Minggu Palmarum
Stola Merah
Bacaan 1 : Yesaya 50 : 4 – 9a
Bacaan 2 : Filipi 2 : 5 – 11
Bacaan 3 : Matius 27 : 11 – 54
Tema Liturgis : Penyerahan Diri sebagai Wujud Ketaatan untuk Melakukan Kehendak Tuhan
Tema Khotbah: Cinta yang Utuh dan Sungguh
Penjelasan Teks Bacaan :
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
Yesaya 50 : 4 – 9a
Teks ini merupakan bagian dari Deutero-Yesaya[1] (Kitab Yesaya bagian yang kedua) yang menjadikan metafora “hamba TUHAN” (ebed YHWH) sebagai pusat pemberitaan. Latar belakang historis kitab ini adalah masa keemasan Yehuda yang berlangsung selama 35 tahun, namun berakhir tragis dengan kekalahan dari Babilonia di tahun 586 SM. Kekalahan ini menghancurkan pula keyakinan umat pada TUHAN. Mereka mengira bahwa TUHAN meninggalkan Yehuda dengan membiarkan mereka dikalahkan dan bahkan dibuang. Sejak penaklukan itulah, Yehuda sebagai bangsa terserak. Ada yang turut terbuang, namun ada pula rakyat yang tertinggal di tanah Yehuda. Menariknya, yang terbuang justru memiliki kesempatan lebih besar untuk mengakses perekonomian dan status sosial yang lebih baik, daripada mereka yang tertinggal di kampung halaman. Jadi, ada asimilasi alamiah yang terjadi di tanah pembuangan akibat perjumpaan di ranah sosial dan ekonomi kala itu. Masalahnya, kesejahteraan ekonomi Yehuda di tanah pembuangan ini harus dibayar dengan memudarnya identitas religius. Hubungan ekonomi-sosial mau tak mau berdampak pula pada identitas religius, dimana umat TUHAN juga turut terlibat dalam praktik pemujaan dewa-dewi sesembahan Babel. Dalam kondisi umat yang demikianlah, nabi dalam Deutero-Yesaya menyuarakan penghiburan dan mengumumkan pengharapan akan kelepasan dari penawanan Babel. Karena itulah sang nabi Deutero-Yesaya juga disebut sebagai Nabi Penghiburan.
Nabi Deutero-Yesaya mencoba mengokohkan kembali pondasi dasar kepercayaan umat dan memanggil kembali mereka ke dalam perjanjian TUHAN. Secara konsisten, sang nabi menggambarkan TUHAN yang akan merestorasi ciptaan yang rusak dan komunitas yang pecah dengan perantara hamba TUHAN (42:1-4; 49:6) yang akan mewujudkan perjanjian damai (54:10). Jadi, teologi Deutero-Yesaya menempatkan TUHAN sebagai pribadi superior yang berdaulat, sedang hamba TUHAN adalah perantara-Nya.
Psl 50:4-9a adalah nyanyian hamba TUHAN yang ketiga, dimana ia digambarkan ada dalam cengkeraman musuh yang memukul punggung, mencabut janggut, menghina dan juga meludahinya (ay.6). Ini bukanlah sekedar nyanyian ratapan pribadi, namun juga pengharapan bagi umat. Dalam penderitaan dan ketidakadilan yang dialami itulah justru TUHAN Allah menolong sehingga ia tidak mendapat malu (ay.7) dan Dia yang menyatakan aku benar telah dekat (ay.8). Karena itulah penderitaan dan ketidakadilan yang dialami hamba TUHAN merupakan bagian perutusan dalam menyampaikan penghiburan dan pengharapan. Pesan utama Yesaya dalam bagian ini adalah bagaimana hamba TUHAN bersedia merendahkan, memberikan dan mengosongkan dirinya untuk menyediakan penghiburan dan pengharapan bagi umat TUHAN yang lebih luas.
