Minggu Pra Paskah 4
Stola Ungu
Bacaan 1: Yosua 5 : 9 – 12
Mazmur: Mazmur 32
Bacaan 2: 2 Korintus 5 : 16 – 21
Bacaan 3: Lukas 15 : 1 – 3, 11b – 32
Tema Liturgis: Ikut Dikau Saja Tuhan
Tema Khotbah: Dari Gilgal ke Golgota, Setia menjadi Anak-anak Pendamaian
Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
Yosua 5 : 9 – 12
Di bawah kepemimpinan Yosua, setelah orang-orang Israel berhasil menyeberangi Sungai Yordan, mereka berkemah di Lembah Sungai Yordan di perbatasan Timur kota Yerikho. Semua orang laki-laki Israel yang lahir di padang gurun disunat untuk memperbarui sebagai umat perjanjian (Ay. 4) dan mereka merayakan Paskah (Ay. 9, 10). Tempat itu kemudian disebut Gilgal (Ay. 12) lingkaran batu. Gilgal dari kata Galgala, galoti artinya menghapuskan, menggulingkan, melepaskan, karena pada hari itu Tuhan telah menghapuskan dari rasa malu Mesir atau melepaskan dari penindasan Mesir.
Selanjutnya Gilgal menjadi sangat penting, karena bukan hanya diartikan berlalunya masa penindasan (di masa lampau) menjadi masa kemenangan di masa kini saja, melainkan juga titik tolak melanjutkan perjuangan sebagai umat perjanjian membebaskan Tanah yang dijanjikan itu. Oleh karena itu, tidak heran jika selanjutnya Gilgal menjadi basis operasi Israel sesudah penyeberangan Yordan (4:19). Bahkan Gilgal juga menjadi peralihan ke generasi baru, generasi yang lahir dan dibesarkan di padang gurun, generasi yang memasuki Tanah Perjanjian dengan tugas besar merebut dan membangunnya. Konsekuensinya Manna dihentikan berarti juga permulaan perjuangan untuk menanam dan menghasilkan sumber makanan dan kebutuhannya dari buminya sendiri secara lebih mandiri. Sungguh bukan perjuangan yang lebih ringan daripada bapa-ibu mereka sebelumnya.
2 Korintus 5 : 16 – 21
Di dalam suratnya ini Paulus menandaskan bahwa Kristus telah mati untuk semua orang supaya orang yang hidup tidak hidup untuk dirinya sendiri melainkan hidup untuk Dia, maka Ia tidak menilai seorangpun menurut ukuran manusia (Ay. 16). Ukuran manusia bukan hanya berdasarkan yang kelihatan, selfish (cinta diri), hanya untuk kepentingan diri sendiri (egosentris), melainkan menurut ukuran yang baru, ukuran Kristus sendiri. Demikian juga bagi orang yang telah didamaikan dengan Allah melalui darah Kristus. Karena siapa yang di dalam Kristus ia adalah ciptaan baru, yang lama telah berlalu, dan yang baru yang semuanya dari Allah telah datang (Ay. 17, 18). Ukurannya atau standardnya Allah sendiri.
Kristus yang telah mendamaikan kita dengan Allah, mempercayakan pelayanan pendamaian kepada kita (Ay. 19). Kita adalah utusan-utusan pendamaian-Nya. Untuk dapat menjadi utusan-Nya maka kita yang pertama-tama harus didamaikan dengan Allah lebih dahulu (Ay. 20) dan hidup meneladani Kristus.
Lukas 15 : 1 – 3, 11b – 32
Dalam bacaan ini Tuhan Yesus mengajar dengan perumpamaan. Sastra perumpamaan merupakan cara yang biasa digunakan dalam budaya Yahudi. Dengan perumpamaan hal-hal besar dan makna yang dalam dapat diungkapkan dengan bahasa sederhana. Sehingga orang cendekia maupun orang yang sederhana dapat memahaminya. Setiap orang mendapat sentuhan. Sering kepada para murid-Nya, Tuhan Yesus secara khusus menjelaskan lebih jauh dan lebih dalam lagi arti perumpamaan-Nya. Bahkan tidak jarang melalui perumpamaan Ia dengan halus dan canggih menyindir bahkan mengkritik kehidupan orang atau kelompok tertentu, sebagaimana perumpamaan dalam bacaan kita ini.
