Kehadiran Sang Juru Selamat Khotbah Natal 25 Desember 2017

13 December 2017

HARI RAYA NATAL
STOLA MERAH

Bacaan 1         : Yesaya 62 : 6 – 12.
Bacaan 2         : Titus 3 : 4 – 7.
Bacaan 3         : Lukas 2 : 1 – 7.

Tema Liturgis : Hidup Dalam Kelimpahan Anugerah Tuhan.
Tema Khotbah : Kehadiran Sang Juru Selamat.

 

Keterangan Bacaan
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)

Yesaya 62: 6 – 12.

Janji keselamatan bagi Israel telah diungkapkan oleh nabi Yesaya sejak di pasal 60 kitab Yesaya. Di Yesaya 62: 6 – 12 dinyatakan bahwa keselamatan itu bukan hanya persoalan rohani saja. Allah akan menempatkan para pengintai di atas tembok-tembok yang artinya siap memberikan perlindungan dan keamanan  (ayat 6). Demikian juga kemakmuran akan kebutuhan makanan dan minuman (gandum dan susu) juga Allah penuhi (ayat 8, 9). Kelimpahan akan kebutuhan jasmani ini juga akan menjadikan Israel mampu bersyukur dan memuji Allah di BaitNya karena telah melimpahkan berkatNya. Dengan kata lain, Israel menyadari bahwa baik keamanan dan pemenuhan kebutuhan makanan dan minuman itu adalah berkat dan anugerah Allah.

Dalam janji keselamatan itu di ayat 10 – 12 disebutkan bahwa mereka juga akan dihormati oleh berbagai bangsa. Mereka mendapat predikat yang baru sebagai “bangsa kudus”; “orang-orang tebusan Tuhan”; “yang dicari” dan “kota yang tidak ditinggalkan“. Artinya, mereka yang telah mendapatkan kasih karunia Allah berupa penyelamatan itu, telah tumbuh menjadi “sesuatu” yang baru, bangsa yang baru. Sebutan yang baru itu menunjukkan status ke arah keadaan yang lebih baik, lebih kudus, yang tentunya juga lebih berkenan di hadapan Allah.  Dengan demikian, janji keselamatan bagi Israel ini akhirnya tidak hanya menyangkut masalah batin (rasa aman), jasmani (makanan dan minuman), tetapi juga masalah rohani (hidup kudus). Dan semua itu adalah karunia Allah, pemberian Allah, bukan upaya manusia.

Titus 3: 4 – 7.

Ayat 4, 5 menyatakan bahwa keselamatan, hidup kekal itu benar-benar merupakan kemurahan dan pemberian Allah semata di dalam diri Yesus Kristus Sang Juru Selamat, sama sekali bukan karena pekerjaan manusia. Perbuatan baik manusia tidak mampu menyelamatkan dirinya. Allah yang mengerjakan semua itu dan manusia akan menerima pembaharuan hidup oleh Roh Kudus. Pembaharuan hidup oleh Roh Kudus itu akan berlangsung terus-menerus dalam hidup manusia. Pembaharuan oleh Roh Kudus ini diterima oleh setiap orang yang telah menerima karya keselamatan Allah dalam Yesus Kristus. Sehingga, layaklah jika Yesus Kristus itu disebut sebagai Juru Selamat kita.  Manusia dibenarkan oleh Allah hanya karena kasih karunia Allah. Kata dibenarkan sesungguhnya menunjukkan bahwa sesungguhnya manusia itu tidak benar, tetapi oleh Allah dijadikan benar. Dan setiap orang yang telah dibenarkan itulah yang berhak menerima hidup kekal dari Allah. Dengan kata lain, bahwa hidup kekal itu adalah pemberian, karunia dari Allah dan bukan dari hasil kerja manusia.

Lukas 2: 1 – 7.

