Warga Gereja sebagai Manusia Allah Khotbah Minggu 28 September 2025

15 September 2025

Minggu Biasa | Penutupan Bulan Kitab Suci
Stola Hijau

Bacaan 1: Amos 6 : 1a, 4 – 7
Mazmur: Mazmur 146
Bacaan 2: 1 Timotius 6 : 6 – 19
Bacaan 3: Lukas 16 : 19 – 31

Tema Liturgis: Membudayakan Cinta Alkitab dengan Berkisah
Tema Khotbah: Warga Gereja sebagai Manusia Allah

Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)

Amos 6 : 1a, 4 – 7
Siapakah Amos? Pasal 1:1 dengan jelas menyatakan bahwa dia adalah “seorang peternak domba dari Tekoa,” sebuah desa di Yehuda yang berjarak + 10 km sebelah selatan Yerusalem. Menariknya pasal 7:14, penulis menyatakan bahwa Amos bukanlah seorang nabi, “Aku ini bukan nabi dan aku ini tidak termasuk golongan nabi, melainkan aku ini seorang peternak dan pemungut buah ara hutan.”

Amos diidentifikasi sebagai seorang nabi yang sederhana dan jauh dari “profesionalisme” seperti yang dipikirkan oleh masyarakat modern. Terlepas dari semua karakteristik yang ditampilkan, dia adalah orang yang dipanggil Tuhan untuk menegur Samaria (Israel Utara), dengan kerajaannya, kemegahan, dan keimamatan palsunya. Teguran Amos yang diilhami Tuhan, ucapannya yang sederhana, etika sucinya, dan citranya yang kuat bagi masyarakat pedesaan adalah kata-kata yang perlu didengar oleh Kerajaan Israel Utara. Pertobatan nasional adalah yang diperlukan untuk meminta pengampunan Tuhan dan pertolongan-Nya, untuk menahan serangan orang-orang Asyur yang ganas. Amos menyerukan model kehidupan masyarakat yang ideal dengan pesan: ”bertobat atau binasa!”

“Celakalah atas orang-orang yang merasa aman di Sion” (Ay. 1) merupakan peringatan dan sekaligus ratapan kepada mereka yang merasa “nyaman” (shaanan = istirahat dengan tenang) dan “aman” (batach = percaya). Kepercayaan yang memberikan keamanan kepada orang berdosa adalah “gunung Samaria” (Ay. 1). Alih-alih mendapatkan perlindungan, malahan mereka mendapatkan gambaran kenyataan yang pahit. “Menyeberanglah ke Kalne… Hamat… pergilah ke Gat orang Filistin! Adakah mereka lebih baik dari kerajaan-kerajaan ini….” (Ay. 2). Amos menegaskan bahwa kota-kota Filistin yang pernah berjaya, sekarang jatuh dalam pembusukan. Mereka yang mengandalkan kekuatan Samaria, lari dari kuasa Tuhan berada dalam kehancuran. Mereka yang mengabaikan Tuhan dalam hidupnya tidak dapat lepas dari dosa, kemunafikan dan kekejaman (Ay. 3).

Ayat 4-6 menunjukkan adanya kerusakan moral para petinggi, penguasa dan pejabat “gerejawi” yang memuja kekayaan dan ketamakan. Mereka dilukiskan sebagai orang yang hidup dalam katamakan: makanan enak, banyak minum anggur, gelas terbaik, perabotan yang indah, dan uang yang berkelimpahan untuk bersantai dalam kemewahan (band. Luk. 12:15, 16-21 dan 1 Yoh. 2:15). Ayat 6 menggambarkan adanya pelecehan dan penistaan terhadap kesucian perkakas peribadatan. Mereka minum anggur menggunakan “cawan korban” (mizraki) yang mengacu pada “cawan” suci altar (Kel. 38:3). Alih-alih menggunakan sarana liturgis untuk menuntun pada pertobatan, orang-orang Samaria justru menggunakan bejana-bejana sebagai bagian dari pesta kemabukan mereka. “Minyak yang paling baik” tidak digunakan untuk mengurapi pelayan Tuhan (Im. 8:12), melainkan digunakan untuk menggosok badan sebagai sarana terapi yang dapat membuat seseorang lebih rilaks/santai. Mereka tidak memiliki sensitivitas terhadap keprihatinan sosial, nilai-nilai moralitas, dan empati terhadap keadaan orang lain. Hal ini ditegaskan penulis yang menyatakan, “Tidak berduka karena hancurnya keturunan Yusuf.” (Ay. 6).

