Minggu Biasa | Bulan Kitab Suci
Stola Hijau
Bacaan 1: Yesaya 35 : 4 – 7a
Mazmur: Mazmur 146 : 1 – 10
Bacaan 2: Yakobus 2 : 1 – 10, 14 – 17
Bacaan 3: Markus 7 : 24 – 37
Tema Liturgis: Kitab Suci Menguatkan Umat Mewujudkan Perdamaian dan Keadilan Sosial
Tema Khotbah: Don’t Judge A Book by Its Cover
Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
Yesaya 35 : 4 – 7a
Yesaya 35:4-7a diawali dengan sapaan yang sangat menyejukkan bagi kita orang percaya terlebih jika dalam kondisi tawar hati. “Kuatkanlah hati, janganlah takut! Lihatlah, Allahmu akan datang dengan pembalasan dan dengan ganjaran Allah. Ia sendiri datang menyelamatkan kamu!” Hal ini menggambarkan adanya perubahan situasi dari hal yang menakutkan menjadi sukacita melalui kehadiran Tuhan. Sukacita karena Allah sendiri yang akan membuat suatu perubahan, yang sangat sulit dikerjakan oleh manusia. Perubahan ini semakin dinyatakan melalui ayat 5-6a: “Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka. Pada waktu itu orang lumpuh akan melompat seperti rusa, dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai.” Sukacita karena Allah akan membuat alam menjadi sumber kehidupan dan kesegaran. Pekerjaan dan karya Allah semakin kita pahami melalui ayat 6b-7: “sebab mata air memancar di padang gurun, dan sungai di padang belantara; tanah pasir yang hangat akan menjadi kolam, dan tanah gersang menjadi sumber-sumber air; di tempat serigala berbaring akan tumbuh tebu dan pandan.” Hal ini menyatakan adanya pembaruan ajaib yang jauh melebihi kuasa siapa pun dan sanggup memberikan sukacita yang sangat luar biasa.
Yakobus 2 : 1 – 10, 14 – 17
Di sini Rasul Yakobus sedang mengecam suatu kebiasaan jemaat yang sangat tidak baik. Ia menunjukkan betapa jahatnya dosa memandang muka. Hal memandang muka ini menjadi suatu kejahatan yang sedang bertumbuh pada zaman gereja mula-mula. Pada masa-masa sesudahnya, telah merusak dan memecah belah bangsa-bangsa dan masyarakat Kristen dengan menyedihkan. Memperhatikan penampilan saja dari orang yang masuk dalam sebuah kumpulan, mereka yang memakai gelang emas, berpakaian indah dan yang miskin (memandang dengan status sosial) (Ay. 2-3). Selanjutnya dikemukakan mengenai besarnya dosa ini (Ay. 4-5). Ini adalah dosa membeda-bedakan yang luar biasa. Ini merupakan ketidakadilan, dan berarti menempatkan diri kita melawan Allah, yang telah memilih orang miskin, dan akan memuliakan serta meninggikan mereka (yang berlaku baik), dan mencegah orang yang hendak menghina mereka (Ay. 4-6).
Di sini pembaca diingatkan untuk tidak memandang muka terhadap orang yang masuk dalam perkumpulan, jangan pilih kasih. Melalui bagian ini Yakobus memperingatkan penerima suratnya untuk tidak menilai orang lain berdasarkan penampilan fisik dan derajat sosialnya saja. Sikap memandang muka ini jelas bertentangan dengan pernyataan bahwa Allah tidak membedakan siapapun karena Ia melihat hati, bukan penampilan lahiriah. Di samping itu, sikap memandang muka ini juga berarti kita sedang menempatkan diri kita lebih tinggi dibandingkan orang lain, menduduki posisi hakim yang tidak adil bagi sesama kita, serta melanggar hukum kasih (Ay. 9). Siapakah kita sehingga berhak menentukan kepada siapa sikap hormat kita dinyatakan atau kepada siapa ketidakhormatan kita dinyatakan?
