YBPK sebagai Kelas Pemuridan Nilai Kasih dan Damai Khotbah Minggu 5 Mei 2024

22 April 2024

Minggu Paskah 6 | Syukur YBPK
Stola Putih

Bacaan 1: Kisah Para Rasul 10 : 44 – 48
Mazmur: Mazmur 98
Bacaan 2: 1 Yohanes 5 : 1 – 6
Bacaan 3: Yohanes 15 : 9 – 17

Tema Liturgis: YBPK sebagai Ruang Inklusi
Tema Khotbah: YBPK sebagai Kelas Pemuridan Nilai Kasih dan Damai

Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)

Kisah Para Rasul 10 : 44 – 48
Kisah Para Rasul 10 mencatat tentang Injil yang diberitakan kepada bangsa lain, bukan hanya bagi orang Yahudi. Kornelius merupakan seorang perwira Romawi di Kaisarea yang mendapat penglihatan dari Tuhan (Kis. 10:1-8). Kornelius dan seisi rumahnya selanjutnya memilih taat kepada Allah dalam doa dan persembahan. Tuhan juga memberikan Petrus penglihatan hingga tiga kali tentang perintah Allah memakan apa yang selama ini dianggap makanan yang haram bagi orang Yahudi (Kis. 10:9-16). Hal ini memberikan pengertian kepada Petrus bahwa pemberitaan keselamatan dari Tuhan terbuka bagi semua orang, tidak hanya untuk orang Yahudi saja.

Pada saat  orang-orang percaya  berkumpul di rumah Kornelius,  mereka menjadi saksi bahwa Roh Kudus dicurahkan bagi bangsa-bangsa lain, khususnya  semua orang yang membuka hati mereka dan menerima Tuhan, mereka akan menyaksikan kemuliaan-Nya (Ay. 44-46). Allah tidak membeda-bedakan orang yang mau percaya dan melakukan Firman-Nya.

1 Yohanes 5 : 1 – 6
Kitab 1 Yohanes menggambarkan kehidupan orang Kristen sebagai kelompok minoritas. Mereka mendapat tekanan yang hebat, bukan hanya dari masyarakat, tetapi juga dari negara. Dalam situasi itu pengakuan iman tentang Yesus adalah Kristus menjadi penguat bagi umat. Dengan begitu orang percaya diteguhkan untuk tetap percaya bahwa Yesus akan datang kembali. Dalam rangka menantikan kedatangan Kristus itu, mereka dipanggil untuk  membangun persekutuan yang saling mengasihi. Sehingga mereka menjadi satu, terus bersaksi tentang nilai kasih yang Yesus ajarkan dan disebut sebagai keluarga Allah. Itulah gambaran kehidupan orang beriman mula-mula.

Yohanes 15 : 9 – 17
Tema cinta kasih meresapi seluruh kisah Injil Yohanes dan semua aspek teologinya. Kasih merupakan esensi hubungan antara Bapa, Anak, dan murid-murid-Nya. Perikop perintah supaya saling mengasihi dari Injil Yohanes 15:9-17 merupakan rangkaian dari kisah perjamuan malam terakhir yang berawal pada Yohanes 13:1 ketika dikatakan bahwa sebelum hari raya Paskah, Yesus duduk makan bersama murid-murid-Nya. Kisah ini berlangsung hingga sampai pada  Yohanes 17:26, karena pada 18:1 dikatakan setelah Yesus mengatakan semuanya, Ia keluar dari ruangan bersama dengan murid-murid-Nya menuju seberang sungai Kidron. Dalam percakapan-Nya,  pada intinya Yesus berbicara kepada para murid tentang kepergian-Nya dan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kepergian-Nya kepada Bapa. Ia akan pergi dan akan kembali lagi. Ia akan meminta kepada Bapa untuk mengutus Sang Penghibur, dalam situasi ketika Ia tidak lagi bersama para murid. Yesus menasihati murid-murid-Nya untuk saling melayani, mengasihi, dan hidup dalam kesiapsiagaan. Dengan cara itu para murid bersaksi tentang persekutuan-Nya yang khas dan berbeda dari kelompok yang lain.

