Bulan Keluarga / Minggu Biasa 6
Stola Hijau
Bacaan 1 : II Samuel 5 : 1 – 5 ; 9 – 10.
Bacaan 2 : II Korintus 12 : 2 – 10.
Bacaan 3 : Markus 6 : 1 – 13.
Tema Liturgis : Bergandengan tangan untuk mewujudkan cinta kasih Allah.
Tema Khotbah : Mewujudkan hidup setia dan mengandalkan Tuhan.
KETERANGAN BACAAN
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
II Samuel 5 : 1 – 5 ; 9 – 10.
Ayat-ayat ini menyebutkan untuk ketiga kalinya Daud diurapi menjadi raja. Pertama, oleh Samuel di depan saudara-saudara Daud, dan sejak itu berkuasalah Roh Tuhan atas Daud (I Sam. 16 : 13). Kedua, oleh orang-orang Yehuda supaya Daud menjadi raja atas kaum Yehuda (II Sam. 2 : 4). Ketiga, oleh tua-tua Israel supaya Daud menjadi raja atas Israel (II Sam. 5 : 3). Berikutnya, Daud merebut Yerusalem dan menamainya “Kota Daud”. Apa yang dialami Daud dalam “berproses” menjadi raja atas seluruh Israel memang tidaknya terjadi dengan cepat dan begitu saja. Proses ini menunjukkan juga kesabaran Daud dan kesetiaannya memegang teguh janji Tuhan untuk menjadikannya raja atas seluruh Israel.
Kebesaran Daud yang semakin lama semakin besar, tidaklah lepas dari penyertaan Tuhan semesta alam atas diri Daud (II Sam. 5 : 10). Keberhasilan Daud menjadi raja atas Israel tidak lepas dari kuasa Tuhan yang menaunginya dan juga kesetiaan Tuhan pada janjiNya. Dari pihak Daud juga terlihat kesabaran dan kesetiaan Daud memegang teguh janji Tuhan itu. Daud bukan hanya harus menjadi raja atas seluruh Israel, tatapi juga harus perperan sebagai gembala atas Israel (II Sam. 5 : 2). Artinya, Daud harus menyadari bahwa dirinya bukan saja menjadi pemimpin atas Israel selaku pemimpin pemerintahan saja, tetapi juga pemimpin secara spiritual bagi Israel (sebagai gembala). Dalam hal ini pengalaman Daud di masa lalu sebagai seorang gembala ternak tentunya amat bermanfaat.
II Korintus 12 : 2 – 10.
Secara tidak langsung Paulus mengakui pentingnya kerendahan hati di hadapan Tuhan. Secara manusiawi, panggilan Paulus untuk menjadi rasul yang memang “unik”, bisa menjadi kebanggaan. Tetapi dengan apa yang dialami Paulus sebagaimana disebut di ayat 7 yaitu adanya “duri dalam daging”, menunjukkan bagaimana Paulus harus tetap bergantung pada Tuhan. Tidak secara jelas disebutkan apa yang dimaksud dengan “duri dalam daging” itu. Apakah itu penyakit tertentu atau apa. Yang jelas, kita bisa mendapatkan kesan bahwa apa yang disebut dengan “duri dalam daging” itu suatu keadaan yang menyakitkan, membuat menderita, bahkan menjadi penghambat bagi tugas-tugas kerasulan Paulus. “Duri dalam daging” itu juga mengganggu Paulus secara fisik, menjadikan dia lemah secara fisik maupun psykhis (ayat 9, 10). Kelemahan inilah yang menjadikan Paulus tiga kali berseru, minta pertolongan kepada Tuhan (ayat 8).
Jawaban Tuhan di ayat 8 tidak menjanjikan kesembuhan bagi Paulus, tetapi justru memotivasi Paulus untuk fokus dan mengandalkan kuasa Tuhan, bukan kekuatan manusia atau kekuatan sendiri. Dalam kelemahan Paulus karena adanya “duri dalam daging” itu menjadikan dia meminta pertolongan dan merasakan kuasa Tuhan yang memberi kemampuan untuk bertahan. Dalam kelemahan itulah Paulus tidak bisa mengandalkan kekuatannya sendiri, dan akhirnya mengandalkan kekuatan Tuhan. Saat itulah Paulus akan merasakan kesempurnaan kuasa Tuhan yang memampukannya bertahan hidup. Jika ini terjadi, maka Paulus tidak punya alasan untuk bermegah atas kekuatannya. Sebaliknya akan menjadikannya semakin rendah hati dibawah kuasa Tuhan dan mengandalkan Tuhan. Tuhan memang tidak mengangkat “duri dalam daging” itu, tetapi Tuhan menjadikan Paulus mengandalkan kuasa Tuhan untuk menjadikan dia mampu bertahan dalam menghadapi “duri dalam daging” itu.
Ayat 10 menyatakan sikap Paulus yang tidak menggerutu meskipun “duri dalam daging” itu tetap ada padanya. Sebaliknya, Paulus menyatakan rela dan menghadapinya dengan senang, karena justru dalam kelemahan seperti itulah dia semakin merasakan kekuatan dari Tuhan yang ada dalam dirinya. Tidak mengandalkan kekuatan sendiri. Tetapi ketika dia merasa “kuat” secara fisik, hal itu akan menjadikannya mengandalkan kekuatannya sendiri. Dan ketika seseorang mampu mengandalkan kuasa Tuhan dalam hidupnya, saat itulah dia merasakan kasih karuniaNya.
