Pada tanggal 16 Oktober 2022, di GKJW Jemaat Mojowarno diselenggarakan hari raya undhuh-undhuh ke dua, khusus untuk anak-anak. Saya dan istri memilih duduk dibalkon, duduk di bangku paling belakang sebelah selatan tangga ke ruang Genta. Tidak lama kemudian bangku depan saya dan sekitarnya dipenuhi oleh anak-anak, remaja dan sebagian orang dewasa. Anak dan remaja memilih duduk di balkon, karena mereka tidak memperoleh tugas dalam prosesi undhuh-undhuh anak ini.
Liturgi dilaksanakan dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa Jawa krama, sebagaimana lazim pada kebaktian hari Minggu. Sedang temanya “Misungsung ingkang dados keparenge Gusti Allah” (Rum 12:1) Pada bagian Pemberitaan Firman Allah, setelah Pdt. Muryo Djajadi menyampaikan uraian singkat dari nats bacaan, ditampilkanlah pagelaran wayang kulit yang dimainkan oleh Vikar Gabriel Satya Christia, kemudian ditutup oleh Pdt. Muryo Djajadi dengan aplikasi tema khotbah.
Beberapa hari Minggu sebelum tanggal 16 Oktober 2022, anggota Majelis menyampaikan informasi kepada warga, bahwa undhuh-undhuh ke dua ini untuk menghidupi atau membiasakan diri anak-anak melaksanakan undhuh-undhuh. Saya mengikuti kebaktian dengan pra-paham bahwa kebaktian ini adalah kebaktian undhuh-undhuh anak, maka suasana anak-anak akan dominan tampil dalam tata kebaktian. Dalam kenyataannya, saya mengalami pelaksanaan kebaktian yang berbeda sama sekali dengan pra-paham saya.
Pada saat itu Vikar Gabriel Satya Christia mengisahkan penggalan perang baratayuda, Wisanggeni mati, untuk mendukung tema khotbah undhuh-undhuh. Para remaja yang ada di depan saya juga duduk tenang, tetapi bukan memperhatikan pagelaran wayang kulit yang dimainkan oleh Vikar Gabriel Satya Christia. Mereka memang duduk tenang, tetapi mereka sesungguhnya mereka sangat sibuk memainkan game di Hand Phone (HP) mereka. Saya tidak mengetahui, apakah ada anggota Majelis yang bertugas untuk mengawasi para remaja ini di balkon. Jika anak-anak terus memainkan game di HP mereka, dapat diasumsikan dalam kebaktian ini tidak ada Pamong dan anggota Majelis yang mempedulikan mereka.
Saya memperhatikan mereka, bahkan sempat mendekat di belakang mereka untuk melihat game apa yang mereka mainkan. Namun toh, saya tidak paham game online tersebut. Saya duduk kembali, dan merenung dan saya melakukan aksi. Saya sentuh pundak salah satu remaja, “dik-dik main game apa?” Remaja itu tidak menanggapinya. Saya ulang beberapa kali, baru remaja itu menoleh. Saya bertanya: “Main game apa dik, kok asyik sekali?” Dia menjawab, “Menunjukkan Hpnya, game ini pak.” Saya: ”kok gak memperhatikan pagelaran wayangnya, dik?” Dia, “Saya gak mengerti wayang, saya gak suka wayang”. Saya, “Loh, Ini kan kebaktian, dan pagelaran wayangnya merupakan bagian isi khotbah hari raya undhuh-undhuh ini.” Dia merasa tidak nyaman dan kembali memainkan game di Hpnya. Agak lama saya menunggu, lantas saya tepuk kembali pundak si remaja tadi. “Dik, sampeyan datang ke sini kan untuk kebaktian. Tolong saya dibantu ya dik… menurut sampeyan, permainan game di HP yang pernah sampeyan mainkan, apa ada yang cocok untuk menggambarkan arti undhuh-undhuh ini, sehingga kebaktiannya juga dapat sampeyan ikuti dengan penuh sukacita. Dan sepulang kebaktian sampeyan dapat firman Allah, tetapi juga mengingatnya karena sesuai dengan gamenya dan kerinduan sampeyan beribadah.” Dia sempat sejenak memandang saya, lalu menjawab, “saya belum tahu.” Saya “Coba sampeyan cari ya dik, juga ajak teman-teman sampeyan sama-sama remaja untuk mencari game di HP yang dapat dipakai untuk memperjelas isi khotbah atau pengajaran. Tidak harus saat ini, bisa diteruskan ke pamong Remaja juga. Tolong aku dibantu ya dik, terima kasih.”