Saling menilai berdasarkan kekayaan merupakan penyangkalan terhadap prinsip iman Kristen. Tuhan Yesus sendiri rela menjadi hina dan mati disalibkan demi menyelamatkan manusia. Dalam hidup dan karya penyelamatan Yesus Kristus, nilai manusia diubah dari hal-hal yang kasat mata ke nilai baru, yang manusia peroleh hanya di dalam kasih dan penyelamatan-Nya. Kemuliaan manusia tidak terletak pada harta yang ia miliki atau penampilan lahiriah. Hal itu dianggap salah karena: Pertama, Allah justru memilih yang miskin untuk Dia jadikan kaya dalam iman, bahkan sebagai pewaris kerajaan-Nya (Ay. 5). Kedua, Yakobus merujuk pada fakta zaman itu (kemungkinan besar sampai zaman ini) bahwa orang kaya dan berkuasa seringkali melawan Allah dan menindas orang miskin (Ay. 7). Bukan maksud Yakobus mengajar untuk menolak orang kaya. Yakobus hanya ingin mengingatkan agar setiap orang tidak pilih kasih dalam hidup berjemaat.
Kesalahan terbesar yang orang Kristen lakukan adalah memahami iman terpisah dari pengamalannya. Seharusnya pengamalan iman mengikuti kedalaman pemahaman orang itu tentang imannya. Akibat terburuk dari pemisahan iman dan pengamalannya, orang jadi pandai bersilat lidah tentang imannya. Kesalahan sebaliknya adalah apabila orang berupaya menjadi lebih baik melalui perbuatannya untuk tujuan kemanusiaan. Ini akan berdampak pada pemujaan pada diri orang tersebut karena perbuatan baiknya. Memisahkan iman dan perbuatan akan berdampak pada kesesatan.
Firman ini menegur kenyataan adanya orang Kristen yang tidak peduli pada saudara seiman yang hidup miskin atau kesusahan. Yakobus mengingatkan : tanpa ungkapan kepedulian, iman itu mati dan tak berdaya. Orang yang memiliki iman demikian, sesungguhnya bukan orang yang menyelami makna keselamatan (Ay. 14-17). Kehidupan iman yang dinamis akan tampak pada sikap seseorang terhadap sesamanya. Kesejatian iman akan terlihat pada sikap seseorang terhadap lingkungannya. Apakah ia peka dengan kebutuhan sesama? Pedulikah ia untuk ambil bagian dalam kehidupan bermasyarakat? Ringan tangankah ia pada masalah sosial sehingga mau terlibat, setidaknya dengan menaikkan doa pribadinya? Iman murni dalam Kristus akan menghasilkan perbuatan. Kebaikan yang murni digerakkan oleh iman. Tidak ada alasan untuk memisahkan keduanya.
Markus 7 : 24 – 37
Tidak pernah ada orang yang begitu dipuja seperti Yesus ketika Ia berada di Galilea. Yesus berangkat dari Galilea dan pergi ke daerah Tirus, dimana Ia hanya sedikit dikenal di sana. Setibanya di daerah itu, Ia masuk, bukan ke sebuah sinagoge atau tempat di mana banyak orang berkumpul, melainkan ke sebuah rumah pribadi, dan Ia tidak mau ada orang yang mengetahuinya. Namun kedatangannya tidak dapat dirahasiakan (Ay. 24). Kemudian datanglah seorang perempuan Siro-Fenesia, seorang Yunani yang tersungkur di depan kaki Yesus dan memohon untuk kesembuhan anaknya yang kerasukan setan (Ay. 25-26).