Kaisar Agustus adalah penguasa kekaisaran Romawi tahun 27 SM – 14 M. Bagi kekaisaran Roma pada jaman itu, biasanya sensus diadakan untuk keperluan militer atau untuk pendataan wajib pajak. Orang Yahudi memang tidak boleh  menjadi tentara Romawi, tetapi mereka tetap harus membayar pajak. Pada sensus ini semua orang harus pulang ke kota kelahirannya untuk didata. Yusuf dan Maria yang sama-sama keturunan Daud harus didata di kota asal (kota Daud), di Betlehem. Perjalanan dari kota Nazaret ke Betlehem yang berjarak sekitar 70 mil, bukanlah perjalanan yang ringan bagi Yusuf dan Maria karena Maria dalam keadaan hamil besar. Tentunya mereka tidak bisa mengikuti langkah perjalanan rombongan mereka karena Maria tidak bisa berjalan cepat. Dengan kata lain, perjalanan sensus itu sungguh merupakan perjalanan yang amat berat dan penuh tantangan karena Maria sewaktu-waktu bisa saja melahirkan di perjalanan.

Akhirnya Maria melahirkan di Betlehem. Bayi laki-laki itu lalu dibungkus dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan (ayat 7). Disebutkan bahwa Yesus itu adalah anak sulung Maria. Secara tidak langsung, Injil Lukas juga menjelaskan bahwa sesudah Yesus, Maria dan Yusuf masih memiliki anak-anak lainnya. Bayi Yesus yang dibungkus lampin menunjukkan kesederhanaan dan keterbatasan dalam situasi yang dialami Maria dan Yusuf pada saat itu. Tidak ada kain yang lebih bagus, hanya lampin yang mereka miliki (lampin itu bukan kain yang baru atau bagus, bahkan bisa kita sebut mirip “gombal” dalam bahasa Jawa). Kesederhanaan dan keterbatasan mereka semakin nyata dengan pernyataan bahwa bayi itu dibaringkan di dalam palungan. Sangatlah tidak lazim jika seorang bayi dibaringkan di dalam palungan yang adalah tempat makanan ternak. Tetapi hanya itulah tempat/ sarana yang ada. Kelahiran Yesus benar-benar dilukiskan dalam suasana yang penuh keprihatinan, kesederhanaan dan keterbatasan. Lebih diperjelas lagi dengan pernyataan Injil Lukas bahwa tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.

Kelahiran bayi Yesus itu benar-benar ada dalam suasana yang “memprihatinkan”, dalam berbagai keterbatasan dan kesederhanaan. Semua itu diterima Maria dan Yusuf dengan rela. Bahkan bayi Yesus (yang menurut arti namanya adalah Allah menyelamatkan/ Juru Selamat) itu juga telah berada dalam suasana keprihatinan dan penderitaan sejak peristiwa kelahiranNya.

 

Benang merah tiga bacaan

Keselamatan itu benar-benar pemberian dan anugerah Allah. Hal itu bukan sebuah kebetulan, tetapi Allah sudah menjanjikannya sejak Perjanjian Lama dan telah digenapi dengan peristiwa kelahiran Yesus Kristus. Yesus Kristuslah yang telah dijanjikan sebagai Juru Selamat. Sehingga kelahiranNya amat berarti bagi seluruh umat manusia.

 

RANCANGAN KHOTBAH: Bahasa Indonesia
(Ini hanya sebuah rancangan…bisa dikembangkan sendiri sesuai konteks jemaat)

“TIADA TEMPAT BAGIMU!”
(Nats: Lukas 2: 7c)

Pendahuluan

Pernahkah terpikirkan oleh kita, bagaimana rasanya jika dalam keadaan terdesak, dalam sebuah perjalanan kita harus mendapatkan penginapan tapi ternyata semua penginapan yang kita datangi sudah penuh? Tentunya bukan hanya rasa kecewa (bahkan mungkin frustrasi), bingung, dan mungkin juga ada perasaan “ditolak”. Bisa saja lalu kita berpikir: apakah di penginapan itu sudah benar-benar penuh ataukah hanya alasan saja. Hal ini menunjukkan bahwa merasa “ditolak” itu memang tidak menyenangkan, apalagi dalam situasi darurat yang memang butuh penginapan pada saat itu juga.