Amos memberikan peringatan kepada Kerajaan Israel Utara, bahwa mereka yang berperilaku amoral, mendeskralisasi liturgi dan perangkat-perangkat keagamaan, acuh tak acuh kepada kondisi lingkungan sekitar, tamak, dan meninggalkan Tuhan akan mendapatkan penghukuman. Mereka akan mengalami pembuangan (Ay. 7).

1 Timotius 6 : 6 – 19
Secara sederhana bacaan kedua, 1 Timotius 6:6-19 terbagi menjadi dua bagian besar, pertama, peringatan bagi tokoh agama, pendeta dan majelis jemaat atas bahaya hedonisme yang berakar pada cinta uang (Ay. 6-10). Kedua, nasihat bagi kehidupan spiritual para pemimpin gereja supaya terhindar dari gaya hidup kemewahan dunia.

Pada bagian pertama penulis 1 Timotius menyatakan bahwa akar segala kejahatan adalah cinta uang (Ay. 10). John Macarthur dalam New Testament Commentary memberikan catatan bahwa persoalannya bukan terletak pada uang, melainkan bagaimana sikap seseorang terhadapnya. Dosa yang berhubungan dengan uang adalah dosa keserakahan. Ia menegaskan adanya tanda-tanda bahaya yang perlu diperhatikan bagi mereka yang terjerumus pada mencintai uang. Pertama, cinta uang akan menjerumuskan seseorang ke dalam godaan dan jerat (Ay. 9a). Kecintaan seseorang akan uang akan membawa dia pada keinginan yang terus-menerus, yang didorong oleh hasrat berlebih untuk mendapatkannya. Perilaku semacam ini akan menjadi kompulsif dan mengendalikan hidupnya. Singkat kata, cinta uang akan membawa otak, pikiran, keinginan dan perasaan seseorang selalu didorong hasrat mendapatkan apa yang diinginkan, termasuk mengira bahwa “Ibadah adalah suatu sumber keuntungan.” (Ay. 5).

Cinta uang membuat seseorang terperangkap oleh dosa, yang membuatnya dikendalikan oleh keinginan yang berbahaya. Keinginan tersebut biasanya berbicara tentang keinginan jahat, tidak rasional, dan tidak masuk akal. Mereka dikendalikan oleh nafsu jahat dan ketika keinginan mereka gagal, tidak segan mereka menggunakan kekerasan (Yak. 4:1-2).

Kedua, cinta uang akan menjerumuskan seseorang ke dalam kehancuran dan kebinasaan (Ay. 9c). Mengejar kekayaan materi dapat merusak kehidupan rohani seseorang. Alkitab memuat banyak contoh tragis tentang orang-orang yang dihancurkan oleh cinta uang. Kecintaan Akhan akan uang membawa kekalahan Israel, dan kematian bagi dirinya dan keluarganya (Yos. 7:1, 26). Yudas mengkhianati Tuhan Yesus Kristus untuk sejumlah uang (Mat. 27:3-5). Dalam Kisah Para Rasul 8:20-23, Petrus dengan tegas menegur Simon, yang berusaha membeli kuasa Roh.

