Suatu hari seorang koster di sebuah jemaat mengeluh kepada pendeta setempat. Katanya: “Pak pendeta, saya bingung. Pagi hari tadi, Pak Dadap datang untuk meminjam karpet yang dulu pernah dipersembahkannya. Katanya mau dipergunakan untuk hajatan mantu tetangga. Apakah hal itu diperbolehkan, pak pendeta?”
Pendeta hanya tersenyum, lalu bertanya, “Apakah sudah dipinjamkan?”
“Ya sudah pak pendeta. Pak Dadap tadi ke sini bawa Tosa. Dia langsung mengangkat tiga lembar karpet abu-abu persembahannya dulu. Makanya saya bingung. Apakah kalau seseorang mempersembahkan sesuatu ke gereja harus selalu dicatat ‘Ini persembahanku. Sewaktu-waktu boleh saya pinjam lagi,’ seakan persembahannya itu masih miliknya sendiri?”
“Kalau sudah dipinjamkan, mau diapakan?” kata pak pendeta.
***
Tindakan pak Dadap yang mempersembahkan beberapa lembar karpet dan kemudian meminjam kembali dengan hanya memberitahu koster dapat menjadi hal yang lumrah bagi banyak warga jemaat.
Greja Kristen Jawi Wetan adalah gereja gerakan warga. Tempat ibadah, rumah kapandhitan dengan segala kelengkapannya adalah usaha warga jemaat. Majelis Agung tidak pernah membelikan tanah, membangunkan tempat ibadah, pastori atau memberikan kendaraan kepada jemaat.
Demikian juga dahulu. Leluhur (cikal bakal) jemaat-jemaat GKJW membuka hutan lalu mempersembahkan tanah pekarangan untuk didirikan gedung gereja, pastori, kantor atau gedung pertemuan. Tempat pendidikan dan sawah tegal milik jemaat pun berasal dari persembahan.
Perbuatan para leluhur atau tindakan warga jemaat saat ini yang berusaha mengumpulkan dana untuk membeli tanah, membangun tempat ibadah dan memenuhi segala kebutuhan pelayanan jemaat pastilah, -disadari atau tidak-, disemangati oleh pemahaman: “Milikmulah seluruh hidupku”.
Leluhur atau cikal bakal jemaat mempersembahkan sawah dan tegal untuk digarap oleh warga yang tidak mempunyai tanah garapan atau oleh pendatang yang menjadi warga kristiani dan tidak mempunyai penghasilan. Para leluhur juga memikirkan saudara seiman untuk bisa hidup layak dan berpenghasilan selain selain memikirkan pekarangan untuk tempat ibadah dan pastori. Dan dari penghasilan menggarap tanah jemaat tersebut, warga juga mempersembahkan bagi Tuhan melalui jemaat.
“Milikmulah seluruh hidupku” merupakan terjemahan ungkapan bahasa Latin: “Tuus totus ego sum” yang disampaikan Paus Yohanes Paulus II mengutip Santo Louis de Montfort, “Tuus totus ego sum, et omnia mea tua sunt”(Aku adalah sepenuhnya milik-Mu, dan semua yang kupunya adalah milik-Mu”).
Menerangkan makna “Tuus totus ego sum”, Pdt. D. L. Sigilipoe, S.Th¹ mengatakan bahwa ‘ketika uang anda lepas dari tangan dan jatuh ke dalam kantung persembahan, maka seketika itulah anda kehilangan hak atas uang tersebut.’ Selanjutnya beliau mengatakan, ‘Hal ini lebih ditegaskan lagi ketika pelayan kebaktian menaikkan doa persembahan, jelas di saat itu bahwa uang yang sudah terkumpul tadi menjadi hak pihak lain, yaitu kepada siapa persembahan itu diberikan.’ Begitulah menurut Pdt. D.L.Sigilipoe, S,Th dalam “Dasar dari Seluruh Praktek Manajemen yang Dilakukan Gereja.” Tentu pemahaman ini juga berlaku untuk karpet, tegal sawah dan pekarangan yang dipersembahkan warga dan cikal bakal jemaat dahulu.