Mungkin hal seperti itu juga yang pernah dialami oleh Yusuf dan Maria di Betlehem dalam peristiwa sensus penduduk. Kebutuhan akan penginapan bukan sekedar untuk beristirahat dan menginap, tetapi karena Maria membutuhkan tempat untuk melahirkan. Inilah situasi “darurat” yang dialami Yusuf dan Maria. Orang yang akan melahirkan tidaklah bisa ditunda. Betapa kecewa dan menderitanya mereka ketika menghadapi kenyataan bahwa semua tempat penginapan sudah penuh. Tentunya mereka juga sudah berkeliling kota Betlehem untuk mendapatkan penginapan. Mereka bukan hanya “ditolak”, tetapi juga kebutuhan Maria untuk melahirkan juga tidak mendapatkan tempat yang layak.

 

Isi

Melahirkan, bagi seorang perempuan adalah peristiwa luar biasa dalam hidupnya. Sebuah keajaiban, karena melalui peristiwa kelahiran itu ada manusia baru yang hadir di dunia ini. Sungguh merupakan peristiwa yang membahagiakan. Namun, tidaklah jarang bahwa peristiwa melahirkan ini juga bagaikan sebuah “pertarungan” antara hidup dan mati. Tentunya hal seperti itu juga dialami oleh Maria. Ada kebahagiaan, karena menerima karunia Allah berupa seorang bayi laki-laki, tetapi juga ada keprihatinan karena bayinya yang sulung itu harus lahir di tempat yang tidak layak dan dalam segala keterbatasan.

Bayi Yesus yang adalah Juru Selamat dunia sebagaimana yang telah dijanjikan Allah, ternyata harus lahir di tempat yang tidak layak. Seorang Anak Allah yang kuasanya tiada batas, ternyata harus dilahirkan dalam segala keterbatasan dan penderitaan “orang tuanya”. Yang lebih memprihatinkan adalah Dia lahir dalam sebuah “penolakan” banyak orang.

Kebutuhan akan penginapan pada saat itu rupanya bisa membuat hati manusia menjadi tumpul dan tidak peka atas penderitaan sesamanya. Tidak ada orang yang mengulurkan tangan atau berusaha meringankan penderitaan Maria. Maria dalam keadaan “darurat” pada saat itu. Dia telah lelah berjalan jauh dengan kehamilannya, butuh tempat untuk istirahat dan melahirkan. Pada kenyataannya banyak orang (pemilik penginapan) hanya bisa mengatakan: “sudah penuh!” Tidak adakah orang yang rela berbagai kamar/ ruangan dengan Maria hanya sekedar untuk tempat melahirkan? Tentunya jawabannya: tidak ada!  Hal ini jelas sekali dari ayat 7, bahwa Maria dan Yusuf meletakkan bayi Yesus yang baru lahir itu di dalam palungan dan membungkusnya dengan lampin. Itulah sarana yang ada pada saat itu untuk menghangatkan bayinya dan menidurkannya. Palungan (tempat makanan ternak) tentunya bukanlah tempat yang bersih dan layak untuk menidurkan bayi. Demikian juga lampin, bukanlah kain yang bagus dan hangat untuk bayi. Bahkan lampin itu kain yang usang, yang lebih mirip “gombal” bagi orang Jawa.

Sang Juru Selamat hadir di dunia dalam keprihatianan dan penderitaan yang luar biasa. Orang-orang Yahudi telah beratus-ratus tahun menantikan kehadiran Mesias, Sang Juru Selamat. Tetapi, kenyataannya, Sang Juru Selamat itu hadir dengan berbagai bentuk penolakan dari manusia. Mulai dari penolakan di rumah penginapan karena dikatakan tiada tempat, penolakan dari memberikan penghormatan dan pujian, sampai pada penolakan untuk memahami berbagai penderitaan yang harus dialaminya. Orang-orang di sekitarnya pada saat itu seperti “mati rasa” terhadap penderitaan sesamanya, termasuk yang dalam situasi “darurat”. Injil Lukas yang menyatakan “karena tiada tempat bagi mereka di rumah penginapan” menunjukkan bahwa yang ditolak oleh orang banyak bukan hanya bayi Yesus saja, tetapi termasuk Yusuf dan Maria. Orang-orang yang setia melaksanakan kehendak Allah di muka bumi ini.