Lukas pasal 15 ini berisi perumpamaan tentang hal-hal yang hilang. Jikalau kita teliti dari perikop ke perikop berikutnya tampak nilainya makin tinggi dan intensitasnya makin parah. Yang pertama domba yang hilang (Ay. 1-7) menunjukkan orang berdosa dalam kebodohannya mencari jalannya sendiri dan tersesat. Yang kedua, dirham yang hilang menunjukkan seorang berdosa terbaring tertutupi debu yang tidak menyadari nilai dirinya (Ay. 8-10). Yang ketiga, anak yang hilang (Ay. 11-32) karena kehendaknya masing-masing, yang bungsu hilang dalam dosa dan nestapa dan yang sulung hilang hakikat keanakannya merosot menjadi budak. Dari pihak Tuhan, betapa Dia penuh belas kasihan mengembalikan yang tersesat dan mencari dengan cermat yang berharga serta rindu akan persekutuan keluarga utuh kembali.
Peristiwa itu tidak terjadi seketika, tetapi melalui proses. Si bungsu mulai dengan “berikanlah bagianku” kepada bapaknya. Artinya ia sudah berpikir untuk memisahkan antara miliknya dengan milik ayahnya dan ingin menggunakan miliknya sesuai dengan kebebasannya. Ia pergi ke negeri yang jauh, buahnya nafsu kedagingannya menguasai jiwa dan rohnya berlarut-larut hingga melupakan bapanya, pagar keagamaannya, sikap etisnya, dan akhirnya terperosok ke dalam lumpur nestapa nan dalam. Disanalah muncul kembali kesadarannya bahwa dia lebih buruk dari buruh, bahkan budak-budak bapaknya. Inilah yang membawa ia ingin kembali. Si Sulung, ketika bapaknya dengan sukacita merayakan kedatangan adiknya, ia marah, ia merasa tidak mempunyai lagi adik atau saudara seperti itu. Bertahun tahun waktunya telah ia gunakan untuk bekerja keras, melakukan semua perintah bapa, tetapi bapa tidak pernah memberikan seekor kambingpun kepadanya untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatnya. Ia tidak merasa sebagai anak, bahwa milik bapa juga miliknya (Ay. 25-29). Sikap inipun tentu juga terjadi dalam proses. Karena kerja, rutinitas, kewajiban ia makin kehilangan rasa sebagai anak, roh “keputraan”, sukacita dan kedekatan dengan bapa berubah menjadi roh buruh, budak, melakukan semua pekerjaan dengan duka dan paksa. Sayang di dalam kisah ini tidak diceriterakan kembalinya kesadaran si Sulung. Namun justru itulah maksud Tuhan Yesus supaya orang-orang Farisi dan ahli Taurat tersebut berpikir dan menemukan sendiri dimanakah mereka berada.
Benang Merah Tiga Bacaan:
Di Gilgal perjanjian Allah dengan umat-Nya itu diperbarui. Di Golgota Tuhan Yesus mendamaikan manusia dengan Allah sehingga mereka dimasukkan ke dalam keluarga Allah dan boleh memanggil Allah sebagai Bapa. Namun sebagaimana leluhurnya, betapa manusia yang sangat dikasihi Allah ini sering hilang dalam perjalanan menuju Kanaan kekal.
Rancangan Khotbah: Bahasa Indonesia
(Ini hanyalah sebuah rancangan khotbah, silakan dikembangkan sesuai dengan konteks jemaat masing-masing)
Pendahuluan
Siapakah yang ingin kehilangan? Bahkan kehilangan barang-barang yang sederhana dan murah. Lebih lagi benda-benda dengan nilai yang tinggi! Ketika orang tidak dapat menemukan yang hilang tersebut, tidak jarang merasa begitu kecewa, menyesal, dan sedih. Keseluruhan isi Injil Lukas 15 ini berisi perumpamaan-perumpamaan tentang sesuatu yang hilang tersebut. Malahan jikalau kita teliti dari perikop pertama ke perikop berikutnya, hal-hal yang hilang itu nilai dan intensitasnya makin tinggi. Yang pertama domba yang hilang (Ay. 1-7) menunjukkan orang berdosa dalam kebodohannya mencari jalannya sendiri dan tersesat. Yang kedua, dirham yang hilang, menunjukkan seorang berdosa yang tidak menyadari betapa bernilainya dia, terbaring tertutupi debu (Ay. 8-10). Yang ketiga, anak yang hilang (Ay. 11-32), bahkan kedua anaknya hilang karena mengikuti kehendaknya masing-masing.