Filipi 2 : 5 – 11
Surat ini ditulis pada jemaat yang tinggal di kota yang sangat strategis secara geografis, Filipi. Kota Filipi didirikan oleh Filipus, ayah Aleksander Agung di tahun 368 SM. Kota ini terletak di sebuah lembah yang harus dilalui semua orang yang berlalu lalang antara Asia dan Eropa, kota ini memiliki mata air yang melimpah dan juga tersedia kandungan emas yang berkualitas. Selain kekayaan alam dan letaknya yang strategis, Filipi juga menjadi salah satu koloni Romawi yang sangat penting bagi pertahanan militer Kekaisaran Roma. Budaya, bahasa dan agama Romawi menjadi sangat utama di Filipi. Pentingnya kota mereka ini menjadikan para penduduk Filipi pongah, berkarakter keras kepala dan merasa diri lebih tinggi dibanding yang lainnya. Mereka bangga atas ke”romawi”annya dan menganggap bangsa lain lebih rendah.
Kepada komunitas kristiani yang tinggal dan beriman di kota penuh kesombongan inilah, surat Filipi ditujukan. Teks bacaan kita terasa sangat kontras dengan kepongahan masyarakat saat itu. Paulus menyajikan madah yang berisi gagasannya tentang karya penebusan yang dilakukan Yesus. Madah kristologi Paulus ini sangat mirip dengan pola nyanyian hamba TUHAN di Deutero-Yesaya. Paulus mengawali dengan menyebut Yesus yang ada dalam “rupa Allah” dan menempatkan Dia sebagai yang “setara dengan Allah” (ay.6). Kata Yunani yang dipilih Paulus untuk menyatakan “rupa Allah” adalah morphe Theou. Morphe berarti rupa yang secara hakiki tidak berubah. Jadi, menurut Paulus, rupa Yesus sebagai Allah adalah sesuatu yang hakiki, bahwa Dia pada dasarnya memiliki hakikat keilahian yang tidak dapat berubah. Di ayat selanjutnya, kata morphe kembali dipakai Paulus untuk menggambarkan Yesus yang mengosongkan dirinya (ekenosen) dan mengambil rupa seorang hamba (morphe doulou). Lagi-lagi Paulus menggambarkan Yesus yang hakikatnya adalah Allah, merendahkan hakikat DiriNya dan mengambil rupa hamba. Dari sini kita bisa melihat gagasan Paulus yang mengkontraskan hakikat rupa Allah yang dilepaskan Yesus dengan mengambil hakikat rupa seorang hamba. Dia yang benar-benar Allah itu, mengosongkan Diri untuk menjadi benar-benar manusia. Dia yang Maha Tinggi itu bersedia merendahkan Diri serendah-rendahnya, bahkan direndahkan sampai ke salib itu. Madah ini lalu diakhiri dengan pengakuan iman yang menjadi pusat berita injil: Yesus Kristus adalah Tuhan! (ay. 11).
Yesus seharusnya menjadi pusat hidup dan teladan bagi orang-orang yang percaya padaNya. Karena itulah Paulus menekankan bahwa orang percaya harus menaruh “pikiran dan perasaan dalam Kristus Yesus” (ay.5). Jadi kita mesti memikirkan apa yang Yesus pikirkan dan merasakan apa yang Yesus rasakan. Pilihan jalan hidupNya jelas : merendahkan diri serendah-rendahnya, kenosis. Jalan merendahkan diri ini adalah cara Allah untuk memberikan harapan pada manusia melalui Yesus. Dimana kemenangan didapat melalui penderitaan Sang Kristus. Jalan yang sama itulah yang harusnya kita pilih, bukan jalan mementingkan diri namun jalan merendahkan diri, bukan mengutamakan diri tapi mengutamakan yang lain (ay. 3-4).
Matius 27 : 11 – 54
Teks ini adalah bagian dalam proses birokrasi kematian Yesus. Setelah perkataan-Nya dianggap menghujat Allah, Yesus divonis mati oleh pengadilan di Mahkamah Agama. Namun Sanhedrin tidak memiliki kuasa untuk menghukum mati seseorang, ranah kekuasaannya hanya di bidang keagamaan. Karena itu, mereka membawa Yesus ke Pilatus sang wali negeri untuk mendapatkan legalitas penghukuman matiNya. Kali ini, Pilatus mempersoalkan tuduhan makar (ay.11), tuduhan yang jika terbukti pasti berujung pada hukuman mati. Kestabilan dan keamanan propinsi-propinsi taklukan adalah hal yang sangat penting bagi pemerintah Kekaisaran Romawi, karena itu mereka tidak menolerir bibit-bibit makar yang membahayakan kekuasaan mereka sekecil apapun.