Markus 6 : 1 – 13.
Setelah dari Kapernaum, Yesus tiba di tempat asalNya (Nazaret) dan mengajar di rumah ibadat pada hari Sabat. Pengajaran Yesus itu berakhir dengan keheranan dan penolakan dari orang banyak yang mendengarkanNya. Mereka tetap berpedoman bahwa Yesus adalah seorang tukang kayu, anaknya Maria dan Yusuf yang juga tukang kayu. Tetapi kini Yesus datang dengan pengajaran dan mujizat-mujizat yang sulit mereka pahami. Orang banyak itu tidak belajar mengerti pengajaran Yesus, tetapi lebih sibuk mempertanyakan hikmat apa yang Dia punya dan dari mana mendapatkan kemampuan seperti itu. Dengan mengungkit asal-usul Yesus yang “orang Nazaret” itu, yang menurut mereka juga “orang biasa” dan mereka mengenal semua keluarganya, menjadikan mereka tidak mempercayai pengajaran dan kuasa Yesus. Ketidak-percayaan dan penolakan orang banyak terhadap Yesus juga berpengaruh pada karya-karya Yesus di tempat itu (lih. ayat 5). Yesus tidak banyak membuat mujizat di Nazaret karena penduduknya menolak untuk mempercayainya. Artinya, mereka juga menolak untuk percaya pada pemberitaan dan mujizatNya.
Yesuspun heran atas ketidak-percayaan orang-orang di Nazaret. Dengan kata lain, ternyata “pengenalan” secara lahiriah yang cukup lama dengan Yesus (mereka mengenal Yesus sejak masa kecilNya) tidak menjamin bahwa seseorang akan menerima pengajaranNya apalagi memahaminya. Bisa terjadi, mereka yang mengenal Yesus sejak masa kecilNya dan menganggapnya sebagai orang biasa dan berasal dari keluarga biasa, dianggap tidak mungkin melakukan sesuatu yang luar biasa. Itulah sebabnya orang banyak itu “sibuk” membicarakan asal-usul dan keluarga Yesus dan bukan fokus pada pengajaran dan karyaNya. Itulah sebabnya Yesus mengatakan : “Seorang nabi dihormati dimana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri, diantara kaum keluarganya dan di rumahnya” (ayat 4). Namun demikian penolakan itu ternyata tidak menjadi kendala bagi karyaNya. Terbukti dengan perjalanNya berkeliling dari desa ke desa untuk mengajar , bahkan mengutus kedua belas muridNya untuk melakukan tugas pengajaran dan memberitakan kabar suka cita.
Para murid tidak disuruh pergi sendiri-sendiri, tetapi berdua-dua. Hal ini tentunya ada maksud tertentu. Seseorang yang melakukan perjalanan dan pekerjaan di tempat lain, tentunya akan merasa lebih baik jika berdua-dua dari pada sendiri. Pengutusan yang diterima para murid bukanlah tugas yang mudah. Jika mereka berua-dua, tentunya jika menghadapi masalah atau kesulitan, mereka akan bisa saling menolong dan menopang, serta saling memberi semangat. Dengan demikian para murid tidak akan mudah putus asa dalam menghadapi persoalan. Sudah jelas bahwa para murid pasti akan menghadapi berbagai persoalan. Secara tidak langsung Yesus telah mengatakan bahwa akan ada orang yang bisa menerima pemberitaan para murid, tetapi juga ada yang menolaknya (ayat 10, 11). Para murid supaya memberi tanda kepada siapa saja yang menerima atau yang menolak pemberitaan mereka. Sebab jelaslah bahwa yang menerima pemberitaan mereka sama artinya dengan menerima Yesus sendiri, demikian juga sebaliknya bagi yang menolaknya. Mengibaskan debu sebagai sebuah tanda penolakan. Bukanlah sebuah paksaan untuk menerima Injil. Setiap orang punya kebebasan untuk menerima ataupun menolak Injil.
Ketika mengutus para murid, memang mereka tidak diperbolehkan membawa bekal. Hal ini tentunya untuk melatih para murid supaya memiliki kebergantungan yang penuh hanya pada Allah saja, bukan pada bekal yang mereka bawa. Sesungguhnya Yesus tidak mengutus mereka dengan tanpa bekal apapun. Para murid diberi kuasa untuk mampu memberitakan seruan pertobatan dan mengusir setan serta menyembuhkan orang sakit. Jelaslah bahwa Yesus juga membekali setiap orang yang diutusNya untuk menyampaikan pengajaranNya. Para murid yang juga “orang biasa” pada kenyataannya juga mampu mengajar dan menyerukan pertobatan serta melakukan mujizat. Itulah kelengkapan yang Dia berikan kepada orang-orang yang percaya kepadaNya dan mau melakukan tugas mengutusan dariNya, serta bergantung sepenuhnya hanya kepada Tuhan.
BENANG MERAH KETIGA BACAAN
Tuhan memberikan kekuatan dan kemampuan kepada setiap orang yang setia, bergantung sepenuhnya hanya kepada Dia, dan tidak mengandalkan kekuatan sendiri.
RANCANGAN KHOTBAH : Bahasa Indonesia.
(Ini hanya sebuah rancangan. Sila dikembangkan sendiri sesuai konteks jemaat)
TUHAN ANDALANKU.
