Bertanggung Jawab Atas Hidup Anugerah Kristus Khotbah Minggu 1 Maret 2020

17 February 2020

Minggu Pra Paskah I
Stola Ungu

Bacaan 1         :  Kejadian 2 : 15 – 17 ; 3 : 1 – 7
Bacaan 2         :  Roma 5 : 12 – 19
Bacaan 3         :  Matius 4 : 1 – 11

Tema Liturgis :  Pengorbanan Yesus Kristus Memberi Hidup pada Umat-Nya
Tema Khotbah:  Bertanggung Jawab Atas Hidup Anugerah Kristus

Penjelasan Teks Bacaan
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)

Kejadian 2 : 15 – 17; 3 : 1 – 7

Sebagai gambaran, para ahli Kitab Suci berpendapat bahwa Kejadian pasal 1 – 11 bukan merupakan suatu kisah sejarah melainkan kisah simbolis dan alegoris[1] yang menitikberatkan pada asal-usul manusia dan bagaimana manusia memahami dirinya dalam hubungannya dengan Allah penciptanya dan sesama ciptaan. Dalam konteks seperti inilah kisah tentang kejatuhan manusia ke dalam dosa atas godaan ular ditempatkan. Kisah Kejadian 3 ini dimaksud untuk menjawab pertanyaan, bagaimana manusia dari dalam dirinya sendiri (naluri) dan tanpa disadari mudah jatuh dan rapuh terhadap godaan dan dosa. Bahwa hal itu terjadi karena naluri kemanusiaannya yang tidak tahan godaan dan cobaan. Dan naluri kemanusiaannya ini bukan berasal dari Allah penciptanya. Dengan kata lain kehendak bebas yang dianugerahkan Allah disalahgunakan dengan melanggar peraturan yang telah ditetapkan Tuhan (2: 15-17).

Ular (nahash). Narasi mengisahkan sang penggoda sebagai salah satu jenis hewan yaitu yang paling cerdik di antara semua hewan yang lain. Kata Ibraninya mengandung pengertian kelicinan yang istimewa. Ular itu memiliki kemampuan untuk berbicara dan bercakap-cakap secara bebas dengan korbannya. Ular ini merupakan makhluk yang lihai, berakal busuk, dan cerdik. Eksegese yang belakangan mengidentifikasi ular ini dengan Iblis[2]. Berdasarkan kebenaran Alkitab selanjutnya, kita benar jika berkesimpulan bahwa ular adalah sarana pilihan khusus Iblis untuk penggodaan ini. Di dalam Wahyu 12:9 penggoda ini disebut “naga besar itu, si ular tua yang disebut Iblis atau Satan” (Milton, Paradise Lost, Buku IX). Kata nãhãsh yang artinya membuat suara mendesis, tidak diragukan lagi mengacu kepada makhluk yang kita kenal sebagai ular. Paulus menyatakan bahwa Iblis menjadikan dirinya “seperti malaikat terang” (II Kor. 11:14). Iblis memilih hewan paling cerdik, paling licik, paling berhati-hati, lalu menguasai sepenuhnya makhluk tersebut untuk tindakan merusak yang dilakukannya. Yesus mengatakan tentang Iblis, “Ia adalah pendusta dan bapa segala dusta” (Yoh. 8:44; bdg. Rm. 16:20; II Kor. 11:3; I Tim. 2:14; Why. 20:2).

Roma 5 : 12 – 19

Sekalipun diawali dengan masalah dosa, namun fokus ayat 12-21 bukanlah penjelasan tentang dosa asal. Paulus bahkan lebih tertarik dengan akibat dosa Adam (maut) daripada dengan dosa itu sendiri (band. ayat 15-18). Dalam ayat 12-21, Paulus ingin menekankan “kuasa ketaatan Kristus mengalahkan ketidaktaatan Adam”. Ide ini terlihat dari formula perbandingan yang muncul secara konsisten: “sebagaimana…demikian juga” atau “sebagaimana…lebih lagi” (ay. 12, 15-17, 18, 19, 21).