Pada bagian kedua, ayat 11-19 merupakan jawaban antisipatif terhadap permasalahan di atas. Pada ayat 11, Paulus yang diyakini sebagai penulis membedakan antara orang-orang percaya sebagai “manusia Allah” dengan guru-guru palsu  (Ay. 3). ”Manusia Allah” adalah mereka yang hidup dalam kebenaran, seturut dengan ajaran Tuhan. Sedangkan “guru-guru palsu” (Ay. 3) adalah orang yang sok tahu, padahal tidak mengetahui apapun (Ay. 4), orang yang berpikiran tidak sehat dan mengejar keuntungan dalam ibadah (Ay. 5-6), dan mereka yang cinta uang (Ay. 10). Untuk itu, Paulus menasihati, sebagai ”manusia Allah” hendaklah orang Kristen, para pemimpin gereja menghayati panggilan spiritualitasnya. Pertama, manusia Allah (umat Kristen) haruslah menghindari atau bahkan menjauhkan diri dari dosa (Ay. 11a), menghindari diri dari perasaan sok tahu, dumeh pendeta, majelis, guru Injil merasa hebat, paling pinter dan sok tahu (Ay. 4); menghindari diri dari keinginan cinta uang (Ay. 10), menjauh dari perasaan bahwa ibadah akan membawa keuntungan besar secara finansial (Ay. 6-7), menjauhkan diri dari ketidaksetiaan dan perselingkuhan (Ay. 11; band 1 Kor. 6:18); menjauhkan diri dari nafsu orang muda (2 Tim. 2:22).

Kedua, manusia Allah atau abdi Allah haruslah mengejar kebenaran, kesalehan, iman, kasih, ketekunan dan kelembutan (Ay. 11b). Seorang yang merasa dirinya terpilih sebagai pelayan gereja tidak hanya “lari dari dosa”, tetapi juga terus-menerus “mengejar kekudusan”. Hal ini sejajar dengan yang disampaikan Paulus kepada Timotius, “Jauhilah nafsu orang muda, kejarlah keadilan, kesetiaan, kasih dan damai… dengan hati yang murni.” (2 Tim. 2:22). Paulus menegaskan bahwa enam kebajikan yang dimaksud haruslah terinternalisasi dalam jiwa pelayan dan mewujud dalam kehidupan lahiriahnya. Apa yang dilakukan adalah cerminan dari apa yang dihayati. Manusia Allah harus hidup lahir batin seturut kehendak Tuhan Allah. Manusia Allah dikenal karena melakukan apa yang benar. Gaya hidupnya ditandai dengan ketaatan pada perintah Tuhan Allah (Ay. 12-16).

Untuk itu, Paulus menasihati Timotius untuk selalu bertindak reflektif, merefleksikan apa yang sudah dilayankan, apakah sudah sesuai ataukah perlu perbaikan. Refleksi diri sebagai pendeta, majelis, dan pelayan Tuhan yang lain adalah penting sebagai bentuk tindakan mawas diri. Ini yang dinasihatkan Paulus “Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu” (1 Tim. 4:16; band Kis. 20:28). Hal ini penting, supaya diri sendiri mengetahui perihal keberdosaan diri sendiri.

Lukas 16 : 19 – 31
Penulis menggambarkan sebuah pengajaran doktrinal dan praktik spiritual yang tidak adil. Kisah orang kaya dan Lazarus adalah fakta sosial yang tidak dapat dipungkiri nyata dan hadir di masyarakat dimana gereja tinggal. Orang kaya di ayat 19 dikontraskan dengan orang miskin di ayat 20. Dikisahkan si kaya mati dan masuk neraka, sebaliknya si miskin juga mati tetapi masuk surga. Tetapi penulis Injil Lukas tidak mengatakan bahwa orang kaya itu jahat atau sebaliknya orang miskin tersebut baik, tidaklah demikian.

