Pekan Pemuda
Stola Putih
Bacaan 1 : Imamat 19:1-2,15-18
Bacaan 2 : 1 Tesalonika 2:1-8
Bacaan 3 : Matius 22:34-46
Tema Liturgis : Hidup Penuh Kasih dan Kudus
Tema Khotbah : Perilaku Kudus Mulai Dari Motifasinya
Keterangan Bacaan
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
Imamat 19:1-2,15-18
Kitab Imamat ditulis sekitar tahun 1445 – 1405 Seb.Masehi dan merupakan Kitab yang ke tiga yang ditulis oleh Musa setelah kitab Kejadian dan Kitab Keluaran.Kitab ini di tulis untuk mengajar umat Israel dan para Imamnya bagaimana caranya menghampiri Allah melalui ’darah dan pendamaian’ dan untuk menetapkan standar kehidupan kudus yang diatur dan ditetapkan oleh Allah bagi umat pilihanNya.
Bila pasal 18 membahas kekudusan dalam pernikahan, maka pasal 19 membicarakan kekudusan dalam berbagai aspek lainnya: keluarga (ayat 3a), ibadah kepada Tuhan (ayat 3b-8), pekerjaan (ayat 9-10), sikap dan tindakan terhadap sesama (ayat 11-16), bahkan motivasi di balik tindakan tersebut (ayat 17-18). Semua peraturan ini, khususnya yang berhubungan dengan sesama umat, termasuk orang asing, disimpulkan dalam hukum kasih: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (ayat 18b).
Betapa seriusnya peraturan ini tercermin dari penegasan Tuhan yang berulang kali: “Akulah Tuhan” (ayat 3, 4, 10, 12, 14, 16, 18). Bila diperhatikan dengan saksama, peraturan-peraturan ini mengulang, mempertegas, dan memperinci beberapa peraturan yang tertuang pada Sepuluh Perintah Allah (Kel. 20:3-20).
1 Tesalonika 2:1-8
Paulus menyebutkan beberapa alasan mengapa pelayanannya di Tesalonika tidak sia-sia. Semuanya jelas karena Allah saja. Allah telah memberanikan Paulus menanggung penganiayaan (ayat 3). Allah juga melayakkan Paulus menyaksikan Injil (ayat 4). Karunia Allah yang begitu besar dalam diri Paulus juga membentuk keteladanan yang indah sekali.
Paulus mewartakan Injil yang benar, bukan kesesatan (ayat 4) dengan didukung oleh motivasi yang murni (ayat 4-6), dengan kasih sayang yang besar (ayat 7-8) dan dengan pengorbanan yang besar (ayat 9).
Matius 22:34-46
Yesus menggiring ahli Taurat ini kepada hakikat ketaatan kepada Pemberi Hukum Taurat. Yang penting bukan melakukan hurufiah hukum-Nya, tetapi bagaimana hakikat menaati hukum-Nya dalam rangka menaati-Nya. Hukum-hukum yang Allah berikan adalah mencerminkan hakikat-Nya sendiri, yakni kasih dan bukan kewajiban. Itulah sebabnya menaati hukum-Nya karena kewajiban akan terasa berat dan hampa. Kasih kepada Allah itulah yang menjadi dasar ketaatan kita kepada hukum-Nya.
Yesus mengajarkan bahwa kita harus mengasihi Tuhan dengan segenap totalitas kehidupan (37), artinya tidak sedikit pun kita mengorupsi bagi kesenangan, kepentingan, dan keuntungan diri sendiri. Ketika kita tidak sepenuhnya menyatakan kasih kepada Allah, sesungguhnya kita telah gagal mengasihi, karena Allah menuntut kasih sepenuh hati. Oleh karena itu mengasihi sesama pun sebagai wujud kasih kita kepada Tuhan, dengan sepenuh totalitas kehidupan juga (39). Prinsipnya tidaklah dapat dipisahkan antara mengasihi Tuhan dan sesama.
Kini Yesus mengambil prakarsa membalikkan posisi dan status-Nya. Dari ditanya dan mempertahankan diri, kini Ia berbalik menanya dan mendesak mereka (ayat 42). Pertanyaan-Nya sederhana, yaitu siapa Mesias menurut mereka. Jawab menurut iman ortodoks dan tradisi Farisi, Mesias adalah anak Daud. Muatan di dalamnya bernuansa politis. Lalu Yesus makin menyudutkan mereka. Bagaimana mungkin Daud memanggil Mesias sebagai Tuan jika Mesias hanya anaknya, manusia biasa! Artinya, pengharapan mereka tentang siapa dan apa karya Mesias salah, jika hanya di sekitar konsep manusia belaka. Mesias dan karyanya pastilah ilahi sebab Daud menuankan Mesias jauh di atasnya (ayat 45).