(Nats : Markus 6 : 8,9)
Pendahuluan
Berbagai hal bisa dilakukan seseorang jika sedang berada dalam situasi menderita, terdesak, (kepepet = Jawa). Ada yang mengerahkan segala kekuatannya untuk mengatasi penderitaan itu. Ada pula yang rela “menguras” tabungannya jika dianggap bisa mengatasi situasinya. Tidak jarang ada orang yang menangis, minta tolong, mohon belas kasihan pihak lain. Disaat seseorang berusaha meminta pertolongan, pastilah kepada pihak yang dianggap lebih “kuat” atau yang diyakini mampu memberikan pertolongan. Bagi orang beriman, pihak yang dianggap lebih kuat dan mampu memberikan pertolongan itu adalah Tuhan. Oleh karenanya adalah hal yang lumrah jika orang beriman “lari” kepada Tuhan dalam menghadapi situasi yang terdesak atau membuatnya menderita.
Isi
Mengapa Tuhan Yesus melarang para murid untuk membawa bekal bahkan baju cadangan dalam perjalanan melaksanakan tugas-tugas pengutusanNya ? Perjalanan para murid itu bisa jauh dan lama, bagaimana mereka akan memenuhi kebutuhan makan dan minum jika tidak diperbolehkan membawa bekal makanan ? Apakah Tuhan Yesus sedang menguji kreatifitas para murid untuk bertahan hidup dalam menghadapi tantangan dan kesulitan hidup ? Bagaimana jika mereka sampai mati kelaparan di perjalanan ? Berbagai pertanyaan di atas mungkin ada di benak kita setelah membaca perikop bacaan hari ini.
Sesungguhnya ketika manusia masih memiliki “yang lain” sebagai cadangan, maka dia akan mengandalkan cadangannya itu untuk mengatasi masalahnya. Ketika lapar dalam perjalanan, maka andalannya adalah bekal yang dia bawa. Itu sudah pasti. Tetapi jika seseorang tidak memiliki apapun sebagai cadangannya, maka hal yang bisa ditempuh adalah meminta pertolongan pihak lain. Demikian juga yang diharapkan terjadi pada para murid. Dalam kesengsaraan, situasi yang terdesak, mereka tidak boleh mengandalkan pihak lain. Mereka pasti hanya akan minta pertolongan kepada Tuhan, karena tidak ada andalan lainnya. Dengan kata lain, Tuhan Yesus mengajarkan dan membiasakan para murid untuk menggantungkan hidup sepenuhnya hanya kepada Tuhan. Para murid memang diutus berdua-dua supaya saling menopang, saling menguatkan dan saling memberi semangat. Namun mereka juga harus yakin bahwa ketika melakukan tugas-tugas pengutusan itu tidak boleh bergantung pada pihak lain, selain Tuhan. Tuhan yang akan memelihara hidup mereka, dan Tuhan akan mencukupkan mereka.
Kebergantungan kepada Tuhan yang bagaimanakah yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus ? Pertama, adalah kebergantungan yang penuh hanya kepada Tuhan, tanpa reserve atau tanpa cadangan. Kedua, adanya pengakuan bahwa saya tidak akan bisa hidup seperti sekarang ini jika tanpa Tuhan yang menolong saya. Ketiga, kesadaran bahwa kebergantungan kepada Tuhan itu tidak banya berkaitan dengan hal-hal yang rohani saja, tetapi juga hal-hal yang jasmani seperti roti, uang, baju, dll. Tentunya hal ini didasari pada keyakinan bahwa Tuhan itu sumber berkat, maka juga termasuk berkat untuk pemenuhan kebutuhan jasmani.
Kebergantungan yang penuh hanya kepada Tuhan memang amatlah penting bagi kehidupan orang beriman. Hal ini dikarenakan sangat berkaitan dengan masalah kepercayaan. Orang akan cenderung mengandalkan pihak yang dipercayainya. Manusia yang bergantung penuh hanya kepada Tuhan sama artinya dia sangat mempercayai dan hanya percaya kepada kuasa Tuhan. Demikian juga sebaliknya. Bergantung kepada Tuhan atau mengandalkan Tuhan dalam hidup para murid juga berarti ada kepercayaan bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik kepada mereka dalam situsi sulit sekalipun. Tuhan mengetahui apapun yang terjadi dalam hidup mereka, termasuk di saat mereka dalam kesengsaraan.
Sebagaimana pernah dialami Daud (lih. bacaan 1), dalam pergumulan yang dialami dia hanya bisa mengandalkan Tuhan. Kedudukan, keluarga, sahabat, ternyata tidak bisa diandalkan dan bisa sirna dari kehidupannya. Tetapi Tuhan, dalam pergumulan yang paling dalam sekalipun (karena belum seluruh Israel menerima Daud sebagai raja), Daud tetap bisa merasakan bahwa Tuhan tidak meninggalkannya. Daud tetap bisa berkomunikasi dengan Tuhan. Demikian juga yang dialami oleh Paulus. Di saat Paulus harus menanggung sengsara karena “duri dalam dagingnya”, Paulus hanya berseru dan minta pertolongan kepada Tuhan. Paulus tidak bisa mengandalkan kekuatan lain, termasuk kekuatannya sendiri untuk menghadapinya. Oleh karena itu Paulus hanya meminta pertolongan kepada Tuhan dan mengandalkan Tuhan dalam menghadapi penderitaannya (lih. bacaan 2).