Abraham adalah bapa dari orang-orang Yahudi (Luk. 3:8; Yoh. 8:39), jadi dalam Perjanjian Lama, ketika seorang Yahudi mati, dia pergi ke tempat bapanya berada. Bukan hanya orang Yahudi yang diselamatkan, tetapi juga non-Yahudi, karena Abraham menerima kebenaran yang diperhitungkan dari Allah baik bagi Yahudi maupun non-Yahudi. Paulus mengatakan dia adalah ”Bapa semua orang yang percaya yang tak bersunat, supaya kebenaran diperhitungkan kepada mereka.” (Rm. 4:11).

Pangkuan Abraham menjadi simbolik bagi orang-orang percaya yang mati dalam kebenaran dan iman kepada Yesus, bahwa mereka akan mendapatkan jamuan dalam kekekalan.

Benang Merah Tiga Bacaan:
Nabi Amos memberikan kecaman dan peringatan kepada segenap warga bangsa, terutama umat pilihan Allah sebagai umat pilihan dan pelayan-pelayan-Nya. Ia menegaskan, hindari untuk melacurkan diri dan ketamakan. Semua perilaku lacur dan berdosa itu berakar dari cinta akan uang. Siapapun yang mengabdikan diri untuk mencari keuntungan/uang tidak akan terluput dari kebinasaan. Karenanya mari mengingat kembali dan bertobat bahwa pada prinsipnya kita adalah manusia Allah, yang dititahkan untuk memperjuangkan kebenaran, kesalehan, iman, kasih, ketekunan, dan kedamaian.

 

Rancangan Khotbah : Bahasa Indonesia
(Ini hanyalah sebuah rancangan khotbah, silakan dikembangkan sesuai dengan konteks jemaat masing-masing)

Pendahuluan
Ingatkah saudara dengan lagu Iwan Fals yang berjudul Manusia Setengah Dewa? (Pelayan dapat mengawali khotbah dengan menyanyikan lagu ini, dimulai dari reff-nya: “Masalah moral … dan seterusnya. Atau memutarkan video lagu Manusia Setengah Dewa)

Wahai presiden kami yang baru, kamu harus dengar suara ini
Suara yang keluar dari dalam goa, goa yang penuh lumut kebosanan
Walau hidup adalah permainan, walau hidup adalah hiburan
Tetapi kami tak mau dipermainkan, dan kami juga bukan hiburan
Turunkan harga secepatnya, berikan kami pekerjaan
Pasti kuangkat engkau menjadi manusia setengah dewa

Masalah moral, masalah akhlak, biar kami cari sendiri
Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu, peraturan yang sehat yang kami mau
Tegakkan hukum setegak-tegaknya, adil dan tegas tak pandang bulu
Pasti kuangkat engkau menjadi manusia setengah dewa

Masalah moral, masalah akhlak, biar kami cari sendiri
Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu, peraturan yang sehat yang kami mau
Turunkan harga secepatnya, berikan kami pekerjaan
Tegakkan hukum setegak-tegaknya, adil dan tegas tak pandang bulu
Pasti kuangkat engkau menjadi manusia setengah dewa
Wahai presiden kami yang baru, kamu harus dengar suara ini

Mendengar dan merenungkan sekilas kata demi kata, syair demi syair lagu Iwan Fals ini, pesan apa yang bapak, ibu, saudara dapatkan dan rasakan? (Biarkan beberapa jemaat memberikan respons).

Manusia Setengah Dewa adalah album dari Iwan Fals yang dirilis pada tahun 2004. Mengutip dari penelitian Ery Tahmidiyah S. yang berjudul Nilai-Nilai Pendidikan Moral dalam Lirik Lagu Manusia Setengah Dewa-Iwan Fals, lagu ini mengandung makna kepemimpinan dan kemanusiaan.

Lirik lagu ini menyampaikan situasi bangsa Indonesia dengan pergumulan kemanusiaan: rasa solidaritas sesama manusia yang rendah;  penindasan dominasi kelompok penguasa ekonomi dan politik bahkan kelompok mayoritas terhadap minoritas; ketidakadilan terhadap masyarakat, sebut saja kasus “pagar laut” yang viral awal tahun 2025, grup band sukatani yang harus meminta maaf kepada aparatur polri gegara kritik sosialnya.