Pernyataan Paulus bahwa dosa masuk ke dalam dunia melalui satu orang dan melalui dosa maut juga menyebar ke semua orang tidak terlepas dari pemikiran Yahudi yang melatarbelakanginya[3] :

  1. Gagasan tentang kesetiakawanan (solidaritas). Orang Yahudi tidak pernah berfikir tentang keberadaannya secara individu melainkan selalu memandang diri sebagai bagian dari klan/keluarga, suku dan bangsa, jika terlepas dari hal-hal tersebut maka dirinya tidaklah eksis. Karena manusia adalah satu, maka seluruh umat manusia (keturunan Adam) berdosa dalam persekutuannya dengan Adam.
  2. Maut adalah konsekwensi langsung dari dosa. Karena Adam melanggar perintah langsung dari Allah maka dia berdosa dan dia mati.

Berdasarkan pemahaman Yahudi tentang solidaritas manusia, Paulus percaya semua manusia turut berdosa dalam pelanggaran Adam dan sebagai konsekwensi dosa, maut menguasai semua manusia. Tetapi konsep yang sama juga dapat digunakan untuk menjelaskan anugerah penyelamatan Allah dalam diri Yesus. Yesus mempersembahkan kebenaran yang sempurna kepada Allah. Sebagaimana semua dapat terlibat dalam dosa Adam, maka semua juga dapat terlibat dalam kebenaran Yesus yang sempurna, kebenaran yang telah mengalahkan maut dan membawa hidup kekal.

 Matius 4 : 1 – 11[4]

Injil Matius 4:1-11 membicarakan mengenai Pencobaan Yesus. Pencobaan ini disebut secara singkat dalam Injil Markus 1:12 (bnd. Lukas 4:1-13). Satu-satunya perbedaan dengan Lukas adalah susunan dari pencobaan kedua dan ketiga. Cerita Matius naik meningkat kepada suatu klimaks psikologis, sedangkan cerita Lukas seolah-olah terikat pada tempat-tempat[5].

Matius 4:1 Ini merupakan pekerjaan Roh sebab adalah perlu bagi Yesus untuk mengatasi pencobaan[6]. Hal ini ditunjukkan dari kata anhqh[7] berarti membawa (was led up), ditegaskan pada kata peirasqhnai[8] berarti dicobai (to be tried), sehingga ayat ini menunjukkan bahwa Yesus benar-benar manusia yang dibawa Roh Allah.

Matius 4:2 Yesus dibawa oleh Roh Kudus masuk ke padang gurun dekat Bebbara, jauh dari kota atau desa, suatu daerah yang sunyi dan berbukit-bukit. Empat puluh hari di padang guru sesudah pembaptisan Yesus (bnd. Matius 3:13-17) yang mencerminkan 40 tahun orang Israel di padang gurun sesudah pembaptisan mereka sewaktu keluar dari tanah Mesir (zaman Keluaran). Angka 40 adalah lambang masa yang genap-sempurna di kalangan Israel. Empat puluh hari lamanya Musa tinggal di gunung, 40 hari lamanya Elia berjalan ke Gunung Horeb, 40 tahun lamanya Raja Daud dan Salomo masing-masing duduk di tahta Kerajaan Israel. Selama 40 hari, Yesus mencari persekutuan dengan BapaNya. Ia tidak merasa lapar atau dahaga, demikianlah sukacita hatiNya. Dalam Perjanjian Lama ada disebut dua orang yang berpuasa 40 hari lamanya. Ketika Musa berada di atas gunung Sinai (Keluaran 34:28) dan ketika Elia berjalan ke gunung Horeb (1 Raja-raja 19:8). Kedua orang itu, Musa dan Elia, berpuasa 40 hari, ketika itu mereka bertemu dengan Allah. Yesus juga mengalaminya supaya Israel yakin akan kemanusiaan Yesus sekaligus kekuasaan Allah yang ada padaNya melebihi Nabi Musa dan Elia.

Matius 4:3 Kata peirazwn[9] diartikan one-trying (seorang pencoba), ini menunjukkan bahwa pekerjaan Iblis adalah mencobai.

