Sabtu Sunyi – Pekan Suci
Stola Putih
Bacaan 1: Ayub 14 : 1 – 14
Mazmur: Mazmur 31 : 1 – 4, 15 – 16
Bacaan 2: 1 Petrus 4 : 1 – 8
Bacaan 3: Matius 27 : 57 – 66
Tema Liturgis: Memandang Salib Rajaku
Tema Khotbah: Dalam Keterbatasan dan Penderitaan Hidup Ada Pengharapan dalam Tuhan
Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
Ayub 14 : 1 – 14
Perikop ini mengisahkan tentang penderitaan yang dialami Ayub sungguh berat, sehingga mengakibatkan ia berpikir untuk memilih jalan kematian sebagai cara untuk mengakhiri penderitaannya. Namun kemudian Ayub menemukan pengharapan dalam penderitaan berat yang dialaminya. Ayub percaya bahwa setelah mati dan memasuki dunia orang mati Allah akan memanggil dia keluar dari kubur. Dengan kata lain, Ayub mengungkapkan harapan akan kebangkitan pribadi. Dasar penantian yang penuh harapan ini, ialah kasih Allah yang sungguh-sungguh bagi umat-Nya. Ayat 15 menggambarkan: Engkau akan rindu kepada buatan tangan-Mu. Untuk sesaat Ayub menjangkau kepada Allah dengan ungkapan iman yang meluap-luap. Allah menghendaki agar semua orang percaya yang menderita dan tertindas di bumi ini mengetahui bahwa suatu hari kebangkitan dan kemenangan akan tiba dan mereka akan bersama-sama dengan Dia untuk selama-lamanya.
1 Petrus 4 : 1 – 8
Rasul Petrus menasihati orang percaya untuk menghadapi tekanan atau penderitaan dengan ajakan menguasai diri dan menjadi tenang (Ay. 7). Penguasaan diri dalam bahasa Yunani “Nefalios”, yang berarti menahan diri, yang juga dapat dipahami sebagai perkembangan hati yang jelas dari orang percaya yang mulai dengan kepercayaan dan mencapai puncaknya dalam cinta kasih. Hal ini juga telah diteladankan oleh Kristus (Ay. 1). Dia juga telah mengalami penderitaan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang mati agar mendapatkan hidup (Ay. 6). Kemampuan menguasai diri akan membuat orang percaya dapat membangun hubungan komunikasi dengan Allah di dalam doa. Hanya dengan berdoa orang percaya dapat terjaga dan mampu menata semua persoalan dengan baik. Orang percaya yang mampu menguasai dirinya jugalah yang dapat kuat menghadapi tekanan/penderitaan hidup dan tetap mampu meneladani Kristus. Sehingga mereka tetap mampu hidup seturut kehendak Allah, bahkan rela menderita seperti Kristus. Mereka yang bersedia menderita bagi Kristus menemukan bahwa lebih mudah untuk menolak dosa dan mengikuti kehendak Allah. Mereka telah menyatu dengan Kristus dan salib-Nya. Sebagai akibatnya daya tarik dosa menjadi tidak berarti dan kehendak Allah menjadi yang terpenting (Ay. 2). Prinsip rohani ini akan berlaku dalam kehidupan semua orang percaya. Menaati Allah, bahkan jika itu berarti penderitaan, ejekan, atau penolakan akan memperkuat kita secara moral dan rohani, dan kita juga akan menerima kasih karunia yang lebih besar dari Allah (Ay. 14).
Rasul Petrus juga mengajak orang percaya untuk mengasihi seorang dengan yang lain. Meskipun banyak masalah, persoalan, dan pergumulan hidup orang percaya harus melakukan kasih. Ketika Yesus akan disalibkan, berulang kali Ia menasihati murid-murid-Nya, “waktunya sudah dekat, kalian harus saling mengasihi” (bnd.Yoh. 13:33-35). Kekuatan murid-murid terletak dari bagaimana mereka saling mengasihi. Waktu yang penuh tekanan dan menggelisahkan dapat dihadapi kalau memiliki kasih yang Tuhan berikan.
