Alkitab Sumber Perdamaian dan Keadilan Khotbah Minggu 1 September 2024

19 August 2024

Minggu Biasa | Pembukaan Bulan Kitab Suci
Stola Hijau

Bacaan 1: Ulangan 4 : 1 – 2, 6 – 9
Mazmur: Mazmur 15 : 1 – 5
Bacaan 2: Yakobus 1 : 17 – 27
Bacaan 3: Markus 7 : 1 – 8, 14 – 15, 21 – 23

Tema Liturgis: Kitab Suci Menguatkan Umat Mewujudkan Perdamaian dan Keadilan Sosial
Tema Khotbah: Alkitab Sumber Perdamaian dan Keadilan

Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)

Ulangan 4 : 1 – 2, 6 – 9
Setelah meriwayatkan berbagai macam pengalamannya atas penyertaan Tuhan selama perjalanan pengembaraan di Padang Gurun (1:1-3:29) dan sebelum umat Israel itu memasuki Tanah Perjanjian, pada bagian perikop ini Musa terus-menerus mengingatkan bangsa Israel untuk taat dan setia melakukan perintah Allah. Pada ayat 1, Musa mengatakan “dengarlah ketetapan dan peraturan yang telah kuajarkan kepadamu untuk dilakukan.”  Tujuannya agar umat Israel tetap hidup dan berhasil memasuki tanah yang dijanjikan Tuhan kepada leluhurnya. Dalam melakukan ketetapan dan peraturan tersebut, umat tidak boleh menambahi maupun menguranginya sehingga dapat sungguh-sungguh berpegang teguh pada perintah TUHAN itu.

Selain untuk kehidupan mereka sendiri, melakukan ketetapan dan peraturan dengan setia juga menjadi sumber kebijaksanaan dan akal budi di hadapan bangsa-bangsa lain. Bahkan bangsa lainpun juga mengakui adanya relasi yang begitu dekat antara TUHAN dengan umat-Nya, dan pengakuan adanya ketetapan serta peraturan yang begitu adil dalam seluruh hukum yang ada (Ay. 6-8). Walaupun demikian, umat Israel juga harus tetap waspada dan berhati-hati dalam melakukannya seumur hidup mereka. Oleh karena itu, mereka memiliki tanggung jawab untuk mengajarkan ketetapan dan peraturan itu kepada semua generasi mereka mulai dari anak-anak, cucu dan cicit mereka (Ay. 9).

Yakobus 1 : 17 – 27
Pemberitaan kitab Yakobus ditujukan untuk “kedua belas suku di perantauan (diaspora)”[1]. Setelah menguraikan tentang pengujian dan pencobaan (1:12-15), pada ayat 16-18 penulis Yakobus mengingatkan agar jemaat tidak salah sangka atau salah persepsi dalam melihat ujian dan pencobaan yang mereka alami.  Penulis Yakobus dengan tegas menekankan bahwa pencobaan itu bukan berasal dari Allah (Ay. 13-15), sebab Allah memberikan yang baik dan memberikan anugerah yang sempurna pada umat-Nya. Bahkan Allah juga menciptakan umat-Nya dari firman kebenaran sehingga umat pada tingkat tertentu memiliki status sebagai anak sulung di antara ciptaan-Nya (Ay. 17-18).

Setelah memberikan pemahaman teologis berkaitan dengan eksistensi Allah, pada ayat 19-27 ini Yakobus memberikan pengajaran berkaitan dengan sikap atau jalan hidup (a way of life) dalam praksis hidup sehari-hari sebagai umat Allah. Sikap atau jalan hidup itu secara konkret diwujudkan dengan cara:

  1. Menjadi pribadi yang cepat mendengar, lambat berkata-kata, dan lambat untuk marah (Ay. 19-20).
  2. Membuang segala hal yang kotor dan jahat dan bersedia menerima firman dengan lemah lembut (Ay. 21).
  3. Berusaha dengan tekun menjadi pelaku firman, bukan hanya sekedar pendengar firman (Ay. 22-25).
  4. Mengendalikan diri melalui perkataan atau lidah (Ay. 26).
  5. Memiliki kepedulian terhadap kaum lemah atau terdiskriminasikan yang mengalami kesusahan, seperti yatim piatu dan janda-janda (Ay. 27).