Setelah 40 hari lamanya berpuasa, Yesus merasa lapar dan dahaga. Kesempatan ini dipergunakan Iblis yang dengan liciknya berkata “Jika Engkau Anak Allah” (ei uioV ei tou qeou[10]). Seolah-olah Iblis ragu-ragu akan pernyataan Allah, ia ingin bukti dari Yesus bahwa Yesus sungguh-sungguh Anak Allah yang menolongNya, sehingga dapat membuat roti dari batu. Kita tidak dapat mengetahui apakah Iblis itu nampak oleh Yesus, apakah Iblis sanggup menampakkan dirinya secara badaniah. Malaikat-malaikat dapat “menyamakan dirinya” artinya mereka nampak berupa badan, tetapi apakah Iblis juga dapat berbuat demikian? Tidak dapat diketahui. Akan tetapi satu hal yang perlu diketahui adalah bahwa iblis datang bukan dari dalam Yesus, melainkan dari luar. Yesus mendengar suara itu di luar diriNya.

Matius 4:4 Kata “Ada tertulis” (gegraptai = has been wriiten/it has been written) ini merujuk pada ayat Ulangan 8:3, sambil menunjukkan kembali kepada sungut-sungut Israel tentang manna (Bilangan 11:4-9). Jadi ini adalah pencobaan terhadap tubuh manusia (keinginan daging; bnd. Kejadian 3:6 “baik untuk dimakan”), untuk merasa tidak puas dengan pemeliharaan Allah, lalu mencoba memberi makan dengan perantaraan mukjizat untuk mencapai tujuanNya[11]. Tetapi Yesus telah membuat sebagai syarat dalam pekerjaanNya di dunia ini, bahwa kekuasaanNya akan dipergunakanNya untuk menyatakan kasihNya. Jika berdasarkan kasih maka kekuasaanNya menjadi besar dan mulia[12].

Matius 4:5 Kota suci (agian polin[13]) yang dimaksud adalah Yerusalem. Yerusalem menjadi pusat kebaktian Yahudi. Bubungan yang dimaksudkan dalam ayat ini barangkali adalah suatu menara atau penyangga[14]. Bubungan dalam Kitab Yunani pterugion yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris flyer-let (halangan percobaan) atau little-wing (sayap, panggung). Kelihatannya menempatkan Yesus disana tidak secara harfiah[15].

Matius 4:6 Ayat ini dicetuskan Iblis mengingat Mazmur 91:11-12. Inilah pencobaan yang kedua yang dilakukan Iblis mengenai kekuasaan, kita dihadapkan dengan kekuatan-kekuatan jahat yang membuat kita tertunduk. Namun, dengan kekuatan Allah kita mampu mengusirnya.

Matius 4:7 Jawaban Yesus di ayat ini mengutip dari Ulangan 6:16, bukan berarti Iblis tidak boleh mencobai Yesus, tapi bahwa Yesus tidak boleh menguji Allah Bapa. Hal ini juga ditunjukkan dari Kitab Yunani ekpeirseiv (bentuk futur[16]) yang berarti mencobai (you-shall-be-putting-on-trial). Ini menunjukkan kepada kejadian di masa di mana umat Israel menuntut tanda-tanda kehadiran Allah (Keluaran 17:1-7). Jadi ini adalah pencobaan terhadap pikiran (keinginan mata; bnd. Kejadian 3:6 “sedap kelihatannya”), supaya merasa tidak puas dengan cara-cara Allah bekerja lalu mencoba melaksanakan suatu rencana mukjizat-mukjizat yang hebat untuk mencapai maksudNya[17].

Matius 4:8-9 Gunung yang sangat tinggi nampaknya bukan gunung yang nyata[18]. Namun, kata oroV (mountain: gunung) pada Kitab Yunani menunjukkan kata benda atau neuter[19], hal ini dapat saja menjadi kata benda yang dinyatakan secara alegoris[20]. Kerajaan dunia (basilieaV tou kosmou) dan kemegahannya menunjukkan arti bahwa Iblis yang dijatuhkan Allah (Wahyu 18:1-20) menguasai bumi dan seluruhnya, ditekankan pada kata kosmou (kosmos: seluruh jagad). Inilah puncak dari pencobaan itu, yakni pencobaan jiwa (keangkuhan hidup; bnd. Kejadian 3:5 “kamu akan menjadi seperti Allah”), supaya merasa tidak puas dengan Allah sendiri lalu dengan melaksanakan suatu rencana penyelewengan yang jahat untuk mencapai maksudNya[21].