Matius 27 : 57 – 66
Bacaan ini menyaksikan tentang pemakaman jenazah Tuhan Yesus yang telah mati di salib. Menurut adat Yahudi, orang mati harus segera dikuburkan. Tetapi kebiasaan penjajah Roma terhadap orang yang dihukum sebagai penjahat berbeda. Mayat dibiarkan tergantung sebagai tontonan sampai membusuk. Sadar bahwa Yesus tidak bersalah, Pilatus mengizinkan Yusuf dari Arimatea untuk menguburkan mayat Yesus. Yusuf Arimatea menguburkan mayat Yesus di kubur (hanya orang kaya memiliki kubur), sesuai nubuat Yesaya (Yes. 53:9). Berbagai peristiwa di sekitar penguburan ini membuktikan bahwa Yesus sungguh sudah mati, sesuai rencana Allah untuk-Nya.
Menyaksikan kematian Sang Guru, perasaan kehilangan sungguh dirasakan para murid Yesus. Apalagi ditambah dengan “hilangnya” harapan mereka kepada Sang Guru yang telah menderita dan kemudian mati di kayu salib, yang jasadnya diturunkan lalu dikuburkan. Namun, rupanya apa yang sudah terjadi pada Yesus saat itu belum memuaskan orang-orang yang membenci-Nya. Mereka masih meminta kepada Pilatus agar kubur Yesus dijaga oleh tentara selama tiga hari. Alasannya ialah: mereka takut kalau para murid membuat berita sensasi, yakni dengan mencuri mayat Yesus lalu menyebarkan berita bohong bahwa Yesus bangkit dengan bukti kubur telah kosong. Dalam situasi seperti ini sering manusia hilang kendali.
Benang Merah Tiga Bacaan:
Kematian adalah sesuatu yang pasti dialami oleh makhluk hidup di dunia ini, termasuk manusia. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan di dunia ini, termasuk juga manusia itu fana, terbatas, dan juga dapat mengalami kesedihan dan penderitaan. Hal ini bisa menjadikan manusia kehilangan pengharapan. Dengan melihat dan menghayati peristiwa yang dialami Tuhan Yesus, kita diharapkan dapat menjalani proses dalam hidup kita dengan mengikuti kehendak Tuhan, bukan mengikuti angan-angan kita sendiri, supaya kita bisa memiliki ketenangan dan kesabaran. Karena dengan ketenangan dan kesabaran inilah yang menjadi kunci agar kita bisa menghadapi dan menjalani kenyataan hidup yang terbatas, yang dapat mengalami kesedihan dan penderitaan ini.
Rancangan Khotbah: Bahasa Indonesia
(Ini hanyalah sebuah rancangan khotbah, silakan dikembangkan sesuai dengan konteks jemaat masing-masing)
Pendahuluan
Kita menyadari bahwa semua makhluk hidup di dunia ini, cepat atau lambat akan mengalami kematian, sebab semuanya fana. Tetapi, jika kematian itu belum menimpa kita atau orang-orang terdekat kita, mungkin kita menganggap bahwa kematian itu hanya peristiwa yang wajar, sebab yang hidup itu akan mati. Hal ini akan berbeda jika kita mengalaminya sendiri. Misal, saat kita melewati sakit yang sudah divonis tidak dapat sembuh atau lolos dari tragedi maut. Kejadian semacam ini biasanya akan membuat orang menyadari betapa berharganya kehidupan. Kematian juga bukan perkara biasa jika hal tersebut dialami oleh keluarga atau orang-orang terdekat kita. Hal itu tentu dapat menyebabkan kesedihan bahkan menjadikan frustasi.