Matius menyajikan proses interogasi itu mirip dengan gambaran hamba TUHAN di Yesaya yang diam saja saat mengalami penganiayaan dan penghinaan. Yesus pun tidak memberi jawab atas interogasi itu, meski bisa saja Dia membela Diri-Nya. Jalan kemenangan itu dimulai dengan tertutupnya mulut Yesus. Bahan khas Matius (tidak terdapat dalam injil-injil lainnya) disajikannya dalam narasi tentang pesan istri Pilatus (ay. 19), pembasuhan tangan lambang tak turut bersalah (ay. 24) dan rakyat yang menjawab “darah-Nya ditanggungkan atas kami dan anak-anak kami” (ay.25). Hal ini menunjukkan ideologi Matius yang ingin menyalahkan orang-orang Yahudi yang menjadi lawan komunitas Kristen pembaca asli Injilnya. Narasi adegan interogasi ini berakhir dengan mengalahnya Pilatus pada kehendak rakyat banyak yang menuntut Yesus dihukum mati, meski tak mendapati kesalahan pada-Nya. Pilatus bukannya tak berusaha membebaskan Yesus, ia sudah berusaha menukar Yesus dengan Barabas. Namun orang banyak (yun. laos) lebih memilih Barabas yang bebas dan memilihkan salib bagi Yesus. Sepanjang adegan yang memalukan itu, Yesus sama sekali tak bersuara. Nampaknya Dia paham betul bahwa penderitaan dan penghinaan yang diterima-Nya kala itu adalah jalan keselamatan bagi manusia yang dikasihi-Nya.
Benang Merah Tiga Bacaan :
Gambaran hamba TUHAN (ebed YHWH) dalam deutero-Yesaya menginspirasi Paulus dan Matius untuk mensistematisir Kristologinya, dengan mengidentifikasi siapa Yesus dan apa karyaNya. Tiga bacaan kita sepakat bahwa jalan kemenangan yang dipilih TUHAN dalam Kristus bukanlah jalan yang melalui peperangan bergelimang puja untuk meninggikan diri, namun justru perjalanan penuh derita dengan pengosongan diri. Oleh sebab itu, jalan kerendahan dan pengosongan diri ini perlu kita pilih juga. Bukan aku lagi, tapi TUHAN yang hidup di dalam aku.
RANCANGAN KHOTBAH : Bahasa Indonesia
(Ini hanya sebuah rancangan, silahkan dikembangkan sesuai konteks Jemaat)
CINTA YANG UTUH DAN SUNGGUH
Pendahuluan
Cinta, sering menjadi inspirasi bagi berbagai karya seni. Puisi adalah salah satu karya seni yang juga sering diinspirasi oleh cinta. Salah satu puisi cinta sederhana, tapi memiliki makna yang dalam adalah karya Sapardi Djoko Darmono, yang berjudul “Aku Ingin”. Puisi ini semakin terkenal karena dimusikalisasi untuk OST film Cinta dalam Sepotong Roti di awal tahun 90-an.
(Note: pengkhotbah bisa membacakan puisinya, namun juga bisa menyanyikannya atau memutar videonya di https://www.youtube.com/watch?v=8ppoCaHXhnk)
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya debu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Puisi ini menggambarkan ungkapan cinta yang dewasa, bukan rayuan gombal menye-menye yang bikin baper ala anak jaman sekarang seperti : “boleh dong aku minta foto kamu? Aku mau tunjukkin ke temenku kalo bidadari itu beneran ada” atau “tau gak bedanya kamu sama rumus fisika? Rumus fisika itu sulit dihapalin, kalo kamu sulit dilupain”.
Berbeda dengan rayuan-rayuan gombal macam itu, Sapardi dengan sangat jenius merangkai kata untuk menggambarkan cinta yang tulus dan agung. Setulus cinta kayu kepada api meski apilah yang menjadikannya seonggok abu, namun dalam abu itulah penyatuan sejati antara kayu dan api terjadi. Seagung awan yang meniadakan dirinya agar hujan yang dicintainya menjadi ada. Sebuah gambaran akan cinta yang utuh, cinta yang sungguh.