Yesus seakan mengecilkan hati perempuan yang mengajukan permohonan itu (Ay. 27). Dia berkata kepadanya, “Biarlah anak-anak kenyang dahulu.” Biarlah orang-orang Yahudi mendapatkan semua mujizat yang disiapkan bagi mereka, karena mereka mempunyai alasan untuk itu, yaitu secara khusus ditetapkan sebagai umat pilihan Allah. Janganlah sampai apa yang dimaksudkan bagi mereka dilemparkan kepada orang-orang yang bukan dari keluarga Allah, yang tidak mengenal-Nya dan yang tidak tertarik kepada-Nya. Karena orang-orang ini, seperti anjing jika dibandingkan dengan orang Yahudi, yakni rendah dan najis, dan mereka juga seperti anjing bagi orang Yahudi (Ay. 27).
Tanggapan perempuan itu terhadap perkataan Yesus terhadapnya, dan pembelaannya atas perkataan Yesus, “Benar, Tuhan, aku akui benar bahwa roti anak-anak tidak boleh dilemparkan kepada anjing, tetapi anjing tak pernah dilarang untuk mengambil remah-remah roti, jadi remah-remah itu adalah milik anjing, dan anjing diizinkan tinggal di bawah meja, supaya bisa siap menerimanya. Aku tidak meminta sepotong ataupun bahkan secuil saja, hanya remah-remahnya, jadi janganlah tolak permohonanku itu.” (Ay. 28) Hal ini dikatakannya bukan untuk memandang rendah belas kasihan itu atau meremehkan belas kasihan itu, melainkan untuk mengagungkan kelimpahan mukjizat kesembuhan, yang dia dengar dinikmati oleh orang Yahudi. Dibandingkan dengan kelimpahan mukjizat itu, satu penyembuhan bagaikan remah-remah. Orang non-Yahudi tidak datang berbondong-bondong seperti halnya orang Yahudi, perempuan itu datang seorang diri. Mungkin perempuan itu pernah mendengar mengenai Yesus yang memberikan makan lima ribu orang, yang sesudahnya, bahkan setelah orang mengumpulkan sisa-sisa makanannya, masih ada remah-remah untuk anjing.
Perhatikanlah, apabila Yesus mengetahui bahwa orang-orang malang yang memohon kepada-Nya mempunyai iman yang kuat, maka Dia sedang menguji iman mereka dan membuatnya terus berkembang. Akan tetapi, perkataan-Nya: “Biarlah anak-anak kenyang dahulu” menunjukkan bahwa ada belas kasihan yang dipersiapkan bagi orang-orang non-Yahudi, dan waktunya tidak lama lagi, karena orang Yahudi sudah mulai kekenyangan dengan Injil Kristus, dan sebagian dari mereka ingin supaya Kristus meninggalkan daerah mereka. Anak-anak ini mulai bermain-main dengan makanan mereka, dan penolakan serta kebencian mereka akan menjadi perayaan bagi kaum non-Yahudi. Akhirnya Yesus mengabulkan permohonan perempuan Siro Fenisia itu oleh karena imannya (Ay. 28-30).
Setelah peristiwa itu, karya Yesus akan mukjizatnya berlangsung lagi pada orang yang tuli dan gagap. Yesus menangani orang ini secara khusus, berbeda dari cara penyembuhan yang biasa Dia lakukan. Orang itu dipisahkan dari orang banyak. Lalu Dia memasukkan jari-Nya ke telinga orang itu, Ia meludah, dan meraba lidah orang itu. Selanjutnya Ia menengadah ke langit dan berkata, “Efata!” (Ay. 34). Ia menengadah ke langit agar orang itu mengerti bahwa kuasa untuk menyembuhkan datang dari Allah. Mukjizat pun terjadi: telinga orang itu bisa mendengar dan mulutnya bisa bicara. Tentu ia merasa senang, namun Yesus melarang dia menceritakan hal itu. Tetapi mana mungkin dia diam, setelah sekian lama ia tidak lancar berbicara.
