Minggu Transfigurasi
Stola Putih
Bacaan 1 : Keluaran 24 : 12 – 18
Bacaan 2 : 2 Petrus 1 : 16 – 21
Bacaan 3 : Matius 17: 1 – 9
Tema Liturgis : Kesetiaan kepada Kristus Menuntun pada Hidup Kudus
Tema Khotbah: Dimuliakan Allah karena Setia, Kudus dan Rendah Hati
Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
Keluaran 24 : 12 – 18
Teks ini memperlihatkan prinsip pendelegasian yang dilakukan Musa berdasarkan perintah Tuhan. Ada aturan dalam bentuk hukum dan perintah. Aturan itu jelas, sederhana dan tertulis. Lalu diberikan oleh Tuhan kepada Musa, sekaligus untuk diajarkan kepada bangsa Israel (12). Sebelumnya, Tuhan mengatur orang-orang yang mewakili umat dalam rangka ratifikasi (pengesahan uu) perjanjian (Kel. 24:1,9). Di sini, Musa mengajak Yosua menemaninya ke puncak Sinai. Kepada Harun dan Hur, Musa mendelegasikan tugas dan otoritas untuk mengawasi bangsa Irsael (14).
Yosua rupanya sedang dipersiapkan oleh Tuhan menjadi pemimpin yang akan menggantikan Musa. Yosua telah membantu Musa dalam perang (Kel. 17:8-16) dan sekarang ia membantu Musa dalam hal rohani. Harun dan Hur juga merupakan orang-orang yang membantu Musa ketika berdoa (Kel. 17:10-13). Walau akhirnya baik Harun maupun Hur tidak melakukan pekerjaannya dengan baik dalam mengawasi bangsa Israel (lihat pasal 32).
Hal menarik yang kita dapat amati dalam pendelegasian dan koordinasi dalam urutan konteks cerita ini, berujung pada tampak-Nya kemuliaan Tuhan dan Musa yang tak tampak lagi karena tertutup oleh awan (17, 18). Sehingga pelajaran yang sangat ditekankan dari pendelegasian dan koordinasi ini adalah kepemimpinan dan kehadiran Tuhan dalam kemuliaan-Nya. Tuhan memakai hukum dan perintah beserta orang-orang yang dipilih-Nya agar mengarahkan diri kepada Tuhan. Ini jadi peringatan bagi kita agar apa pun posisi, status, kemampuan dan pengalaman kita, seharusnya berada dalam rangkaian pendelegasian dan koordinasi yang diberikan Tuhan dan memiliki tujuan bagi hormat dan kemuliaan-Nya.
2 Petrus 1 : 16 – 21
Surat Rasul Petrus yang kedua ini ditulis untuk menghadapi dan melawan berbagai ajaran, keyakinan serta perbuatan yang mengancam gereja, yang dapat merusak etika dan iman Kristen pada waktu itu. Sang penulis nampaknya berhadapan dengan orang-orang tertentu yang sedang berupaya untuk memutarbalikkan isi Alkitab dan menafsirkannya sesuai kehendaknya sendiri. Maka dengan ketegasan sang penulis menyatakan diri “kami adalah saksi mata dari kebesaran-Nya” untuk melawan upaya-upaya jahat dari orang-orang tersebut.
Sang Penulis menjelaskan dan berusaha meyakinkan mengenai “kuasa dan kedatangan Tuhan Yesus Kristus sebagai Raja”. Yang dimaksud kedatangan Tuhan kedua kali atau yang biasa dikenal dengan istilah Hari Tuhan/ hari penghakiman. Oleh karena pemaknaan hari Tuhan yang dipahami secara harafiah (jelas waktu dan tempatnya), maka banyak orang percaya yang berpikir bahwa hari Tuhan itu hanyalah isapan jempol belaka, kemudian beberapa di antara mereka menjadi ragu akan datangnya Hari Tuhan itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh para penyesat untuk mempengaruhi dan mengajar mereka-mereka yang mulai kendor untuk tidak lagi mempercayai Tuhan Yesus sebagai hakim yang akan datang pada saatnya nanti.
