? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya menggunakan penjajagan seperti ketika mengajak pengurus komisi di jemaat menyusun program. Pengurus komisi harus berangkat dari asumsi jawaban atas pertanyaan: “Apakah tujuan Sekolah YBPK ada di GKJW, atau ada di sebuah Jemaat tertentu dimengerti oleh warga jemaat?” Jikalau warga GKJW tidak mengerti tujuan GKJW mendirikan sekolah, atau di Jemaat ada sekolah YBPK, pastilah warga tidak akan ada partisipasi.

Apalagi sebuah Sekolah pada saat ini adalah Badan Usaha, saya lebih senang menggunakan sebutan sekolah adalah industri. Pasar dari sekolah yang dikelola YBPK siapa?  Bagaimana Pengurus Yayasan dan pengajar di sekolah YBPK memasarkan sekolahnya, programnya? Jika sasarannya adalah warga Jemaat, apakah warga Jemaat paham benar akan program sekolah, dan memahami manfaat program sekolah? Dengan demikian warga Jemaat akan memilih sekolah YBPK daripada sekolah lain. Apalagi jika kembali ke pengertian sekolah adalah kegiatan waktu senggang dari kegiatan pokok dan utama anak-anak dan dipadukan dengan pamahaman mendidik, mengembangkan diri peserta didik dengan potensi-potensi  diri yang sudah ada, maka panggilan Tuhan Yesus “Ikutlah Aku” menjadi kenyataan.

Semoga segenap warga GKJW paham akan sekolah-sekolah YBPK dan memilihnya, memeliharanya dan menghidupinya.

Bambang Margono Katjung


Pengantar Ibadah Syukur YBPK tahun 2023 bisa diakses disini

Renungan Harian

Renungan Harian Anak