Yesus bukan hanya menyembuhkan cacat bisu dan tuli secara jasmani. Bukan hanya telinga dan lidahnya saja yang terbuka, tetapi hatinya pun jadi terbuka pada Yesus. Ini terlihat dari kesaksiannya pada orang banyak. Mulutnya tidak henti-hentinya membicarakan kuasa dan karya Yesus yang dia alami. Tak heran bila orang banyak pun menjadi takjub (Ay. 37). Hal ini terjadi seperti apa yang dinubuatkan oleh nabi Yesaya, “Pada waktu itu … telinga orang-orang tuli akan dibuka … dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai.” (Yes. 35:4-6). Dengan menampilkan kisah penyembuhan ini, Markus ingin pembacanya tahu bahwa Mesias sudah hadir di dunia.
Benang Merah Tiga Bacaan:
Mengikut Tuhan akan membawa perubahan yang luar biasa dalam kehidupan orang percaya, semua terwujud dalam perbuatannya yang nyata dalam kesehariannya. Siapapun yang percaya kepada Tuhan Yesus akan diselamatkan, tidak hanya orang Yahudi saja. Iman dan perbuatan tidak boleh dipisahkan, tetapi harus berjalan bersama-sama.
Rancangan Khotbah: Bahasa Indonesia
(Ini hanyalah sebuah rancangan khotbah, silakan dikembangkan sesuai dengan konteks jemaat masing-masing)
Pendahuluan
Don’t judge a book by its cover adalah sebuah idiom dalam bahasa Inggris yang merupakan sebuah kalimat metafora. Kurang lebih artinya jangan menilai seseorang hanya dengan melihat penampilannya, terlebih bila kita belum mengenalnya dengan baik. Contoh: Ada sepasang suami istri yang pergi ke rumah sakit guna memeriksakan kehamilan si istri. Mereka memilih untuk naik angkot. Dalam angkot tersebut ternyata ada seorang laki-laki yang sekilas penampilannya seperti seorang preman yang sedang merokok. Si istri yang melihat laki-laki tersebut dan mencium bau rokok, secara reflek menutup hidungnya dan mengipas-ngipaskan tangannya, berusaha mengusir asap rokok yang menuju ke arahnya. Rupanya gerakan si istri itu menyadarkan laki-laki tersebut. Ia menoleh ke arah mereka, tatapannya sejenak tertuju memandang si istri yang masih menutup hidung dan mengipaskan tangannya. Melihat hal itu si suami mulai resah, takut laki-laki tersebut akan tersinggung lalu berbuat hal yang tidak baik. Namun ternyata, laki-laki tersebut segera mematikan rokoknya yang masih panjang itu, membuka lebar jendela di dekatnya dan membuang rokok tersebut. Melihat hal itu mereka terkesima dan mengucapakan terimakasih. Demikian peristiwa yang sesuai dengan idiom don’t judge a book by its cover, dan tentu banyak hal dan peristiwa seperti contoh di atas.
Isi
Demikian dengan kehidupan gereja mula-mula pada waktu itu yang sering memandang dan menilai orang lain berdasarkan penampilan yang tampak dari luar saja. Rasul Yakobus mengecam kebiasaan yang tidak baik tersebut. Ia menunjukkan betapa jahatnya dosa memandang muka itu. Mereka diingatkan agar tidak memandang muka kepada orang yang masuk dalam perkumpulan, jangan pilih kasih. Yakobus memperingatkan penerima suratnya untuk tidak menilai seseorang berdasarkan penampilan fisik dan derajat sosialnya saja. Sebab sikap memandang muka jelas bertentangan dengan pernyataan bahwa Allah tidak membedakan siapa pun, karena Ia melihat hati, bukan penampilan lahiriah. Di samping itu, sikap memandang muka juga berarti kita sedang menempatkan diri lebih tinggi daripada orang lain. Kita menduduki posisi hakim yang tidak adil bagi sesama, serta melanggar hukum kasih. Siapakah kita sehingga berhak menentukan kepada siapa kita memberi hormat atau kepada siapa kita tidak memberi hormat.