Matius 4:10 mengutip dari Ulangan 6:13 yang menunjuk kembali kepada peristiwa tentang anak lembu emas (Keluaran 32:1-6). Kata yang jelas untuk menundukkan Iblis adalah proskunesieV yang berarti menyembah atau perintah yang keras[22] (you-shall-be-worshiping[23]) dan, latreusieV yang berarti melayani, berbakti, beribadah.

Matius 4:11 Ayat ini menerangkan bahwa Iblis telah dikalahkan dengan kekuasaan Sabda Allah, dengan berulang-ulang kali atas nama Allah diucapkan Yesus untuk menunjukkan kerendahan hatinya.

Injil Matius 4:1-11 yang dipaparkan di atas menunjukkan suatu sikap kerendahan hati serta keteguhan dan kebulatan hati untuk mengusir segala yang jahat dalam batin yang menjerumuskan ke dalam dosa. Pemaparan tafsir Injil Matius di atas menunjukkan tiga pencobaan yang senantiasa ada dan selalu ada dalam hidup manusia adalah kehausan akan keinginan daging, tunduk terhadap Mammon atau berhala kekayaan, dan menduakan Tuhan atau bersekutu dengan kekayaan atau roh-roh jahat.

Benang Merah Tiga Bacaan :

Kisah Kejadian (bacaan 1) menampilkan manusia pertama Adam (dan Hawa) sebagai ciptaan yang mampu berkomunikasi dengan Allah, namun karena pilihan/kehendak bebasnya yang lebih mendengarkan penggoda (dalam diri ular) manusia jatuh dalam dosa. Sedangkan dalam Kisah pencobaan di padang Gurun (bacaan 3) Tuhan Yesus juga dipengaruhi oleh si penggoda, bedanya Tuhan Yesus tidak tergiur oleh berbagai penawaran dan tetap tunduk pada kehendak Allah. Penjelasan Paulus (bacaan 2) menjembatani kedua bacaan di atas. Manusia memiliki kecenderungan “tergoda” namun yang menjadi faktor penentu bukanlah si penggoda (faktor luar) melainkan pilihan manusia (faktor dalam diri): mengikuti naluri atau berupaya mencari dan mengikuti kehendak Tuhan.

 

RANCANGAN KHOTBAH :  Bahasa Indonesia
(Ini hanya sebuah rancangan, silahkan dikembangkan sesuai konteks Jemaat)

Pendahuluan

Bapak, ibu dan saudara yang terkasih. Kisah buah pengetahuan maupun pencobaan di padang gurun tentu terdengar sangat familiar. Kita semua tahu garis besar dan hasil akhir keduanya. Adam dan Hawa yang jatuh dalam dosa sedangkan Tuhan Yesus, bertahan hingga akhir dari pencobaan iblis. Tapi, ketika kedua teks tersebut dikontraskan begitu saja dengan menitikberatkan pada tokoh/subjeknya, yaitu Adam dan Yesus, bisa jadi kita jatuh pada pemikiran: “yo mesti wae hasile beda, lha wong ya Gusti mesti seje karo manungsa”. Ada upaya pembelaan diri kita sebagai manusia biasa, jika diperbandingkan dengan Tuhan Yesus.

Isi

Sang Ilahi tentu berbeda dengan manusia, namun marilah kita berpikir dengan adil. Bahwa senyatanya posisi Adam dan Yesus sebenarnya seimbang. Pada saat di taman Eden, Adam dan Hawa adalah ciptaan yang baik, bahkan sungguh amat baik, dan Tuhan Allah memberkati mereka beserta seluruh ciptaan (Kej. 1:31, 2:3). Keistimewaan lain yang ditampakkan dalam bacaan kita hari ini adalah bahwa manusia (Adam dan Hawa) pada mulanya dapat mendengar langsung dan berkomunikasi dengan Tuhan Allah (Kej. 2: 16). Hal itu menunjukkan tidak adanya jarak manusia dengan Tuhan yang Maha Kudus. Dalam kondisi yang demikian pencoba/penggoda yang mewujud dalam si ular hadir. Ular memprovokasi manusia (Hawa dan Adam) untuk melanggar perintah Tuhan dan mengutamakan keinginan diri. Dan demikianlah akhirnya manusia jatuh dalam dosa.