BENANG MERAH TIGA BACAAN
Hidup kudus berarti hidup yang mewujudkan karakter kudus Allah. Beberapa hal penting bisa kita soroti dalam perenungan nas ini.
- Pertama, aspek-aspek ritual tidak terpisahkan dari aspek-aspek sosial. Ini menunjukkan dalam hidupnya, umat Tuhan tidak membedakan antara yang sekuler dan yang sakral. Semuanya harus dikuduskan demi Tuhan.
- Kedua, tuntutan hidup kudus tidak cukup hanya pada tataran tindakan, tetapi harus juga sampai ke akar motivasi. Motivasi yang kudus akan melahirkan tindakan kudus.
- Ketiga, motivasi kasih pada akhirnya menjadi puncak kekudusan hidup. Tidak ada kasih sama halnya tidak ada kekudusan.
RANCANGAN KHOTBAH: Bahasa Indonesia
(Ini hanya sebuah rancangan…bisa dikembangkan sendiri sesuai konteks jemaat)
Pendahuluan
Bicara tentang kekudusan, mungkin sebagian besar kita akan mengernyitkan dahi dan bergumam, “hemm,… apakah aku bisa dan sanggup hidup kudus? Sebab aku ini orang berdosa, setiap ibadah Minggu diajak untuk mengakui dosa-dosa. Yakin,… aku bisa?” Lalu kita menjadi frustasi dengan kata ‘kudus’ itu sendiri. Terlebih lagi jika di antara kita ada yang masih punya kebiasaan merokok, nginang, ngopi, kebiasaan minum soft drink atau minuman berenergi sering terkena sindiran ayat: “… tidak tahukah kamu bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu,… karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu” (1 Korintus 6:19-20), waduh,… semakin kecil-hati bagi kita untuk membahas “kekudusan”.
Mengapa? sebab rasanya non-sense (tidak mungkin), kita dapat hidup kudus. Rasa-rasanya yang bisa hidup kudus hanya berlaku bagi “mereka” yang tidak merokok (mengandung nikotin), tidak nginang (mengandung kapur), tidak minum kopi (mengandung caffeine), tidak minum soft drink dan minuman berenergi (mengandung sakarine). Lalu apakah kita dapat menjamin seluruh makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh kita, itu memang tidak mengotori kita? Lantas, apakah dengan demikian ketika kita hendak makan harus kita periksa laboratoriumkah, bahwa makanan dan minuman yang akan kita nikmati harus steril dari zat-zat, racun, bakteri yang dapat mengotori tubuh kita. Ah,… jadi rumit kita berpikir tentang kekudusan. Atau kita harus tidak makan dan tidak minum supaya tubuh kita tidak kena bakteri. Ah,… bisa cepat masuk peti kita, alias mati. Sementara, pengakuan iman yang kita ucapkan setiap minggunya menegaskan bahwa: Gereja adalah persekutuan orang kudus. Lalu?
Isi
Sebagian kita seringkali berpikir kudus berarti: tidak bercacat, tidak berdosa. Kamus besar bahasa Indonesia mengartikan kudus berarti: suci, murni. Mari kita berpikir tentang makna kekudusan dari sudut pandang terang Firman Tuhan hari ini:
Pertama, aspek-aspek ritual tidak terpisahkan dari aspek-aspek sosial. Ini menunjukkan dalam hidupnya, umat Tuhan tidak membedakan antara yang sekuler (kebendaan) dan yang sakral. Semuanya harus dikuduskan demi Tuhan. Hal ini menegaskan bahwa yang disebut kudus itu bukan dalam pengertian (definisi) tunggal. Kudus juga tidak dikaitkan dengan ketidakcacatan atau kesalehan pribadi (unsich) untuk diri sendiri, tetapi kekudusan hidup juga ada korelasi (hubungan) yang tidak terpisahkan dengan kehidupan sosial. Misalnya: Bukan berarti bahwa orang yang banyak berdoa pasti gaya hidupnya melimpah dengan ucapan syukur dan berbagi, jika: doanya hanya berisi segudang tuntutan kepada Tuhan untuk memberikan apa yang diinginkannya, menurut cara pandangnya sendiri, bukan kehendak Tuhan.
Kitab Ulangan pasal 19 membicarakan kekudusan dalam berbagai aspek lainnya: keluarga (ayat 3a), ibadah kepada Tuhan (ayat 3b-8), pekerjaan (ayat 9-10), sikap dan tindakan terhadap sesama (ayat 11-16), bahkan motivasi di balik tindakan tersebut (ayat 17-18). Semua peraturan ini, khususnya yang berhubungan dengan sesama umat, termasuk orang asing, disimpulkan dalam hukum kasih: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (ayat 18b).