Dalam rangka meyakinkan Jemaat, Sang Penulis pertama-tama menegaskan bahwa berita yang disampaikannya tentang Yesus Kristus dan kemuliaan-Nya itu bukanlah dongeng isapan jempol atau mitos-mitos kosong, melainkan sungguh-sungguh didasari oleh pengalaman nyata dari peristiwa yang benar-benar terjadi dan disaksikan secara langsung. Dengan mengungkapkan semua itu, Sang Penulis berharap bahwa keadaan Jemaat yang mulai meragu akan kebesaran kuasa Tuhan, maka mereka akan kembali kepada Tuhan. Ditekankan juga, bahwa penulis meminta orang percaya kembali memperhatikan nubuat para nabi, karena apa yang disampaikan para nabi adalah pernyataan Allah, oleh dorongan Roh Kudus. Ajaran-ajaran atau nubuatan dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri.
Matius 17 : 1 – 9
Teks ini biasa dikenal sebagai peristiwa transfigurasi Yesus. Transfigurasi berasal dari kata “transfiguration” yang berarti: (1) a change in form or appearance, atau (2) an exalting, glorifying, or spiritual change, yang diterjemahkan bebas menjadi perubahan dalam bentuk atau penampakan berkaitan dengan meninggalkan, memuliakan, atau perubahan spiritual. Peristiwa transfigurasi menjadi penanda transisi dari pelayanan Yesus dengan mengajar dan melakukan penyembuhan di Galilea, menuju pelayanan pengorbanan di Yerusalem.
Menghayati peristiwa Transfigurasi ini, mari kita kembali mempelajari salah satu fase kehidupan Yesus yang penting tetapi kadangkala diabaikan banyak orang. Yang dimaksud transfigurasi adalah momen ketika Yesus berubah menjadi figur lain yang penuh kemuliaan di depan Petrus, Yakobus, dan Yohanes. Peristiwa ini dicatat dalam Matius 17:1-8, Markus 9:2-8, dan Lukas 9:28-36.
Apa signifikansi peristiwa transfigurasi? Mengapa Yesus perlu menyatakan diri seperti ini? Ada beberapa petunjuk yang diberikan dalam teks tentang tujuan transfigurasi. Tidak lain, melalui peristiwa transfigurasi ini, Allah ingin menunjukkan bahwa Yesus adalah Mesias yang dijanjikan. Dari sekian banyak tokoh Perjanjian Lama, hanya dua tokoh yang muncul dalam peristiwa transfigurasi, yaitu Musa dan Elia. Mengapa dua tokoh ini muncul? Hal tersebut nampaknya terjadi karena kehadiran Musa dan Elia sebagai konfirmasi kedatangan Mesias. Tuhan pernah berjanji bahwa Dia akan membangkitkan seorang nabi di akhir zaman yang sama seperti Musa (Ul. 18:15, 18). Dalam perkembangan selanjutnya, janji ini dipahami sebagai salah satu nubuat tentang datangnya Mesias. Kedatangan Mesias sendiri di tempat lain dinubuatkan akan didahului dengan Elia akhir zaman (Mal. 3:1; 4:5-6). Yang dimaksud Elia yang akan datang ini adalah Yohanes Pembaptis (Mat. 17:10-13; bdk. Mat. 11:10-14; Luk. 1:17).
Hal yang perlu menjadi perhatian adalah makna dari kisah transfigurasi ini, bahwa Yesus adalah Mesias yang menderita sekaligus mulia. Sebelum peristiwa ini Yesus sudah menubuatkan bahwa Dia harus menderita di Yerusalem (Mat. 16:21). Berita ini sulit dimengerti oleh murid-murid sehingga mereka menolak ide tentang Mesias yang menderita (Mat. 16:22-23). Dalam konteks seperti inilah Yesus menunjukkan diriNya yang sebenarnya di depan murid-murid. Lukas bahkan secara khusus mencatat isi pembicaraan Yesus dengan Musa dan Elia, yaitu seputar penderitaan di Yerusalem (Luk. 9:31). Transfigurasi mengajarkan bahwa penderitaan dan kehinaan yang dilalui Yesus tidak meniadakan kemuliaan-Nya. Sebaliknya, hal itu justru merupakan jalan ke arah kemuliaan.