Sedangkan Yesus, ke-Ilahi-an Nya tentu tidak diragukan lagi. Namun sekalipun Dia yang adalah yang Ilahi tetaplah terbatas dalam raga manusia (Mat. 4:2). Puasa selama 40 hari bukanlah pekerjaan yang mudah, sekalipun Alkitab/PL memberi kesaksian jika sebelum Yesus ada manusia yang mampu menjalaninya yaitu Musa dan Elia. Dalam rasa lapar si penggoda (iblis) berusaha membuat Yesus menjauh dari kehendak Bapa-Nya dan mengutamakan diri dengan berbagai tawaran yang tampak menarik. Namun akhirnya Dia bergeming dan mengusir iblis dari hadapan-Nya.

Nah, keduanya seimbang, yaitu memiliki sifat manusiawi tetapi sekaligus juga ilahi. Dan godaan itu menghampiri keduanya. Tawaran yang menggiurkan untuk mencapai apa yang diinginkan bahkan yang dibutuhkan diberikan kepada Adam juga Yesus. Namun, kedua kisah itu berakhir berbeda bahkan bertolak belakang.

Dalam hidup sehari-hari setiap orang tidak lepas dari godaan. Mulai dari hal yang sederhana:  makanan yang enak-enak padahal bisa menimbulkan berbagai penyakit, kemalasan/ yang anak muda sekarang istilahkan dengan mager (males gerak) untuk sekolah, kerja bahkan ke gereja;  atau bahkan yang menyangkut hal krusial, seperti kesetiaan dalam rumah tangga yang diperhadapkan dengan ketampanan/ kecantikan pihak ketiga, uang yang diburu seorang pegawai bahkan dengan cara korupsi, narkoba yang menawarkan kenikmatan, “gelar juara” melalui jalan pintas dengan mencontek, atau bahkan jabatan yang menutupi iman. Mungkin kalau dibuatkan daftar, kita bisa menuliskan berlembar-lembar contoh lainnya. Siapakah yang salah? Apakah si orang ketiga, uang, narkoba, gelar juara, jabatan atau hal-hal lain yang menarik itu? Bagaimana hasil akhir kisah/contoh di atas, jika subjeknya adalah kita (panjenengan dan saya)?

Dalam surat Roma, Paulus mengisahkan bahwa setiap manusia itu saling terkait. Hal itu diungkapkan dalam kerangka pikir Yahudi tentang solidaritas/ kesetiakawanan[24]. Hal itulah yang menjadikan seluruh umat manusia menanggung dosa seperti halnya Adam. Namun, secara positif hal itu juga dapat berlaku untuk keselamatan dalam Tuhan Yesus (Rm 5:17). Pemberlakuan anugerah itu adalah bagi mereka yang “…menerima kelimpahan kasih karunia…”.

Kembali ke pergumulan mengenai pencobaan yang senantiasa ada dalam kehidupan, pengalaman Adam, kesaksian tentang Yesus Kristus, serta pandangan Paulus mendidik kita menuju suatu kesadaran: penggoda dan godaan dapat mewujud dalam berbagai hal dan tidak jarang terasa begitu menggiurkan namun hasil akhir bukanlah tergantung pada si penggoda, melainkan pada setiap manusia yang menghadapinya. Bahwa manusia memiliki naluri untuk mudah tergoda, itu benar, namun bukan berarti kita tidak berdaya menghadapi pencobaan. Kristus memberi teladan nyata, bahwa Dia mampu menghadapi pencobaan dengan mengarahkan diri dalam kehendak Tuhan, atau yang oleh rasul Paulus dibahasakan dengan kesediaan menerima kelimpahan kasih karunia.

Penutup

Sebagai pengingat bagi kita, ada sebuah kisah imajinatif yang demikian:

Alkisah dalam surga, iblis tiba-tiba masuk dan bercakap-cakap dengan Tuhan:

Iblis      : “Tuhan, aku pensiun saja dari dinas di dunia”

Tuhan  : “Lha ada apa? Kok tiba-tiba mau pensiun? Ndak suka ya dengan pekerjaanmu?”