Mengandalkan Tuhan juga berarti mempersilahkan Tuhan untuk melakukan rencananya yang terbaik atas hidupnya. Daud tidak memaksa Tuhan untuk menjadikannya raja atas seluruh Israel sebagaimana yang telah Tuhan janjikan. Paulus juga tidak memaksa Tuhan untuk mengangkat “duri dalam dagingnya”. Demikian juga seharusnya para murid. Jika mereka hanya mengandalkan Tuhan, maka mereka juga harus yakin bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik bagi mereka. Tidak ada paksaan apapun. Secara tidak langsung Tuhan Yesus mengajarkan kepada mereka untuk juga tidak memaksa orang lain untuk menerima pemberitaan mereka. Setiap orang yang mendengarkan pemberitaan Injil, mereka itu berhak untuk menerima ataupun menolaknya. Para murid harus siap diterima, tetapi juga siap ditolak dalam memberitakan Injil.
Penerimaan dan penolakan pemberitaan Injil bukan hanya akan dialami oleh para murid saja. Tuhan Yesus juga mengalaminya. Orang-orang di tempat lain banyak yang menerima pengajaran dan mujizatNya, tetapi orang-orang di daerah asalNya (Nazaret) justru menolaknya. Mereka yang menolaknya ternyata tidak mengandalkan Allah yang melakukan mujizat-mujizat itu, tetapi justru mengandalkan perhitungan-perhitungan mereka (manusia) belaka. Itulah sebabnya mereka sibuk mempercakapkan tentang asal-usul Yesus yang adalah tukang kayu dan anak tukang kayu. Sehingga menurut perhitungan manusiawi mereka, Yesus tidak mungkin melakukan pengajaran di rumah ibadah, apalagi membuat mujizat. Tampak sekali bahwa orang-orang di Nazaret itu sangat mengandalkan kemampuan berpikirnya sendiri. Dan kenyataannya, orang yang mengandalkan kemampuan berpikirnya sendiri menjadi lebih tertutup untuk menerima karya Allah dalam hidupnya. Jelas sekali di Mark. 6 : 5, 6a dijelaskan bahwa Yesus tidak dapat mengadakan satu mujizatpun di Nazaret selain hanya menyembuhkan beberapa orang sakit. Menurut Tuhan Yesus hal ini dikarenakan ketidak-percayaan orang-orang Nazaret itu kepada Yesus. Ketidak-percayaan mereka ini juga menjadikan Yesus merasa heran. Heran dalam arti, mengapa mereka tidak mengandalkan kuasa Allah, tetapi justru mengandalkan perhitungan dan pemikiran manusia.
Jika mengandalkan pemikiran manusia, maka Daud tentunya “bisa” menuntut Allah untuk segera memenuhi janjiNya menjadikan Daud sebagai raja atas seluruh Israel. Demikian juga halnya dengan rasul Paulus juga “bisa” menuntut Allah mengangkat “duri dalam daging”nya, karena pada kenyataannya hal itu menghambat pekerjaan kerasulannya. Tetapi pada kenyataannya baik Daud maupun Paulus tidak melakukan hal itu. Dalam perjuangan, penderitaan maupun persoalan yang mereka hadapi, mereka tetap mengandalkan Tuhan yang pasti akan menata yang terbaik untuk hidup mereka. Mereka sangat percaya akan hal itu.
Mengandalkan Tuhan sepenuhnya, tanpa reserve, dalam kehidupan sehari-hari memang bukanlah hal sederhana. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Daud harus menghadapi orang-orang sebangsanya yang belum yakin bahwa Daudlah yang telah dipilih oleh Tuhan sebagai pengganti Saul untuk menjadi raja atas Israel. Paulus harus menghadapi kekuatan/kemampuannya sendiri, bahkan mungkin kesombongannya untuk mengatasi “duri dalam dagingnya”. Para murid yang diutus Yesus juga harus menghadapi berbagai kekhawatirannya karena harus melakukan perjalanan dan tugas pengutusan itu dengan “tanpa bekal”. Dalam kasus para murid Yesus, benarkah mereka diutus dengan “tanpa bekal” ? Ternyata tidak ! Mark. 6 : 11, 12, menyebutkan bahwa para murid menyerukan panggilan pertobatan dan mengusir setan serta menyembuhkan banyak orang sakit. Dari manakah keberanian untuk mengajak orang bertobat itu ? Dari manakah kuasa mereka untuk mengusir setan dan menyembuhkan orang sakit itu ? Jika semua itu diakui berasal dari Tuhan, maka sesungguhnya itulah bekal yang Tuhan berikan kepada para murid. Tuhan Yesus tidak melepas mereka untuk melaksanakan tugas pengutusan itu dengan tanpa bekal. Tetapi bekal mereka itu bukan sesuatu yang kasat mata (seperti makanan, uang dan pakaian), tetapi berupa kuasa. Dan kuasa itu akan nyata dan bisa digunakan untuk mengatasi persoalan yang mereka hadapi jika mereka benar-benar hanya mengandalkan Tuhan, minta pertolongan hanya kepada Tuhan.