Betapa berharganya anak bagi orang tuanya. Mereka adalah buah cinta, buah hati, generasi penerus, pewaris, dan generasi masa depan. Oleh karena itu ketika mereka hilang tentu akan menorehkan kepedihan dan derita yang dalam di dalam kehidupan orang tua dan keluarganya, lebih lagi bagi anak yang hilang itu sendiri.
Isi
I. Perumpamaan Anak Hilang
Perumpamaan ini sebenarnya merupakan respons Tuhan Yesus terhadap gerutuan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang tidak suka melihat orang-orang pemungut cukai dan orang berdosa mendatangi dan mendengarkan Tuhan Yesus. Dengan bersungut-sungut mereka mengatakan “Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama mereka.” (Ay. 1-3).
Sastra perumpamaan merupakan cara yang biasa digunakan dalam budaya Yahudi. Dengan perumpamaan hal-hal besar dan makna yang dalam dapat diungkapkan dengan bahasa sederhana. Sehingga orang cendekia maupun orang yang sederhana, orang dengan pendidikan tinggi maupun rendah dapat memahaminya. Setiap orang mendapat sentuhan. Sering kepada para murid-Nya Tuhan Yesus secara khusus menjelaskan lebih jauh dan lebih dalam lagi arti perumpamaan-Nya. Bahkan melalui perumpamaan dengan halus dan canggih kadang juga digunakan untuk menyindir dan mengkritik kehidupan orang atau kelompok tertentu sebagaimana dalam bacaan kita saat ini.
Mengapakah kedua anak itu disebut hilang? Keadaan hilang yang bagaimanakah yang dimaksudkan? Secara historis, peristiwa keluarnya Israel dari Mesir merupakan intisari Kitab Taurat. Di Sinai Allah mengikat perjanjian dengan orang Israel (Kel. 24:1-11). Di situ mereka menyadari sebagai umat atau anak perjanjian. Dasa Titah sebagai intisari Hukum Allah diberikan supaya Israel tetap hidup dalam pembebasan Allah. Namun di tengah perjalanan padang gurun, hampir semua orang Israel yang dari Mesir tidak sampai ke Tanah Kenaan, kecuali Yusak dan Kaleb (Yosua 5:6; Bil. 14:28-33). Karena mereka selalu menggerutu, menghujad Musa hamba Tuhan, bahkan menyalahkan Tuhan sendiri dan meninggalkan-Nya, mereka hilang di perjalanan. Maka setelah menyeberangi Sungai Yordan dan menginjakkan kaki mereka di Tanah Kanaan, dibawah kepemimpinan Yosua mereka memperbarui status mereka sebagai umat atau anak perjanjian tersebut dengan sunat bagi semua laki-laki yang dilahirkan di padang gurun dan merayakan Paskah. Tempat itu dinamakan Gilgal, artinya menghapuskan, menggulingkan, melepaskan, karena “hari ini telah Kuhapuskan cela Mesir itu dari padamu” atau Kulepaskan engkau dari penindasan Mesir. Selanjutnya Israel harus melanjutkan perjuangan mereka untuk menduduki dan membangun Tanah Kanaan itu untuk menjadi bangsa yang merdeka dan mandiri. Karena itu, Manna berhenti turun.