Iblis     : “Dulu sih aku suka, sangat menikmati malah… tapi sekarang, belum juga aku berbuat apa-apa manusia sudah lebih lihai melanggar kehendak-Mu. Di bagian itu sebenarnya aku masih happy-happy saja. Tapi, yang ndak bisa ku terima Tuhan, mereka selalu menyalahkan aku: aku berzina gara-gara bisikan iblis, aku mencuri,  korupsi, tawuran, narkoba, dsb…mereka katakan semua gara-gara aku! Padahal nyantanya mereka memilih semuanya itu sendiri, untuk kesenangan pribadi!”

Tuhan  : “hahahaha….” (Tuhan nampak tertawa mendengar keluh kesah iblis, senyatanya hatiNya bersedih melihat anak-anakNya di dunia)

Di masa pra-paskah ini, mari kita belar untuk lebih mawas diri, menjaga sikap dan tutur kita serta bertanggung jawab atas tindakan yang kita perbuat. Godaan pasti selalu ada, namun mari kita tidak dengan mudah mengkambinghitamkan berbagai hal tersebut bahkan membawa-bawa iblis sebagai biang keladi semua masalah. Karena iblis bisa saja ngambeg ketika dijadikan alasan atas pilihan bebas kita. Dan yang lebih penting, mari kita memilih untuk tidak melukai hati Tuhan, seperti yang telah dilakukan Adam, melainkan sebaliknya, karena kita ini milik Kristus, mari kita meneladani kesetiaan-Nya. Amin. (WER).

 

Pujian : KJ. 375   “Saya Mau Ikut Yesus”

 

RANCANGAN KHOTBAH : Basa Jawi

Pambuka

Bapak, ibu lan sedherek ingkang kinasih. Waosan kita ing dinten punika, bab manungsa ingkang ginodha dening sawer ing Eden lan  pacobening Gusti Yesus ing ara-ara samun, tamtu mboten asing malih. Panjenengan tamtu pirsa kados pundi cariyos lan pungkasanipun. Dene Adam lan Hawa dhumawah ing dosa, kosok wangsulipun Gusti Yesus tatag tanggon ngadepi iblis. Ananging, nalika carios kala wau dipun beta ing salebeting gesang kita minangka pangatag kanthi nelakaken kawontenanipun Adam lan Yesus, mboten sekedhik ing antawisipun kita ingkang kagungan pemanggih mekaten: “yo mesti wae hasile beda, lha wong ya Gusti mesti seje karo manungsa”. Pemanggih kala wau nedahaken bilih wonten “pembelaan diri” minangka manugsa limrah nalika dipun bandhingaken kaliyan Gusti.

Isi

Manungsa limrah tamtu mboten saged bandhing klayan Gusti. Nanging sumangga kita ugi saged adil nalika maos cariyos bab Adam lan Gusti Yesus. Sejatosipun kawontenanipun Adam ing waosan kita dinten punika imbang klayan Gusti Yesus. Nalika manungsa (Adam lan Hawa) katitahaken dening Gusti Allah sedaya kawastanan “prayoga linuwih” (Purwaning Dumadi 1: 31) saha binerkahan dening Gusti (Purwaning Dumadi 2: 3). Para titah, kalebet manungsa ugi binerkahan saged mireng swantenipun Gusti Allah lan apirembag kaliyan Panjenenganipun (PD. 1:16). Punika nedahaken bilih mboten wonten pambengan lan  jarak ing antawisipun manungsa lan Gusti Allah kang Maha Suci. Ing kawontenan ingkang mekaten punika pacoben nggodha lumantar sawer. Sawer nggodha manungsa supados nerak dhawuhipun Gusti lan ngunggulaken pikajengipun piyambak. Kanthi mekaten manungsa dhumawah ing dosa.

Menawi ngrembag bab Gusti Yesus, tamtu kita sedaya pitados bilih panjengenagipun Gusti. Nanging, sanadyan ta panjenenganipun punika kang suci, nanging inggih manungsa, ing salebeting kamanungsanipun ugi winates raganipun (Mat. 4:2). Siam sak dangunpun 40 dinten, tamtu sanes perkawis ingkang gampil dipun lampahi, sanadyan ing Kitab Suci (prajanjian lami) wonten manungsa (nabi) ingkang nate nglampahi inggih punika Musa lan Elia. Nalika Gusti Yesus lemes karana kerapan/ luwe, iblis nggondha supados nebih saking kersaning Allah lan ngrumiyinaken raos kerapanipun saha ulaping donya brana. Nanging Gusti Yesus tatag tanggon lan uwal saking sedaya pacoben.