Kedua, Kekudusan tidak hanya berlaku pada “dari apa yang kita lakukan” tetapi juga dari motivasi di balik tindakan tersebut. Maka Patutlah kita mengikuti teladan pelayanan Paulus ini bila kita sungguh ingin menjadi hamba Tuhan yang layak bagi-Nya. Dari Paulus kita dapat belajar bagaimana Paulus mewartakan Injil yang benar, bukan kesesatan (ayat 4) dengan didukung oleh motivasi yang murni (ayat 4-6), dengan kasih sayang yang besar (ayat 7-8) dan dengan pengorbanan yang besar (ayat 9).
Ilustrasi: Bayangkan ada dua gelas di hadapan Anda. Yang satu terbuat dari kristal dengan ukiran cantik. Mahal, tetapi bagian dalamnya kotor dan berdebu. Yang satu lagi gelas plastik murahan, tetapi dicuci bersih. Jika Anda ingin minum, mana yang akan Anda pakai? Saya yakin Anda memilih gelas yang murah, tetapi bersih! Gelas semewah apa pun, jika dalamnya kotor dan berdebu, menjadi tidak berguna.
Setiap anak Tuhan adalah “gelas kristal”. Kristus telah menebus kita dengan darah yang mahal, sehingga kita menjadi milik-Nya yang sangat berharga. Itu sebabnya Tuhan ingin memakai kita menjadi alat-Nya, untuk menyalurkan “air hidup” kepada orang-orang di sekitar kita. Namun, itu akan terhalang jika kita tidak rajin membersihkan “debu” yang mengotori hati dan hidup kita.
Ketiga,Prinsip kekudusan tidaklah dapat dipisahkan antara mengasihi Tuhan dan sesama. Kita tidak dapat memilih, aku mengasihi Tuhan saja, atau aku mengasihi sesama saja. Tidak bisa. Kekudusan bercirikan kasih kepada Tuhan dan sesama menjadi satu kesatuan. Tidak berdiri sendiri-sendiri sehingga kita dapat memilih salah satu. Maka, mengimani Tuhan, mengimani kekudusannya tidak bisa hanya pada tataran konsepsi, tetapi semua itu perlu diterjemahkan ke dalam hidup sehari-hari. Sehingga kekudusan juga bukan sebuah konsepsi kosong tanpa isi, tetapi kekudusan merupakan bagian melekat dalam kekristenan.
Yesus mengajarkan bahwa kita harus mengasihi Tuhan dengan segenap totalitas kehidupan (37), artinya tidak sedikit pun kita mengorupsi bagi kesenangan, kepentingan, dan keuntungan diri sendiri. Ketika kita tidak sepenuhnya menyatakan kasih kepada Allah, sesungguhnya kita telah gagal mengasihi, karena Allah menuntut kasih sepenuh hati. Oleh karena itu mengasihi sesama pun sebagai wujud kasih kita kepada Tuhan, dengan sepenuh totalitas kehidupan juga (39).
Penutup
Agar dapat dipakai Tuhan, kita harus hidup dalam kekudusan. Tak membiarkan hawa nafsu mencemari dan menguasai hati. Tuhan meminta kita menjadi kudus dalam seluruh aspek hidup. Bukan hanya di gereja, melainkan juga di tempat kerja dan dalam keluarga. Hidup kudus adalah keharusan, bukan pilihan. Tuhan berfirman, “Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan Allahmu, kudus” (Imamat 19:2b).
Adakah “kotoran” yang masih menempel di hati Anda? Bentuknya bisa berupa dendam, amarah, nafsu yang merusak, niat jahat, atau kebiasaan dosa yang terus dipelihara. Kita harus sering membersihkan hati. Membuatnya tetap murni, agar Tuhan dapat terus memakai kita menjadi saluran berkat-Nya. Sayang, jika kita hanya menjadi gelas kristal kotor, indah namun tak berguna. Pekan pemuda kali ini, mari kita perbaharui komitmen kita untuk hidup kudus, dalam pelayanan kita kepada Tuhan dan sesama. Amin. (pong)
Nyanyian: KJ 424
—
RANCANGAN KHOTBAH: Basa Jawi
Pembuka
Ngrembag bab suci, mbokmenawi kita badhe cilik ati lan mbatin: ”hemm . . . apa aku bisa urip suci? Amarga aku dosa, saben minggu diundang kanggo ngakoni dosa-dosaku. Yakin, aku bisa?” Banjur kita judheg karepe dhewe kaliyan tembung ‘suci’ wau. Menapa malih, yen wonten ing antawis kita ingkang taksih gadhah pakulinan udud, nginang, ngombe kopi, ngombé ombenan energi asring kapapag ayat sindhiran: ”. . . apa kowe padha ora sumurup, yèn badanmu iku dadi padalemané Roh Suci kang ana ing kowé . . . Mulane padha ngluhurna Gusti Allah srana badanmu” (1 Korinta 6: 19-20), waduh, sangsaya ngatos-atos kita ngrembag bab “kasucen”.