Allah yang sejak Perjanjian Lama telah berjanji dan berusaha untuk menyelamatkan manusia, ternyata mengalami berbagai penolakan ketika karya keselamatan itu diwujudkan. Karya keselamatan yang Allah kerjakan itu padahal sebuah anugerah, karunia, bukan pekerjaan manusia (lih. bacaan 1). Yang dibutuhkan sesungguhnya hanya kesediaan menerimaNya, kerelaan untuk ambil bagian dalam karya keselamatan itu (seperti Yusuf dan Maria). Allah tidak menuntut apapun dari manusia untuk menyelamatkan mereka. Meskipun kehadiranNya disambut dengan “ketiadaan tempat”, tetapi bukan berarti rencana Allah menyelamatkan manusia itu menjadi gagal. Meskipun dalam berbagai katerbatasan dan kesederhanaan yang dialami, kenyataannya bayi Yesus itu juga tetap hidup bersama mereka. “Penolakan” manusia, “ketiadaan tempat” bagi Sang Juru Selamat tidak menjadikan karya keselamatan Allah itu gagal.

“Ketiadaan tempat” yang dialami Yesus secara fisik ini bukan tidak mungkin juga akan menggambarkan bagaimana penerimaan/ sikap manusia dalam menyambut kedatangan Sang Juru Selamat. Hari ini semua umat kristiani seluruh dunia merayakan peristiwa kelahiran Yesus Sang Juru Selamat itu. Ada begitu banyak ibadah Natal sudah digelar, tentunya dengan kekhitmatan dan sukacita. Ada begitu banyak pesta perayaan natal juga telah dilaksanakan. Pertanyaan kita adalah: apakah semua orang yang telah merayakan Natal itu juga benar-benar memiliki tempat di hati mereka untuk Yesus Sang Juru Selamat. Adakah tempat bagi Yesus dalam hati kita? Adakah tempat bagi mereka yang menderita, miskin, terpinggirkan seperti Maria dan Yusuf itu dalam kepedulian kita? Adakah kepedulian kita untuk menolong sesama yang sedang dalam situasi “darurat”? Seperti halnya orang-orang yang menolak Maria dan Yusuf di rumah penginapan, sesungguhnya mereka juga menolak siapapun yang datang dalam keterbatasan, kemiskinan dan penderitaan. Terbatas dalam hal apapun (bisa dalam hal kesehatan, materi, kekuatan, kasih, dsb). Penolakan mereka juga berarti penolakan kepada Bayi Yesus. Ketidak-pekaan terhadap penderitaan sesama, juga berarti ketidak-pekaan terhadap kehadiran Yesus. Sebab kehadiran Sang Juru Selamat ke tengah dunia ini tidak selalu bisa dilihat dari kedatanganNya yang penuh kemuliaan dan kuasa. Sebaliknya, kedatanganNya justru lebih sering terwujud dalam pribadi yang sederhana, menderita, dan dalam berbagai keterbatasan. Menolak mereka yang menderita berarti juga menolak Yesus.

Untuk bisa memahami hal ini seperti yang Allah kehendaki, diperlukan sebuah pembaharuan hidup yang terus-menerus dalam diri manusia. Roh Kudus yang mengerjakan pembaharuan itu dengan cuma-cuma. Adapun manusia hanya butuh kerelaan untuk tunduk pada kehendak Allah, diperbaharui oleh Allah dalam ambil bagian dalam karya Allah itu. Pembaharuan hidup inipun sebuah karunia Allah, supaya kita menjadi semakin berkenan di hadapanNya (lih. bacaan 2).

 

Penutup

Hari ini, sebagian besar orang kristiani merayakan Natal dengan gembira. Kita semua berharap, jangan sampai hingar-bingar perayaan Natal itu secara tidak sadar justru menjadikan kita menolak kehadiran Yesus dalam hati kita. Apapun yang terjadi, kita harus tetap menyediakan tempat bagi Yesus dalam hati kita. Jangan sampai kegembiraan pesta Natal itu justru menjadikan hati kita semakin tumpul terhadap penderitaan dan keterbatasan sesama kita. Manusia bisa larut dalam kegembiraan dan kesibukan Natal, tetapi justru menjadikannya tidak mampu melihat penderitaan sesama di sekelilingnya. Mereka tidak peka lagi terhadap kebutuhan sesama, akan kasih sayang, penghiburan, ataupun kebutuhan jasmani. Bahkan juga tidak peka merasakan mereka yang sedang dalam situasi”darurat”.