Sikap mengasihi ini memiliki ikatan erat dengan tema pokok anggur yang benar (Ay. 1-8). Yesus mengawali  dengan sebuah pernyataan diri, “Akulah pokok anggur yang benar.” (15:1). Tema pokok anggur memang sudah tidak disebut lagi di dalam perikop Yoh. 15:9-17, namun demikian beberapa kata kunci masih menyatukan kedua bagian ini, yaitu tinggal di dalam Aku, mengasihi, dan berbuah.

Benang Merah Tiga Bacaan
Ketika para murid mulai menghimpun diri dalam komunitas para pengikut Kristus, mereka berhadapan dengan tantangan, penyiksaan, dan penolakan. Dalam situasi tersebut mereka seringkali menjadi ragu: bagaimana memperjuangkan iman mereka? Dalam konteks inilah para murid dipanggil untuk tetap mengimani Yesus Kristus, Sang Juruselamat dan Penebus. Yesus yang terus mengingatkan mereka pentingnya sikap saling mengasihi. Sama seperti keteladanan Kristus yang mengajarkan membalas kebencian dengan pengampunan, mengasihi dengan ketulusan, maka para murid sebagai anak-anak-Nya diharapkan dapat meniru dan meneladani Sang Guru.

 

Rancangan Khotbah:  Bahasa Indonesia
(Ini hanyalah sebuah rancangan khotbah, silakan dikembangkan sesuai dengan konteks jemaat masing-masing)

Pendahuluan
Tindak kekerasan selalu ada dimana-mana. Banyak kasus terjadi, baik di lingkungan rumah, di lingkungan pergaulan, bahkan di lingkungan sekolah. Di beberapa daerah di Jawa Timur, terjadinya kekerasan fisik yang menyebabkan hilangnya nyawa anak-anak muda, generasi masa kini dan masa depan bangsa. Selain kekerasan fisik, kekerasan psikis dan perundungan secara fisik seringkali tidak terkendali. Hal ini berdampak rusaknya pertumbuhan kesehatan jiwa dan fisik seseorang. Hal ini tentu menjadi keprihatinan, mengingat hal itu terjadi di wilayah pendidikan yang seharusnya menjadi lingkungan aman dan nyaman bagi setiap anak untuk belajar dan bertumbuh dalam ilmu pengetahuan dan pengembangan karakter.

Kekerasan dan lingkungan sendiri adalah dua hal yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Pengalaman dan pola asuh anak di keluarga juga sangat mempengaruhi bagaimana anak bertumbuh, berpikir, dan berperilaku. Maka sekolah sebagai ruang kedua bagi anak untuk menghabiskan waktunya (rata-rata 7 jam) harus menjadi rumah yang efektif bagi anak-anak untuk belajar nilai-nilai kasih dan perdamaian. Meskipun secara kebijakan, Pemerintah telah menerbitkan regulasi dalam menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman berupa Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, namun untuk menerjemahkan regulasi tersebut menjadi sikap hidup cinta damai melalui kegiatan belajar mengajar bukanlah hal yang mudah. Karena itu, penting diajarkan di sekolah sikap hidup cinta damai sebagai budaya baru dalam lingkungan sekolah termasuk unit-unit sekolah YBPK. Hal ini senada dengan visi YBPK, yaitu menciptakan peserta didik yang tidak hanya unggul dalam intelektual, tetapi juga unggul dalam hal spiritual dan ketrampilan berdasarkan nilai-nilai Kristiani. Dengan demikian anak-anak dapat menjadi berkat bagi sesama.

Isi
Bagian dari bacaan-bacaan kita hari memberi pesan kuat tentang nilai Kristiani, yaitu kasih. Mengapa kita harus mengasihi? Bacaan ketiga menjelaskan mengapa kita harus saling mengasihi. Dalam pengajaran dan keteladanan-Nya, Tuhan Yesus melalui Yohanes 15:9-17 mengajarkan tentang budaya mengasihi. Dalam ajaran-Nya, Ia menyatakan, Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.” Bagi pengikut Kristus, kasih dikenal sebagai yang diawali dan diinspirasi oleh kasih Allah, Sang Bapa. Kasih Bapa itulah yang menjadi energi bagi Yesus Kristus untuk mengasihi kita umat-Nya dan kita para umat mengasihi sesama kita.