Markus 7 : 1 – 8, 14 – 15, 21 – 23
Markus 7:1-8 berisi tentang percakapan antara sekelompok orang Farisi dan beberapa ahli Taurat[2] yang berasal dari Yerusalem dengan Tuhan Yesus. Mereka melihat bahwa sebagian murid Tuhan Yesus makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh (Ay. 1-2). Perbuatan ini tentu saja bertentangan dengan adat-istiadat atau tradisi yang selama ini dilakukan oleh orang-orang Yahudi yang telah diwariskan dari nenek moyang mereka secara turun temurun (Ay. 3-4). Maka dari itu mereka mengajukan pertanyaan kepada Tuhan Yesus, “Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat istiadat nenek moyang kita, tetapi dengan tangan najis?”. Menanggapi pertanyaan ini, Tuhan Yesus tidak langsung memberikan jawaban yang bisa diterima dengan jelas. Dengan mengutip nubuatan dari nabi Yesaya, bahkan lebih keras dari nabi Yesaya, Tuhan Yesus menyatakan, “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh daripada-Ku, percuma mereka beribadah kepada-Ku sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat-istiadat manusia.” (bnd. Ay. 6-8 dengan Yesaya 29:13)

Setelah memberikan jawaban yang keras terhadap orang Farisi dan ahli Taurat, Tuhan Yesus memanggil orang banyak dan memberikan pengajaran baru, “Apa pun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya.” (Ay. 15). Apa yang diajarkan Tuhan Yesus ini secara jelas diuraikan pada ayat 20-23. Di hadapan Tuhan Yesus, yang dapat menajiskan seseorang adalah segala hal yang muncul dari dalam, yaitu dari hati seseorang. Sebab dari dalam hati inilah muncul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, dan kebebalan.

Benang Merah Tiga Bacaan:
Untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang damai dan adil bagi semua orang dibutuhkan peraturan, ketetapan, keputusan, dan hukum yang jelas serta tegas sebagai sumber pedomannya. Melalui nabi Musa, Allah memberikan ketetapan dan peraturan bagi bangsa Israel sebelum mereka tiba di tanah Kanaan. Ketetapan ini dibuat untuk menjaga ketaatan dan kesetiaan mereka terhadap Allah serta mengatur hubungan mereka dengan sesama. Penulis kitab Yakobus pun juga memberikan nasihat kepada orang-orang Kristen di perantauan untuk tetap taat dan setia terhadap firman Allah yang diwujudnyatakan dalam praksis hidup sehari-hari sebagai jalan hidupnya.

Rancangan Khotbah: Bahasa Indonesia
(Ini hanyalah sebuah rancangan, silakan dikembangkan sesuai dengan konteks jemaat masing-masing)

Pendahuluan
Setiap orang tentu mengharapkan tatanan kehidupan yang aman, damai, adil, dan sejahtera. Untuk mewujudkan hal tersebut maka dibuatlah suatu peraturan, ketetapan, dan hukum yang bertujuan untuk menata kehidupan manusia agar menjadi lebih baik, teratur, dan berkeadilan bagi semua orang. Hal inilah yang menjadi inti pokok pengajaran Musa, penulis kitab Yakobus dan Tuhan Yesus yang kita renungkan melalui bacaan kita saat ini.

Isi
Dalam bacaan 1: Ulangan 4:1-2, 6-9, Allah melalui nabi Musa terus-menerus mengingatkan bangsa Israel untuk taat dan setia melakukan perintah Allah. Pada ayat 1 Musa mengatakan “Dengarlah ketetapan dan peraturan yang telah kuajarkan kepadamu untuk dilakukan.”  Tujuannya agar umat Israel tetap hidup dan berhasil memasuki tanah yang dijanjikan Tuhan kepada leluhurnya. Dalam melakukan ketetapan dan peraturan tersebut, umat tidak boleh menambahi maupun menguranginya sehingga dapat sungguh-sungguh berpegang teguh pada perintah TUHAN itu.

Selain untuk kehidupan mereka sendiri, melakukan ketetapan dan peraturan dengan setia juga menjadi sumber kebijaksanaan dan akal budi di hadapan bangsa-bangsa lain. Bahkan bangsa lainpun juga mengakui adanya relasi yang begitu dekat antara TUHAN dengan umat-Nya dan pengakuan adanya ketetapan serta peraturan yang begitu adil dalam seluruh hukum yang ada (Ay. 6-8). Walaupun demikian, umat Israel juga harus tetap waspada dan berhati-hati dalam melakukannya seumur hidup mereka. Oleh karena itu, mereka juga memiliki tanggung jawab untuk mengajarkan ketetapan dan peraturan itu kepada semua generasi mereka mulai dari anak-anak, cucu dan cicit (Ay. 9).