Isi
Umumnya, kehilangan orang-orang yang dikasihi merupakan salah satu peristiwa yang menyakitkan dalam kehidupan manusia. Hal ini dapat membuat seseorang sulit untuk menerima kenyataan sehingga mengakibatkan frustasi. Bisa jadi hal ini jugalah yang dialami oleh para murid Tuhan Yesus dan orang-orang yang dekat dengan Tuhan Yesus, saat menghadapi kenyataan bahwa Yesus, Sang Guru, yang menjadi tumpuan dan pengharapan mesianik, telah mati dengan cara yang mengerikan, disiksa dan disalibkan. Para murid pasti mengalami mengalami kesedihan yang mendalam bahkan mungkin juga shock. Mereka terkejut dan mungkin juga tidak percaya akan kematian Yesus yang sangat mengerikan itu. Semula ada harapan besar bahwa Sang Mesias dapat mewujudkan mimpi-mimpi mereka, seperti pemahaman orang Israel pada umumnya mengenai mesias, bahwa mesias adalah tokoh perkasa yang akan menghancurkan imperium Romawi. Namun nyatanya, kematian telah mengubur semua impian indah itu. Bagi para murid dan bagi banyak orang, kematian adalah akhir dari segala-galanya. Jika kematian adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat ditolak, lalu apakah kematian itu menjadi akhir bagi segalanya dan menghilangkan semua harapan?
Kita belajar dari Ayub dalam bacaan pertama. Awalnya, Ayub adalah orang yang saleh dan kaya raya, yang hidupnya berkelimpahan. Tetapi semua itu berubah. Ayub ditimpa kemalangan, seluruh hartanya habis, bahkan anak-anaknya mati. Keadaan ini membuat Ayub bergumul dan mencari makna di balik penderitaan. Sebagai orang saleh, tentulah Ayub sangat yakin bahwa TUHAN mempunyai kuasa mutlak atas segalanya. Baginya, penderitaan pahit yang sedang dialami merupakan pukulan dan murka TUHAN. Itulah sebabnya ia datang kepada TUHAN dan meminta untuk “menyembunyikanku di dalam dunia orang mati…sampai murka-Mu surut.”(Ayub 14:13). Ayub memandang bahwa kematian adalah cara mengakhiri kepahitan hidupnya. Kematian adalah akhir dari segalanya. Sepertinya, pandangan semacam ini juga masih ada dalam kehidupan kita, termasuk orang Kristen sendiri. Sehingga saat orang mengalami penderitaan karena berbagai persoalan dalam hidup, banyak orang yang tidak tahan dan akhirnya lebih memilih untuk mati. Jangan-jangan, kematian dipandang sebagai cara instan untuk beralih dari “kesakitan” akibat penderitaan kepada tidur panjang yang dipandang lebih nyaman. Karena itulah, masih ada orang-orang yang melakukan bunuh diri atau orang yang lama sakit, minta didoakan agar TUHAN segera mengakhiri hidupnya.
Sebenarnya, dibalik keluh kesah Ayub tentang penderitaan dan keterbatasan hidup karena kematian, ada sebuah keyakinan Ayub bahwa masih ada cinta kasih TUHAN. Cinta kasih TUHAN itulah yang membuat Ayub percaya bahwa setelah mati dan memasuki dunia orang mati Allah akan memanggil dia keluar dari kubur. Ayub 14:15-17 menyebutkan: ”… maka Engkau akan memanggil, dan aku pun akan menyahut; Engkau akan rindu kepada buatan tangan-Mu. Sungguhpun Engkau menghitung langkahku, Engkau tidak akan memperhatikan dosaku; pelanggaranku akan dimasukkan di dalam pundi-pundi yang dimeteraikan, dan kesalahanku akan Kaututup dengan lepa.” (Ayub 14:15-17). Memang kematian tidak dapat dihindari oleh manusia, tetapi selalu ada pengharapan bahwa akan ada kebangkitan orang-orang mati di dalam Tuhan.
Berbeda dengan Ayub yang kehilangan segalanya dan mengalami penderitaan fisik karena penyakit yang dialaminya, para murid Yesus saat itu kehilangan Guru mereka, tetapi tidak menderita secara fisik. Namun, para murid merasa terancam oleh kelompok orang yang menyalibkan Yesus. Dalam kadar yang berbeda, perasaan mereka kurang lebihnya sama dengan apa yang dialami oleh Ayub dan semua orang yang kehilangan segala-galanya, seperti orang yang dikasihi, harapan, arah hidup dan segala yang indah. Para murid membayangkan penderitaan dan kemalangan Sang Guru. Yesus yang mereka cintai mengalami penderitaan berat, begitu buruk rupanya, luka-luka yang menganga bekas cambuk, luka-luka di sekujur tubuh bekas cambuk, paku dan tusukan tombak lalu kemudian mati di tiang salib. Jelas luka-luka ini tidak kalah mengerikan dan menyakitkan dari penyakit Ayub.
