Sesuai dengan kalender GKJW, mulai 21 Mei 2020 ini kita bersama akan memasuki Bulan Kesaksian dan Pelayanan (Kespel). Untuk tahun 2020 ini, dari buku panduan bulan Kespel yang diterbitkan oleh DPK, DPP dan KAUM Majelis Agung di bagian pengantar menekankan pada aspek kesehatan mental (jiwa) bagi kita semua para saksi-saksi Kristus dalam menyampaikan kesaksian dan pelayanan untuk menjadi berkat bagi sesama ciptaan.
Seperti yang pernah saya bagikan dalam Raker DPK Majelis Agung pada tanggal 7 Maret 2020 di Balewiyoto, bahwa kesehatan jiwa (menurut kementerian kesehatan RI) adalah kondisi ketika batin (perasaan/emosi) kita berada dalam keadaan tentram dan tenang sehingga memungkinkan kita untuk menikmati kehidupan sehari-hari dan menghargai orang lain. Kesehatan jiwa terdiri dari beberapa jenis kondisi yang secara umum dikategorikan dalam kondisi sehat, gangguan kecemasan, stres dan depresi. Jadi, kesehatan jiwa sangat erat kaitannya dengan emosi/perasaan, pikiran dan mental seseorang. Sebuah slogan yang terkenal di era 80an, “Mens Sana In Corpore Sano” sering disalah artikan sebagai “Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat”; padahal arti yang sebenarnya adalah “Pikiran yang sehat di dalam tubuh yang kuat” yang mana pikiran atau kesehatan mental menjadi perhatian yang lebih utama.
Kesehatan mental yang terganggu atau biasa disebut sebagai gangguan mental (mental disorder) adalah suatu masalah yang mempengaruhi emosi, pola pikir dan perilaku seseorang. Beberapa contoh gangguan mental seperti halnya trauma, depresi, insomnia, sulit memaafkan, frustrasi, tidak fokus, tidak percaya diri, konflik dalam diri, fobia akan sesuatu, panik, kecemasan berlebih, kesedihan mendalam, kebiasaan buruk, dan psikosomatis. Penanganan gangguan mental seperti ini biasanya dilakukan oleh seorang psikolog (melalui cognitive behaviour therapy/CBT), seorang psikiater (melalui obat-obatan anti-depresan, anti-psikotik, pereda cemas, mood stabilizer) dan seorang hipnoterapis (melalui hipno-analisa mencari akar masalah, menetralisir emosi dan memberi makna baru di pikiran bawah sadar).
Dalam masa pandemi Covid-19 yang mulai dirasakan pada pertengahan bulan Maret yang lalu, banyak ditemukan kasus-kasus gangguan mental yang mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang. Dari mulai masalah rasa takut dan cemas akan terkena virus Covid-19 (Coronaphobia) yang berakibat pada kondisi pikiran yang tidak tenang, hati tidak damai dan sulit tidur. Bahkan ditemukan juga beberapa orang yang mengalami gejala serupa dan mirip dengan Covid-19 seperti flu, batuk, demam, sesak napas dan sakit tenggorokan (psikosomatis); padahal mereka tidak terpapar oleh Covid-19, sama sekali tidak keluar rumah, pergi ke tempat ramai, berkumpul dengan teman, saling bersalaman atau berdekatan dengan penderita Covid-19 atau PDP atau ODP sekalipun. Mereka bahkan sudah lebih dari 2 minggu hanya berada di dalam rumah, melakukan kegiatan sehari-hari dengan rutin memakai masker serta perbanyak mencuci tangan dengan sabun.
Namun dibalik itu semua, ternyata mereka selama di rumah sangat rutin bahkan sering membaca informasi atau berita, baik dari media massa atau media online (khususnya whatsapp) tentang perkembangan terkini dari pandemi Covid-19 yang hampir sebagian besar bersifat negatif dan sangat mudah memicu perasaan takut dan cemas yang berlebih.
Bagaimana mengatasi masalah ketakutan dan kecemasan berlebih akan Covid-19 ini?
- Yang pertama adalah menghentikan secara total untuk tidak membaca, mencari dan meneruskan informasi apapun yang terkait dengan Covid-19 (khususnya dari media sosial) terlebih lagi berita tentang begitu banyaknya kasus meninggal akibat Covid-19 yang dialami oleh berbagai kalangan termasuk dari tenaga medis baik dokter ataupun perawat.
- Hal kedua yang harus dilakukan adalah dengan terus menerus mengisi pikiran dengan informasi dan pengetahuan positif melalui buku-buku bacaan, film atau video yang lucu, berolah raga, bermain musik/menyanyi, meditasi, yoga, rileksasi, berdoa dan apa saja yang bisa membuat pikiran dan perasaan tetap tenang, nyaman dan bahagia. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk melawan Covid-19 dengan senantiasa berpikiran positif, merasakan berbagai emosi positif dan menyebarkan vibrasi positif untuk diri sendiri, keluarga dan lingkungan; serta hanya membagikan informasi positif yang menenangkan dan memberi pengharapan akan segera berakhirnya pandemi Covid-19 ini.
Bagaimana jika kedua hal diatas sudah dilakukan tapi ternyata masih saja dirasakan perasaan tidak nyaman terkait Covid-19 berupa rasa takut, cemas dan khawatir?
Sebenarnya semua informasi bersifat “netral” adanya, tidak ada yang positif atau negatif. Tapi oleh karena cara berpikir kita dalam memproses sebuah informasi, maka informasi yang masuk ke dalam pikiran akan diberi suatu “makna” berdasarkan pengalaman masa lalu yang tersimpan rapi di pikiran, lebih tepatnya di pikiran bawah sadar. Saat sebuah informasi diberi makna negatif maka akan muncul emosi negatif, sebaliknya jika informasi diberi makna positif maka emosi positif yang akan dirasakan. Emosi negatif inilah yang sesungguhnya menjadi “biang keladi” dari setiap masalah gangguan mental seperti halnya emosi takut, cemas dan khawatir terpapar oleh Covid-19.