Kondisi bangsa negara yang menjadi kritik lagu Iwan Fals tersebut selaras dengan kebobrokan kehidupan agamawi tokoh-tokoh agamanya. Sebut saja, “Seorang pastor gereja Katolik di Pottstown, Pennsylvania, AS, menggunakan kartu kredit paroki untuk membiayai kecanduannya bermain game mobile Candy Crush dan Mario Kart. Kesenangan main game online yang mencapai US$ 40.000 atau setara Rp 643 jutaan membuatnya bertindak korup.

Di Indonesia, dugaan pendeta menggelapkan uang persembahan gereja juga terjadi.

Kasus di atas diperparah dengan moralitas tokoh agama. Misal, kasus perselingkuhan pendeta muda Hillsong New York City Carl Lentz membuat para pemimpin gereja dan jemaat gerejanya terpukul.

Dan seorang pendeta berselingkuh dengan bendahara jemaat. Parah….

Isi
Lirik lagu Manusia Setengah Dewa sangat selaras dengan pergumulan gereja di tengah persoalan ketidakadilan, hegemoni politik, ekonomi, dan kekuasaaan yang terjadi dewasa ini. Tokoh politik, penguasa pemerintahan, dan pejabat negara sudah terang-terangan memainkan kekuasaan dan mencederai etika sosial. Segala sumber daya digunakan untuk memuja syahwat politik dan kekuasaan. Rasanya lembaga agama juga tergoda untuk memainkan kekuasaan dengan berbagai alasan seperti keberlanjutan, pemberdayaan, rasionalisasi program, dan lain sebagainya. Perilaku semacam ini yang dikecam oleh Amos, “Celakalah atas orang-orang yang merasa aman di Sion” (Ay. 1) merupakan peringatan dan sekaligus ratapan kepada mereka yang merasa “nyaman” dan “aman”. Kepercayaan yang memberikan keamanan kepada orang berdosa adalah “gunung Samaria” (Ay. 1). Alih-alih mendapatkan perlindungan, malahan mereka mendapatkan gambaran kenyataan yang pahit. “Menyeberanglah ke Kalne… Hamat… pergilah ke Gat orang Filistin! Adakah mereka lebih baik dari kerajaan-kerajaan ini….” (Ay. 2). Amos menegaskan bahwa kota-kota Filistin yang pernah berjaya, sekarang jatuh dalam pembusukan. Mereka yang mengandalkan kekuatan Samaria, lari dari kuasa Tuhan berada dalam kehancuran. Mereka yang mengabaikan Tuhan dalam hidupnya tidak dapat lepas dari dosa, kemunafikan, dan kekejaman (Ay. 3).

Amos juga mengecam kerusakan moral para petinggi, penguasa dan pejabat “gerejawi” yang melacurkan dirinya demi kekayaan, kemewahan, dan nama baik. Mereka dilukiskan sebagai orang yang hidup dalam katamakan: makanan enak, banyak minum anggur, gelas terbaik, perabotan yang indah, dan uang yang berkelimpahan untuk bersantai dalam kemewahan. Ayat 6 menggambarkan adanya pelecehan dan penistaan terhadap kesucian perkakas peribadatan. Mereka minum anggur menggunakan “cawan korban” (mizraki) yang mengacu pada “cawan” suci altar (Kel. 38:3). Alih-alih menggunakan sarana liturgis untuk menuntun pada pertobatan, orang-orang Samaria justru menggunakan bejana-bejana sebagai bagian dari pesta kemabukan. “Minyak yang paling baik” tidak digunakan untuk mengurapi pelayan Tuhan (Im. 8:12), melainkan untuk menggosok badan sebagai sarana terapi yang dapat membuat seseorang lebih rilaks/santai. Mereka tidak memiliki sensitivitas terhadap keprihatinan sosial, nilai-nilai moralitas, dan empati terhadap keadaan orang lain. Hal ini ditegaskan dengan penulis yang menyatakan “Tidak berduka karena hancurnya keturunan Yusuf” (Ay. 6).