Benang Merah Tiga Bacaan:
Ketiga bacaan berbicara dalam tema yang serupa, yaitu berkaitan dengan Kesetiaan, Kemuliaan, dan Kerendahan hati. Kita diajak untuk melihat sikap dan tindakan Musa yang tidak serta merta mengukuhkan kepemimpinannya sebagai kepemimpinan yang tunggal, mutlak, dan abadi. Musa yang walaupun dipenuhi dengan karunia Allah, Musa tetap saja menyadari keberadaan dirinya hanya sebatas manusia biasa yang mengabdi. Oleh sebab itulah Musa dalam melaksanakan tugas panggilannya berkenan berkoordinasi dengan rekan-rekannya Harun dan Hur, bahkan secara rendah hati mengakui bahwa kepemimpinannya tidaklah abadi dengan mempersiapkan Yosua sebagai calon pengganti Musa. Demikian pula dengan apa yang telah dijalani oleh Tuhan Yesus dalam peristiwa transfigurasi. Tuhan Yesus, melalui peristiwa transfigurasi itu memang terasa sekali sedang dikukuhkan menjadi orang yang dimuliakan oleh Allah, bahkan kesannya melebihi Musa dan Elia sendiri. Akan tetapi konsep kemuliaan menurut Allah yang terjadi dalam diri Yesus bukanlah kemuliaan dalam arti kedudukan, tahta, maupun kuasa, melainkan penderitaan dan pengorbanan bagi orang lain. Peristiwa itulah yang disaksikan secara langsung oleh para murid dan hendaknya menjadi pelajaran bagi setiap pengikut Kristus untuk meneladani sikap baik Musa maupun Tuhan Yesus. Seperti peringatan yang disampaikan oleh penulis Surat II Petrus agar jangan sampai kita menggunakan kesempatan untuk mencuri kemuliaan Tuhan dengan menafsirkan ajaran-ajaran atau nubuatan dalam Kitab Suci menurut kehendak sendiri. Kita harus tetap memperhatikan nubuat para nabi, karena apa yang disampaikan para nabi adalah pernyataan Allah oleh dorongan Roh Kudus.
RANCANGAN KHOTBAH : Bahasa Indonesia
(Ini hanya sebuah rancangan, silahkan dikembangkan sesuai konteks Jemaat)
Pendahuluan
Ada sebuah ungkapan yang pernah disampaikan oleh seorang budayawan masa kini, Sujiwo Tedjo: “Jangan sengaja pergi agar dicari, jangan sengaja lari biar dikejar, berjuang tidak sebercanda itu. Jangan baru mencari saat sudah terlanjur pergi, jangan baru mengejar saat sudah jauh berlari, menunggu tak seasyik itu”. Ungkapan ini disampaikan oleh Sujiwo Tedjo dalam konteks kehidupan asmara atau percintaan, dapat juga dikaitkan dalam kehidupan secara umum berkaitan dengan perjuangan dan masalah penantian seseorang. Namun, pada konteks ini, kita bisa memaknai ungkapan Sujiwo Tedjo ini berkaitan dengan kehidupan iman, dunia pelayanan dan kesetiaan kepada Tuhan.