Dalam bacaan 2: Yakobus 1:17-27, penulis kitab Yakobus menegaskan agar umat menjadi pelaku firman dalam praksis kehidupan mereka sehari-hari. Artinya firman itu harus benar-benar menjadi jalan hidup (a way of life) yang diwujudkan secara nyata dengan cara:

  1. Menjadi pribadi yang cepat mendengar, lambat berkata-kata dan lambat untuk marah (Ay. 19-20).
  2. Membuang segala hal yang kotor dan jahat dan bersedia menerima firman dengan lemah lembut (Ay. 21).
  3. Berusaha dengan tekun menjadi pelaku firman, bukan hanya sekedar pendengar firman (Ay. 22-25).
  4. Mengendalikan diri melalui perkataan atau lidah (Ay. 26)
  5. Memiliki kepedulian terhadap kaum lemah atau terdiskriminasikan, yang mengalami kesusahan, seperti yatim piatu dan janda-janda. (Ay. 27).

Sedangkan dalam bacaan 3: Markus 7:1-8, 14-15, 21-23, Tuhan Yesus memberikan kritikan terhadap orang-orang Farisi dan ahli Taurat terkait dengan implementasi penerapan peraturan, ketetapan, dan hukum yang berlaku pada masyarakat pada saat itu. Mengutip nubuatan nabi Yesaya, Tuhan Yesus mengkritik dengan keras, dengan menyatakan, “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh daripada-Ku, percuma mereka beribadah kepada-Ku sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat-istiadat manusia” (bnd. Ay. 6-8 dengan Yesaya 29:13). Melalui pernyataan ini apakah Tuhan Yesus anti terhadap peraturan, ketetapan, hukum, dan adat istiadat dalam masyarakat? Tidak! Tuhan Yesus bukannya anti terhadap peraturan, ketetapan, hukum, dan adat istiadat dalam masyarakat. Dengan pernyataannya itu, Tuhan Yesus ingin agar masyarakat Yahudi pada saat itu, Pertamamenempatkan Perintah Allah atau Firman Allah di atas peraturan, ketetapan, hukum, dan adat istiadat yang dibuat oleh manusia. Kedua, Tuhan Yesus mengingatkan agar dalam pemberlakuan peraturan itu tidak hanya sebatas memperhatikan hal yang tertulis di dalamnya (secara normatif). Akan tetapi, lebih kepada hal yang paling mendasar dan substansial. Hal ini secara jelas diuraikan melalui pengajaran-Nya,  “Apa pun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya.” (Ay. 15). Apa yang diajarkan Tuhan Yesus ini secara jelas diuraikan pada ayat 20-23. Di hadapan Tuhan Yesus, yang dapat menajiskan seseorang adalah segala hal yang muncul dari dalam, yaitu dari hati seseorang. Sebab dari dalam hati inilah muncul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, dan kebebalan.

Penutup
Dalam kehidupan kita sehari-hari ada berbagai macam peraturan, ketetapan, keputusan, hukum dan adat-istiadat atau tradisi yang digunakan sebagai pedoman untuk mengatur tatanan kehidupan manusia agar menjadi baik. Selain itu, sebagai umat Tuhan kita pun juga memiliki Alkitab yang kita imani sebagai pedoman dan petunjuk dalam kehidupan kita sehari-hari. Oleh karena itu, mengawali bulan Kitab Suci saat ini, mari kita menempatkan Kitab Suci sebagai dasar atau landasan yang paling utama di atas peraturan, ketetapan, keputusan, hukum, dan adat-istiadat atau tradisi yang ada. Dengan dasar Kitab Suci, marilah kita terus berusaha mewujudkan tatanan kehidupan yang aman, damai, adil, dan sejahtera bagi semua orang. Secara konkret hal ini diwujudkan dengan cara menjadi pelaku firman dalam praksis kehidupan sehari-hari. Selamat menghayati bulan Kitab Suci. Tuhan Yesus memberkati. Amin. [Gmbul].

 

Pujian: KJ. 51 : 1, 2  Kitab Suci, Hartaku

 

Rancangan Khotbah: Basa Jawi
(Punika namung rancangan khotbah, saged dipun kembangaken miturut konteks pasamuwan piyambak)

Pambuka
Saben tiyang tamtu kagungan pengajeng-ajeng babagan tatananing gesang ingkang aman, tentrem, adil, lan makmur. Kangge mujudaken bab punika mila dipun damelaken pranatan, ketetapan, lan hukum ingkang  tujuanipun kangge mranata gesanging manungsa supados langkung sae, trenten, lan adil kangge sedaya tiyang. Prekawis punika ingkang dados punjering piwucal nabi Musa, juru tulis serat Yakobus, lan Gusti Yesus ingkang kita gegilut sesarengan lantaran waosan kita ing wekdal punika.