Setelah itu, Jenazah Yesus diturunkan dari salib, dibalut kain kafan lalu dikuburkan. Bagi para murid, kondisi jenazah yang demikian pasti sangat menyedihkan. Tetapi, hal itu nampaknya belum memuaskan para pembenci Yesus. Mereka masih meminta kepada Pilatus agar kubur Yesus dijaga oleh tentara selama tiga hari (Matius 27:62-66). Mengapa? Mereka takut kalau para murid itu membuat berita sensasi; mencuri mayat Yesus lalu menyebarkan berita bohong bahwa Yesus bangkit dengan bukti kubur telah kosong. Di samping itu, mereka juga mengingat sebelum Yesus mati, Ia pernah mengatakan bahwa setelah tiga hari kematian-Nya, Ia akan bangkit (Matius 16:21). Pilatus mengabulkan permintaan mereka dengan memberi penjaga-penjaga untuk menjaga kubur Yesus itu.
Dengan kematian sang Guru, pasti menjadikan para murid-Nya sangat terpukul. Mereka putus asa dan mencoba menyelamatkan diri masing-masing. Ini terbukti, tak satu pun murid terdekat Yesus yang hadir dalam pemakaman-Nya, kecuali para perempuan, yaitu Maria Magdalena dan Maria yang larut dalam kesedihan. Kesedihan yang mendalam, bisa menjadikan pikiran kacau, bingung. Hal ini dapat membuat seseorang mudah hilang kendali, frustasi, dan kehilangan pegangan. Inilah yang dapat menjadikan hidup menderita. Jika sudah seperti ini, biasanya dapat menjadikan seseorang untuk menyakiti diri sendiri atau orang lain, menyalahkan Tuhan dan bahkan membuat orang mengambil jalan pintas dengan mengakhiri hidupnya. Tetapi kegelisahan para murid akan kematian Sang Guru merupakan sebuah proses yang nantinya akan menemukan bahwa harapan mereka tidaklah sia-sia. Di balik sunyinya kematian Sang Guru, mereka akan melihat harapan itu akan menjadi nyata. Sebab Tuhan akan menjawab dengan kebangkitan-Nya dan dengan menampakkan diri kepada mereka. Tetapi sebelum itu, para murid harus mengikuti rancangan-Nya dan bukan angan-angan mereka sendiri.
Penutup
Sabtu sunyi mengajak kita untuk menyadari bahwa kenyataan di dalam kehidupan kita di dunia ini fana dan terbatas. Kita juga bisa mengalami penderitaan dan kesedihan yang mendalam. Penderitaan dan kesedihan ini dapat membuat pikiran kacau, bingung. Hal ini dapat membuat seseorang mudah hilang kendali, frustasi, dan kehilangan pegangan. Agar hal tersebut tidak terjadi dalam kehidupan kita, Rasul Petrus dalam bacaan kita mengingatkan supaya kita dapat menguasai diri dan tenang (1 Ptr. 4:7), karena masalah yang sesungguhnya terletak pada diri kita sendiri. Sebab itu, menguasai dan mengendalikan diri adalah kunci menyelesaikan masalah kita. Persoalannya adalah bagaimana menguasai diri dalam kondisi panik dan gelisah? Menguasai diri berarti mampu menata semua persoalan dengan baik dan tidak mudah dikejutkan oleh berbagai masalah. Menguasai diri juga dapat berarti berlaku waras, tidak seperti orang yang tidak waras atau kerasukan, dimana ia tidak tahu apa yang terjadi di sekitarnya, tidak tahu siapa dirinya, berteriak-teriak, dan perilaku lain yang menunjukkan ketidakwarasan. Resep untuk menghadapi masalah hidup adalah menguasai diri dan menjadi tenang supaya kita dapat berdoa. Hanya orang yang menguasai diri yang dapat berdoa dengan baik, sehingga tahu petunjuk Tuhan dan dapat merasakan kasih Tuhan Allah dalam hidupnya. Orang yang demikian akan kuat dalam menghadapi hidup yang terbatas dan penuh dengan kesedihan dan penderitaan ini. Sebab dia mampu melihat pengharapan di dalam Tuhan yang nyata. Amin. [nn].