Barangkali kita pernah menemukan realitas adanya seseorang atau pelayan yang memiliki dasar kesetiaan dan hidup kudus pada dasar kesombongan serta mencari kemuliaan diri sendiri di hadapan Tuhan. Hal itu biasanya dinampakkan dalam sikap bergantungnya kesetiaan dan kekudusannya itu pada pengakuan serta penghargaan yang diberikan orang lain. Apabila dalam kesetiaan dan kerja pelayanannya ada orang yang memperhatikan atau bahkan memberikan sanjungan serta penghargaan (apresiasi), maka dengan penuh tanggung jawab dan kerja keras orang-orang seperti ini melakukan tugas tanggung jawabnya itu – bahkan tanpa upah sekalipun. Sesekali mereka sengaja pergi agar dicari, sengaja lari biar dikejar untuk melakukan sebuah test case/uji coba apakah keberadaannya dihargai atau tidak. Namun sebaliknya, mereka akan sangat enggan atau bahkan anti hidup kudus dan setia pada pekerjaan-pekerjaan mereka apabila tidak ada seorangpun yang memperhatikan apalagi menyanjung atau menghargainya. Karena mereka setia dan hidup kudus bukan didasari oleh kerendahan hati atau demi kemuliaan Tuhan, tetapi didasari oleh kesombongan dan mencari kemuliaan diri sendiri.
Sikap lain yang muncul merupakan kelanjutan dari seseorang yang setia dan hidup kudus, namun karena kesombongan serta keinginan untuk mencari kemuliaan diri sendiri maka tidak ada kerendahan hati untuk mengapresiasi kinerja, kebaikan dan berbagi tugas pekerjaan dengan orang lain (pendelegasian). Segala sesuatu dikerjakan seorang diri, merasa tidak percaya kepada orang lain dan kuatir akan prestasi yang sudah dicapainya hilang begitu saja. Setelah menemui kelemahan diri sehingga tidak mampu mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya seorang diri, barulah dia menyadari akan arti kehadiran orang lain (baru mencari saat sudah terlanjur pergi, baru mengejar saat sudah jauh berlari).
Isi
Kita bisa belajar dari bacaan pertama kita pada hari ini yang bercerita tentang pemberian kesepuluh hukum TUHAN dalam rupa dua Loh Batu melalui Musa bagi bangsa Israel. Menarik bahwa pada saat Musa dipanggil oleh TUHAN untuk naik ke gunung Sinai, Musa secara sengaja mengajak Yosua untuk turut serta mendampinginya. Yosua diajak oleh Musa, sebab Musa menyadari bahwa keterbatasannya sebagai manusia biasa akan membuat Musa tidak dapat lagi mengerjakan tugas panggilan TUHAN selamanya. Dia membutuhkan partner dan penerus untuk dapat memimpin bangsa Israel, yaitu Yosua. Menarik pula ketika kita mendapati bahwa pemikiran dan upaya pendelegasian Musa tidak hanya untuk jangka panjang, secara jangka pendek pun Musa meminta kepada Harun dan Hur untuk sementara waktu menggantikan tugas panggilannya dalam memimpin bangsa Israel. Musa tidak serta merta mengambil keuntungan untuk diri sendiri pemberian kemuliaan TUHAN terhadapnya, sekalipun kemuliaan itu sangatlah megah dan dahsyat adanya (ayat 17: “Tampaknya kemuliaan TUHAN sebagai api yang menghanguskan …”)
Demikian juga apabila kita belajar dari sikap Tuhan Yesus ketika mengalami peristiwa dimuliakan di atas gunung. Ketika identitas Yesus dinyatakan dalam transfigurasi, hal itu tentu bukan tanpa alasan. Kisah ini bukan sekadar pamer kemuliaan atau aktualisasi diri yang tidak berguna. Ada hal-hal tertentu yang diharapkan sebagai respons dari murid-murid dan kita:
Pertama, kita tidak perlu takut menderita karena ada kemuliaan yang menyertai kita. Transfigurasi merupakan penggenapan dari ucapan Yesus bahwa di antara murid-murid-Nya ada yang tidak akan mati sebelum melihat Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya sebagai raja (Mat. 16:28). Kemuliaan Anak Manusia ini sendiri sangat berkaitan dengan ayat 27 tentang kedatangan Anak Manusia di akhir zaman untuk menghakimi semua orang. Jadi, transfigurasi harus dilihat sebagai “cicipan” dari apa yang akan terjadi di akhir zaman, yaitu kedatangan Yesus dalam kemuliaan-Nya yang agung. Demikian pula dengan kita, walaupun Yesus belum datang dalam kemuliaanNya yang agung di akhir zaman, namun Dia telah memberi bukti tentang hal itu melalui transfigurasi. Yesus telah memberi kepastian kepada murid-muridNya dan kita semua, karena kita cenderung “menikmati” dunia ini dan begitu terpikat kepadanya. Kita lupa bahwa hidup kita harus diarahkan pada kemuliaan kekal. Orientasi hidup seperti ini akan memampukan kita untuk berani menderita bagi Kristus selama di dunia.