Hal yang sama disampaikan oleh Paulus kepada Timotius sebagai pelayan. Ia menasihati Timotius sebagai pelayan jangan melacurkan diri pada kebutuhan akan uang, karena uang adalah akar dari segala kejahatan. Paulus mengingatkan: pertama, cinta uang akan menjerumuskan orang ke dalam godaan dan jerat (Ay. 9a). Kecintaan seseorang akan uang akan membawa mereka pada keinginan yang terus-menerus, yang didorong oleh hasrat yang berlebih untuk mendapatkannya. Perilaku semacam ini akan menjadi kompulsif dan mengendalikan hidupnya. Singkat kata cinta uang akan membawa otak, pikiran, keinginan dan perasaan seseorang selalu didorong oleh hasrat untuk mendapatkan yang diinginkan, termasuk mengira bahwa “Ibadah adalah suatu sumber keuntungan” (Ay. 5). Cinta uang membuat seseorang terperangkap oleh dosa, yang membuatnya dikendalikan oleh keinginan yang berbahaya. Keinginan tersebut biasanya berbicara tentang keinginan jahat, tidak rasional, dan tidak masuk akal. Mereka dikendalikan oleh nafsu jahat dan ketika keinginan mereka digagalkan, mereka tidak segan menggunakan kekerasan (Yak. 4:1-2).

Kedua, cinta uang akan menjerumuskan seseorang ke dalam kehancuran dan kebinasaan (Ay. 9c). Mengejar kekayaan materi dapat merusak kehidupan rohani seseorang. Alkitab memuat banyak contoh tragis tentang orang-orang yang dihancurkan oleh cinta uang. Kecintaan Akhan akan uang membawa kekalahan Israel, dan kematian bagi dirinya dan keluarganya (Yos. 7:1, 26). Yudas mengkhianati Tuhan Yesus Kristus untuk sejumlah uang (Mat. 27:3-5). Dalam Kisah Para Rasul 8:20-23, Petrus dengan tegas menegur Simon, yang berusaha membeli kuasa Roh.

Selanjutnya, Lukas dengan sangat keras memberikan peringatan bahwa mereka yang hidup dalam ketamakan, ketidakpedulian sosial, apatis dan mementingkan dirinya sendiri, seperti seorang kaya (Luk. 16:19-23), mereka tidak akan mendapatkan tempat di “pangkuan Abraham”. Mereka tidak akan terhindar dari kebinasaan (Luk. 16:24-31).

Nasihat dan pergumulan yang dapat kita ambil sebagai orang percaya, sebagai orang yang hidup dalam Kristus: pertama, sebagai “manusia Allah” (umat Kristen) haruslah menghindari dan menjauhkan diri dari dosa (ayat 11a): menghindari diri dari perasaan sok tahu, dumeh pendeta, majelis, guru Injil merasa hebat, paling pinter dan sok tahu (Ay. 4); menghindari diri dari keinginan cinta uang (Ay. 10), menjauhkan dari perasaan bahwa ibadah akan membawa keuntungan besar secara finansial (Ay. 6-7), menjauhkan dari ketidaksetiaan dan perselingkuhan (Ay. 11; band 1 Kor. 6:18), menjauhkan diri dari nafsu orang muda (2 Tim. 2:22).