Kenging menapa? Amargi kita ngraosaken mokal kita saged gesang suci. Kadosipun ingkang saged gesang suci namung para tiyang ingkang boten ngudud (ngadhut nikotin), boten nginang (ngandhut kapur), boten ngunjuk kopi (ngandhut caffeine), boten ngunjuk omben-omben berenergi (ngandhut sakarine). Pitakenanipun, menapa kita saged njamin bilih tedhan lan omben ingkang mlebet ing raga kita punika steril (saestu “resik”)? Menapa kita kedah tindak dhateng laboratorium, bilih tedhan lan omben ingkang lumebet raga kita punika boten mbebayani?
Isi
Saperangan kita asring menggalih bab tembung ‘suci’ ateges boten cidra, boten dosa. Kamus ageng basa Indonesia negesaken, suci punika murni. Sumangga kita raosaken bab tegesipun suci saking pangandikanipun Gusti dinten punika:
Sepisan, aspek sembahyang punika boten uwal saking aspek sosial. Punika nedahaken bilih umatipun Gusti mesthinipun boten misahaken prekawis ingkang bab urusan donya kaliyan karohanen. Sedaya menika kedah kasucekaken dening Gusti. Bab menika negesaken bilih ingkang kasebat suci punika sanes pangertosan ingkang tunggal. Suci ugi boten kagandhengaken kaliyan boten cacat, kaluhuran pribadi kangge awake dhewe, nanging wonten gegayutipun kaliyan gesanging manungsa saben ari.
Kaping kalih, kasucen boten namung kelampahan saking menapa ingkang badhe kita tindakaken nanging ugi dhedhasar saking kita nglampahi tumindak kalawau. Mila pantes menawi kita nuladhani Paulus menawi kita badhe saestu badhe dados abdinipunn Gusti. Saking Paulus kita saged sinau kados pundi martosaken Injil ingkang yekti, sanes mblasaraken, kanthi gumolonging manah, srana katresnan lan pangorbanan adi. Kalajengaken ilustrasi.
Kaping tiga, kasucen boten saged kapisahaken antawisipun nresnani Gusti lan sesami. Kita boten saged milih, kula tresna Gusti kemawon utawi kula tresna sesami kemawon. Boten saged! Awit kasucen punika cirinipun kanthi nresnani Gusti lan sesami dados satunggil tanpa kenging kapisah. Mila, pitados dhumateng Gusti boten kenging namung wonten ing lathi, nanging mangejawantah ing gesang saben dinten. Satemah kasucen boten namung pamanggih ingkang kosong tanpa isi, nanging kasucen inggih perangan ingkang gandheng ing salebeting kekristenan.
Gusti Yesus mucal bilih kita kedah nresnani Gusti kanthi gumolonging manah, ateges boten kenging kita nggugoni kasenengan, kapentingan lan kasenengan pribadi. Nalika kita boten sawetahipun nresnani Gusti klayan gumolonging manah, sejatosipun kita sampun gagal nresnani, krana Gusti Allah menika ngersakaken kita nresnani kanthi gumolonging manah.
Panutup
Supados saged kaagem dening Gusti, kita kedah gesang suci. Boten ngumbar hawa napsu ingkang nguwaosi ati. Gusti ngersakaken gesang suci ing salebeting gesang. Boten anamung ing pasamuwan, ananging ing salebeting pakaryan ugi ing brayat. Gesang suci punika pepesthen sanes pilihan. Gusti dhawuh: ”sira padha disuci, awitdene Ingsun Yehuwah Allahira iku suci” (Kaimaman 19:16).
Menapa wonten ‘rereged’ ingkang taksih nggandholi manah kita? Wujudipun saged sengit, nepsu, niyat cidra, laku bedhang ingkang terus nggandholi gesang kita. Kita kedah asring ngresiki manah kita, dados suci, murni supados Gusti terus ngagem kita dados talanging berkahipun. Eman menawi kita namung dados gelas Kristal ingkang rusuh, endah tanpa guna. Ing pekan pemuda samangke, sumangga kita ngenggalaken manah kita, gesang suci, ing salebeting peladosan dhateng Gusti wah sesami. Amin. [pong]
Pamuji: KPK. 85