Isi
Ah…cinta macam itu tidak bisa tidak mengingatkan kita pada cinta kasih Tuhan dalam kehidupan kita, cinta-Nya yang tak bersyarat, cinta-Nya yang selalu utuh dan sungguh. Cinta macam inilah yang memberikan energi bagi Sang ebed YHWH yang digambarkan dalam Yesaya untuk terus menanggung penderitaan dan hinaan. Ia tahu bahwa apa yang ditanggungnya saat itu adalah konsekuensi logis dari perannya sebagai perantara antara TUHAN dengan umat yang dicintai-Nya. Penderitaan yang harus ditanggung Sang hamba TUHAN terkesan tak adil, karena ia tak bersalah sehingga layak untuk menerima derita sebagai penghukuman, namun sang hamba sadar benar jika penderitaannya merupakan sarana untuk memberikan pengharapan dan keselamatan bagi umat yang kehilangan iman. Bacaaan pertama kita hari ini menggambarkan bagaimana hamba TUHAN bersedia merendahkan, memberikan dan mengosongkan dirinya untuk menyediakan penghiburan dan pengharapan bagi umat TUHAN.
Sosok ebed YHWH dalam Yesaya inilah yang dipakai oleh Paulus (dan juga Matius dalam bacaan Injil kita) untuk mengidentifikasi siapa Yesus dalam iman kristen. Bagi jemaat yang hidup di tengah-tengah kepongahan Kota Filipi, Paulus justru memperkenalkan Yesus sebagai morphe Theou yang mengambil rupa sebagai morphe doulou. Dia yang hakikatnya adalah TUHAN yang Maha Tinggi mengambil hakikat terendah yang serendah-rendahnya. Bukan hanya sekedar menjadi manusia yang serba terbatas dan serba fana, namun Yesus juga bersedia menyerahkan diri-Nya dalam kerendahan kayu salib. Paulus kemudian menekankan bahwa orang percaya harus menaruh “pikiran dan perasaan dalam Kristus Yesus” (ay.5). Jadi kita mesti memikirkan apa yang Yesus pikirkan dan merasakan apa yang Yesus rasakan. Pilihan jalan hidupNya jelas : merendahkan diri serendah-rendahnya, kenosis. Jalan merendahkan diri ini adalah cara Allah untuk memberikan harapan pada manusia melalui Yesus. Dimana kemenangan didapat melalui penderitaan Sang Kristus. Jalan yang sama itulah yang harusnya kita pilih, bukan jalan mementingkan diri namun jalan merendahkan diri, bukan mengutamakan diri tapi mengutamakan yang lain (ay.3-4). Karena itulah, Yesus seharusnya menjadi pusat hidup dan teladan bagi orang-orang yang percaya padaNya.
Matius juga menggambarkan Yesus dengan cara yang mirip dengan ebed YHWH. Sepanjang menjalani pengadilan yang memalukan itu, Dia sama sekali tak membuka mulutNya. Meski memiliki kesempatan untuk membela Diri, Yesus tak melakukannya. Dia biarkan Pilatus larut dalam kebimbangannya, Dia biarkan para anggota Sanhedrin itu meluapkan kebenciannya dan Dia biarkan rakyat meneriakkan kematianNya. Yesus tahu benar inilah saatnya Dia benar-benar menjadi perantara cinta kasih Bapa pada umat-Nya. Jalan sengsara ini bukanlah kebetulan, tapi sebuah pilihan yang dengan sadar benar Dia putuskan. Jalan salib itu bukanlah kesialan atau nasib buruk yang tak disengaja, namun jalan pembuktian cinta Kristus pada Bapa-Nya dan juga pada kita.
Penutup
Cinta-Nya utuh dan sungguh bagi setiap kita. TUHAN tidak hanya mengucapkan cintaNya, namun Ia juga telah membuktikan. Bukan dengan jalan penuh tawa, tapi penuh derita. Jalan menuju Yerusalem itu bukanlah jalan penuh puja tapi penuh hina. Dia merendahkan Diri serendah-rendahnya, Dia mengosongkan Diri-Nya demi kita. Demi pernyataan cinta-Nya pada kita. Pertanyaan reflektifnya bagi kita di Minggu Palmarum, di hari sebelum kita memasuki peringatan Minggu Sengsara, apa respon kita terhadap pernyataan cinta kasih yang agung itu?