Ada sebuah teknik sederhana yang berbasis neurosains dan sistem meridian tubuh untuk menetralisir berbagai muatan emosi negatif, dan sangat efektif dalam membantu setiap orang yang mengalami gangguan mental khususnya rasa takut, cemas dan khawatir akan Covid-19 ini.
Selanjutnya, bagaimana mereka bisa mengalami psikosomatis, adanya gejala-gejala yang mirip dengan yang dialami oleh orang yang terpapar Covid-19; akibat perasaan takut dan cemas berlebih yang mereka rasakan karena terlalu banyak informasi negatif masuk ke dalam pikiran?
Sebuah informasi masuk ke dalam pikiran seseorang, lebih tepatnya ke dalam pikiran bawah sadar melalui 5 cara yaitu repetisi, figur otoritas, identifikasi kelompok, emosi dan relaksasi pikiran. Informasi apapun tentang Covid-19, baik itu benar atau salah sekalipun, apabila telah masuk dan terekam di pikiran bawah sadar tidak akan pernah bisa hilang. Informasi ini akan terus ada di memori sampai dilakukan sebuah upaya secara sadar untuk mengganti informasi ini dengan informasi yang lainnya. Semakin seseorang membaca dan mengingat gejala-gejala Covid-19, semakin ia mengulang memunculkan informasi ini di pikiran (repetisi) maka akan semakin kuat informasi ini dan semakin membuat orang tersebut terpengaruh. Ia menjadi semakin cemas dan takut.
Disadari atau tidak, ia akan memeriksa kondisi tubuh fisiknya, apakah ada gejala yang sama atau menyerupai Covid-19. Hal ini sesungguhnya adalah sesuatu yang wajar, oleh karena semua orang pasti ingin tetap hidup sehat dan selamat; dan fungsi utama dari pikiran bawah sadar adalah melindungi dan menjaga keselamatan hidup kita dari sesuatu yang “dipandang” oleh pikiran bawah sadar mengancam. Semakin ia melakuan pengecekan akan kesehatan tubuh fisiknya, semakin pikiran bawah sadar mendapat informasi bahwa ini adalah sesuatu yang penting. Dan sesuai dengan hukum pikiran, bahwa apa yang menjadi “fokus” dan dominan di dalam pikiran pasti bertumbuh dan semakin menguat. Hal ini menjadi semakin kuat lagi saat dilandasi dan didukung oleh berbagai emosi negatif yang intens yaitu rasa takut dan kecemasan berlebih.
Akhirnya, pikiran bawah sadar memunculkan simtom atau gejala pada tubuh fisik yang sama atau serupa dengan gejala Covid-19. Saat ini terjadi, maka orang tersebut akan menjadi semakin takut, cemas, panic; dan gejala di tubuh fisik menjadi semakin nyata dan semakin kuat. Semakin ia cemas dan takut, semakin stres dan tertekan, maka semakin banyak hormon stres yang diproduksi oleh tubuh (adrenalin dan kortisol), dan semakin tertekan kerja dari sistem imun tubuh, dan semakin besar kemungkinan ia jatuh sakit, dan semakin besar pula risikonya apabila ia benar-benar terpapar oleh Covid-19.
Covid-19 belum tentu mengenai semua orang, namun saat ini hampir semua orang sudah terpapar “virus pikiran” yang membuat mereka merasa cemas, takut, khawatir dan paranoid; bahkan sampai memunculkan psikosomatis dengan gejala mirip orang yang terpapar Covid-19.
Di bulan Kespel tahun ini, yang bersamaan dengan masa pandemi Covid-19, tindakan untuk bersaksi dan melayani sesama tetap terbuka secara lebar. Sudah banyak jemaat GKJW yang melakukan aksi nyata melalui pembagian makanan, sembako dan bantuan lainnya untuk sesama yang mengalami masalah ekonomi akibat dampak dari Covid-19. Dan aksi-aksi lainnya bisa diwujudkan secara nyata di bulan Kespel ini agar menjadi perwujudan GKJW yang mandiri dan menjadi berkat bagi sesama.
Namun di bulan Kespel di tengah pandemi Covid-19 ini, kita juga diingatkan untuk senantiasa menjaga kesehatan tubuh fisik melalui upaya melindungi diri dengan selalu memakai masker di saat keluar rumah, rutin mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer dan selalu melakukan physical distancing dengan orang lain.
Dan yang lebih penting lagi adalah kita diminta untuk senantiasa menjaga kesehatan mental agar pikiran tetap tenang, nyaman dan bahagia dengan menghindari berbagai informasi negatif seputar Covid-19 dan mengisi waktu di rumah dengan berbagai kegiatan positif, selalu berpikiran positif dan merasakan perasaan positif. Dengan selalu berpikiran dan berperasaan positif maka akan meningkatkan kerja dari sistem imun tubuh dalam melawan berbagai macam virus khususnya Covid-19 ini.
Kiranya Tuhan Semesta Alam menolong dan memampukan kita semua dalam menjaga diri kita masing-masing untuk tetap sehat secara tubuh fisik dan mental sehingga kesaksian dan pelayanan kita bisa semakin bermakna bagi sesama cintaan dan nama Tuhan semakin dipermuliakan – Amien
Purnomo
Hipnoterapis klinis
KPK GKJW Jemaat Lawang
Gambar: Designed by Freepik