Isi
Ing waosan 1: Pangandharing Toret 4:1-2, 6-9, Gusti Allah lantaran nabi Musa tansah ngemutaken dhumateng bangsa Israel supados setya nindakaken dhawuh Pangandikanipun Allah. Wonten ing ayat 1 Musa paring dhawuh: “Mulane saiki, he wong Israel, padha ngrungokna katetepan lan pranatan kang dakwarahake marang kowe supaya padha kok lakoni“. Tujuanipun supados umat Israel tetep lestantun gesangipun lan saged lumebet ing tanah Prajanjian ingkang sampun dipun janjikaken Gusti Allah dhumateng leluhuripun. Anggenipun nindakaken katetepan lan pranatan ing sampun kasebat punika, umat Israel mboten kepareng nambahi utawi nyuda temahan saestu saged kanthi temen sumanggem ngestokaken dhawuhipun Allah punika.

Kejawi kagem kawilujengan gesangipun piyambakipun, nindakaken katetepan lan pranatan kanthi setya tuhu dados sumbering kawicaksanan lan kaunggulaning budi wonten ngarsanipun bangsa sanes. Temahan bangsa sanesipun ugi ngakeni wontenipun sesambetan ingkang celak antawisipun Gusti Allah kaliyan umat-Ipun. Bangsa sanes ugi saged ngakeni wontenipun ketetepan saha pranatan ingkang adil (Ay. 6-8). Sanadyan mekaten, umat Israel ugi kedah tetep waspada lan ngatos-atos anggenipun nindakaken ing salaminipun gesang. Pramila, umat Israel ugi nggadhahi tanggel jawab paring piwucal babagan katetepan lan pranatan punika dhumateng para putra wayahipun (Ay. 9).

Selajengipun, wonten ing waosan 2: Yakobus 1:17-27 juru tulis serat Yakobus negesaken supados umat nindakaken sabdanipun Gusti Allah ing salebeting gesangipun padintenan. Tegesipun sabdanipun Gusti Allah punika saestu kedah dados margining gesang (a way of life) ingkang dipun wujudaken kanthi nyata mawi cara:

  1. Dados tiyang ingkang cepet mirengaken, randhat ing pangucap lan randhat duka (Ay. 9-20).
  2. Mbirat sedaya bab ingkang reged saha piala lan sagah nampi sabdanipun Gusti Allah kanthi andhap asor ing manah (Ay. 21).
  3. Tansah mbudidaya kanthi temen kangge ngestokaken sabdanipun Allah, mboten namung mirengaken kemawon (Ay. 22-25).
  4. Mekak utawi ngendalekaken gesang lantaran pangucap utawi lathi (Ay. 26)
  5. Kagungan raos peduli tumrap para tiyang ingkang ringkih ingkang saweg ngalami kasisahan kados bocah lola lan para randha. (Ay. 27). Raos peduli punika minangka wujuding pangibadah ingkang murni.

Wondene wonten ing waosan 3: Markus 7:1-8, 14-15, 21-23, Gusti Yesus paring pepenget dhumateng tiyang-tiyang Farisi lan ahli Toret babagan “penerapan” katetepan lan pranatan ingkang wonten ing gesanging masyarakat Yahudi nalika semanten. Mundhut pameca saking nabi Yesaya, Gusti Yesus ngemutaken kanthi sora “Bangsa iki anggone ngluhurake Ingsun kalawan lambe, nanging atine ngedohi Ingsun. Tanpa gawe anggone ngabekti marang Ingsun, dene kang diwulangake iku pepakoning manungsa. Pepakoning Allah kok lirwakake, lan netepi ila-ilaning manungsa.” (bnd. Ay. 6-8 kaliyan Yesya 29:13)