Ah… mari belajar mencintai-Nya dengan utuh dan mencintai sesama kita juga dengan sungguh. Tak perlu dengan cinta yang terlalu rumit, cinta sederhana saja. Sesederhana cinta api kepada kayu dan sesederhana ungkapan cinta awan kepada hujan. Selamat dicintai dan mencintai Kristus. Amin. (Rhe)
Pujian : KJ. 389 “Besarlah Kasih Bapaku”
—
RANCANGAN KHOTBAH: Basa Jawi
Pambuka
Asmara (sih katresnan) asring dados wangsit tumrap mawarni-warni pakaryan seni. Geguritan (puisi) dados salah satunggaling pakaryan seni ingkang asring dipun wangsiti dening asmara. Salah satunggaling geguritan asmara ingkang prasaja nanging ngemu teges ingkang lebet inggih punika anggitanipun Sapardi Djoko Darmono, mawi irah-irahan “Aku Ingin.” Geguritan punika saya kondhang karana dipun wuwuhi musik kangge OST film asmara wonten ing “Sepotong Roti” ing wiwitaning taun 90an. (prayogi kawaosna geguritan punika, utawi dipun pujekaken utawi dipun puteraken videonipun saking https://www.youtube.com/watch?v=8ppoCaHXhnk)
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya debu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Geguritan punika nggambaraken wujuding asmara ingkang diwasa, sanes rayuan gombal kados pratingkahipun lare jaman samangke, kados: “oleh ya aku njaluk fotomu? Arep tak tuduhne kancaku yen ta widadari iku pancen ana tenan” utawi “sampeyan ngerti ora bedane sampeyan karo rumus fisika? Rumus fisika iku angel diapalne, nek sampeyan angel dilalekne.”
Benten kaliyan rayuan gombal kados punika, Sapardi kanthi lantip ngramesi tembung kangge nggambaraken asmara ingkang tulus lan agung. Kados dene asmaranipun kajeng dhateng latu (geni) nadyan inggih latu punika ingkang murugaken kajeng dados awu, nanging inggih wonten ing awu punika kajeng lan latu nyatunggal saestu. Kados agunging mega ingkang nyuwungaken dhiri supados jawah ingkang dipun tresnani saestu kelampahan. Satunggaling asmara utawi sih katresnan ingkang wetah, sih katresnan ingkang tumemen.
Isi
Asmara kados makaten punika ngengetaken kita dhateng sih katresnanipun Gusti wonten pigesangan kita, sih katresnanipun ingkang boten mawi pitumbas (sarat), katresnan ingkang gilig lan tumemen. Sih katresnan ingkang kados makaten punika ingkang nuwuhaken daya tumrap abdinipun Yehuwah (ebed Yahweh) ingkang dipun gambaraken ing kitab nabi Yesaya kangge nanggel kasangsaran lan pamoyok. Ebed Yahweh punika pirsa bilih punapa ingkang dipun tanggel kala punika dados jalaran ingkang nalar saking lelabuhanipun minangka pantara antawisipun Gusti kaliyan umat ingkang dipun tresnani. Kasangsaran ingkang kedah dipun tanggel dening abdinipun Yehuwah punika karaos boten adil, karana Panjenenganipun boten lepat nanging kapatrapan paukuman. Nanging kang abdi punika saestu sadhar bilih kasangsaranipun dados sarana kangge maringaken pangajeng-ajeng lan karahayon tumrap umat ingkang kecalan kapitadosan. Waosan kapisan dinten punika nggambaraken kados pundi anggenipun abdining Yehuwah punika karsa ngasoraken dhiri, nyaosaken lan nyuwungaken dhiri kangge nyawisaken panglipur lan pangajeng-ajeng tumrap umatipun Gusti.