Pujian: KJ. 169 Memandang Salib Rajaku
Rancangan Khotbah: Basa Jawi
(Punika namung rancangan khotbah, saged dipun kembangaken miturut konteks pasamuwan piyambak)
Pambuka
Kita tamtu mangertos bilih sadaya makhluk ingkang gesang ing jagad punika, cepet punapa dangu tamtu ngalami ngajal, awit sadaya ingkang gesang punika winates kawontenanipun. Nanging saderengipun ngajal punika kita alami utawi dipun alami dening tiyang-tiyang ingkang celak kaliyan kita, menawi kita nganggep bilih ngajal punika namung prastawa limrah kemawon, awit ingkang gesang sadaya tamtu badhe ngalami. Prekawis punika saged benten bilih kita ngalami piyambak. Umpami, nalika kita saras saking sakit ingkang sanget, utawi saged uwal saking kacilakan ingkang meh ndadosaken kita ngajal. Prastawa kados mekaten saged ndadosaken tiyang langkung ngregani pigesangan punika. Ngajal sanes dados prastawa limrah, nalika dipun alami dening tiyang-tiyang ingkang celak kaliyan kita, awit punika saged nuwuhaken kasisahan, malahan ugi ndadosaken kita nglokro utawi frustasi.
Isi
Limrahipun, kecalan tiyang ingkang kita tresnani punika minangka prastawa ingkang ndadosaken serik ing pigesanganipun manungsa. Punika saged ndadosaken manungsa ewed nampi kasunyatan matemah ndadosaken piyambakipun nglokro utawi frustasi. Mekaten punika saged ugi ingkang dipun alami dening para sekabatipun Gusti Yesus lan tiyang-tiyang ingkang celak kaliyan Panjenenganipun, nalika nampi kasunyatan bilih Gusti Yesus, Sang Guru, ingkang dados pangajeng-ajeng minangka Sang Mesih, ngalami seda karana dipun siksa lajeng dipun salib. Para sakabat tamtu ngalami raos sisah ingkang lebet. Para sakabat wau saged ugi kaget lan ugi mboten pitados dhateng sedanipun Sang Guru kanthi cara ingkang nggegirisi. Wiwitanipun wonten pangajeng-ajeng ingkang ageng bilih Sang Mesih punika saged mujudaken “impenipun” para sakabat, kados dene pemanggihipun tiyang Israel ngengingi Sang Mesih, bilih sang Mesih punika priyantun ingkang prakosa, ingkang saged ngawonaken bangsa Rum. Nanging nyatanipun, ngajal sampun ngicalaken sadaya angen-angen ingkang endah punika. Tumrap para sakabat lan ugi tiyang-tiyang nalika semanten, ngajal punika minangka pungkasan tumrap sadaya samukawis. Bilih ngajal punika minangka kasunyatan ingkang mboten saged dipun tampik, lajeng punapa ngajal punika dados pungkasanipun sadaya samukawis lan nyirnakaken sadaya pengajeng-ajeng?
Kita saged sinau saking Ayub ing waosan sepisan. Wiwitanipun, Ayub punika tiyang saleh lan sugih donya brana. Nanging Ayub nampi musibah, sadaya bandhanipun telas, mekaten ugi yoga-yoganipun sami pejah. Kawontenan ingkang mekaten ndadosaken Ayub menggalih lan madosi tegesipun gesang ingkang kebak kasisahan punika. Minangka tiyang saleh, Ayub punika yakin bilih Gusti Allah punika nggadhahi panguwaos tumrap sadayanipun. Tumrap Ayub, kasisahan ingkang dipun alami punika minangka bebendu saking Gusti. Awit saking punika, Ayub nyelak dhumateng Gusti lan nyuwun, “ngumpetaken kawula wonten ing teleng palimengan… ngaling-alingi kawula ngantos sasirepipun bebendu Paduka.” (Ayub 14:13). Ayub nggadhahi pemanggih bilih ngajal punika minangka cara kangge mungkasi kasisahaning gesang. Ngajal punika minangka pungkasan tumrap sadayanipun. Pemanggih ingkang kados mekaten, ketingalipun nggih taksih wonten ngantos samangke, kalebet ugi ing satengahing gesangipun tiyang kristen. Matemah nalika tiyang ngalami maneka warni prekawis lan punika ndadosaken sisah lan sangsara ing pigesangan, kathah tiyang ingkang mboten kiyat lan pungkasanipun langkung milih ngajal. Kinten-kinten ngajal punika dipun mangertosi minangka margi ingkang cepet kangge ngewahi gesang ingkang “sakit” karana sangsara lan sisah. Awit saking punika, taksih wonten tiyang-tiyang ingkang bunuh dhiri utawi nyuwun donga supados Gusti Allah enggal nimbali piyambakipun.