Dalam konteks itulah, Tuhan Yesus memberikan perumpamaan-Nya ini. Dan nyata bahwa anak-anak perjanjian ini telah hilang, tersesat, melupakan Allah dan mencari jalannya sendiri. Si Bungsu didorong oleh kebodohan dan nafsunya telah mulai menuntut haknya kepada bapaknya: “berikanlah bagianku”. Artinya ia sudah berpikir untuk memisahkan antara miliknya dengan milik ayahnya dan ingin menggunakan miliknya sesuai dengan kebebasannya tanpa peduli dengan bapak, saudara, dan keluarganya. Ia pergi ke negeri yang jauh, buahnya nafsu kedagingannya menguasai jiwa dan rohnya, berlarut-larut hingga melupakan bapanya, pagar keagamaannya, sikap etisnya dan akhirnya terperosok ke dalam lumpur nestapa nan dalam. Disanalah muncul kembali kesadarannya bahwa dia lebih buruk dari pada buruh, bahkan budak-budak bapaknya. Inilah yang membawanya ingin kembali, bertobat. Si Sulung, ketika bapaknya dengan sukacita merayakan kedatangan adiknya, ia marah. Ia merasa tidak mempunyai lagi adik atau saudara seperti itu. Bertahun- tahun waktunya telah ia gunakan untuk bekerja keras, melakukan semua perintah bapa, tetapi bapa tidak pernah memberikan seekor kambingpun kepadanya untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatnya. Selama bertahun-tahun ternyata ia tidak merasa sebagai anak, bahwa milik bapa juga miliknya (Ay. 25-29). Sikap inipun tentu juga terjadi dalam proses. Karena kerja, rutinitas, kewajiban, semangat memenuhi hukum-hukum yang lahiriah supaya kelihatan hebat menjadikan ia makin kehilangan rasa sebagai anak. Roh, semangat “keputraan”, sukacita dan kedekatan dengan bapa dalam hubungan pribadi yang dalam bahwa engkau adalah milikku dan aku adalah milikmu, berubah menjadi roh buruh, budak, yang melakukan semua pekerjaan tidak dengan kemerdekaan, melainakan dengan duka dan paksaan. Sayang di dalam kisah ini tidak diceriterakan kembalinya kesadaran si Sulung. Namun justru itulah maksud Tuhan Yesus supaya orang-orang Farisi dan ahli Torat tersebut berpikir dan menemukan sendiri dimanakah mereka berada di dalam perumpamaan ini. Sungguh menyedihkan siang malam merasa bekerja untuk Tuhan, tetapi dengan jiwa budak, mental buruh, kehilangan roh dan semangat keputraan. Bahkan jauh dari rasa kehadiran Tuhan itu sendiri. Celakanya, mereka bangga dengan kedudukan ini, malah meninggikan diri, merendahkan orang lain, karena merasa paling benar dan paling baik. Makin melakukan yang kelihatan yang bisa dipuji orang saja, kehilangan jiwa, hati, dipenuhi kemunafikan, sehingga tidak butuh bertobat.
Dengan teropong perumpamaan ini, menjadi jelas dimanakah tempat para pemungut cukai dan orang berdosa serta dimanakah tempat para ahli Taurat dan orang Farisi itu. Mereka sama-sama hilang. Dalam perjalanan hidup banyak hal yang dapat menyesatkan dan menjadikan anak-anak Tuhan hilang, dimanakah kita berada? Namun bagaimanapun juga yang berbahagia adalah yang hilang, namun ditemukan kembali, yang tersesat kembali bertobat, yang mati hidup kembali. Hidup kembali untuk Dia yang telah menyelamatkan. Yang lebih berbahagia lagi yang menikmati hakikatnya sebagai anak, selalu dekat dengan Bapa, serta dengan penuh syukur, keikhlasan, dan kemerdekaan hidup untuk Dia.
II. Yang Hilang Ditemukan untuk Menjadi Duta-duta Pendamaian
Tuhan kita adalah Tuhan yang penuh kasih. Karena kasih-Nya, Ia selalu merindukan anak-anak-Nya di dalam persekutuan dengan-Nya dan hidup melakukan hukum-hukum-Nya, yang intisarinya kasihilah Allah dan kasihilah sesamamu. Namun seperti ikan yang meloncat keluar dari kolam ke daratan untuk mencari kebebasannya, bukankah demikian sering keadaan manusia? Tuhan kita adalah Tuhan yang mencari, dan betapa bahagianya Sang Bapa itu ketika anaknya yang hilang kembali, serunya: “anakku yang mati telah hidup kembali! Berbahagialah si Bungsu yang bertobat pasrah kepelukan keselamatan bapanya. Tentu, betapa sakit dan sedihnya hati bapa ditinggalkan anaknya, namun ternyata cinta kasih bapa jauh lebih besar dari sakit dan sedihnya itu, sehingga ia langsung menyambut anaknya dengan penuh kerinduan dan sukacita.
