Bacaan : Yohanes 19 : 38 – 42 | Pujian: KJ 408
Nats: “Mereka mengambil mayat Yesus, mengapaninya dengan kain lenan dan membubuhinya dengan rempah-rempah menurut adat Yahudi bila menguburkan mayat.” [ayat 40]
Adakah di antara kita yang bersedia mengalami rasa berduka seduka-dukanya karena keluarga tercinta meninggal dunia? Siapa juga yang jiwanya mampu tersenyum saat kematian memisahkan raga dengan jiwa? Kalau bisa memilih, semua orang ingin lari dari kisah kematian!
Duka yang hari ini kita saksikan melalui Yohanes 19:38-42, mengantar kita untuk lebih mengenal Yusuf dari Arimatea, murid Tuhan Yesus. Setelah beberapa saat bersembunyi dari kejadian penangkapan sampai penyaliban Tuhan Yesus, karena takut ditangkap oleh orang Yahudi, sekarang Yusuf dari Arimatea melihat kematian Sang Guru di depan matanya. Ia menyadari bahwa ia tidak mau lagi melarikan diri dari kenyataan. Ia tidak mau lagi bersembuyi memelihara kedukaannya. Yusuf dengan berani datang kepada Pilatus untuk meminta ijin supaya ia dapat merawat jenazah Tuhan Yesus. Bahkan, Yusuf tidak sendiri. Nikodemus yang lebih dulu berani menghadapi kedukaan, turut merawat jenazah Tuhan Yesus. Inilah yang disebut ‘merayakan kedukaan’. Bukan senang-senang dalam situasi duka, tetapi berani menghadapi kedukaan, dan sebaik mungkin mengurus segala keperluan di tengah kedukaan.
‘Merayakan kedukaan’ juga berarti menghayati kedukaan itu sebagai bagian dari kenyataan kehidupan yang tidak dapat dihindari. Akhirnya, penghayatan ini melahirkan keberaninan untuk menghadapi kedukaan dan mengubah rasa duka menjadi kekuatan untuk menjalani perjalanan kehidupan selanjutnya. Manusia tidak bisa melupakan perasaan berduka yang pernah muncul, tetapi manusia yang bersandar kepada Tuhan akan dimampukan megelola kedukaan untuk dapat menjadi lebih tangguh menjalani kehidupan. Kematian itu bukan berhenti pada kehilangan. Ada kalanya sesuatu itu perlu hilang dari kehidupan kita, supaya kita dapat hidup bersandar kepada kekuatan Tuhan. [Dee]
“Ketika seseorang hilang dari kehidupan kita, di sanalah saatnya kita melihat bahwa kehadiran manusia selalu saja terbatas, tetapi pertolongan Tuhan tidak akan pernah berbatas.”