Seringkali kita berpikir orang berbuat kasih dan baik, itu karena kebaikan itu bersifat universal, alamiah dalam diri manusia. Maka ketika hal itu ternyata tidak dijumpai pada diri seseorang, dengan cepat seseorang akan menghakimi orang lain. Bagi pelaku kasih, dia dapat memandang orang yang dia kasihi sebagai obyek dan dirinya sebagai subyek. Mereka yang lebih bisa dan mampu dibanding yang lain dipandang sebagai penolong dan yang lain tidak.

Yesus mengajarkan cara yang berbeda. Kasih Yesus adalah kasih yang terus menginspirasi kita untuk mengasihi orang lain. Bukan semata-mata karena kemurahan hati dan kebaikan kita, tetapi karena Tuhan terlebih dahulu mengasihi kita. Melalui-Nya, sikap mengasihi tidak menjadi berat dan sulit, karena dilakukan sebagai ungkapan syukur. Di ayat 11 dikatakan Tuhan Yesus, “supaya sukacita kita menjadi penuh karena sukacita-Nya ada di dalam kita.” 

Setelah menyelesaikan pertanyaan “mengapa”, Yesus menyampaikan pertanyaan tentang “bagaimana”. Yesus menyatakan bahwa kita tidak diminta untuk mencari dan menemukan kasih itu, tetapi kita diminta untuk tinggal di dalam kasih-Nya dan menghayati pengorbanan-Nya (Ay. 9). Karena Yesus tidak hanya mengajarkan tentang kasih saja, tetapi Dia meneladankan kasih itu seperti apa. Kasih-Nya bukan ide abstrak, tetapi kasih-Nya nyata, kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Dari bagian ini kita belajar dua wujud konkrit mengasihi orang lain, yaitu:

Pertama, mengasihi seperti sahabat. Dalam konteks Yohanes 15:9-17, aspek persahabatan yang ditekankan adalah pengenalan. Figur sahabat yang saling mengenal dikontraskan dengan hamba yang tidak mengetahui apa yang diperbuat tuannya. Dimana secara khusus, Yesus menyebutkan, “Aku tidak menyebut kamu sebagai hamba, sebab hamba tidak tahu apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu.” Pengenalan menjadi kebutuhan utama untuk bisa mengasihi. Sebab tanpa mengenal sesama, kita tidak akan mengenal dengan baik kebutuhannya. Dalam perikop ini, relasi yang setara juga menjadi hal yang  penting. Dimana kita tidak melihat sesama kita lebih rendah atau lebih tinggi, tetapi melihatnya sebagai sahabat yang saling terbuka dan menolong dalam kerelaan.

Sikap persahabatan juga dibangun di tengah iklim inklusif, dimana perbedaaan tidak dipandang sebagai sesuatu yang salah, melainkan memperkaya satu sama lain. Inklusi dimana persahabatan sangat mungkin dilakukan di tengah lingkungan yang berbeda latar belakang dan kondisi yang berbeda-beda, baik karakter, kondisi fisik, kepribadian, status, suku, budaya dan sebagainya. Dengan harapan setiap anak dapat mengembangkan bakat yang mereka miliki, karena Roh Kudus tercurah bagi setiap orang tanpa terkecuali (Kis. 10:44-48).

Nilai persahabatan ini juga terdapat dalam budaya damai sebagai upaya  menghargai kehidupan, anti kekerasan, berbagi dengan yang lain, mendengar untuk memahami, solidaritas, dan penerimaan terhadap perbedaan. Kesemuanya itu dibangun dalam suasana saling percaya, menerima diri dan orang lain, membina hubungan dan saling berbagi, tenggang rasa dan berempati (memahami persepsi orang lain, sensitif, menerima keunikan orang lain). Jika hal ini dapat diwujudkan di tengah keluarga, masyarakat, dan sekolah, maka budaya damai akan menjadi hal yang mungkin diwujudkan.