Lebih jauh lagi bagi kita umat Perjanjian Baru, dalam Efesus 2:5, Rasul Paulus menyatakan bahwa karena kasih karunia-Nya kita telah ditemukan dan diselamatkan. Kita yang mati oleh dosa telah dihidupkan bersama-sama dengan Kristus. Bahkan, kamu yang dahulu jauh, bukan Yahudi menurut daging, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa Allah dan tanpa pengharapan (Ef. 2:11-12), kini telah dimasukkan menjadi kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota Keluarga Allah (Ef. 2:19), bahkan boleh menyebut Allah “Abba” atau Bapa (Rm. 8:15; Gal. 4:6).
Namun perjalanan masih jauh, perjuangan belum usai. Karena itu, dalam bacaan kedua, Rasul Paulus menasehati hendaknya kita yang hidup, tidak hidup untuk diri sendiri, melainkan untuk Dia yang telah mati dan dibangkitkan untuk kita manusia. Dalam roh keputraan itulah kita tidak menilai orang berdasarkan ukuran manusia (2 Kor. 5:16), yaitu roh selfish atau cinta diri, semangat egoistis, egosentris atau hanya berpusat pada diri sendiri, tamak dan hanya menekankan yang kelihatan atau lahiriah saja, melainkan ukuran sebagai ciptaan baru di dalam Kristus. Kemanusiaan lama dengan segala nafsunya telah berlalu dan kemanusiaan baru yang dari Allah telah datang (2 Kor. 5:17). Kemanusiaan yang mengenakan hati, pikiran, dan perasaan Kristus (Fil. 2:5). Bahkan Dia melibatkan kita dalam karya pendamaian-Nya, yaitu dengan mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kita, sehingga kita menjadi duta-duta damai sejahtera-Nya. Memang tidak ringan untuk menjadi duta pendamaian. Karena sebagaimana Kristus, kita harus rendah hati, siap mengampuni dan menghadirkan kerukunan serta kesejahteraan di mana saja dan kapan saja.
Penutup
Betapa mulianya menjadi anak-anak Allah dan anggota-anggota Keluarga Allah. Lebih-lebih menjadi anak-anak damai sejahtera yang dipercaya mengemban tugas pendamaian. Hanya dengan roh keputraan kita mampu melakukannya dengan sukacita dan ikhlas. Oleh karena itu, jangan sampai roh keputraan ini hilang dari hati kita, terenggut oleh roh budak karena kebanggan semu, rutinitas ritualitas, kebiasaan penekanan akan yang lahiriah dan formalitas dalam kehidupan keagamaan kita. Lebih lagi oleh karena kebodohan, nafsu kedagingan dan kemunafikan kita. Dalam kasih-Nya kita lakukan pelayanan pendamaian Kristus dengan syukur, sukacita, dan keikhlasan. Amin. [BRU].
Pujian: KJ. 40 : 1 – 3 Ajaib Benar Anugerah
Rancangan Khotbah: Basa Jawi
(Punika namung rancangan khotbah, saged dipun kembangaken miturut konteks pasamuwan piyambak)
Pambuka
Sintenta ingkang kepengin kecalan? Senadyanta punika namung kecalan barang ingkang sepele lan murah reginipun. Punapa malih ingkang inggil reginipun. Nalika kita mboten saged manggihaken barang ingkang ical punika, asring kita kuciwa, getun lan sedhih. Sadaya isining Injil Lukas 15 punika namung nyariyosaken pasemon bab-bab ingkang ical. Menawi kita tliti kanthi premana perikop satunggal lan saklajengipun barang-barang ingkang ical punika regi miwah tingkatipun sangsaya inggil. Ingkang kapisan menda ingkang ical (Ay. 1-7) ingkang nedahaken tiyang dosa karana bodhonipun ngupadi margi ingkang ndadosaken kesasar. Ingkang kaping kalih, dhuwit dirham ingkang nedahaken tiyang dosa ingkang mboten ngrumaosi inggiling reginipun katutupan lebu (Ay. 8-10). Ingkang kaping tiga, anak ingkang ical (Ay. 11-32) tiyang dosa karana mbujeng pikajengipun piyambak.