Saling menilai berdasarkan kekayaan merupakan penyangkalan terhadap prinsip iman Kristen. Tuhan Yesus telah rela menjadi hina dan mati demi menyelamatkan manusia. Dalam hidup dan karya penyelamatan-Nya, nilai manusia diubah dari hal-hal yang kasat mata ke nilai baru, yang manusia peroleh hanya di dalam kasih dan penyelamatan-Nya. Kemuliaan manusia bukan terletak pada harta milik atau penampilan lahiriah. Hal itu salah karena : pertama, Allah justru memilih yang miskin untuk Dia jadikan kaya dalam iman, bahkan sebagai pewaris kerajaan-Nya. Kedua, Yakobus merujuk pada fakta zaman itu bahwa orang kaya dan berkuasa sering melawan Allah dan menindas orang papa. Bukan maksud Yakobus untuk menolak orang kaya, ia hanya mengingatkan agar orang tidak pilih kasih dalam hidup berjemaat.
Perubahan gaya hidup dan memandang kehidupan ini juga ditunjukkan bangsa Israel dalam bacaan pertama. Yesaya menggambarkan adanya perubahan situasi dari hal yang menakutkan menjadi sukacita melalui kehadiran Tuhan. Sukacita karena Allah membuat suatu perubahan yang sangat sulit dikerjakan oleh manusia. Perubahan ini semakin dinyatakan melalui ayat 5-6a: “Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka. Pada waktu itu orang lumpuh akan melompat seperti rusa, dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai”. Sukacita karena Allah akan membuat alam menjadi sumber kehidupan dan kesegaran. Pekerjaan dan karya Allah semakin kita pahami melalui ayat 6b-7: “sebab mata air memancar di padang gurun, dan sungai di padang belantara; tanah pasir yang hangat akan menjadi kolam, dan tanah gersang menjadi sumber-sumber air; di tempat serigala berbaring akan tumbuh tebu dan pandan”. Hal ini menyatakan adanya pembaruan ajaib yang jauh melebihi kuasa siapa pun dan sanggup memberikan sukacita yang sangat luar biasa.
Perubahan inilah yang harus dialami oleh para pengikut Kristus dalam kehidupan nyata. Tidak hanya berpikir seperti jemaat mula-mula: yang akan diselamatkan itu hanya orang-orang Yahudi saja, tetapi semua orang yang percaya kepada-Nya. Bacaan ketiga, Yesus mengetahui bahwa orang-orang malang yang memohon kepada-Nya mempunyai iman yang kuat, maka Dia sedang menguji iman mereka dan membuatnya terus berkembang. Perkataan-Nya, “Biarlah anak-anak kenyang dahulu” menunjukkan ada belas kasihan yang dipersiapkan bagi orang-orang non-Yahudi, dan waktunya tidak lama lagi, karena orang Yahudi sudah mulai kekenyangan dengan Injil Kristus, dan sebagian dari mereka ingin supaya Kristus meninggalkan daerah mereka. Anak-anak ini mulai bermain-main dengan makanan mereka, dan penolakan serta kebencian mereka akan menjadi perayaan bagi kaum non-Yahudi. Akhirnya Yesus mengabulkan permohonan orang non Yahudi itu karena oleh imannya.
Setelah peristiwa itu karya Yesus akan mukjizatnya berlangsung lagi. Ia menyembuhkan orang bisu dan tuli, sekaligus pemenuhan nubuatan dalam Yesaya pada bacaan pertama. Yesus menangani orang tuli secara khusus, berbeda dari cara penyembuhan yang biasa Dia lakukan. Orang itu dipisahkan dari orang banyak. Dia memasukkan jari-Nya ke telinga orang itu, Ia meludah, dan meraba lidah orang itu. Selanjutnya Yesus menengadah ke langit dan berkata, “Efata!”. Ia menengadah ke langit agar orang itu mengerti bahwa kuasa untuk menyembuhkan datang dari Allah. Mukjizat pun terjadi: telinga orang itu bisa mendengar dan mulutnya bisa bicara.
