Ibadat Penghiburan

18 March 2009

Ibadat penghiburan 7, 40, 100 hari, dan seterusnya… Bolehkah?

Pertanyaan seperti di atas sering muncul di tengah-tengah kehidupan kita. Bagaimanakah kita harus memberikan jawaban. Dalam kesempatan ini kami akan sedikit memberi penjelasan tentang persoalan di atas.

  1. Tidak dapat dipungkiri kenyataan bahwa keluarga merupakan sebuah persekutuan yang sangat konkrit, yang di dalamnya terdapat hubungan batin yang erat, akrab, hangat, dan “tidak ada duanya!”. Suasana persekutuan hidup semacam itu tentulah menggoreskan pengalaman hidup bersama yang sangat mendalam, yang tidak mudah dilupakan. Apabila ada anggota keluarga yang dipanggil Tuhan adalah wajar dan manusiawi bila muncul perasaan kehilangan. Perasaan kehilangan ini tidak dapat hilang begitu saja.Dalam suasana seperti itu, keluarga yang sedang berduka sangat membutuhkan penghiburan dan penguatan. Secara gerejawi penguatan dan penghiburan untuk keluarga yang sedang berduka itu diwujudnyatakan dalam bentuk ibadat penghiburan. Ibadat penghiburan setidaknya memiliki tiga pokok, yaitu:
    a. Kesempatan bagi sesama warga jemaat untuk mewujudkan rasa saling menguatkan, saling menopang, dan saling menanggung beban kesusahan,
    b. Kesempatan untuk mengenang nilai-nilai positif dari saudara yang telah dipanggil Tuhan,
    c. Kesempatan untuk menghayati betapa terbatasnya kita selaku manusia. Ini sekaligus kesempatan bagi kita untuk merenung: betapa kita tidak berdaya di depan Tuhan!Mencermati makna pokok di atas, maka sebenarnya jelas bahwa ibadat penghiburan tidak perlu dihubungkan secara khusus dengan jumlah hari (7, 40, 100, dsr, hari).
  2. Kita sebagai orang-orang percaya telah memiliki (berada dalam) status yang baru di hadapan Tuhan. Status yang baru itu adalah sebagai anak-anak Allah. Status yang baru itu tidak berada di angan-angan, tetapi benar-benar kita rasakan dan kita hayati. Penghayatan sebagai anak-anak Allah itu amat terasa, misalnya dalam hal: kedekatan dengan Tuhan, keyakinan akan penyertaan dan janji Tuhan, kepastian akan janji keselamatan, dlsb. Perhatikan Surat I Petrus 2 : 9-10:”Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus umat kepunyaan Allah sendiri……kamu yang dahulu bukan umat Allah, tetapi yang sekarang telah menjadi umatNya….”Ringkasannya, kita adalah keluarga Allah, keluarga milik Allah. Kita sebagai bagian dari keluarga diperkenankan untuk menyebut Allah sebagai “Bapa”. Ungkapan “Bapa” jelas melukiskan adanya suasana kehangatan, keakraban, kedekatan hubungan antara orang percaya dengan Allah. Allah memang maha kuasa, tetapi Allah yang maha kuasa itu berkenan menghampiri kita. Pengakuan ini adalah salah satu keistimewaan iman kristen. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Hal itu terjadi karena inisiatif-kehendak-dari Allah sendiri. Kalau Allah tidak berinisiatif menghampiri manusia, maka nyaris mustahil manusia dapat mengenal Allah. Ilustrasi ini sederhana ini barangkali bisa membantu pemahaman kita. Kalau kita ingin menemui Presiden, pastilah sulit sekali, banyak aturannya. Bahkan setelah semua syarat kita penuhi belum tentu kita bisa diterima (misalnya karena sakit atau ada tamu penting, dsb). Sebaliknya, akan sangat mudah bagi Presiden untuk menemui kita. Tidak mungkin kita akan mengatakan kepada utusan Presiden sbb. “Kalau Presiden mau menemui saya, harus minta ijin dulu ke Pak RT, RW, Pak Lurah, dsb”. Tentu tidak dimaksudkan di sini untuk menyetarakan Presiden dengan Allah, sama sekali tidak. Hanya sekedar memudahkan pemahaman.
  3. Sekalipun kita berada dalam status yang baru yaitu sebagai keluarga Allah, namun kita tidak sedang hidup di tengah Taman Eden. Gereja/orang-orang percaya tidak pernah ditempatkan oleh Tuhan di ruang kosong! Dalam hal ini gereja/orang-orang percaya ditempatkan oleh Tuhan di bumi/masyarakat (budaya) Jawa. Di sinilah muncul pertanyaan, yaitu: Bagaimana kita/gereja/Injil harus bersikap terhadap dunia atau budaya setempat? Sikap ini bagaimanapun harus diambil, sebab tidak mungkin Injil tidak bersentuhan dengan kebudayaan. Bahkan di Injil Yohanes juga kita temukan ungkapan yang secara agak jelas menunjukkan bahwa orang percaya memang berada di dalam dunia, tetapi tidak berasal dari dunia. (pasal 15: 18 dst)
Baca Juga:  Ekospiritualitas

Sepanjang kehidupan gereja/orang percaya, ternyata ditemukan adanya berbagai macam sikap gereja terhadap kebudayaan. Barangkali pemikiran Richard Niebuhr – penulis buku Kristus dan kebudayaan – dapat membantu kita untuk lebih memahami masalah ini.