Iba agenging artos anak tumrap tiyang sepuhipun. Anak minangka uwohing sih katresnan, generasi penerus, pewaris, lan generasi dinten ngajeng. Mila icaling anak ndadosaken kasedhihan miwah sangsaranipun tiyang sepuh, brayat, langkung-langkung tumrap anak punika piyambak.
Isi
I. Pasemon Bab Anak Ilang
Pasemon punika estunipun minangka tanggapanipun Gusti Yesus dhumateng pangresulanipun tiyang Farisi lan ahli Toret ingkang mboten remen ningali para juru mupu beya lan tiyang-tiyang dosa sami marek miwah mirengaken Gusti Yesus. Tiyang-tiyang punika sami ngedumel: “Wong iku kok nampani wong dosa lan mangan bebarengan.” (Ay. 1-3).
Sastra pasemon saestunipun sampun jamak ing kabudayan Yahudi. Lumantar pasemon kathah bab-bab ingkang lebet maknanipun saged kajelasaken kanthi basa ingkang prasaja, matemah tiyang ingkang pinter lan lumrah saged mangertosi maknanipun kanthi trawaca. Dhumateng para muridipun asring Gusti Yesus njelasaken langkung lebet malih pasemonipun. Malahan kadhang Gusti Yesus ngginakaken pasemon kangge nyindir utawi ngritik kanthi alus tiyang utawi kelompok tinamtu kadosdene ing waosan kita punika.
Kenging punapa ing waosan kita punika anak punika kasebut ical? Ing sejarahing Israel, prastawa luwaripun Israel saking Mesir punika minangka intisarinipun Kitab Toret. Ing Redi Sinai Yehuwah Allah angiket prajanjian kaliyan tiyang-tiyang Israel (Pangentasan 24:1-11). Inggih ing Sinai punika tiyang-tiyang Israel ngrumaosi minangka umat prajajian utawi anak prajanjian. Dasa Titah kaparingaken minangka intisarining pepakoning Allah supados Israel tetepa gesang ing pangluwaraning Allah. Nanging karana ngedumel, nglepataken Musa abdinipun Allah, malahan nglawan lan nilaraken Gusti Allah piyambak, meh sadaya tiyang tiyang Israel ingkang saking Mesir punika mboten dumugi Tanah Kenaan, sami kesasar, ical ing margi, kejawi Yusak, Kaleb (Yusak 5:6; Wil. 14:28-33). Mila sasampunipun nyabrang Bengawan Yarden miwah napakaken sukunipun ing Tanah Kanaan, kapimpin Yusak tiyang-tiyang Israel punika ngengalaken status minangka umat prajanjian kanthi sunat tumrap sadaya tiyang jaler ingkang lahir ing ara-ara samun sarta sami ngriyadinaken Paskah. Mila papan panggenan punika kaaranan Gilgal, artosipun nggulingaken, ngicali, mbirat, ngluwari, kadosdene pangandikanipun: “Ing dina iki kanisthaning Mesir wus Sun birat saka sira” utawi ing dina iki sira Sunluwari saka Mesir. Saklajengipun tiyang-tiyang Israel nglajengaken perjuanganipun kangge ngejegi lan mbangun Tanah Kanaan dados bangsa ingkang mardika miwah mandiri. Manna lajeng mboten dhawah malih.