Sae Adam lan Gusti Yesus kagungan sipat kamanungsan, ananging ugi kang ilahi ing dhirinipun. Panggodha nempuh kekalihipun srana perkawis-perkawis ingkang njengkepi gegayutan lan kabetahan. Nanging wusananipun kalih carios kala wau asilipun benten malah dados kosokwangsulipun. Ing gesang padintenan, panggodha saged dipun adepi dening sok sintena kemawon. Wiwit saking perkawis sepele, kados tetedhan/dhaharan ingkang njalari kemlecer nanging mbeta mawarni-warni penyakit; raos males, kang dipun wastani mager (males gerak) dening para nem-neman, sae punika males sekolah, makarya, malah-malah wonten ingkang males ngabekti. Panggodha ugi saged mawujud ing perkawis ingkang langkung serius, kados mburu kadonyan sanadyan kanthi korupsi, narkoba ingkang mbeta “kenikmatan”, gelar juara kang ditempuh mawi nyontek, mekaten ugi jabatan kanthi syarat nyelaki iman kapitadosan. Mbok menawi panjenengan saged njlentrehaken langkung panjang malih conto nyata ing padintenan. Pitakenipun, sinten ingkang salah? Punapa arta, narkoba, piala juara, jabatan, lsp kala wau? Ingkang langkung penting, menawi kita ingkang kedah ngadepi sedaya panggodha kala wau, kinten-kinten kados pundi hasilipun?

Ing serat Rum, Rasul Paulus nyerat kawontenan kita minangka manungsa ingkang ngadhahi sesambetan, sedaya “terkait satu dengan yang lain”, punika aleladhes pemanggihipun bangsa Yahudi bab solidaritas/ kesetiakawanan[25]. Awit saking punika sedaya manungsa nanggel dosa kados dene Adam. Nanging, pemanggih punika ugi saged kelampahan ing bab ingkang positif, kados dene krana Adam sedaya nanggel dosa, awit karana sih kamirahaning Allah ing Gusti Yesus sedaya manungsa binerkahan wilujeng (Rum 5:17). Sih rahmat punika katedahake tumrap sedaya ingkang “sami nampani.…”. Sih rahmat saged dipun alami dening tiyang ingkang cumadhang nampi.

Menawi kita raos-raosaken malih bab pacoben ingkang sawanci-wanci saged nempuh ing gesang kita. Pengalamanipun Adam, paseksi bab Gusti Yesus, sarta pitedahing rasul Paulus ngatag kita tumuju ing pemanggih bilih panggodha  saged mawujud ing mawarni-warni perkawis, asring ndadosaken kita ulap lan kepincut, nanging kados pundi hasilipun, mboten gumantung dateng panggodha (napa ta sawer, napa ta iblis, lsp) nanging gumantung ing kita piyambak. Dene manungsa nggadhahi ‘naluri’ gampil kapilut ing sedaya pacoben, mboten ateges kita mboten ngadhahi daya. Gusti Yesus paring patuladhan nyata, panjenenganipun saged kalis lan unggul saking panggodha srana tansah ngarahaken dhiri ing kersaning Sang Rama, utawi kang kasebat rasul Paulus klayan istilah cumadhang “nampi” lubering sih rahmat.

Panutup

Kagem pangeling-eling, wonten cariyos imajinatif mekaten.

Ing salah sawijining dinten, iblis sowan dateng swarga saha munjuk atur dhumateng Gusti Allah:

Iblis      : “Gusti, kula pensiun mawon saking donya”

Tuhan  : “Lha ngopo kok ujug-ujug pengen pensiun? Wes waleh po karo penggaweanmu?”