Priyantun abdinipun Yehuwah wonten ing kitab nabi Yesaya punika ingkang dipun agem dening Paulus lan Matius (ing waosan kita) kangge nedahaken sinten ta Gusti Yesus miturut iman Kristen. Tumrap pasamuwan Filipi ingkang gesang kanthi angkuh, Paulus malah nepangaken Gusti Yesus ingkang jumeneng Gusti ingkang arerupi abdi. Panjenenganipun ingkang sayektosipun Allah ingkang maha luhur nyandhang drajat ingkang asor saasor-asoripun. Boten namung dados manungsa ingkang sarwi winates, nanging Gusti Yesus karsa masrahaken dhiri dhateng asoring kajeng salib. Paulus lajeng nandhesaken bilih tiyang pitados kedah ngrasuk “panggalih lan raos wonten ing Sang Kristus Yesus” (ay. 5). Dados kita kedah menggalih punapa ingkang dipun galih dening Gusti Yesus lan ngraosaken punapa ingkang dipun raosaken dening Gusti Yesus. Margining gesang ingkang dipun piji cetha: inggih punika ngasoraken dhiri saasor-asoripun. Patrap ngasoraken dhiri punika marginipun Allah paring pangajeng-ajeng dhateng manungsa lumantar Gusti Yesus, lumantar kamenangan ingkang kagayuh srana kasangsaranipun Sang Kristus. Inggih margi ingkang makaten punika ingkang kedah kita pilih, sanes margi mentingaken dhiri pribadi, nanging ngasoraken dhiri, sanes nengenaken dhiri pribadi nanging nengenaken tiyang sanes (ay. 3-4). Ingkang punika, Gusti Yesus kedahipun dados punjering gesang lan patuladhan tumrap tiyang-tiyang ingkang pitados dhumateng Panjenenganipun.
Matius ugi nggambaraken Gusti Yesus kanthi cara ingkang memper kaliyan abdinipun Yehuwah. Sadanguning ngalami pangadilan ingkang mirangaken punika, Panjenenganipun babar pisan boten ngendikan. Sanadyan kagungan wewengan kangge mbelani dhiri, Gusti Yesus boten tumindak makaten. Panjenenganipun ngetogaken Pilatus kabidhung raos mangu-mangu, Panjenenganipun ngetogaken Majelis Sanhedrin ngluntakaken raos sengitipun, sarta Panjenenganipun ngetogaken para kawula sami nyurakaken kasedanipun. Gusti Yesus saestu pirsa bilih punika titi wancinipun nelakaken Dhiri nglantaraken sih katresnanipun Sang Rama dhateng umatipun. Margining kasangsaran punika sanes kleresan, nanging satunggaling pilihan ingkang dipun tetepi kanthi sadhar. Margining salib punika sanes nasib apes, nanging margi kagem mbuktekaken sih katresnanipun Sang Kristus dhumateng ingkang Rama lan dhateng kita.
Panutup
Sih katresnanipun Gusti saestu jangkep lan tumemen tumrap kita sadaya. Gusti boten namung ngucapaken sih katresnanipun, nanging Panjenenganipun ugi mbuktekaken. Boten mawi margi gegujengan, nanging kebak kasangsaran. Margi ingkang tumuju dhateng Yerusalem punika sanes margi ingkang kebak pangalembana, nanging kebak pangina. Panjenenganipun ngasoraken dhiri saasor-asoripun, sarta nyuwungaken dhiri kagem kita, kagem mujudaken sih katresnanipun dhateng kita. Pitakenan kangge kita ing Minggu Palmarum, dinten saderengipun lumebet ing Minggu Sangsara punika, punapa wangsulan kita tumrap wujuding sih katresnanipun ingkang agung punika?
Sumangga nggladhi dhiri nresnani Gusti kanthi gilig lan nresnani sesami kanthi tumemen. Boten prelu kanthi sih katresnan ing rumit, nanging ingkang prasaja kemawon. Kados prasajaning katresnanipun kajeng dhateng latu lan prasaja kados wujuding kasamaranipun mega dhateng jawah. Sugeng den tresnani lan nresnani Sang Kristus. Amin. [terj. st]
Pamuji : KPJ. 68 “Allah Maasih”
Catatan Kaki:
[1] Kitab Yesaya yang kita kenal sekarang sebenarnya terdiri dari 3 kitab berbeda yang memiliki perbedaan latar belakang historis yang siginifikan. Pasal 1-39 disebut sebagai Proto-Yesaya, bagian pertama ini ditujukan kepada Yehuda yang sedang ada di bawah ancaman Asyur. Pasal 40-55 adalah Deutero-Yesaya, yang berlatar belakang masa pembuangan Yehuda di Babel.