Inggih ing kawontenan ingkang kados mekaten punika Gusti Yesus paring pasemonipun punika. Pranyata bilih umat utawi para putra prajanjian punika sami ical, kesasar, kesupen dhumateng Allahipun lan ngupadi marginipun piyambak-piyambak. Si Ragil kabereg bodhonipun miwah nafsunipun lajeng nuntut hakipun dhumateng ramanipun: ”Bapak keparenga kula nyuwun saperanganing barang darbek kita ingkang dados hak kula!”, wosipun piyambakipun nggadhahi pikiran lan nedya misahaken barang darbekipun kaliyan barang darbeking rama miwah sadherekipun sarta kepengin ngginakaken barang darbekipun sapikajengipun tanpa maelu rama, sadherek miwah brayatipun. Piyambakipun lajeng kesah ing nagri ingkang tebih, nafsu kedaginganipun nguwaosi roh, jiwa raganipun, kedlarung-dlarung ngantos kesupen dhumateng ramanipun, saraking agaminipun, pagering sikap etisipun lan pungkasanipun keblowok ing luwenging kasangsaran ingkang lebet sanget. Inggih saking luwenging antaka punika piyambakipun enget iba nisthanipun gesangipun. Langkung papa lan nistha katimbang para buruh lan batur tukoning ramanipun. Piyambakipun lajeng adreng sanget kepengin wangsul, mratobat pasrah.
Si Pembarep, sareng mireng ramanipun kanthi bingah bujana handrawina ngriyadinaken dhatenging adhinipun lajeng muntab. Piyambakipun rumaos mboten nggadhahi adik kados mekaten. Mataun-taun dipun rencangi nyambut damel sengkut, nindakaken sadaya kuwajiban, wewaler miwah prentahipun ramanipun, nanging ramanipun mboten nate maringi cempe satunggal kemawon kangge bingah-bingah kaliyan kanca-kancanipun. Iba nyedhihaken sanget, semanten dangunipun gesang kaliyan ramanipun pranyata piyambakipun mboten nate ngraosaken dhirinipun minangka anak, bilih sadaya barang darbeking ramanipun punika estunipun ugi barang darbekipun (Ay. 25-29). Sikap mental ingkang mekaten punika saestunipun ugi kedadosan ing saklebeting proses. Karana pendamelan, rutinitas, kewajiban miwah semangat nindakaken pepaken, langkung-langkung pepaken ingkang lahiriah ingkang saged nedahaken kaunggulanipun ndadosaken piyambakipun kecalan raos minangka putra, roh kaputran, semangat kaputran, kabingahan lan raket rumaketing manah kaliyan ramanipun dados roh buruh, batur tukon ingkang nindakaken sadaya pendamelan kanthi kepeksa. Ingkang nyedhihaken ing pasemon punika mboten kacariyosaken wangsulipun raos-rumaos miwah pamratobating si Pembarep. Nanging pancen inggih mekaten ingkang katuju dening Gusti Yesus, inggih punika supados para tiyang Farisi lan ahli Toret punika saged manggihaken piyambak wonten ing pundi papanipun ing pasemon punika. Iba nyedhihaken, rinten dalu rumaosipun makarya kagem Gusti, nanging kanthi raos lan semangat budhak, kecalan roh kaputran, malahan tebih saking raos praptanipun Gusti piyambak. Cilakanipun tiyang-tiyang punika malah bangga kanthi kawontenan punika, malahan ngesoraken tiyang sanes lan ngunggulaken dhiri kanthi nindakaken sadaya ingkang saged dipun tingali saha dipun puji tiyang kathah, karana rumaos paling leres lan paling sae. Saengga mboten awis gesangipun dados dipun kuwaosi kemunafikan, mboten mbetahaken pamratobat, kecalan rohipun Sang Rama.
Lumantar teropong pasemon punika, jelas sanget wonten ing pundi papanipun para juru mupu beya lan tiyang tiyang dosa saha wonten pundi papanipun para ahli Toret lan tiyang-tiyang Farisi punika. Pranyata saestu kathah sanget ing donya punika bab-bab ingkang saged ndadosaken manungsa lena, kesasar, lan ical. Sadaya sami-sami ical. Ing sauruting lampahing gesang kita, wonten pundi papan kita? Kados pundia papan lan kawontenan kita, ingkang rahayu inggih ingkang ical, nanging kapanggihaken, ingkang kesasar wangsul mratobat, ingkang pejah gesang malih. Ingkang langkung rahayu malih inggih ingkang tansah gesang nunggil kaliyan ramanipun, gesang minangka putra kanthi kebak kamardikan, syukur lan ekhlas nindakaken kersanipun rama demi kawilujenganipun miwah dados berkah tumrap ngasanes.