Iblis     : “Rumiyin kula remen Gusti, semangat sanget malah… Nanging samangke, dereng ngantos kula nyelak, manungsa sampun prigel sanget nglampahi kathah panerak. Sejatosipun kula nggih remen mawon nawi bab punika, nanging kula nggih radi tersinggung niki, lha mesti kula kang dipun dadosaken alesan tumrap sedaya tumindak kala wau: gara-gara bisikane iblis kula selingkuh, nyolong, tawuran, narkoba, lsp. Punapa kemawon kang awon, salah kula. Mangka nyatanipun sedaya dipun tindakaken miturut pikajengipun piyambak!”

Tuhan  : “hahahaha….” (Tuhan nampak tertawa mendengar keluh kesah iblis, senyatanya hatiNya bersedih melihat anak-anakNya di dunia)

Ing wekdal pra-paskah punika sumangga kita langkung mawas dhiri, njagi tumindak lan tutur kita, sarta ‘tanggeljawab’ tumrap sedaya ingkang kita lampahi lan pilih ing gesang punika. Panggodha tamtu mboten saged kita tampik, nanging sumangga kita ngadhepi kanthi sae, sampun ngantos namung pados ‘kambing hitam’ sae tumrap sedaya kawontenan, tiyang, donya brana ingkang milut manah, lah nebut-nyebut iblis minangka sumber sedaya masalah. Awit iblis ugi saged protes nalika dipun dadosaken alasan tumrap sedaya pilihan kita. Lan ingkang langkung utami, sampun ngantos kita nindakaken perkawis ingkang ndadosaken kaprihatosanippun Gusti, kados ingkang sampun dipun lampahi dening Adam, kosok wangsulipun swawi kita emut bilih kita punika kagunganipun Sang Kristus pramila swawi kita tut wingking ing patuladhan nyata ingkang sampun katedahaken. Amin. (WER).

 

Pamuji  : KPJ. 400  “Ayem Tentrem Neng Sang Pamarta,

                 KPJ. 446  “Nalika Ngambah Margi Kang Sepi

[1] https://www.kompasiana.com/phiner/ular-dalam-kitab-kejadian-pasal-3-dan-makna-simbolisnya

[2] Tafsiran Alkitab Wycliffe, Sabda.

[3] Barclay, William, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Surat Roma (cet.7), Jakarta: Gunung Mulia, 2003, hlm. 121-126

[4] https://ocsc.wordpress.com/2010/12/29/tafsir-perjanjian-baru-injil-matius-41-11/

[5] Tafsiran Alkitab Masa Kini: Matius-Wahyu, Jakarta: BPK Gunung Mulia, hlm.69

[6] Tafsir Alkitab Masa Kini,Loc.cit

[7] Pdt. B.F. Drewes, MTh, dkk, Kunci Bahasa Yunani Perjanjian Baru,Jakarta: BPK Gunung Mulia, hlm.7

[8] ——,loc.cit

[9] Alkitab Virtual, ISA 2.1.3loc.cit

[10] —-loc.cit

[11] Tafsiran Alkitab Masa Kini,Loc.cit

[12] Prof. Dr. J.H. Bavink, hlm.116

[13] Alkitab Virtual, ISA 2.1.3loc.cit

[14] Tafsiran Alkitab Masa Kini,Loc.cit

[15] ——————–,Loc.cit

[16] Pdt. B.F. Drewes, MTh, dkk, loc.cit

[17] Tafsiran Alkitab Masa Kini,Loc.cit

[18] ———————————,Loc.cit

[19] Pdt. B.F. Drewes, MTh, dkk, loc.cit

[20] Alegoris adalah cara menafsirkan Kitab Suci yang menggunakan satu hal untuk mengerti hal lain  dengan lebih baik, misalnya hubungan antara Israel (PL) dan Gereja (PB) dianggap sudah dilambangkan oleh hubungan antara Ismail dan Isaak, kedua anak Abraham. Adof Heuken, SJ, Spritualitas Kristiani: Pemekaran Hidup Rohani selama Dua Puluh Abad, Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2002, hlm.44

[21] Tafsir Alkitab Masa Kini,Loc.cit

[22] Pdt. B.F. Drewes, MTh, dkk,hlm.8

[23] Terjemahan lepas dari Alkitab ISA virtual (G3452

[24] Lihat di bagian keterangan bacaan.

[25] Lihat di bagian keterangan bacaan.

Renungan Harian

Renungan Harian Anak