Yesus bukan hanya menyembuhkan orang bisu dan tuli secara jasmani. Bukan hanya telinga dan lidahnya yang terbuka, tetapi hatinya pun jadi terbuka pada Yesus. Ini terlihat dari kesaksiannya pada orang banyak. Mulutnya tidak henti-hentinya membicarakan kuasa dan karya Yesus yang ia alami. Tak heran bila orang banyak pun menjadi takjub. Hal ini terjadi seperti apa yang dinubuatkan oleh nabi Yesaya.
Penutup
Dalam kehidupan nyata tiap hari, memandang muka ini masih sering dilakukan oleh orang percaya. Tentu sekali lagi ini menyangkali perjuangan dan keberpihakan Yesus kepada orang yang miskin dan papa. Sifat ini harus kita buang jauh-jauh dalam kehidupan kita sebagai orang percaya. Siapakah kita sampai menghakimi orang lain dengan ukuran yang kita pakai? Don’t judge a book by its cover. Dengan demikian kita bisa menjadi saksi akan kebaikan yang Tuhan ajarkan pada kita umat-Nya. Tuhan memberkati kita semua. Amin. [SYN].
Pujian: KJ. 249 : 1, 3 Serikat Persaudaraan
Rancangan Khotbah: Basa Jawi
(Punika namung rancangan khotbah, saged dipun kembangaken miturut konteks pasamuwan piyambak)
Pambuka
Don’t judge a book by its cover inggih punika salah satunggaling ukara ingkang tegesipun sampun ngantos kita mbiji tiyang sanes punika kanthi ningali prawakanipun, punapa malih kita dereng tepang kaliyan tiyang punika. Contonipun: Wonten sapasang suami istri ingkang tindak dhateng griya sakit kangge mriksakaken semahipun ingkang mbobot srana nitih angkot. Ing salebeting angkot punika, wonten tiyang jaler kados preman ingkang ngrokok. Ingkang setri lajeng nutup irungipun lan kipas-kipas supados mboten mambet asep rokokipun. Rupinipun semah ingkang tipas-tipas kalawau dipun sadari dening preman ingkang saweg ngrokok wau. Lajeng preman wau mateni rokokipun ingkang taksih dawa, dipun bucal medal cendela. Lajeng nyuwun pangapunten dhateng tiyang estri ingkang ngandut wau. Ningali kawontenan ingkang kados mekaten tiyang estri ingkang ngandut kala wau ngaturaken panuwun dhateng preman kalawau. Tiyang etri punika kados mboten pitados kaliyan prastawa punika, atase preman kok ngertos kawontenan ingkang dipun pingini dening piyambakipun. Mekaten salah satunggaling conto prastawa ingkang cocok kaliyan idiom don’t judge a book by its cover, lan ugi taksih kathah conto sanesipun.
Isi
Semanten ugi kaliyan gesangipun greja ing wiwitan ingkang asring mawang lan mbiji tiyang sanes kanthi ningali prawakan ingkang ketawis mawon. Rasul Yakobus ngemutaken bilih gesang ingkang mekaten punika mboten leres. Punika laku gesang ingkang murugaken dosa. Pasamuan kaemutaken supados mboten pilih-pilih tiyang ingkang mlebet dhateng pakempalan/patunggilan, sampun ngantos pilih kasih. Lumantar serat punika, Rasul Yakobus ngemutaken dhateng tiyang-tiyang ingkang nampi serat punika supados mboten mbiji tiyang kanthi prawakan/fisik lan drajat sosialipun. Sikep ingkang kados mekaten jelas mboten condong kaliyan sifatipun Gusti Allah ingkang mboten mbentenaken tiyang setunggal baka setunggalipun, awit Gusti Allah ningali manah, mboten namung prawakan ingkang ketawis mawon. Sikep mbiji tiyang kathi ningali prawakan ingkang ketawis punika ateges kita sampun nganggep dhiri kita langkung inggil tinimbang tiyang sanes. Kita sampun dados hakim ingkang mboteh adil tumrap sesami kita, lan punika nerak Angger-angger Katresnan. Sinten to kita punika ingkang wantun mbiji tiyang sanes, sinten ingkang kedah kita urmati lan mboten?