II. Ingkang Ical Kapanggihaken, Ingkang Pejah Kagesangaken supados dados Dutaning Tentrem Rahayu
Yehuwah Allah kita punika Allah ingkang Maha Welas, Maha Asih. Karana sihipun Panjenenganipun tansah ngersakaken para putranipun gesang ing patunggilanipun sarta nindakaken pepakenipun ingkang intisarinipun inggih tresna dhumateng Allah miwah sesami. Nanging kawontenaning manungsa malah asring kadosdene ulam ingkang mlumpat saking telaga ingkang kebak toya dhateng siti gasik ingkang aking karana kepengin ngraosaken kabebasanipun. Gusti Allah kita punika inggih Gusti Allah ingkang tansah ngupadi saha iba karenanipun Sang Rama nalika anakipun ingkang ical wangsul, pangandikanipun: “AnakKu kang wis mati, urip maneh, wis ilang ketemu!” Saestu rahayu tumrap si Ragil ingkang mratobat pasrah wangsul ing rengkuhaning sih kawilujenganipun Sang Rama. Tamtu, iba sakit lan sedhihipun manahipun bapa ingkang katilar ical dening anakipun. Ananging pranyata sih katresnanipun bapa langkung ageng katimbang sakit lan sedhihing manah. Saengga rikala si anak wangsul langsung kagapyuk kanthi kebak raos kangen miwah kabingahan.
Rasul Paulus nyatakaken bilih karana sih kanugrahanipun kita sampun kawilujengaken (Ef. 2:5). Kita ingkang pejah karana dosa sampun kagesangaken malih sesarengan Sang Kristus. Malahan ingkang suwaunipun tebih, sanes tiyang Yahudi miturut tata kadagingan, mboten kalebet warga Israel lan mboten angsal panduman ing prasetya ingkang kaprasetyakaken, tanpa Gusti Allah miwah pangajeng-ajeng (Ef. 2:11-12), sakpunika sampun kalebetaken dados brayating Allah (Ef. 2:9), malahan kepareng nyebut “Abba”, utawi Rama dhumateng Gusti Allah (Rm. 8:15; Gal. 4:6).
Lelampahan taksih tebih, perjuangan dereng rampung. Saklajengipun ing waosan kaping kalih Rasul Paulus paring pitutur supados kita gesang mboten namung kangge dhiri pribadhi kemawon, ananging kagem Panjenenganipun ingkang sampun seda saha wungu malih kangge kita manungsa. Ing roh kaputran punika kita mboten ngregeni manungsa adhedhasar ukuraning manungsa (2 Kor. 5:16), inggih punika sifat selfish, egoistis, egosentris ingkang namung mikiraken kauntunganipun piyambak kemawon, sifat murka ingkang namung mentingaken ingkang ketingal kemawon, nanging ngagem ukuran ingkang enggal, inggih ukuran titah lan kamanungsan enggal wonten ing Sang Kristus. Kamanungsan lami kanthi nafsu kedaginganipun sampun mengker, kamanungsan enggal ingkang saking Allah sampun prapta (2 Kor. 5:17). Kamanungsan enggal kanthi manah, pangangen-angen miwah pangrasa saking Kristus (Fil. 2:5). Malahan Panjenenganipun sampun nglebetaken kita ing pakaryan karahayonipun, matemah kita dados duta-duta tentrem rahayunipun. Kadosdene Sang Kristus, ateges kita kedah sumadya andhap asor, paring pangapunten, lan mujudaken pirukun wontena ing pundi kemawon. Namung adhedhasar roh kaputran kita saged nindakaken timbalan ingkang mboten entheng punika kanthi kebak syukur, kabingahan miwah kaekhlasan.
Panutup
Iba mulya lan luhuripun minangka warganing brayatipun Allah. Langkung malih dados para putraning tentrem rahayu ingkang pinitados ngemban pirukun. Namung kanthi rohing kaputran kita saged nindakaken sadaya punika kanthi kebak sukur, kabingahan miwah kaekhlasan. Mila sampun ngantos kita kecalan rohing kaputran punika karungkad dening rohing batur tukon saha kebanggaan semu. Amin. [BRU].
Pamuji: KPJ. 56 : 1 – 3 Muliha Angger