Kedua, kita menghargai kehadiran Yesus dalam kemuliaan-Nya. Ketika murid-murid melihat kemuliaan Yesus, mereka (utamanya Petrus) langsung merespons dengan perkataan “betapa bahagianya kami berada di tempat ini”. (Mat. 17:4a). Mereka bahkan ingin mendirikan kemah bagi Yesus, Musa, dan Elia supaya kehadiran mereka bertiga dalam kemuliaan lebih permanen (Mat. 17:4b), maka hal itu semakin memperjelas maksud murid-murid: bahwa mereka ingin agar ketiga tokoh tersebut tinggal dalam konteks ibadah, sama seperti kehadiran Allah di Bait Allah. Bagaimanapun, kita harus memahami dengan benar bentuk kesalahan dalam ucapan Petrus. Kesalahan ini bukan terletak pada keinginan Petrus untuk terus menerus bersekutu dengan Yesus dalam kemuliaanNya. Kesalahan Petrus adalah dia tidak mengetahui bahwa kemuliaan itu harus dinikmati dengan cara turun gunung dan berjalan menuju Yerusalem (bdk. Mat 16:21), bukan tetap “di sini” (di gunung).
Ketiga, kita menghormati kemuliaan Yesus dengan cara menaati Dia. Transfigurasi merupakan konfirmasi dari pihak Allah bahwa Yesus benar-benar adalah Mesias yang menderita. Hal ini perlu dilakukan oleh Allah untuk memperjelas kesalahan murid-murid. Mereka tersungkur bukan karena awan yang terang; mereka tersungkur karena Bapa menegur mereka. Sebelumnya mereka mencoba mengatur Yesus dan menghalangi perjalanan Yesus menuju salib (Mat. 16:22-23). Dalam transfigurasi, Bapa menegur mereka dengan sangat keras bahwa merekalah yang harus mendengarkan Yesus, bukan sebaliknya! Mereka harus menerima dan menaati apa yang Yesus sampaikan, bukan keinginan hati mereka sendiri. Kegentaran murid-murid dinyatakan secara jelas oleh Matius. Mereka langsung tersungkur (ay. 6a). Dalam teks Yunani, tertulis demikian: “epesan epi proswpon” yang secara harfiah artinya “menelungkupkan wajah ke tanah”. Mereka juga sangat ketakutan dan terus-menerus berada dalam posisi dan keadaan seperti ini sampai Yesus menyentuh dan menghibur mereka (ay. 7). Semua kegentaran ini tentu tidak akan ada artinya kalau mereka tidak mendengarkan Yesus.
Penutup
Oleh karena kemurahan Tuhan kita dipanggil untuk menjadi umat-Nya, bahkan menjadi pelayan-Nya. Itu bukan karena kebisaan atau kemampuan kita. Sama seperti Musa dan Yesus yang tidak menyalahartikan dan mempergunakan kemuliaan yang ada pada dirinya untuk kesombongan pribadi. Mereka justru mau dengan setia dan rendah hati menjalani tugas panggilannya, bahkan sampai menderita, demi kemuliaan nama Tuhan sendiri. Seperti peringatan yang disampaikan oleh penulis Surat II Petrus agar jangan sampai kita menggunakan kesempatan untuk mencuri kemuliaan Tuhan dengan menafsirkan ajaran-ajaran atau nubuatan dalam Kitab Suci menurut kehendak sendiri. Kita harus tetap memperhatikan nubuat para nabi, karena apa yang disampaikan para nabi adalah pernyataan Allah, oleh dorongan Roh Kudus. Mari kita tetap setia kepada Tuhan, berbagi peran dengan orang lain, senantiasa rendah hati dalam panggilan, dan senantiasa hidup dalam kekudusan. Amin. (YEP).