Orang yang mengandalkan Tuhan bukanlah orang yang tidak berbuat apa-apa dan menyerahkan semua persoalannya kepada Tuhan. Orang yang mengandalkan Tuhan adalah orang yang bekerja keras, berusaha semaksimal mungkin untuk mengatasi persoalan hidupnya. Dia melakukan semua itu karena yakin bahwa Tuhan bisa diandalkan untuk menolong dia menghadapi persoalannya. Dia yakin pada kuasa Tuhan dan pertolongan Tuhan yang tepat pada saatnya. Dia tidak berusaha dan berjuang sendiri, tetapi ada Tuhan yang menyertainya. Hal ini pun dilakukan oleh Daud yang terus berjuang hingga seluruh orang Israel yakin dan menerima Daud sebagai raja mereka. Pauluspun terus meminta tolong kepada Tuhan agar mengangkat “duri dalam dagingnya”. Namun demikian Paulus tetap berjuang mengatasi penderitaannya dan terus menjalankan tugas-tugas kerasulannya. Demikian juga dengan para murid Tuhan Yesus yang juga bekerja keras melaksanakan tugas-tugas pengutusan. Mereka tentunya juga berjuang untuk mengatasi kekhawatirannya.
Hasil apakah yang diperoleh orang-orang yang hidupnya mengandalkan Tuhan ? Bagi para murid jelas membuktikan bahwa mereka setia melaksanakan tugas pengutusan dari Gurunya (Yesus) dan bisa membawa orang pada pertobatan serta menolong sesama dalam bentuk mengusir setan dan menyembuhkan yang sakit. Bagi Daud hasilnya adalah kesabaran dan bijaksana dalam menghadapi berbagai perjuangan, kesulitan, penderitaan yang dialaminya, kuasa yang lebih besar lagi dan penyertaan Tuhan senantiasa (II Sam. 5 : 10). Bagi Paulus, hasilnya adalah kerendahan hati, tidak mengandalkan kekuatan sendiri dan keberserahan kepada Allah untuk memberikan yang terbaik baginya menurut Allah.
Penutup
Hidup dengan mengandalkan Tuhan secara penuh memang tidaklah mudah. Tetapi sebagai orang beriman, itulah yang telah Tuhan ajarkan dan teladankan kepada kita. Kisah Daud, Paulus dan kedua belas murid Yesus juga telah memberikan teladan kepada kita, bahwa mengandalkan Tuhan dalam seluruh sisi hidup kita merupakan hal utama bagi kehidupan orang percaya. Sebab dengan mengandalkan Tuhan berarti kita juga membuka diri terhadap kuasa Tuhan yang dinyatakan dan mujizat Tuhan dilakukan untuk menolong kita mengadapi persoalan yang sedang terjadi. Termasuk dalam situasi yang terdesak (kepepet = Jawa) sekalipun. Artinya, kita mempersilahkan Tuhan berkarya dan menunjukkan mujizatNya dalam hidup kita. Keberhasilan mengatasi persoalan adalah karena kuasa Tuhan dan bukan karena perhitungan akal manusia. Jika semua hal hanya didasarkan pada perhitungan akal manusia, maka akan menjadikan kita tidak mengakui pada kuasa dan mujizat Tuhan. Inilah yang dimaksud dengan tertutup atas kuasa dan mujizat Tuhan.
Tidak bolehkah kita menggunakan perhitungan akal manusia dalam menghadapi persoalan kehidupan ? Boleh, tetapi bukan mengandalkannya sebagai satu-satunya kemampuan. Sebab ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan secara akal namun itu terjadi. Misalnya mujizat para murid yang menyembuhkan banyak orang dan juga mengusir setan, dari manakah mereka belajar semuanya itu ? Secara akal manusia memang tidak mungkin. Siapakah andalan para murid Yesus itu ? Tidak ada lain andalannya hanya Yesus, Tuhan dan Gurunya. Sehingga mereka setia melaksanakan apa yang ditugaskan oleh Yesus, Sang Guru dan percaya pada apa yang dikatakanNya. Mengandalkan kekuatan diri sendiri dan orang lain akan membawa kita pada kekecewaan. Oleh karena itu mari kita terus belajar untuk mengandalkan Tuhan dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Maka kita akan lebih bisa merasakan kuasa dan mujizat Tuhan yang memberi pertolongan. Amin. (YM)
Nyanyian : Kidung Jemaat 250a : 1, 2, 4.
—
RANCANGAN KHOTBAH :Basa Jawi
GUSTI ALLAH ANDELANKU
(Jejer : Markus 6 : 8, 9)
Pambuka
Kathah prekawis ingkang katindakaken manungsa ingkang wonten ing salebeting kasangsaran, kawontenan ingkang kepepet. Wonten ingkang ngetogaken kekiyatanipun kangge ngatasi kasangsaranipun. Ugi wonten ingkang “nguras” celenganipun menawi puniko dipun anggep saged ngatasi kawontenan ingkang saweg dipun alami. Asring lajeng wonten tiyang ingkang nangis, nyuwun pitulungan, nyuwun kawelasan asanes. Menawi wonten tiyang ingkang nyuwun pitulungan dhateng tiyang sanes, tamtunipun dhateng pihak ingkang dipun wastani langkung “kiyat” utawi kapitados badhe saged paring pitulungan. Tumrap tiyang pitados, pihak ingkang dipun wastani langkung kiyat lan saged paring pitulungan inggih namung Gusti. Pramilo saestu limrah menawi tiyang pitados “mlajar” dhateng Gusti wonten anggenipun ngadhepi kawontenan ingkang kepepet utawi mbeta kasangsaran.