Richard Niebuhr menyampaikan bahwa setidaknya ada 5 (lima) macam sikap gereja (orang Kristen) terhadap kebudayaan. Lima sikap itu adalah:

  1. Injil dipandang bertentangan dengan kebudayaan. Artinya, menjadi orang percaya haruslah menentang kebudayaan, sebab kebudayaan akan menghambat tumbuhnya kesucian hati untuk dapat diterima Tuhan. Mereka menjalani hidup kekristenannya dengan cara mengasingkan diri, tinggal di tempat terpencil/bertapa, bahkan menyiksa tubuhnya sendiri. Dengan cara hidup seperti itu mereka beranggapan bahwa itulah cara hidup untuk menekankan kesucian di depan Tuhan. Prinsip hidup semacam itu pernah dijalani oleh orang-orang Kristen pada abad-abad pertama.
  2. Gereja dari/dalam Kebudayaan.
    Dalam pemahaman ini dihayati bahwa Kristus sendiri tidak menolak kebudayaan, bahkan sangat menghormatinya. Yesus Kristus dibesarkan dan tinggal di tengah kebudayaan Yahudi. Dalam sejarah gereja penghayatan semacam ini ditemukan khususnya pada kehidupan di dunia barat pada abad pertengahan. Pada waktu itu ada pemahaman bahwa kebudayaan barat adalah juga kebudayaan Kristen. Akibatnya, produk kebudayaan barat dianggap sebagai produk kekristenan.Catatan : Kita tentu ingat bahwa penyebaran kekristenan sangat agresif pada saat itu, termasuk masuknya kekristenan di Indonesia. Akibat yang masih sangat terasa sampai pada saat ini adalah kekristenan kita masih sangat berwarna barat. Contoh yang paling mudah adalah tentang Perayaan Natal. Setiap merayakan Natal kita tidak pernah lupa memasang Pohon Terang (pohon cemara dengan hiasan dan saljunya). Padahal keseharian kita sangat asing dengan salju. Pohon terang adalah produk budaya barat dalam mengungkapkan suka cita natal, dan itu cocok dengan iklim dan cuaca di Negara baratKita mengambil alih begitu saja tanpa mengkritisi apakah Natal dengan Pohon Terang itu cocok dengan budaya kita? Yang lebih memperihatinkan lagi adalah menganggap bahwa Pohon Terang adalah produk kebudayaan Kristen! Selama beberapa abad kita mengikuti tradisi kekristenan barat. Bahkan jaman dulu ada warga jemaat yang memprotes keras pada saat Pohon Terang akan diganti dengan janur. Kata pemrotes penggantian itu akan mencoreng kemurnian kekristenan. Secara tersirat protes itu sebenarnyta merupakan wujud sikap mengagungkan budaya barat bukan mengagungkan iman Kristen. Sebab Pohon Terang tidak terdapat di dalam Alkitab. Bahkan cerita tentang Natal halnya terdapat tidak lebih dari 4-5 pasal dari keseluruhan isi Alkitab.Di lingkup GKJW tentulah kita sangat mengenal nama J. Emde (yang sekarang makamnya ditempatkan di Sukun Malang). J. Emde meminta orang Jawa yang sudah dibaptis agar meninggalkan berbagai atribut kejawaan atau yang biasanya dipakai/digunakan (misalnya: sarung, peci, wayang, dsb). Dan diganti dengan baju, celana, sepatu, musik (barat). Mungkin pengaruh ajaran J. Emde inilah di gereja kita hanya mengenal alat musik organ/orgel, sedangkan alat-alat musik lainnya seperti gitar, seruling, kendang dlsb. Baru tahun-tahun terakhir ini saja dapat diterima oleh semua warga jemaat.
  3. Gereja /Injil berada di atas Kebudayaan.
    Dalam pandangan ini dipahami bahwa kebudayaan tidak perlu dimusuhi. Mengapa? Karena kebudayaan merupakan salah satu realisasi jatidiri manusia yang telah diberi akal budi oleh Allah. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa melalui kebudayaan manusia dapat mengenal tentang apa yang baik dan buruk (nilai-nilai hidup). Hanya saja nilai-nilai hidup yang ditawarkan oleh kebudayaan itu tidak mungkin mencapai pada pengenalan akan Allah yang sejati. Oleh karena itu kebudayaan membutuhkan tambahan, yaitu anugerah Allah (dalam hal itu: Yesus Kristus). Yesus Kristus memberi nilai plus pada kebudayaan.
  4. Gereja/Injil selalu pada posisi paradok dengan kebudayaan (Christ and culture is in paradox) Dalam pemahaman ini dihayati bahwa selama Injil berada di dunia, maka Injil/Gereja/orang percaya akan selalu berada dalam suasana pergumulan. Sederhananya sebagai berikut. Pada satu sisi percaya adalah anggota keluarga Allah, tetapi di sisi lain orang percaya masih banyak terikat oleh kebutuhan dan juga godaan dunia. Keadaan seperti ini sangat sulit kita hindari. Perhatikan gambar di samping ini.Gambar tersebut di atas menegaskan bahwa kondisi orang percaya selalu berada dalam ketegangan dengan dunia/kebudayaan. Hal yang perlu dilakukan dalam posisi seperti ini adalah upaya untuk selalu mengedepankan kehendak Tuhan supaya kita tetap dapat hidup dengan baik di dunia serta berkenan di hadapan Tuhan.
  5. Gereja-Injil memperbaharui kebudayaan.
    Dalam pemahaman ini dihayati bahwa kehadiran Injil di tengah dunia adalah untuk memperbaharui dunia-kebudayaan. Ada seorang teolog terkenal yakni Johanes Calvin yang mengungkapkan bahwa dengan kehadiran Kristus, maka kita dipanggil untuk menjadikan dunia sebagai panggung untuk memuliakan Allah (Theatrum gloriae Dei)Kebudayaan tidak perlu dimusuhi atau ditentang, melainkan kita bisa memberi makna baru pada suatu kebudayaan. Misalnya budaya “nyekar” ke kubur yang sudah akrab di tengah masyarakat kita. Kalau orang lain melakukan “nyekar” barangkali dengan tujuan agar mendapatkan pahala dari Tuhan, namun kita tidak. Kita dapat saja “nyekar” tetapi dengan makna yang baru. “Nyekar” ke kubur bisa kita maknai sebagai bentuk penghayatan kita bahwa kuburan itu ibarat “Taman”. Kubur bukan sebagai lambang kematian atau “berakhirnya” kehidupan seseorang, tetapi kuburan justru sebagai simbol kebangkitan/kehidupan yang indah. Perhatikan ungkapan Rasul Paulus “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Filipi 1 : 21)
Baca Juga:  Adven Adalah Masa Penantian