Pujian : KJ. 161 “Segala Kemuliaan”
—
RANCANGAN KHOTBAH : Basa Jawi
Pambuka
Wonten salah satunggal pitembungan ingkang nate dipun luntakaken dening budayawan sakmangke, ingkang naminipun Sujiwo Tedjo: “Aja sangaja lunga supaya digoleki, aja sangaja mlayu supaya diuber, merjuang ora padha kayadene guyonan. Aja lagi nggoleki yen wus kadhung lunga, aja lagi nguber yen wes mlayu adoh, ngenteni ora krasa kepenak kaya ngana kuwi”. Pitembungan punika dipun lairaken dening Sujiwo Tedjo ing satengah-tengahing perkawis katresnan, ugi saged dipun gegayutaken kaliyan pigesangan limrahipun sesambetan kaliyan merjuang utawi sikep ngrerantos tiyang sanes. Ananging wonten ngriki, kita ugi saged nggalih bab pitembungan Sujiwo Tedjo punika gegayutan kaliyan gesang iman ndherek Gusti, peladosan, lan ugi kasetyan dhumateng Gusti Allah.
Menawi kita nate manggihi kasunyatan, wontenipun tiyang utawi pelados ingkang anggenipun setya lan nglampahi gesang sucinipun dipun dhasari kanthi raos jumawa lan anamung pados kamulyan dhiri wonten ngarsanipun Gusti. Perangan kados mekaten dipun wujudaken klayan sikep setya lan gesang suci gumantung saking pengaken lan pangalembana tiyang sanes. Bilih ing salebeting kasetyan lan peladosanipun wonten tiyang-tiyang ingkang nggatosaken langkung-langkung paring pangalembana (apresiasi), tiyang punika kanthi raos tanggel jawab lan sregep nindhakaken lampahing gesang suci sarta peladosanipun – senaosna tanpa upah. Kadangkala tiyang-tiyang kados mekaten sangaja medal supados dipun padosi, sangaja mlajeng supados dipun oyak, kanthi tujuan namung kepengin nggodha lan mbuktekake piyambakipun dipun kersakaken punapa mboten. Ananging kosok-wangsulanipun tiyang-tiyang punika mboten purun nglampahi gesang suci lan setya ing tugas tanggel jawabipun bilih boten wonten tiyang sanes ingkang nggatosaken punapa malih paring pangalembana. Awit tiyang-tiyang kados punika anggenipun nglampahi kasetyan lan gesang suci boten dipun dhasari raos andhap asor utawi kagem kamulyanipun Gusti, namung kadhasaran sikep jumawa lan pados kamulyanipun pribadi.
Sikep sanes ingkang kalair, ingkang dados gandhengcenengipun kaliyan perkawis tiyang ingkang setya lan nglampahi gesang suci namung kadhasaran jumawa sarta namung pados kamulyanipun dhiri punika, saged dipun tingali saking mboten purunipun tiyang punika paring pangalembana (apresiasi) tumrap pedamelan, kasaenan, lan andum pedamelan kaliyan tiyang sanes (nindhakaken pendelegasian). Sadhengah perkawis dipun tindhakaken piyambakan, mboten nggadahi raos pitados dhateng tiyang sanes, lan ugi kuwatos bilih prestasi-nipun ical. Lajeng saksampunipun manggihi kekiranganipun temah mboten saged nindhakaken tugas lan tanggel jawabipun malih, lajeng tiyang punika sadhar kaliyan kawontenan tiyang sanes (lagi nggoleki yen wus kadhung lunga, lagi nguber yen wes mlayu adoh).