Yang kedua, Tuhan Yesus menghendaki supaya murid-murid-Nya terus menghasilkan buah yang tetap. Para murid dipilih bukan hanya untuk menambah pengetahuan bagi diri mereka sendiri, tetapi supaya proses pemuridan terus berlangsung mengalami multiplikasi. Pemuridan tentang  kasih yang diteladankan Yesus adalah kasih yang  rela berkorban. Demikian unit sekolah YBPK harus terus berjuang menjadi sekolah yang damai, penuh kasih, dan anti kekerasan sebagai bentuk pewartaan Injil dan kesaksian yang memberkati. Buah tetap dari pewartaan ini adalah lahirnya anak-anak dengan sikap dan perilaku yang mencerminkan kedamaian hati, seperti kontrol diri, kemampuan menyelesaikan konflik, memiliki kompetensi sosial seperti berempati, membantu orang berkembang, mendayagunakan keragaman dan perbedaan, tidak melakukan diskriminasi, mengenal budi pekerti, tertib, dan  komunikatif.

Tantangan untuk mengasihi tentu tidak sedikit. Yesus Kristus dan para murid menghadapi situasi yang sama. Mereka mengalami penolakan, disalahpahami, dan penganiayaan. Keberadaan para pimpinan agama Yahudi bisa menjadi alasan bagi para murid untuk berhenti mengasihi. Menghadapi hal tersebut, melalui bacaan kedua (1 Yoh. 5:1-6) kita mengenal diri kita sebagai anak-anak yang lahir dari Allah. Dalam diri kita masing-masing, sejatinya kita memiliki DNA Allah yang selalu hadir dalam bentuk kasih di setiap peristiwa. Demikian kita harus memperjuangkan kasih dan  mengalahkan sikap dunia yang memilih hukum “mata ganti mata, gigi ganti gigi”, menjadi kasih yang rela berkorban, cinta kasih, dan menolak kekerasan.  Dalam keterbatasan kita, Roh Kudus terus bekerja memampukan kita (Kis. 10:46), sehingga nama Tuhan dimuliakan.

Penutup
Seperti halnya diketahui proses belajar di sekolah yang pada hakekatnya ditujukan untuk menciptakan perubahan melalui diri siswa berdasarkan serangkaian pengalaman proses pembelajaran (informal, formal maupun non formal). YBPK yaitu kita, jemaat, warga, anak-anak dipanggil untuk dapat membiasakan gaya hidup damai dan anti kekerasan. Melaluinya, YBPK sebagai rekan kerja Allah berbagi nilai damai dalam kehidupan anak-anak dan sesama serta bersaksi tentang nilai-nilai kasih yang diteladankan Sang Guru kepada para murid-Nya di tengah ruang kelas pemuridan. Amin. [NW].

 

Pujian: KJ. 434 : 1, 4  Allah adalah Kasih

 

Rancangan Khotbah: Basa Jawi
(Punika namung rancangan khotbah, saged dipun kembangaken miturut konteks pasamuwan piyambak)

Pambuka
Tumindak kekerasan punika wonten ing pundi-pundi. Kathah kasus ingkang kedadosan, sae ing griya, ing pasrawungan, ugi ing sekolah. Wonten perangan papan ing Jawi Wetan, tumindak kekerasan sacara fisik punika ndadosaken para nem-neman seda. Sanesipun tumindak kekerasan sacara fisik ugi wonten tumindak kekerasan sacara psikis, ing pundi tumindak punika asring boten saged dipun kendaleni. Tumindak punika saged ndadosaken risakipun kesehatan jiwa lan fisikipun tiyang. Tamtu prekawis punika dados kaprihatosan kangge kita sami, awit ing papan pendidikan/sekolah ingkang kedahipun dados lingkungan ingkang aman lan nyaman kangge anak-anak sinau, nanging nyatanipun anak-anak malah ngalami tumindak kekerasan.

Wonten hubungan antawisipun tumindak kekerasan punika kaliyan lingkungan. Ing pundi  antawisipun pengalaman lan pola asuh wonten ing brayat kagungan pengaruh ingkang ageng kangge para anak, kados pundi anak punika tuwuh, mikir, lan tumindak. Pramila sekolah punika dados papan ingkang efektif kangge anak sinau bab katresnan lan karukunan. Sanadyan sacara tatanan, Pamrintah sampun netepaken tatanan supados lingkungan sekolah aman lan nyaman arupi Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, nanging  kangge mujudaken tatanan punika sanes prekawis ingkang gampil. Karana punika, wonten ing sekolah penting  dipun wucalaken sikep gesang rukun minangka budaya enggal salebeting lingkungan sekolah kalebet unit-unit sekolah YBPK. Bab punika selaras kaliyan visinipun YBPK, inggih punika ndadosaken para anak didik mboten namung unggul intelektualipun nanging ugi unggul spiritualipun, unggul ing katrampilan ingkang kalandesan nilai-nilai Kristiani. Kanthi punika anak-anak saged dados berkah kangge sesaminipun.