Mbiji tiyang sanes miturut kasugihanipun punika mboten condong kaliyan prinsip iman kristen. Gusti Yesus kersa dados manungsa ingkang hina lan seda sinalib kangge manungsa. Ing salebeting pakaryanipun Gusti Yesus, nilainipun manungsa dipun owahi saking prekawis ingkang ketingal dados nilai enggal, inggih punika kewilujengan ing Gusti Yesus. Kamulyaning manungsa punika mboten karana bandha donyanipun utawi prawakan ingkang ketawis. Mbiji manungsa ingkang mekaten punika lepat karana : ingkang sepisan, Gusti Allah langkung milih tiyang ingkang mboten mlarat, ingkang kadadosaken sugih ing kapitadosan lan dados ahli waris kratoning swarga. Kaping kalih, Yakobus ningali kasunyatan gesang kala semanten, ing pundi tiyang ingkang sugih Lan kagungan panguwaos wantun nglawan Gusti Allah lan nindes tiyang mlarat. Yakobus mboten kagungan maksud kangge nolak tiyang sugih. Ing ngriki piyambakipun ngemutaken supados umat Kristen mboten mbenten-mbentaken tiyang, mboten pilih kasih wonten gesang satengahing pasamuan.
Ewah-ewahan cara gesang lan kados pundi ningali gesang punika ugi dipun lampahi dening bangsa Israel kala semanten ing waosan sepisan. Kacariosaken wonten ewah-ewahan kahanan saking gesang ingkang gegirisi dados gesang ingkang kebak kabingahan karana wonten Gusti Allah ing gesangipun. Kabingahan awit Gusti Allah ingkang dadosaken ewah-ewahan punika ewet dipun tindakaken dening manungsa. Ewah-ewahan punika wonten ing ayat 5-6a: “Ing wektu iku mripate para wong wuta bakal padha kaelekake, lan kupinge para wong budheg bakal padha kabukak. Ing wektu iku wong lumpuh bakal mlumpat-mlumpat kaya menjangan, tuwin cangkeme wong bisu bakal surak-surak.” Kabingahan karana Gusti Allah badhe damel alam dados sumber pigesangan lan kasegeran. Pakaryanipun Gusti Allah langkung kita mangertosi wonten ing ayat 6b-7 : “Amarga ara-ara samun bakal metokake sumber, sarta pasamunan bakal ana kaline; tanah pawedhen kang anget bakal dadi blumbang, lan tanah kang ngerak bakal dadi sumber; papan pandhodhotaning asu ajag bakal kathukulan tebu lan pandhan.” Prastawa punika nedahaken wonten ewah-ewahan ingkang ajaib nglangkungi panguaosing sinten kemawon lan dadosaken kabingahan ing adi sanget.