Estunipun, saking uneg-unegipun Ayub karana gesang ingkang sangsara lan winates karana ngajal punika, taksih wonten imanipun Ayub, bilih taksih wonten katresnanipun Gusti Allah. Katresnanipun Gusti Allah punika ingkang ndadosaken Ayub pitados bilih sasampunipun pejah, Gusti Allah badhe nimbali piyambakipun medal saking kubur. Ayub 14:15-17 nyebataken: “Paduka lajeng badhe nimbali kawula, saha kawula badhe ngunjuki wangsulan; Paduka badhe kangen dhateng pakaryaning asta Paduka. Paduka lajeng mboten badhe nggatosaken dosa kawula, sanadyan Padula mical jangkah kawula, panerak kawula lajeng sami kalebetaken ing kanthong ingkang kasegel, sarta Paduka badhe nutupi rapet kalepatan kawula.” Pancen ngajal punika mboten saged katampik dening manungsa, nanging tansah wonten pangajeng-ajeng bilih ing salebeting Gusti wonten patangen tumrap tiyang pejah.
Benten kaliyan Ayub ingkang kecalan donya brana lan badanipun ngalami sakit karana penyakit, para sakabatipun Gusti Yesus nalika semanten kecalan Sang Guru, nanging badanipun mboten ngalami sakit. Nanging gesangipun para sakabat mboten saged jenjem awit taksih ngrumaosi kaancam dening kelompok tiyang ingkang sampun nyalibaken Gusti Yesus. Punika kinten-kinten ingkang ndadosaken kawontenanipun para sakabat wau meh sami kaliyan Ayub. Para sakabat punika ugi kecalan tiyang ingkang dipun tresnani, inggih punika Sang Guru, kecalan pangajeng-ajeng, arah gesang, lan ugi sadaya ingkang elok. Para sakabat sami ngengeti kasangsaranipun Gusti Yesus. Gusti Yesus ingkang dipun tresnani, ngalami kasangsaran, dipun siksa, lajeng dipun salib ngantos ngajal. Punapa ingkang dipun alami dening Gusti Yesus tamtu langkung mrihatosaken katimbang Ayub.
Samantunipun Gusti Yesus seda ing salib, layonipun dipun ngandhapaken, lajeng dipun bebet mori lan dipun sarekaken. Tumrap para sakabat, kawontenan layonipun Gusti Yesus ingkang kados mekaten estu mrihatosaken. Nanging sadaya punika taksih dereng ndadosaken leganing manahipun tiyang-tiyang ingkang gething kaliyan Gusti Yesus. Tiyang-tiyang punika taksih nyuwun dhateng Pilatus supados pasareanipun Gusti Yesus dipun jagi ngantos tigang dinten (Matius 27:62-66). Kenging punapa? Awit tiyang-tiyang wau ajrih bilih para sakabatipun Gusti Yesus punika ndamel warta ingkang ngedab-edabi, mendhet layonipun Gusti Yesus, lajeng nyebar pawartos bilih Gusti Yesus sampun wungu kanthi bukti kubur sampun kothong. Kejawi punika, tiyang-tiyang wau ugi enget dhateng pangandikanipun Gusti Yesus saderengipun seda nate ngendikan bilih samantunipun tigang dinten saking sedanipun, Panjenenganipun badhe wungu (Matius 16:21). Pilatus lajeng maringi panjagan malahan ugi nyegel pasareanipun Gusti Yesus.