Isi
Perangan waosan kita dinten punika paring pesen ingkang kiyat bab nilai Kristiani, inggih punika katresnan. Kenging punapa kita kedah nresnani sesami? Waosan kaping tiga paring pangertosan kenging punapa kita kedah nresnani sesami? Wonten ing piwucalipun lan patuladhanipun Gusti Yesus, Panjenenganipun memucal budaya nresnani. Ing piwucalipun kasebataken, “PepakonKu iku mangkene, iya iku supaya kowe padha tresna-tinresnanana, dikaya anggon-Ku wus nresnani kowe.” (Yok. 15:12).  Kangge pandherekipun Sang Kristus, tresna punika dipun wiwit lan dipun landesi saking sih katresnanipun Gusti Allah, Sang Rama. Katresnanipun Gusti Allah  Sang Rama punika dados semangat kagem Gusti Yesus Kristus nresnani kita umatipun, lan kita para umat-Ipun nresnani sesami kita.

Asring wonten pemanggih kita: tiyang ingkang tumindak tresna lan sae punika awit kasaenan punika asifat universal lan alamiah ing dhirinipun manungsa. Pramila bilih katresnan punika boten dipun panggihi ing salebeting gesangipun tiyang, gampang kanggenipun kita ngadili tiyang sanesipun. Kanggenipun tiyang ingkang nindakaken katresnan, piyambakipun ingkang dipun tresnani punika dipun pandeng minangka obyek lan piyambakipun ingkang nresnani minangka subyek. Ing pundi piyambakipun rumaos langkung saged tinimbang tiyang sanes.

Gusti Yesus atur piwucal kanthi cara ingkang benten. Sih katresnanipun Gusti Yesus punika dados inspirasi kita nresnani tiyang sanes. Mboten amargi kamirahan lan kasaenan kita, nanging karana Gusti Allah langkung rumiyin nresnani kita. Lumantar Gusti Yesus, sikep nresnani punika mboten awrat lan ewet awit dipun tindakaken minangka wujud saos sokur kita. Ing ayat 11, Gusti Yesus ngendika, “supaya kabungahanKu dumununga ing kowe lan kabungahanmu dadia sampurna.”

Sarampungipun Gusti Yesus mangsuli pitakenan “kenging punapa”, Gusti Yesus ngaturaken pitakenan “kadospundi”. Gusti Yesus mboten nyuwun supados kita madosi lan manggihaken tresna punika, nanging dipun suwun netep ing katresnanipun lan ngayati pangorbananipun (Ay. 9). Awit Gusti Yesus mboten namung mucal katresnan kemawon, nanging Panjenenganipun ugi nuladhakaken katresnan punika kados pundi. Katresnan punika sanes bab ingkang abstrak, nanging nyata, kita alami ing gesang kita sadinten-dinten. Saking bab punika kita saged sinau kalih wujud nyata nresnani tiyang sanes, inggih punika:

Sepisan, nresnani kados mitra. Ing konteks Yok. 15:9-17, aspek pamitran inggih punika pitepangan. Sosok mitra ingkang sami tepang dipun bandingaken kaliyan abdi ingkang mboten mangertos punapa ingkang dipun tindakaken tuanipun. Sacara khusus, Gusti Yesus nyebataken, “Aku ora ngarani abdi maneh marang kowe, sabab abdi iku ora sumurup marang panggawene bendarane, nanging kowe wus padha Dakarani mitra, jalanan sabarang kang wus Dakrungu saka Rama-Ku, iku wus Daksumurupake kabeh marang kowe.” (Ay. 15). Pitepangan dados kabetahan ingkang utami kangge nresnani. Awit tanpa tepang kaliyan sesami, kita mboten badhe mangertosi kabetahan piyambakipun. Ini perikop punika, relasi ingkang setara ugi penting, ing pundi kita mboten mandeng sesami kita punika langkung andhap utawi langkung inggil, ananging kita mandeng piyambakipun minangka mitra ingkang sami tinarbuka lan tulung tinulung kanthi rila.