Demikian 5 macam sikap yang sepanjang sejarah gereja selalu bisa ditemukan. Pada hakekatnya tidak ada gereja atau pribadi orang percaya yang hanya berpegang teguh pada satu sikap. Sikap yang biasanya diambil adalah merupakan perpaduan antara 2 (dua) atau 3 (tiga) dari 5 sikap tersebut di atas.

Sekarang kembali ke persoalan pokok tentang ibadat penghiburan 7, 40 hari dst, kami ingin mengembalikan keputusan itu pada diri kita masing-masing. Hanya saja ada rambu-rambu sekedar untuk membantu dalam mengambil keputusan antara lain :

  • Apakah yang kita lakukan itu akan semakin membuat kita sejahtera lahir batin?
  • Apakah yang kita lakukan itu akan menjadi batu sandungan bagi sesama orang percaya?
  • Apakah yang kita lakukan itu semakin memperkuat iman dan memperdalam kerohanian kita?

Persoalan sebenarnya adalah bukan pada boleh atau tidak boleh, tetapi apakah yang kita lakukan itu akan membawa kita semakin menghayati karya Kristus atau tidak. Sehingga kalau ibadat penghiburan 7,40 hari dst, semakin membawa kita kepada penghayatan yang lebih mendalam tentang iman Kristen, mengapa tidak kita lakukan?! Sebaliknya, apabila ibadat semacam itu menggelisahkan iman-hati, mengapa kita harus melakukannya?

Kita ibaratkan diri kita bukan lagi kanak-kanak yang hanya bisa menerima masakan (jawaban) yang sudah jadi, tetapi sebagai orang dewasa yang dapat menggumuli sendiri imannya dan yang pada saatnya harus memutuskan sendiri apa yang harus kita lakukan. Perhatikan Surat Roma 12: 2:

“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna”.

Lho, kok Cuma begini? Iya memang, karena dalam iman Kristen memang tidak dikenal adanya hukum agama yang mengatur secara rinci kehidupan praktis orang Kristen. Hukum yang ada hanyalah HUKUM KASIH. Hal terpenting adalah kita mengerti dengan baik dasar/landasan dari sikap yang kita ambil.

Renungan Harian

Renungan Harian Anak