Isi
Kenging punopo Gusti Yesus boten marengaken para sakabat sami mbeta sangu, klambi rangkep wonten anggenipun nindakaken pakaryan “pengutusan” ? Para sakabat badhe mlampah tebih lan dangu, kados pundi mangke anggenipun badhe nyekapi kabetahanipun ing bab tedhan lan omben menawi boten pareng sangu tedhan ? Punopo Gusti Yesus saweg nguji kreatifitasipun para sakabat wonten anggenipun ngupadi gesang lan ngadhepi pekeweting gesang ? Kados pundi menawi para sakabat nemahi pejah awit saking kaliren wonten ing margi ? Pitakenan-pitakenan punika saged kemawon wonten ing pemikiran kita saksampunipun maos perikop dinten punika.
Estunipun, menawi manungsa taksih gadhah “sanesipun” ingkang kangge cadhagan, piyambakipun tamtu badhe ngandelaken cadhanganipun kangge luwar saking pekewed. Nalika luwe ing margi, andelanipun tamtu sangunipun. Ananging menawi manungsa boten gadhah cadhangan punopo-punopo, ingkang saged katindakaken inggih punika nyuwun pitulungan dhateng pihak sanes. Mekaten ingi ingkang dipun ajeng-ajeng tumrap para sakabatipun Gusti. Para sakabat badhe namung nyuwun pitulungan dhumateng Gusti, awit boten wonten malih ingkang dados andelanipun. Wonten ing salebeting kasangsaran, kawontenan ingkang kepepet, para sakabat boten pareng ngandelaken pihak sanes. Para sakabat kedah namung ngandelaken Gusti. Kanthi tembung sanes, Gusti Yesus paring piwucal lan dhateng para sakabat supados gesangipun kulina namung gumantung ing Gusti kemawon. Para sakabat pancen kautus kalih-kalih supados saged sangkul-sinangkul ing bot- repot, saged tansah paring kekiyatan lan semangat satunggal kaliyan satunggalipun. Ananging, para sakabat ugi kedah tansah pitados bilih wonten anggenipun nindakaken pakaryan pengutusuan punika boten pareng gumantung dhateng pihak sanes, kejawi namung dhumateng Gusti. Inggih namung Gusti ingkang badhe tansah ngrimati gesangipun para sakabat, mekaten ugi Gusti ingkang badhe paring kacekapan.
Kados pundi gesang ingkang gumantung ing Gusti, ingkang kakersakaken dening Gusti Yesus puniko ? Sepisan, gesang kanthi gumantung sawetah inggih namung dhumateng Gusti, tanpa reserve utawi tanpa cadhangan. Kaping kalih, wontenipun pangaken bilih boten badhe saged gesang tanpa pitulungan saking Gusti. Kaping tiga, wontenipun kesadharan bilih anggenipun gumantung ing Gusti puniko boten namung sesambetan kaliyan prekawis karohanen kemawon, ananging ugi ing bab kajasmanen kados dene roti, arta, rasukan, lsp. Prekawis punika tamtunipun adhedhasar kapitadosan bilih Gusti punika etuking berkah, kalebet berkah kangge nyekapi kabetahan jasmani.
Gesang ingkang gumantung sawetah dhumateng Gusti saestu wigati tumrap gesanging tiyang pitados. Punika ugi wonten sesambetanipun kaliyan bab kapitadosan. Manungsa badhe tansah ngandelaken pihak ingkang kapitados. Manungsa ingkang gumantung sawetah namung dhumateng Gusti tegesipun inggih pitados ing panguwaosipun Gusti. Mekaten ugi kosok wangsulipun. Gesang ingkang gumantung ing Gusti utawi ngandelaken Gusti ing gesangipun para sakabat ateges wonten kapitadosan bilih Gusti badhe paring punapa ingkang paling sae dhateng para sekabat senadyan nandhang pakewet. Gusti pirsa punapa kemawon ing gesang kita, kalebet ing kasangsaran kita.
Kados kawontenan ingkang nate dipun alami dening Dawud (waosan 1), ing salebeting pakewet inggih namung ngandelaken Gusti. Kalenggahan, kulawarga, rencang, nyatanipun boten saged kaandelaken lan saged sirna saking gesangingipun. Ananging boten mekaten kaliyan Gusti. Senadyan ing salebeting pakewed (awit dereng sedaya Israel saged nampeni Dawud minangka raja), Dawud tansah saged ngraosaken bilih Gusti boten nate nilar. Dawud saged tansah sesambetan kaliyan Gusti. Mekaten ugi ingkang dipun alami dening rasul Paulus. Nalika Paulus kedah nandhang sangsara awit wontenipun “eri ing daging”, Paulus namung nyenyuwun lan nyuwung pitulungan dhumateng Gusti. Paulus boten saged ngandelaken kekiyatan sanesipun, kalebet kekiyatanipun piyambak kangge ngadhepi panandhang punika. Pramilo Paulus inggih namung nyuwun pitulungan dhumateng Gusti lan namung ngandelaken Gusti wonten anggenipun ngadhepi kasangsaranipun (waosan 2).