Isi
Kita saged sinau saking waosan ingkang sapisan ing dinten punika, ingkang nyariosaken bab sadasa angger-angger ingkang dipun paringaken dhateng Nabi Musa arupi papan watu kagem bangsa Israel. Ingkang dados kawigatosan, nalika Musa dipun tmbali dening Gusti minggah dhateng redi Sinai, Nabi Musa sacara sangaja ngajak Yosua supados tumut ngrencangi. Yosua dipun ajak dening Nabi Musa, karana piyambakipun sadar bab karingkihan badanipun sacara kamanungsan ingkang ndadosaken Nabi Musa mboten saged malih nindhakaken tugas timbalanipun Gusti ing selaminipun. Nabi Musa mbetahaken rencang damel lan tiyang ingkang saged dados penerus kangge paring panuntun dateng bangsa Israel, inggih punika ingkang naminipun Yosua. Ingkang langkung mligi, kita saged manggihi bilih penggalih lan pangupadi Nabi Musa bab pendelegasian punika mboten anamung kangge jangka panjang, ananging ugi jangka pendek. Sikep punika saged kita panggihi nalika Nabi Musa nyuwun pitulung dhumateng Harun lan Hur kangge sawetawis wekdal nindhakaken tugas tanggel jawabipun Nabi Musa mimpin bangsa Israel. Musa mboten lajeng ngginakaken kamulyan lan kuluhuran peparingipun Gusti Allah kangge kauntungan dhirinipun pribadi, sanaosna kamulyan punika saestu agung lan ngeram-eramaken. (Ay. 17 : “Cahya kamulyane Sang Yehuwah iku kaya geni kang nggesengake pucake gunung”).
Mekaten ugi bilih kita sinau saking sikep tumindhakipun Gusti Yesus nalika dipun mulyakaken wonten ing gunung. Nalika kapribaden Gusti Yesus dipun lairaken lumantar prastawa transfigurasi, perkawis punika tamtu wonten dhasaripun. Carios punika mboten anamung nedahake kamulyan utawi aktualisasi dhiri ingkang tanpa guna. Wonten panyinaon-panyinaon ingkang dipun pikajengaken minangka pamanggih saking sakabatipun mekaten ugi kita sadaya :
Ingkang sapisan, kita kaajak mboten ajrih nandhang sangsara karana wonten kamulyanipun Gusti ingkang manggen ing gesang kita. Prastawa transfigurasi punika panjangkep dhawuh pangandhikanipun Gusti Yesus bilih ing antawasipun para sakabat mboten wonten ingkang badhe pejah sakderengipun ningali Putranipun Manungsa rawuh wonten ing kamulyanipun Raja (Mat. 16:28). Kamulyan Putranipun Manungsa punika gegayutan kaliyan ingkang kaserat ing ayat 27 perkawis rawuhipun Putranipun Allah wonten ing akhir jaman kangge ngadili sadaya tiyang. Pramila, prastawa transfigurasi kedah dipun mangertosi kados “ngincipi” punapa sejatosipun ingkang badhe kalampahan wonten ing akhir jaman, inggih punika rawuhipun Gusti Yesus wonten ing kamulyanipun ingkang agung. Mekaten ugi dhateng kita, sanaosna Gusti Yesus dereng rawuh wonten ing kamulyanipun ingkang agung wonten ing akhir jaman, ananging Panjenenganipun sampun paring bukti bab rawuhipun lumantar prastawa transfigurasi punika. Gusti Yesus sampun paring pinasti dhateng para sakabat lan kita sami, karana kita asring kasengsem kaliyan iming-iming kadonyan, lajeng kita kasupen bilih gesang kita punika kedah dipun tujuaken dhateng gesang langgeng wonten ngarsanipun Gusti.