Lantaran pangandika punika, punapa ateges Gusti Yesus nampik wontenipun katetepan, pranatan, adat-istiadat ingkang wonten ing salebeting gesanging masyarakat Yahudi? Mboten! Gusti Yesus estunipun mboten nampik wontenipun katetepan, pranatan, adat-istiadat ingkang wonten ing salebeting gesang masyarakat. Nanging, Gusti Yesus ngersakaken supados masyarakat Yahudi nalika semanten: Sepisan, mapanaken sabdanipun Allah wonten ing sainggiling  katetepan, pranatan, adat-istiadat ingkang dipun damel dening manungsa. Cekak ing tembung, Gusti Yesus ngersakaken supados sabdanipun Allah punika dados bab ingkang utami ing salebeting gesang. Kaping kalih, Gusti Yesus ngemutaken supados anggenipun ngetrapaken pranatan punika mboten namung winates migatosaken bab ingkang kaserat wonten ing pranatan punika (secara normatif). Ananging, langkung migatosaken bab ingkang langkung utami (mendasar lan substansial). Bab punika kanthi cetha kawedharaken lantaran dhawuhipun, “Samubarang kang saka ing jaba lumebu ing manunga, iku ora njalari najis, nanging apa kang metu saka ing manungsa, iku kang marakake najis” (Ay. 15). Punapa ingkang dipun dhawuhaken Gusti Yesus punika kanthi cetha kajlentrehaken wonten ing ayat 20-23. Wonten ngarsanipun Gusti Yesus, ingkang njalari manungsa najis punika samubarang ingkang medal saking isining manah manungsa. “Sabab saka ing jero, saka ing sajroning atine manungsa, thukul sakabehing pikiran sing ala, kang lekoh, kadurjanan, gawe pati, laku bandrek, srakah, piala, akal palsu, hawa-nepsu, meri, panyatur ala, gumedhe, lan tanpa budi.”

Panutup
Ing salebeting gesang kita padintenan kathah maneka warni pranatan, katetepan, adat-istiadat utawi pakulinan ingkang dipun damel minangka paugeran kangge mranata gesanging manungsa supados langkung sae lan tumata. Kejawi punika, minangka umatipun Allah utawi minangka tiyang Kristen, kita ugi kagungan Kitab Suci ingkang kita ugemi dados sumbering pitedah lan panuntuning gesang kita saben dinten. Pramila, miwiti sasi Kitab Suci punika, sumangga kita saestu mapanaken Kitab Suci minangka dasar ingkang utami sainggiling pranatan, katetepan, adat-istiadat ingkang sampun wonten ing gesang kita. Kanthi dasar Kitab Suci, sumangga kita tansah mbudidaya mujudaken tatananing gesang ingkang aman, tentrem, adil lan makmur kagem sedaya titah. Bab punika secara nyata kawujudaken srana  ngestokaken saha nindakaken punapa ingkang kaserat wonten ing Kitab Suci ing salebeting gesang kita padintenan. Sugeng angresepi sasi Kitab Suci, Gusti Yesus amberkahi. Amin. [Gmbul].

 

Pamuji: KPJ. 192 : 1, 3  Isining Kabar Kabingahan

___________________

[1] Ungkapan kedua belas suku di perantauan dapat dimaknai dalam tiga cara, yaitu; pertama, mengacu pada orang-orang Yahudi yang hidup di luar Palestina (setelah 70 atau 135 M yang berarti keseluruhan umat Yahudi). Kedua, mengarah kepada orang Kristen Yahudi yang hidup di perantauan. Ketiga, mengacu kepada semua orang Kristen. Dari ketiga kemungkinan ini, para penafsir PB lebih sepakat pada kemungkinan ketiga. Kedua belas suku diperantauan untuk mewakili semua orang Kristen/ gereja yang hidup dalam penyebaran dalam pengertian teologis daripada geografis (Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru, hlm 282-283).

[2] Farisi merupakan kelompok atau sekte terbesar dan paling berpengaruh pada masa Perjanjian Baru. Kata Farisi berasal dari kata “Parash” yang berarti memisahkan. Disebutkan demikian karena mereka berusaha memisahkan atau menyucikan diri mereka dari segala hal yang mereka anggap najis. Mereka berupaya melakukan segenap Hukum Taurat secara penuh dan ketat. Sedangkan Ahli Taurat orang-orang yang sangat terpelajar di bidang hukum Taurat. Untuk menjadi ahli Taurat seseorang butuh latihan yang lama, baik dalam hal metode penafsiran maupun dalam pengenalan hukum dan tradisi Yahudi. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua orang Farisi pernah menempuh pendidikan atau pelatihan sebagai ahli Taurat (Jusak Tridarmanto, Tafsir Perjanjian Baru, hlm 39 & Wismoadi Wahono, Disini Kutemukan, hlm 327-328).

Renungan Harian

Renungan Harian Anak