Ngandelaken Gusti ugi ateges pasrah dhumateng Gusti supados nindakaken rancangan ingkang saestu sae ing gesangipun. Dawud boten meksa dhumateng Gusti supados Dawud saged dados raja tumrap sedaya bangsa Israel, kados ingkang sampun kaprajanji dening Gusti. Paulus ugi boten meksa Gusti supados nguwalaken “eri ing dagingipun”. Mekaten ugi para sakabat, kedahipun inggih tansah namung ngandelaken Gusti, para sekabat ugi kedah pitados bilih Gusti tamtu paring punapa ingkang sae tumrap gesangipun. Boten wonten ingkang meksa. Kanthi boten “sengaja” Gusti Yesus ugi paring piwucal dhumateng para sakabat supados boten meksa tiyang sanes ing bab nampeni pawartosipun para sakabat. Saben tiyang ingkang mirengaken pawartos Injil, tiyang kala wau ugi gadhah hak kangge nampeni utawi nampik pawartos punika. Para sakabat kedah cumadhang katampi, ananging ugi cumadhang katampik wonten anggenipun martosaken injil.
Bab katampi lan katampik wonten anggenipun martosaken Injil boten namung badhe dipun alami dening para sakabat kemawon. Gusti Yesus ugi ngalami. Tiyang-tiyang ing papan sanes kathah ingkang saged nampi piwucal lan mujizatipun Gusti Yesus, ananging para tiyang ing papan asalipun Gusti Yesus (Nazaret) malah nampik Panjenenganipun. Para tiyang ingkang nampik Gusti nyatanipun boten ngandelaken Allah ingkang sampun nindakaken mujizat-mujizat punika, ananging langkung ngandelaken pitungan-pitungan cara manungsa kemawon. Pramilo tiyang-tiyang punika inggih namung repot ngrembag bab asal-usulipun Gusti Yesus ingkang tukang kayu lan ugi anak tukang kayu. Miturut petanganing manungsa, Gusti Yesus tamtu mokal paring piwucal ing pedaleman suci, punapa malih nindakaken mujizat. Cetha sanget bilih para tiyang ing Nazaret punika namung ngandelaken pikiranipun piyambak. Lan nyatanipun, tiyang ingkang namung ngandelaken pikiranipun manungsa dados tiyang ingkang katutup kangge nampeni pakaryanipun Allah wonten ing gesangipun. Cetha sanget ing Mark. 6 : 5,6a, mratelakaken bilih Gusti Yesus boten saged nindakaken mujizat ing Nazaret kejawi namung nyarasaken sawetawis tiyang sakit. Miturut ing Gusti Yesus, sedaya punika awit saking para tiyang ing Nazaret ingkang boten pitados dhumateng Gusti Yesus. Anggenipun para tiyang Nazaret boten pitados ing Gusti Yesus ugi nggumunaken Gusti Yesus. Gumun, ing bab kenging punapa tiyang-tiyang Nazaret punika boten ngandelaken panguwaosipun Allah, nanging malah ngandelaken petangan lan pemikiranipun manungsa.
Menawi ngandelaken pemikiranipun manungsa, mila Dawud tamtunipun “saged” nuntut Allah supados enggal netepi prasetyanipun ndadosaken Dawud selaku raja tumrap umat Israel sedaya. Mekaten ugi rasul Paulus ugi “saged” nuntut Allah supados nguwalaken “eri ing dagingipun”, awit nyatanipun prekawis punika dados pepalang wonten anggenipun nindakaken pakaryan kerasulanipun. Ananging nyatanipun, Dawud mekaten ugi Paulus boten nindakaken sedayanipun kala wau. Ing salebeting panandhang utawi kawontenan ingkang dipun adhepi, Dawud lan Paulus tansah ngandelaken Gusti ingkang tamtu badhe mranata ingkang paling sae tumrap gesangipun. Dawud lan Paulus saestu pitados ing bab punika.
Ngandelaken Gusti sawetah, tanpa reserve, ing pigesangan sadinten-dinten pancen sanes prekawis ingkang sepele. Wonten kathah pepalang ingkang kedah dipun adhepi. Dawud kedah ngadhepi para tiyang sabangsanipun ingkang dereng yakin bilih Dawud ingkang sampun kapilih dening Gusti supados nggentosi Saul dados raja tumrap Israel. Paulus kedah ngadhepi kekiyatanipun piyambak, saged ugi gumunggungipun kangge ngadhepi “eri ing dagingipun”. Para sakabat ingkang kautus dening Gusti Yesus ugi kedah ngadhepi samukawis kekuwatiran awit kedah nindakaken pakaryan pengutusan punika kanthi “tanpa sangu”. Ing bab prekawisipun para sakabat, punapa saestu para sakabat kautus kanthi “tanpa sangu” ? Nyatanipun boten ! Mark. 6 : 11, 12, mratelakaken bilih para sakabat paring piwucal supados para tiyang sami mratobat lan ugi nundhung setan sarta nyarasaken kathah tiyang sakit. Saking pundi kekendelan kangge memucal supados tiyang sami mratobat punika ? Saking pundi panguwaosipun kangge nundhung setan lan nyarasaken tiyang sakit punika ? Menawi sedaya punika dipun akeni pinangkanipun saking Gusti, inggih punika estunipun sangu ingkang kaparingaken saking Gusti dhumateng para sakabat. Gusti Yesus boten negakaken para sakabat nindakaken pakaryan pengutusan punika kanthi tanpa sangu. Ananging sangunipun sanes barang ingkang kasat mata (kados dene tedhan, arta lan rasukan), ananging arupi panguwaos. Lan panguwaos punika badhe nyata lan saged kaginakaken kangge ngadhepi samudaya prekawis, jer para sakabat inggih namung saestu ngandelaken Gusti, nyuwun pitulungan inggih namung dhumateng Gusti.