Sedanipun Sang Guru, tamtu ndadosaken para sakabat sisah sanget. Para sakabat punika ugi kuciwa lan nglokro, pramila lajeng ndelik pados slametipun piyambak-piyambak. Punika saged katingal saking waosan Injil wau, ing pundi mboten wonten para sakabat ingkang celak kaliyan Gusti Yesus ingkang ndherek nyarekaken layonipun Sang Guru, kejawi namung para pawestri, inggih punika Maryam Magdalena lan Maryam sanesipun ingkang saweg sisah sanget. Kasisahan ingkang sanget punika saged ndadosaken penggalih dados ruwet, bingung. Punika saged ndadosaken manungsa ewed ngendhaleni dhiri, gampil stres, lan kecalan cepengan gesang. Punika ingkang saged ndadosaken gesang sangsara. Bilih sampun kados mekaten, saged ugi tiyang punika nindakaken tumindak ingkang awon, kadosta nyiksa dhirinipun piyambak utawi tiyang sanes, nglepataken Gusti, lan saged ugi tiyang punika nekad mungkasi gesangipun. Nanging sejatosipun punapa ingkang dipun alami dening para sakabat punika minangka perangan saking lampahipun gesang ingkang pungkasanipun saged manggihaken bilih pangajeng-ajeng dhumateng Gusti Yesus punika mboten muspra. Saking sedanipun Sang Guru, para sakabat punika badhe ningali pangajeng-ajengipun dados nyata. Awit Gusti Yesus badhe mangsuli lumantar wungun-Ipun lan lumantar anggenipun ngetingalaken dhateng para sekabat. Nanging saderengipun, para sekabat kedah manut dhateng rancanganipun Gusti, mboten manut dhateng angen-angenipun piyambak.
Panutup
Sabtu sunyi ngajak dhateng kita ningali kasunyatan bilih pigesangan kita ing jagad punika winates lan kita saged ngalami kasisahan ingkang lebet sarta ngalami kasangsaran. Kasisahan lan kasangsaran punika saged ndadosaken penggalih kita ruwet lan bingung. Kawontenan punika saged ndadosaken tiyang gampil nglokro, kecalan pangajeng-ajeng, kuciwa dhateng Gusti lan nilaraken Panjenenganipun. Supados punika mboten ngantos kelampahan ing gesang kita, Rasul Petrus sampun ngengetaken kita, supados kita saged ngemudheni dhiri lan sareh (1 Ptr. 4:7), awit prekawis punika sejatosipun mapan wonten ing dhiri kita piyambak. Awit saking punika, ngemudheni dhiri lan sareh, punika saged dados kunci kangge mrantasi masalah kita. Pitakenanipun, kados pundi kita saged ngemudheni dhiri lan sareh nalika kita saweg bingung, melang-melang? Ngemudheni dhiri tegesipun kita saged nata sadaya prekawis kanthi sae lan mboten gampil kaget dening prekawis. Ngemudheni dhiri punika ugi ateges kita tumindak waras, sadhar, mboten kados tiyang keranjingan ing pundi mboten mangertosi punapa ingkang kedadosan ing sakiwa tengenipun, mboten mangertosi sinten dhirinipun, lan tumindak sanes ingkang nedahaken gerah gingsir (ketidakwarasan). Resep kangge ngadhepi prekawis gesang, inggih punika ngemudheni dhiri lan sareh supados saged ndedonga. Namung tiyang ingkang saged ngemudheni dhiri ingkang saged ndedonga kanthi jenjem, matemah saged mangertosi pitedah saking Gusti lan saged ngraosaken katresnanipun Gusti Allah kanthi estu. Tiyang ingkang mekaten ingkang saged kuwagang ngadhepi kasunyatan gesang ingkang winates lan kebak kasisahan sarta kasangsaran. Awit tiyang punika ingkang saged ngraosaken bilih pangajeng-ajeng ing Gusti punika estu nyata. Amin. [nn].
Pamuji: KPJ. 279 Yen Mandeng Salibing Gusti