Kedua, sebagai “manusia Allah”, pendeta, majelis, guru injil dan warga gereja haruslah mengejar kebenaran, kesalehan, iman, kasih, ketekunan dan kelembutan (Ay. 11b). Seorang yang merasa dirinya terpilih sebagai pelayan gereja tidak hanya “lari dari dosa”, tetapi juga terus-menerus “mengejar kekudusan”. Hal ini sejajar dengan yang disampaikan Paulus kepada Timotius “Jauhilah nafsu orang muda, kejarlah keadilan, kesetiaan, kasih dan damai… dengan hati yang murni.” (2 Tim. 2:22). Paulus menegaskan bahwa enam kebajikan yang dimaksud haruslah terinternalisasi dalam jiwa pelayan dan mewujud dalam kehidupan lahiriahnya. Apa yang dilakukan adalah cerminan dari apa yang dihayati. Manusia Allah harus hidup lahir batin seturut kehendak Tuhan. Manusia Allah dikenal karena melakukan apa yang benar. Gaya hidupnya ditandai dengan ketaatan pada perintah Tuhan (Ay. 12-16).

Penutup
Mengakhiri khotbah dengan menyanyikan kembali lagu Manusia Setengah Dewa….

Wahai presiden kami yang baru
Kamu harus dengar suara ini
Suara yang keluar dari dalam goa
Goa yang penuh lumut kebosanan

Mari kita dengarkan seruan pertobatan, peringatan, dan ratapan dari para nabi dan para rasul. Mari menghidupi diri dalam batin dan lahir sebagai manusia Allah, bahwa Tuhan Yesus telah menetapkan kita untuk menjadi berkat bagi diri kita sendiri dan orang lain, sambil terus mawas diri. Selamat menjadi manusia Allah. Gusti Yesus memberkati kita. Amin. [IT].

 

Pujian: KJ. 52  Sabda Tuhan Allah

 

Rancangan Khotbah: Basa Jawi
(Punika namung rancangan khotbah, saged dipun kembangaken miturut konteks pasamuwan piyambak)

Pambuka
Punapa panjenengan nate mirengaken lagu saking Iwan Fals ingkang jejeripun Manusia Setengah Dewa?

(Palados saged miwiti khotbahipun kanthi nyanyi tembang Manusia Setengah Dewa saking Iwan Fals, wiwit saking reff-ipun utawi saged mirsani video punika )

Mireng lan ngraos-raosken ukara demi ukara saking lirik lagu Iwan Fals punika, pesen punapa ingkang bapak, ibu, para sedherek panggihaken? (Pelados maringi wekdal kangge warga mangsuli pitakenan punika)

Tembang Manusia Setengah Dewa punika albumipun Iwan Fals ingkang dipun damel ing taun 2004. Ngutip saking penelitian Ery Tahmidiyah S, ingkang jejripun Nilai-nilai Pendidikan Moral,  Lirik Lagu Manusia Setengah Dewa punika, nggadah teges bab kapemimpinan lan kamanungsan. Lirik tembang punika nedahaken kahanan bangsa Indonesia kaliyan masalah kamanungsan: kados andapipun raos solidaritas ing antawis sesami manungsa; panindesan kelompok panguwasa ekomoni lan politik, kelompok mayoritas tumrap kelompok minoritas; tumindak mboten adil tumrap warga masyarakat, kados kasus “pagar laut” ingkang viral ing wiwitan taun 2025, grup band sukatani ingkang kedah nyuwun pangapura dhateng aparatur polri, amargi kritis sosialipun.

Kahanan bangsa negara ingkang dados kritik lagu Iwan Fals punika laras kaliyan risakipun gesang agamawi lan para tokohipun. Kados pastor greja Katolik ing Pottstown, Pennsylvania, AS, ingkang ngginakaken kartu kredit paroki kangge  mbiayai kecanduan game mobile antawis 643 juta. Ing Indonesia wonten pendita ingkang ngentit arta pisungsung grejanipun. Mekaten ugi wonten kasus perselingkuhan pendita Hillsong, New York City Carlh Lentz, ingkang dadosaken para pimpinan lan warga pasamuwan sami prihatin.