Sikep memitran punika ugi kedah kawangun ing satengah iklim inklusif, ing pundi rubeda punika mboten dipun pandeng minangka bab ingkang salah, nanging bab ingkang jangkepi antawis satunggal kaliyan sanesipun. Inklusi punika, memitran ingkang saged dipun tindakaken ing satengah lingkungan ingkang benten latar belakang lan kondisinipun, kados watak, fisik, kapribaden, status, suku, budaya, lsp. Kanthi pangajeng-ajeng, saben anak saged ngembangaken bakatipun, awit Sang Roh Suci tumrah dhateng sedaya tiyang (LPR 10:44-48).

Nilai memitran punika ugi wonten ing salebeting budaya rukun minangka upaya ngajeni pigesangan, anti kekerasan,  andhum kaliyan sanes, mirengaken, solidaritas, lan nampi rubeda. Sedaya punika kawangun ing swasana pitados, nampi dhiri lan tiyang sanes, bina hubungan, tepa slira lan empati. Bilih sedaya punika saged dipun wujudaken ing satengahing brayat, masyarakat, lan sekolah, awit saking punika budaya rukun badhe kawujud.

Kaping kalih, Gusti Yesus ngersakaken supados para sakabatipun ngedalaken woh ingkang tetep. Para sakabat dipun piji mboten namung supados kagungan pangertosan kangge dhirinipun piyambak, nanging supados para sakabat saged nglajengaken pangertosanipun kalawau kangge tiyang sanes. Piwucal bab katresnan ingkang dipun tuladhakaken Gusti Yesus inggih punika katresnan ingkang rila ngorbanaken gesang. Mekatena ugi kaliyan sekolah-sekolah YBPK kedah merjuang dados sekolah ingkang kebak karukunan, katresnan, lan anti kekerasan minangka wujud pawartosing Injil lan kasaksian ingkang mberkati. Wohing saking pawartosing Injil punika: lairipun anak-anak ingkang kagungan sikep lan tumindak rukun, saged ngontrol dhiri, kagungan katrampilan kangge ngrampungaken konflik, kagungan kompetensi sosial kados empati, nulungi tiyang sanes, mboten tumindak diskriminasi, mangertos budi pakerti, tertib lan komunikatif.

Tantangan kangge nresnani sesami tamtu mboten sekedik. Gusti Yesus lan para sakabatipun ngadepi kahanan ingkang sami. Ing pundi Gusti Yesus lan para sakabatipun nate dipun tolak, dipun salahmangertosi, lan dipun aniaya. Kawontenanipun para pimpinan Agami Yahudi, saged dados alesan kangge para sakabat mboten nresnani sesaminipun malih. Ngadepi bab punika, ing waosan kaping kalih (1 Yok. 5:1-6), kita mengertosi dhiri kita punika minangka anak-anak ingkang lair saking Gusti Allah. Ing salebeting dhiri kita piyambak, sejatosipun kita nggadhahi DNA nipun Gusti Allah ingkang awujud katresnan ing saben gesang. Karana punika kita kedah merjuangaken katresnan lan ngawonaken sikep donya ingkang langkung milih hukum “mripat ganti mripat”, “untu ganti untu”,  ginantos sikep katresnan rila ngorbanaken gesang, katresnan kanthi tulus, lan nolak kekerasan. Ing salebeting karingkihan kita, kita pitados Sang Roh Suci tansah makarya paring kasagedan kangge kita (LPR. 10:46),  saengga Asmanipun Gusti tansah kamulyakaken.

Panutup
Kita mangertos bilih proses sinau ing sekolah punika dipun tujukaken kangge nuwuhaken ewah-ewahan para siswa ingkang kalandesan pengalaman proses pasinaon (informal, formal utawi non formal). YBPK inggih punika kita, warga pasamuwan, anak-anak sami dipun timbali kangge nuwuhaken gaya gesang kebak karukunan lan anti kekerasan. YBPK minangka rencang damelipun Gusti Allah saged andhum nilai karukunan sarta atur paseksi bab nilai-nilai katresnan ingkang sampun katuladhakaken Sang Guru dhateng para sakabatipun ing satengah kelas . Amin. [Terj. AR].

 

Pamuji: KPJ. 165 : 1  Konjuk Mring Kang Maha Agung

Renungan Harian

Renungan Harian Anak