Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) mengutus Pdt. Hardiyan Triasmoroadi untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh United Evangelical Mission (UEM) Asia: “Jewish-Christian Muslim (JCM) Conference” yang diadakan di hotel Shallom milik United Church of Christ di Filipina (UCCP), Manila, Filipina, dengan tema “Understanding and Standing up for the Discplaced.” Pada tanggal 5-12 Februari 2024.
Konferensi JCM di tahun 2024 kali ini diabdikan bagi para akademisi dan aktivis perwakilan gereja-gereja anggota UEM di wilayah Asia serta akademisi dari IAIN/UIN/Universitas Islam dan Universitas Kristen.
Secara umum kegiatan yang dilangsungkan dalam konferensi tersebut adalah dalam bentuk diskusi berkesinambungan dan dialog secara mendalam. Di sela-sela diskusi dan dialog, selain melakukan mindful walking, yang dipandu oleh Dr. Leonard Chrysostomos Ephafras dari Universitas Gajah Mada (UGM)/Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), United Christian Church of Philipine (UCCP) selaku panitia lokal juga mengajak partisipan untuk melakukan kunjungan ke sinagoge, masjid, gereja katedral, dan museum yang berada di sekitaran Manila.
Proses diskusi dan dialog dalam dilakukan melalui dua format yakni melalui kelompok kecil intra relijius (sesama Kristen) dan kelompok besar/pleno yang bersifat inter relijius (berbeda agama). Selain itu para peserta juga melakukan percakapan dan dialog melalui zoom meeting bersama perwakilan UEM Afrika dan Jerman, yang pada saat bersamaan juga menyelenggarakan kegiatan JCM di masing-masing area.
Ada dua pertanyaan pembimbing yang mendasari rangkaian proses diskusi, yakni: (1) Mengumpulkan pemahaman teologis mengenai pemaknaan akan rumah (home) dan apa artinya kembali ke rumah khususnya di tengah konteks ketercerabutan, dan (2) Bagaimana proses menyiapkan agen pembawa perdamaian (peace makers) di tengah konteks kekerasan dan peperangan.
Program JCM semula berawal di Jerman dalam rangka merespons konteks kebutuhan untuk membangun harmoni pasca genosida terhadap kaum Yahudi dan tragedy NAZI (lihat www.jcmconference.org). Dalam konferensi, para akademisi Asia menyoroti bahwa untuk konteks Asia dan Indonesia, program JCM perlu diperluas sehingga tidak sekadar mengundang partisipan yang berasal dari Jewish, Christian dan Muslim saja, melainkan juga dapat mengundang dan merengkuh keragaman agama dan penghayat kepercayaan lain, seperti misalnya Hindu, Budha, Konghucu, Kebatinan, Ahmadiyah, dan lain sebagainya.
Kesadaran multi-iman perlu digarap oleh gereja secara berkelanjutan. Secara praktis, dalam tataran intra-relijius, kesadaran multiiman perlu masuk dalam struktur kurikulum katekisasi jemaat. Di tengah konteks kekerasan berbasis agama (hostility), pemberlakuan teologi keramahan (hospitality theology) yang melampaui pola apologetika, dengan tanpa mengabaikan penguatan aspek keunikan doktrin kekristenan (Trinitas, Soteriology) perlu untuk secara berkelanjutan diperhatikan dan diprogramkan oleh gereja. Demikian pula dengan proses dialog kehidupan yang perlu secara konsktruktif dibangun gereja, misalnya melalui upaya berkelanjutan memfasilitasi jagongan multiiman, penguatan jejaring multiiman dalam kerja-kerja kemanusiaan di tengah isu kerusakan ekologi, bencana, penanggulangan kemiskinan, disabilitas, selain juga secara berkala patuwen dan kunjungan terhadap penganut agama yang berbeda.
Dalam proses diskusi, utusan GKJW mendapati bahwa para akademisi cenderung menggunakan pola Barat dalam mengelaborasi subyek, yakni dengan terlebih dulu memastikan definisi melalui pertanyaan “what?.” Padahal upaya mendefinisikan subyek tak bebas dari pretensi untuk membatasi, mengkotak-kotakkan, dan memagari. Mengingat bahwa dalam dialog multi-iman, setiap partisipan selalu diundang untuk mendengar perspektif berbeda yang melampaui pemahaman yang sebelumnya telah ia miliki, maka utusan GKJW menawarkan proses mendeskripsikan. Melalui proses mendeskripsikan yang melampaui kecenderungan untuk sekadar mendefinisikan realitas, partisipan akan dapat mencerap keragaman dan membincangkan best practices yang mengarah kepada dialog kehidupan dan dialog aksi (dialogue of life/dialogue of actions) yang tidak sekadar berkutat pada dialogue of understanding. Dalam bagian ini utusan GKJW sempat membagikan pengalaman programatis dan keterlibatan interfaith Majelis Agung GKJW.
Dalam dialog kelompok besar, khususnya pada bagian rencana aksi dan evaluasi, utusan GKJW berkesempatan menyampaikan beberapa poin yang kerapkali luput dilakukan dalam forum dialog multi-iman, yakni:
- Melibatkan anak/pemuda. Dialog multi-iman selama ini hanya dilakukan oleh kaum dewasa. Padahal anak dan pemuda adalah sosok penting yang dapat secara alamiah menjadi peace maker. Kedepan, keterlibatan anak/pemuda perlu untuk diperhatikan oleh UEM
- Melibatkan arts dan artist(seni dan seniman). Dialog multi-iman kerapkali dibangun dengan kerangka metodologis yang bersifat diskursif dan bersifat kognitif tanpa menyentuh aspek yang bersifat evokatif. Padahal seni adalah bahasa yang dapat menyatukan perbedaan. Sang Misteri yang melampaui batasan bahasa, dapat secara memadai kita artikulasikan melalui seni. Karena itu dialog multi-iman perlu mempertimbangkan keterlibatan seni dan para seniman.
- Live in. Dengan tinggal bersama mereka yang berbeda, kita dapat mengenal dan mengetahui secara mendalam. Metode live in yang digagas oleh GKJW melalui program SITI, SIKI, dan SILI merupakan experiential learning yang berharga dalam mentransformasi kesadaran dan memperkuat literasi multi-iman (multifaith literacy). Maka, untuk konteks Asia, UEM perlu mempertimbangkan pemberlakuan metode live in, misalnya: orang Kristen tinggal bersama di kompleks pesantren demikian sebaliknya.
Di akhir pertemuan, Pdt. Petrus Sugito selaku deputy UEM Asia mengungkapkan ketertarikan dan keinginannya untuk menjajagi kemungkinan GKJW untuk menjadi host/tuan rumah kegiatan international JCM meeting di tahun 2025, mengingat pengalaman GKJW yang dianggap memadai dan representatif dalam memfasilitasi proses dialog dan konferensi multi-iman di lingkup UEM Asia.