Tiyang ingkang ngandelaken Gusti punika sanes tiyang ingkang boten tumindak punapa-punapa lan namung masrahaken sedaya pekewed dhumateng Gusti. Tiyang ingkang ngandelaken Gusti punika tiyang ingkang nyambut damel saestu, mbudidaya kangge luwar saking pekewed ing gesangipun. Tiyang punika nindakaken sedaya kala wau awit pitados bilih Gusti saged dipun andelaken paring pitulungan kangge ngadhepi pekewed. Tiyang kala wau ugi pitados ing bab panguwaosipun Gusti ingkang tamtu paring pitulungan ing wekdal ingkang trep. Piyambakipun boten mbudi daya piyambak, ananging wonten Gusti ingkang tansah nganthi.Bab punika inggih katindakaken dening Dawud ingkang tansah mbudi daya supados sedaya tiyang Israel saged nampi Dawud minangka rajanipun. Mekaten ugi Paulus ingkang tan kendhat nyenyuwun dhumaten Gusti supados nguwalaken “eri ing dagingipun”. Ananging Paulus tansah mbudi daya ngadhepi panandhangipun lan tansah nindakaken pakaryan kerasulanipun. Mekaten ugi tumrap para sakabat ingkang ugi sengkut makarya nindakaken pakaryan pengutusan saking Gusti Yesus. Para sakabat tamtunipun ugi mbudi daya ngadhepi raos kuwatiripun piyambak.
Punapa asilipun menawi manungsa ngandelaken gesangipun wonten ing ngarsanipun Gusti ? Tumrap para sakabat cetha paring bukti bilih para sakabat punika setya nindakaken pakaryan pengutusan saking Gurunipun (Gusti Yesus) lan ugi saged ndadosaken tiyang sanes sami mratobat sarta paring pitulungan dhateng sesami awujud nundhung setan lan nyarasaken tiyang sakit. Tumrap Dawud asilipun kesabaran lan kawicaksanan wonten anggenipun ngadhepi samukawis karibedan lan kasangsaran ingkang dipun alami, panguwaos ingkang langkung langkung ageng lan tansah dipun kanthi dening Gusti (II Sam. 5:10). Tumrap Paulus, asilipun manah ingkang andhap asor, boten ngandelaken kekiyatanipun piyambak lan ugi kepasrahan dhumateng Allah supados paring punapa ingkang paling sae miturut Allah.
Panutup
Gesang kanthi sawetah ngandelaken Gusti pancen boten gampil. Ananging, selaku para tiyang pitados, inggih punika ingkang kawucalaken lan katuladha dening Gusti dhumateng kita. Cariosipun Dawud, Paulus lan kalih welas sekabatipun Gusti Yesus ugi paring tuladha dhumateng kita, bilih ngandelaken Gusti ing saranduning gesang kita saestu dados prekawis ingkang utami tumrap gesanging para tiyang pitados. Awit kanthi ngandelaken Gusti ateges kita ugi mbikak manah kangge nampeni panguwaosipun Gusti ingkang kababar lan ugi mujizatipun kangge paring pitulungan dhateng kita wonten anggen kita ngadhepi sedaya panandhang. Kalebet ing salebeting kawontenan ingkang kepepet. Tegesipun, kita sami nyumanggakaken Gusti makarya lan nedahaken mujizatipun ing gesang kita. Anggen kita kasil ngrampungaken panandhang ing gesang kita punika inggih namung awit saking panguwaosipun Gusti lan sanes awit saking petangan lan pikiranipun manungsa. Menawi samudaya prekawis namung adhedhasar petanganing manungsa, mila badhe ndadosaken kita boten ngakeni ing bab panguwaosipun Gusti lan mujizatipun Gusti. Inggih punika ingkang dipun wastani katutup manah kita ing bab panguwaos lan mujizatipun Gusti.
Punapa kita boten pareng migunakaken petangan kanthi akalipun manungsa wonten anggen kita ngadhepi pekewet ing gesang kita ? Pareng kemawon, ananging boten namung ngandelaken pikiranipun manungsa. Awit wonten prekawis-prekawis ingkang boten saged katerangaken kanthi akal ananging saged kelampahan. Umpaminipun mujizatipun para sakabatipun Gusti Yesus ingkang saged nyarasaken para tiyang sakit lan ugi saged nundhung setan, saking pundi para sakabat sami sinau ing prekawis punika ? Miturut akalipun manungsa pancen mokal. Sinten ingkang dados andelanipun para sakabatipun Gusti Yesus ? Boten wonten sanes inggih namung Gusti Yesus piyambak, Gusti lan Gurunipun. Pramila para sakabat lajeng sami setya tuhu nindakaken punapa ingkang kautus dening Gusti Yesus, Sang Guru, lan ugi pitados ing bab punapa ingkang kadhawuhaken. Ngandelaken kekiyatanipun piyambak lan ngandelaken tiyang sanes asring nguciwani. Pramila, sumangga kita sami tansah sinau supados saged ngandelaken Gusti wonten anggen kita ngadhepi sedaya panandhang ing gesang kita. Ing ngriku kita badhe langkung saged ngraosaken panguwaosipun Gusti lan mujizatipun Gusti ingkang paring pitulungan. Amin. (YM)
Pamuji : KPK. 138 : 1, 2, 3.