Majelis Jemaat sesuai dengan kewenangannya mengelola apa yang sudah dipersembahkan oleh warga jemaat. Misalnya pengelolaan sawah dan tegal. Jika tegal dan sawah dipergunakan untuk menolong warga yang kurang mampu sebagai pelayanan diakonia, maka yang harus ada ketegasan pengertian apa yang disebut “warga kurang mampu”. Jika warga miskin cukup banyak, sementara tegal sawah terbatas, katakanlah 20 bau (bahu – dari kata Belanda “bouw” berarti garapan). Maka akan ada 20 orang penggarap. Warga kurang mampu dapat secara bergilir menggarapnya, dengan ketentuan umum yang berlaku dalam masyarakat: “maro” (hasil dibagi dua) atau “mertelu” (dibagi tiga, sepertiga pemilik, dua pertiga penggarap).
Persembahan cikal bakal jemaat sudah menjadi milik Tuhan melalui jemaat tidak dapat disamakan dengan tanah bengkok yang dipergunakan oleh pemerintahan desa sebagai ganti upah jabatan. Karena tanah tegal sawah hanya 20 bahu, maka jumlah penatua dan diaken jemaat harus berjumlah 20 orang. Cara yang demikian sesungguhnya bukan semangat yang mendasari para cikal bakal jemaat ketika mempersembahkan tanah tegal sawahnya.
Pada era GKJW sekarang, Sidang Majelis Agung telah memberlakukan panyengkuyungan jemaat ke Majelis Agung sebesar 30% dari penerimaan (persembahan warga dan hasil tegal sawah). Masih banyak warga jemaat tidak mengerti untuk apa penyengkuyungan 30% tersebut. Akibatnya banyak warga berpendapat Majelis Agung “merampok” persembahan warga. Penjelasan kepada warga oleh Majelis Jemaat yang tepat kepada warga akan mendorong warga jemaat memiliki semangat “milikmulah seluruh hidupku”.
Seorang bendahara jemaat menjelaskan persembahan yang benar saat menyelenggarakan ucapan syukur. “Saudara semua, Tuhan Yesus telah bersabda: ‘Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.’”
Jelas mengasihi Tuhan yang pertama, dan mengasihi sesama ada dalam urutan kedua. Jika saudara mengucap syukur atas berkat Tuhan, maka ucapan syukur yang pertama-tama adalah kepada Tuhan. Maka jangan lupa persembahan syukur. Setelah itu saudara dapat mengucapkan syukur dengan menunjukkan kasih dengan mengadakan perjamuan, atau perbuatan baik lainnya.
Dalam pengertian bendahara jemaat itu, dapat dijelaskan bahwa jikalau warga mempersembahkan Rp 1.000, (seribu rupiah), maka Majelis Jemaat akan mengelola Rp.700 dengan semangat milikmulah seluruh hidupku. Rp 300 lainnya dipergunakan nyengkuyung (mendukung) Majelis Agung.
Untuk apa? Pertama untuk memberi pituwas (kompensasi/penghargaan) kepada para Pendeta, vikar dan untuk pegawai kantor Majelis Agung. Dana itu juga dipergunakan juga untuk mendukung persekutuan gerejawi antara lain Persekutuan Gereja-gereja Indonesia, Dewan Gereja Asia, atau Dewan Gereja Dunia. Juga untuk mendukung Universitas Kristen Duta Wacana dan Universitas Kristen Satya Wacana.
Selain dukungan-dukungan tersebut diatas, dana tersebut dipakai juga untuk membiayai seluruh program Majelis Agung melalui Badan-badan Pembantu Majelis Agung. Dana tersebut juga digunakan untuk memenuhi berbagai ketentuan yang berlaku di Republik Indonesia (misalnya: untuk membayar pajak, membayar asuransi tenaga kerja, dan lain sebagainya).
Kita semua harus berupaya agar persekutuan di lingkup Jemaat, Daerah maupun Majelis Agung dapat terus berjalan dengan baik. Jika warga mengasihi Tuhan Yesus melalui jemaat dan GKJW, pasti warga semakin ingin terlibat dalam pelayanan, bukan hanya di tingkat jemaat tetapi kegiatan pelayanan seluruh dunia, karena warga juga mempunyai semangat milikmulah seluruh hidupku.
—
¹: Pdt. D. L. Sigilipoe, S.Th., MANAJEMEN DI GEREJA KITA, dalam Konsultasi PHMA-PHMD 12-14 Maret 1993 di PPAG Malang.