Kita diingatkan kembali bahwa tumpulnya kepekaan kita terhadap penderitaan sesama sesungguhnya telah menjadi tanda penolakan kita terhadap kehadiran Sang Juru Selamat. Hati kita hanya dipenuhi oleh berbagai kebutuhan dan keinginan pribadi. Tidak ada tempat bagi orang lain dalam hati kita, termasuk Tuhan Yesus. Secara tidak langsung, kita telah mengatakan:”maaf Tuhan Yesus, tiada tempat bagiMu di hatiku!” Amin.  (YM)

 

Nyanyian : Kidung Jemaat 102: 1, 2, 3. 


RANCANGAN KHOTBAH: Basa Jawi.

“ORA ANA PANGGONAN!”
(Jejer: Lukas 2: 7c)

Pambuka

Punapa kita nate menggalih kados pundi menawi kita ngalami kawontenan ingkang kepepet, ing satengahing margi kedah pikantuk panginepan, nanging nyatanipun sedaya panginepan ingkang kita dhatengi sampun kebak? Tamtunipun kita boten namung kuciwa, bingung, lan mbokbilih ugi wonten raos ”katampik”. Saged kemawon kita lajeng nggagas: punapa ing penginepan kalawau pancen sampun kebak, utawi namung alasan kemawon. Prekawis punika estunipun nedahaken bilih raos ”katampik” punika pancen boten mbingahaken, punapa malih menawi wonten ing salebeting kawontenan ingkang kepepet lan saestu mbetahaken penginepan ing wekdal punika.

Mbokbilih inggih kawontenan ingkang kados mekaten ingkang dipun alami dening Yusuf lan Maryam ing Betlehem ing swasana cacah jiwa nalika semanten. Kabetahan penginepan boten namung kangge ngaso lan nginep, ananging awit Maryam mbetahaken papan kangge babaran. Kawontenanipun Yusuf lan Maryam saestu ”kepepet/ darurat”. Tiyang ingkang badhe babaran boten saged dipun semayani. Lan saiba kuciwa lan nlangsanipun Yusuf lan Maryam nalika ngadhepi kawontenan bilih sedaya penginepan sampun kebak. Tamtunipun Yusuf lan Maryam ugi sampun mider ing Betlehem kangge pados penginepan. Yusuf lan Maryam boten namung ”katampik”, nanging ugi kabetahanipun Maryam kangge mbabaraken boten saged manggihaken panggenan ingkang sembada.

 

Isi

Babaran, tumrap wanita dados satunggaling kawontenan ingkang ngedab-edabi ing gesangipun. Satunggiling kaeraman, awit kanthi mbabaraken punika wonten manungsa enggal ingkang lair ing donya. Saestu kawontenan ingkang mbingahaken. Nanging, babaran saged ugi dados kados”peperangan” antawisipun gesang lan pejah. Tamtunipun kawontenan ingkang mekaten ugi dipun alami dening Maryam. Wonten kabingahan awit nampi sih-kanugrahanipun Allah awujud bayi kakung, ananging ugi wonten keprihatosan awit sang jabang bayi ingkang mbajeng punika kedah lair ing kawontenan ingkang mboten sembada lan sarwi winates.

Sang Jabang Bayi Yesus, Sang Juru Wilujenging jagad kados dene ingkang sampun kaprajanji dening Allah, nyatanipun kedah miyos ing panggenan ingkang boten sembada. Putranipun Allah ingkang panguwaosipun tanpa winates, nyatanipun kedah miyos ing kawontenan ingkang sarwi winates lan ing panandhanging tiyang sepuhipun. Ingkang langkung mrihatosaken, Panjenenganipun miyos wonten ing salebeting ”panampik” dening tiyang kathah.