Kaping kalihipun, kita kedah saged ngajeni Gusti Yesus wonten ing kamulyanipun. Nalika para sakabat ningali kamulyanipun Gusti Yesus, para sakabat (mliginipun Rasul Petrus), enggal-enggal paring tanggapan, “Gusti, iba saenipun, bilih kawula sadaya wonten ing ngriki” (Mat. 17:4a). Petrus malah-malah kepingin damel pondokan kagem Gusti Yesus, Nabi Musa lan Nabi Elia, supados rawuhipun tetiganya wonten ing kamulyanipun saged langkung lami/ langgeng (Mat. 17:4b). Pramila, perkawis punika mratelakaken tujuanipun para sakabat, bilih para sakabat kalawau kepingin bilih rawuhipun tiyang tetiga wonten ing kamulyanipun kalawau kadosdene pangabekti wonten ing Padaleman Suci ingkang dipun rawuhi dening Gusti Allah. Sanaosna mekaten, kita kedah menggalih kanthi leres wujud kalepatan Petrus ing pangucapipun. Kalepatanipun mboten manggen wonten ing pepinginipun Rasul Petrus supados saged tansah nyatunggil kaliyan Gusti Yesus ing kamulyanipun, ananging karana piyambakipun mboten mangertosi bilih kamulyanipun Gusti kalawau kedah dipun raosaken kanthi mandhap saking gunung sarta tindhak dhateng Yerusalem (bdk. Mat. 16:21).
Kaping tiganipun, kita kedah ngajeni Kamulyanipun Gusti Yesus kanthi nindhakaken punapa ingkang dados karsaniPun. Prastwa transfigurasi dados wujud panegesan saking Gusti Allah bilih Gusti Yesus punika saestu Sang Kristus ingkang badhe nandhang sangsara. Panegesan kalawau dipun tindhakaken dening Gusti Allah saperlu kangge mratelakaken kelepatan para sakabat. Para sakabat sami sujud sumungkem mboten amargi mega kang padhang, ananging karana Sang Rama paring piweling dhateng piyambakipun. Sakderengipun para sakabat kalawau nyobi badhe ngatur Gusti Yesus lan paring pambengan dhateng lampahipun Salib Gusti Yesus (Mat. 16:22-23). Lumantar prastawa transfigurasi, Sang Rama paring piweling dhateng para sakabatipun kanthi teges, bilih piyambakipun ingkang kedah mirengaken Gusti Yesus, sanes pepinginanipun piyambak. Raos ajrih ingkang sanget dipun serat dening Matius, para sakabat langsung sumungkem (ay. 6a). Wonten ing basa Yunani, kaserat “epesan epi proswpon” ingkang nggadahi paneges harafiah “nyungkemaken mustakanipun wonten ing tanah”. Para sakabat ajrih sanget lan kalebet ing kawontenan kados mekaten ngantos Gusti Yesus nggepok lan paring panglipur tumrap piyambakipun (ay.7). Raos ajrih ingkang dipun raosaken dening para sakabat punika, tamtunipun mboten wonten ginanipun bilih para sakabat kalawau mboten mirengaken Dhawuhipun Gusti Yesus.
Panutup
Karana sih kamirahanipun Gusti, kita sadaya dipun timbali dados umat kagunganiPun, langkung-langkung dados abdiniPun, mboten karana kasagedan utawi kekiyatan kita. Kadosdene Nabi Musa lan Gusti Yesus ingkang mboten lepat anggenipun mangertosi lan ngginakaken kamulyaniPun Gusti ingkang manggen wonten gesangipun kangge kajumawan dhiri pribadi. Kekalihipun malah purun lan kersa kanthi setya lan andhap asor nglampahi tugas timbalanipun ngantos ngalami kasangsaran, demi kamulyaniPun Gusti kemawon. Kadosdene piweling ingkang dipun luntakaken dening Juru tulis II Petrus kalawau, sampun ngantos kita punika ngginakaken kasempatan kangge mendhet kamulyanipun Gusti kanthi nafsiraken piwucal-piwucal utawi wahyunipun para nabi ingkang kaserta wonten ing Kitab Suci ngagem penggalih kita piyambak. Kita kedah tetep nggantosaken wahyunipun para nabi karana punapa ingkang kawartosaken para Nabi punika saestu dados pratandhanipun Gusti Allah lumantar panganthinipun Roh Suci. Sumangga kita tetep setya dhumateng Gusti, purun andum pandamelan kaliyan tiyang sanes, tansah andhap asor ing timbalan lan tansah gesang wonten ing kasucenipun Gusti. Amin. (YEP)
Pamuji : KPJ. 16 “Langit Tansah Nyariosken”