Apa yang saya sampaikan ke remaja tersebut tidak lepas dari pengalaman mengikuti “Workshop Penerapan Terapi Modifikasi Perilaku pada Problema Anak dan Remaja” yang diselenggarakan oleh Pusat Konseling dan Pengembangan Pribadi Universitas PETRA pada 12-13 Februari 2009. Saat itu penggunaan hand phone untuk game belum seperti saat ini. Namun konter-konter untuk game online, sudah banyak di kota besar seperti Surabaya. Anak saya kalau sudah main ragnarok bisa lupa pulang. Mereka tidak bisa dilarang untuk tidak main ragnarok, dikasih sangsipun tetap diterjang. Tidak diberi uang saku pun, mereka tetap dapat main game online tersebut. Anak-anak mampu membuat sesuatu yang dapat mengalahkan pemain yang lain, sesuatu itu ternyata laku dijual. Dana hasil penjualan sesuatu dari ragnarok tadi dikirim ke konter tempat mereka bermain. Dan jumlahnya dapat 10 sampai 50 kali uang saku harian.
Oleh karenanya, suatu hari ketika anak saya tiduran setelah pulang sekolah, saya ikut tiduran di sebelahnya. Kemudian saya bertanya, apa itu ragnarok? Bagaimana cara mainnya? Apa kesulitan main ragnarok? Apa keuntungan main ragnarok? Apa kerugiannya main ragnarok? Bagaimana mengatur waktu untuk belajar, untuk bermain dengan teman dan bermain ragnarok? Bagimu, main ragnarok lebih menguntungkan, menyenangkan atau lebih merugikan dan menyusahkan? Lalu apa yang harus dilakukan supaya yang menyenangkan, menguntungkan tidak hanya untuk diri sendiri tetapi untuk yang lain juga? Dari pengalaman inilah saya berani bertanya kepada seorang remaja GKJW Jemaat Mojowarno ketika undhuh-undhuh khusus anak-anak.
Anak dan Remaja hidup dalam zamannya, dan orangtua kemungkinan sudah tertinggal jauh dari kemampuan anak-anak dan dunia mereka. Namun kenyataannya, mereka masih dianggap tidak mempunyai arti, bahkan bukan apa-apa atau siapa-siapa, sehingga harus disuapi dengan “kebenaran” yang dimiliki oleh orangtua. Mereka belum pernah disapa sebagai manusia yang memiliki “kebenaran”, bahkan pengalaman iman. Bukankah semua manusia melakukan perjalanan dalam mencapai kesejahteraan hidup untuk mewujudkan impian dan cita-citanya? Anak dan remaja pasti punya religiusitas, dan oleh sebab itu mereka harus dilibatkan secara aktif untuk merumuskan kebaktian mereka. Mereka harus dibiasakan menggunakan hadiah alamiah, begitu dikatakan oleh Charles C. Manz dalam “Seni memimpin diri sendiri”. Ada dua macam hadiah alamiah: pertama hadiah dari luar, misalnya pujian, penghargaan, pengakuan. Kedua hadiah yang terikat dengan tugas dan kegiatan. Dicontohkan oleh Charles C. Manz kegemaran membaca. Membaca mendatangkan hadiah alamiah. Mengapa? Karena membuat pembaca merasa cakap dalam melakukan; membantu pembaca memiliki kemampuan mengendalikan diri; pembaca merasakan mempunyai tujuan. Hadiah alamiah ini akan membentuk perilaku fisik maupun mental. Perilaku akan memampukan diri untuk menyusun kembali kejiwaannya sehingga pola pikir, pengalaman yang dibayangkan serta dialog dengan diri sendiri akan mencapai efektivitas pribadi. Demikian juga tugas-tugas dan kegiatan-kegiatan yang lain, seperi game online.
Apakah memainkan game online di HP mendatangkah hadiah alamiah? Dalam kenyataannya, bermain game selain untuk bersenang-senang, juga dapat mengasah keterampilan anak dalam memecahkan masalah, melatih jiwa kepemimpinan, dan menambah wawasannya. Ini dampak positif dari game online. Memang ada bahaya, anak dapat kecanduan game. Supaya anak dan remaja memanfaatkan hal positif dari game online, dengan cara memilah dan memilih yang dapat dipergunakan untuk hal-hal yang memantabkan kepribadian. Bahkan remaja GKJW mampu memilih game sebagai salah satu sarana dalam ibadah.
Biarkanlah kebaktian anak dan remaja, undhuh-undhuh anak dan remaja dan kebaktian anak dan remaja lainnya sungguh-sungguh kebaktian mereka, bukan kebaktian orang dewasa yang dipaksakan kepada anak dan remaja. GKJW harus sungguh-sungguh mewujudkan panggilan ini. Karena religiusitas yang mendapat lahan subur pada masa kanak-kanak akan terus berkembang menyongsong masa depan. Berilah kesempatan anak dan remaja dan bantulah mereka untuk menggunakan game online sebagai bagian dalam tata kebaktian mereka. Dengan demikian mereka membiasakan diri melakukan peribadahan secara kreatif untuk mengalami perjumpaan dengan Tuhan Allah dan firman-Nya dan menterjemahkan peribadahan itu bagi kehidupan mereka, hari ini dan hari-hari yang akan datang.
“Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. (Mazmur 127: 3-4)
Pdt. Em. Bambang Margono Katjung
27 Oktober 2022.