Kabetahan penginepan nalika semanten rupinipun ugi saged njalari manahipun manungsa dados kethul lan mboten saged ngraosaken panandhangipun sesami. Boten wonten tiyang ingkang ngulungaken asta paring pitulungan dhateng panandhangipun Maryam. Maryam saweg ”kepepet/ darurat” nalika semanten. Maryam sampun sayah awit mlampah tebih ing kawontenan mbobot ageng, mbetahaken panggenan kangge ngaso lan babaran. Nyatanipun kathah tiyang (para tiyang ingkang gadhah penginepan) namung ujar: ”wis kebak!” Punapa boten wonten tiyang ingkang purun paring papan/ kamar kagem Maryam namung kangge panggenan mbabareken? Tamtu wangsulanipun: boten wonten! Prekawis punika cetha ing ayat 7, bilih Maryam lan Yusuf nilemaken bayi Yesus ingkang nembe miyos kalawau ing pamakanan lan kagedhong “kain lampin”. Inggih namung punika sarana ingkang wonten rikala semanten kangge ngangetaken lan nilemaken sang bayi. Pamakanan tamtunipun sanes panggenan ingkang resik lan sembada kangge nilemaken bayi. Mekaten ugi ”lampin” punika sanes kain ingkang sae lan anget kangge bayi. Lampin punika kepara kain ingkang lami, kados dene gombal.

Sang Juru Wilujeng rawuh ing donya salebeting keprihatosan lan panandhang ingkang saestu. Para tiyang Yahudi sampun mataun-taun ngrantos rawuhipun Sang Mesih, Juru Wilujeng. Ananging, nyatanipun Sang Juru Wilujeng punika rawuh lan katampik dening manungsa. Katampik ing panginepan awit boten wonten panggenan, katampik awit boten nampi kaurmatan lan pamuji, mekaten ugi katampik kangge dipun mangertosi ing bab maneka-warni panandhang ingkang kedah dipun alami. Tiyang-tiyang ing sakiwa-tengenipun kados dene ”mati rasa” tumrap panandhangipun sesami, senadyan ing kawontenan ingkang ”kepepet/ darurat”. Injil Lukas mratelakaken ”sebab ana ing papan panginepan padha ora komanan panggonan”, nedahaken bilih ingkang katampik dening tiyang kathah punika boten namung bayi Yesus kemawon, nanging ugi kalebet Yusuf lan Maryam. Kekalihipun punika tiyang ingkang setya nindakaken kersanipun Allah ing donya.

Gusti Allah ingkang wiwit jaman Prajanjian Lami sampun aprajanji lan ngupadi kangge milujengaken manungsa, nyatanipun katampik nalika kawilujengan punika kawujudaken. Kawilujengan ingkang katindakaken dening Allah punika satunggaling kanugrahan, sanes pandamelipun manungsa (mirsanana waosan 1). Ingkang kabetahaken estunipun namung sumadya nampeni rawuhipun Gusti, lan ndherek andum damel ing pakaryan kawilujengan punika, kados dene Yusuf lan Maryam. Allah boten ngersakaken punapa-punapa kangge kawilujenganing manungsa. Nadyan rawuhipun kasambut kanthi ”tan wonten panggenan”, nanging boten ateges rancanganipun Allah milujengaken manungsa punika gagal. Senadyan wonten ing salebeting kawontenan ingkang sarwi winates lan prasaja, nyatanipun bayi Yesus inggih tetep gesang sesarengan Yusuf lan Maryam. ”Panampik” saking manungsa, ”boten wonten panggenan” kangge Sang Juru Wilujeng boten lajeng ndadosaken rancangan kawilujengan saking Allah punika gagal.