Ewah-ewahan gesang ingkang kados mekaten punika kedah dipun raosaken dening para pandherekipun Gusti Yesus wonten pigesangan ingkang nyata. Para pandherekipun Gusti kedahipun mboten mikir kados gesangipun pasamuan wiwitan, ingkang kagungan pemanggih bilih ingkang nampi kawilujengan punika namung tiyang Yahudi kemawon, nanging sejatosipun ugi sedaya tiyang ingkang pitados dhumateng Gusti Yesus. Ing waosan kaping tiga, Gusti Yesus mangertosi bilih tiyang-tiyang non-Yahudi ingkang nyenyuwun dhumateng Gusti ugi gadhahi iman ingkang kiat. Pramila Gusti Yesus nguji kapitadosan tiyang-tiyang punika. Dawuhipun Gusti Yesus, “Cikben bocak-bocah padha wareg dhisik” nedahaken welas asihipun Gusti Yesus dhateng tiyang-tiyang non-Yahudi, lan wekdalipun mboten lami, awit bangsa Yahudi piyambak sampun sami kewaregen kaliyan Injiling Kristus, lan ugi saperangan bangsa Yahudi sami nyuwun supados Gusti Yesus nilaraken panggenanipun tiyang-tiyang punika. Tiyang-tiyang Yahudi “milai dolanan tetedhanipun”, sarta sami nolak Gusti Yesus. Prastawa penolakan lan kabencian tiyang Yahudi punika ingkang dados pawartos kabingahan kangge bangsa non-Yahudi. Ingkang pungkasanipun Gusti Yesus ngabulaken panyuwunan tiyang non-Yahudi punika awit saking imanipun ingkang kiat dhumateng Gusti Yesus.
Saksampunipun prastawa punika mukjizatipun Gusti Yesus ugi kalampahan malih. Gusti Yesus nyarasaken tiyang bisu lan budeg. Punika dados wujudipun nubuatan Gusti ingkang sampun kelampahan kados dene ingkang waosan sepisan. Gusti Yesus nyarasaken tiyang Budheg ngangge cara khusus, benten kaliyan nalika Panjenenganipun nyarasaken tiyang biasanipun. Tiyang budheg punika dipun pisahaken saking tiyang kathah. Lajeng Panjenenganipun mlebetaken driji astan-Ipun wonten ing kupingipun tiyang punika, lajeng ngidhu lan nyepeng ilatipun. Gusti Yesus lajeng tumenga dhateng langit lan dhawuh, “Efata”. Gusti Yesus tumenga dhateng langit sepados tiyang budheg kalawau mangertos bilih kuawos nyarasaken punika saking Gusti Allah. Mukjizat kelampahan; kupingipun tiyang budeg punika saged mireng lan ilatipun saged wicantenan. Tamtu tiyang punika lajeng bingah sanget. Nanging Gusti Yesus menging, sampun ngantos tiyang punika nyariosaken bab punika dhateng tiyang sanes. Ananging, tiyang ingkang kasarasaken punika mboten mendel, awit saking bingahipun, piyambakipun tamtu cariyos dhateng tiyang sanes.
Gusti Yesus mboten namung nyarasaken tiyang bisu lan budheg sacara jasmani mawon. Mboten namung kuping lan ilatipun ingkang kabikak, nanging manahipun ugi kabikak kagem Gusti Yesus. Punika saged katingalan saking paseksipun dhumateng tiyang kathah. Tutukipun mboten mandeg-mandeg anggenipun nyariosaken panguwaosing lan pakaryaning Gusti Yesus ingkang sampun dipun alami. Mboten kaget menawi tiyang kathah dados takjub. Bab ingkang sampun kelampahan punika ugi sampun kanubuataken dening Yesaya.
Panutup
Wonten ing pigesangan nyata kita saben dinten, mbiji tiyang sanes kanthi ningali prawakanipun ingkang ketawis asring dipun tindakaken dening tiyang pitados. Tamtunipun bab punika menyangkali perjuangan lan keberpihakan Gusti Yesus dhateng para tiyang ingkang mboten gadhah lan papa. Sifat punika kedah kita dipun bucal tebih-tebih saking gesang kita minangka tiyang pitados. Sinten to kita punika wantun ngadili tiyang sanes lan mbiji tiyang sanes ngangge ukuran kita? Don’t judge a book by its cover. Kanthi mekaten kita saged dados seksinipun Gusti awit saking kesaean ingkang Gusti wucalaken dhateng kita umat-Ipun. Gusti mberkahi kita. Amin. [SYN].
Pamuji: KPJ. 357 : 1, 3 Endahing Saduluran