“Boten wonten panggenan” ingkang dipun alami dening Gusti Yesus punika saged ugi nggambaraken kawontenan kados pundi anggenipun manungsa nampi lan mahargya rawuhipun Sang Juru Wilujeng. Dinten punika sedaya umat kristiani ing saindhenging jagad mahargya dinten wiyosipun Yesus Sang Juru Wilujeng punika. Tamtunipun kathah sanget pangibadah Natal ingkang katindakaken kanthi pakering lan kabingahan. Ugi kathah pahargyan Natal ingkang sampun katindakaken. Pitakenanipun: punapa sedaya tiyang ingkang mahargya Natal punika ugi saestu gadhah panggenan ing manahipun kangge Yesus Sang Juru Wilujeng? Punapa saestu wonten papan panggenan kagem Gusti Yesus ing manah kita? Punapa wonten panggenan kangge sesami ingkang kacingkrangan lan wonten salebeting panandhang, kapinggiraken kados dene Yusuf lan Maryam? Punapa kita ugi perduli dhateng sesami ingkang wonten ing salebeting kawontenan ingkang ”kepepet/ darurat”? Kados dene para tiyang ingkang sampun nampik Yusuf lan Maryam ing papan panginepan, estunipun para tiyang kalawau ugi nampik sesaminipun ingkang wonten ing salebeting kawontenan ingkang sarwi winates, kecingkrangan lan panandhang. Winates ing samudaya prekawis (saged ing bab kesarasan, bandha, kekiyatan, katresnan, lsp). Panampikipun tiyang kathah punika ugi ateges nampik Sang Bayi Yesus. Awit rawuhipun Sang Juru Wilujeng ing donya punika boten tansah katingal ing bab kamulyan lan panguwaosipun. Kosokwangsulipun, rawuhipun langkung asring kawujudaken ing pribadi ingkang prasaja, ing salebeting panandhang, lan ing kawontenan ingkang sarwi winates. Nampik sinten kemawon ingkang wonten ing salebeting panandhang ateges ugi nampik Gusti Yesus.

Supados kita sami mangertos ingkang dipun kersakaken dening Allah, kabetahaken gesang enggal tumrap manungsa. Sang Roh Suci ingkang akarya gesang enggal punika kanthi ”gratis”. Manungsa namung betah cumadhang kangge tumungkul nindakaken kersanipun Allah, kaenggalaken dening Allah wonten anggenipun ndherek andum damel ing pakaryanipun Allah punika. Gesang ingkang kaenggalaken punika ugi sih-kanugrahanipun Allah, supados kita langkung karenan ing ngarsanipun Gusti (mirsanana waosan 2).

 

Panutup

Dinten punika, saperangan ageng tiyang Kristen sami ngriyadinaken Natal kanthi bingah. Kita sedaya gadhah pangajeng-ajeng sampun ngantos kabingahan ngriyadinaken Natal punika ndamel kita sami kanthi boten sadhar malah nampik rawuhipun Gusti Yesus ing manah kita. Punapa kemawon kawontenanipun, kita kedah tansah nyawisaken papan kagem Gusti Yesus ing salebeting manah kita. Sampun ngantos kabingahan ing riyadin Natal punika malah ndadosaken manah kita kethul dhateng panandhangipun tiyang sanes lan kawontenanipun ingkang sarwi winates. Manungsa pancen saged keli ing salebeting kabingahan lan kerepotan ing pahargyan Natal, nanging malah ndadosaken piyambakipun boten saged ningali panandhangipun sesami ing sakiwa-tengenipun. Tiyang-tiyang kalawau dados kethul tumrap kabetahanipun sesami ing bab sih katresnan, panglipur, utawi kabetahan kajasmanen sanesipun. Kepara ugi boten saged ngraosaken menawi wonten sesaminipun ing salebeting kawontenan ingkang ”kepepet/ darurat”.

Kita sami kaengetaken malih bilih kethuling pangraos tumrap panandhangipun sesami punika estunipun sampun dados pratandha tumrap panampik dhateng rawuhipun Sang Juru Wilujeng. Sampun ngantos manah kita namung dipun kebaki dening mawarni-warni kabetahan lan pepinginan kita pribadi. Menawi ngantos kethul, ateges sampun boten wonten panggenan kangge tiyang sanes ing manah kita, kalebet Gusti Yesus. Kanthi boten sengaja estunipun kita sampun ngucap: ”nyuwun pangapunten Gusti Yesus, boten wonten panggenan kagem Paduka ing manah kula!”  Amin.  (YM)

Nyanyian: KPK 240: 1, 2, 3.

Renungan Harian

Renungan Harian Anak