Isi
Lirik tembang Manusia Setengah Dewa punika laras kaliyan masalah greja ingkang ngadepi tumindak mboten adil lan hegemoni politik, ekonomi lan panguwaos wekdal punika. Tokoh politik, pamrintah lan pejabat negri kanthi terang-terangan ngrekadaya kuwaos lan ngowahi etika sosial. Sedaya sumber daya dipun damel nguja pepenginan politik lan panguwaos. Mekaten ugi kadosipun lembaga agami sami kagodha ngrekadaya panguwaos kanthi maneka alesan kados keberlanjutan, pemberdayaan, rasionalisasi program, lsp. Tumindak ingkang kados mekaten punika ingkang dipun ancem dening Amos, “Bilai para wong kang rumangsa ayem ana ing Sion.” (Ay. 1). Punika dados pepenget lan pangaduh kangge para tiyang ingkang rumaos “nyaman” lan “aman”. Kapitadosan ingkang paring raos aman tumrap tiyang dosa inggih punika “gunung Samaria” (Ay. 1). Ngajeng-ajeng angsal pangayoman, para tiyang dosa punika malah nampi kasunyatan ingkang pahit. “Padha menyanga ing Kalne… Hamat… menyanga ing Gat nagarane wong Filisti, apa iku padha ngluwihi becike karajan-karajan iki, … (Ay. 2). Amos negesaken bilih kutha-kutha ing Filisti ingkang nate jaya, sapunika sampun dawah lan risak. Para tiyang ingkang ngandelaken kakiyatanipun Samaria, lan mlajeng saking Gusti badhe nemahi karisakan. Para tiyang ingkang nglirwaaken Gusti Allah, gesangipun mboten saged mentas saking dosa, munafik, lan tumindak kejem (Ay. 3).

Amos ugi ngancem para pangarsaning bangsa, panguwasa, lan pejabat “grejawi” ingkang risak moralipun awit piyambakipun namung mburu kasugihan, kamewahan lan nami apik. Para tiyang punika kados tiyang ingkang serakah: nedha enak, ngunjuk anggur, arta ingkang kathah, gesang ing kamewahan (Luk. 12:15, 16-21, 1 Yoh. 2:15). Ayat 6 gambaraken wontenipun penistaan tumrap kasucening perkakas kagem pangabekti. Para tiyang punika ngunjuk anggur ngagem “cawan suci” (Pangentasan 38:3). Alih-alih kangem sarana liturgis ingkang nuntun umat mratobat, para tiyang Samaria punika malah ngginakaken bejana-bejana punika kangge mabuk. “Lenga ingkang paling sae” mboten dipun angge jebati para peladosipun Gusti, nanging malah dipun damel kangge gosok badanipun minangka sarana terapi. Para tiyang punika mboten nggadhah kapekaan sosial tumrap tiyang sanes. Bab punika kategesaken dening juru serat ingkang nyerat, “ora mreduli bab rusaking bani Yusuf” (Ay. 6).

Bab ingkang sami dipun aturaken Paulus dhateng Timotius minangka palados. Paulus ngandika dhateng Timotius, minangka palados sampun ngantos piyambakipun dawah ing bab kepenginan arta, awit arta punika punjering  sedaya tumindak jahat. Paulus ngengetaken Timotius: Sepisan, tresna dhateng arta punika saged njrumusaken tiyang ing godha (Ay. 9a). Tresna dhateng arta punika saged mbekta tiyang punika tumrap pepenginan ingkang mboten nate kandek, tansah kepengin manggihaken terus. Tumindak kados mekaten punika saged ngendaleni gesangipun. Tresna arta punika saged ndadosaken otak, pikiran, pepenginan, lan pangraosipun tiyang punika sami katuntun ing pepenginanipun, ngantos nginten bilih pangibadah punika saged dados sumbering kauntungan (Ay. 5). Tresna arta punika saged ndadosaken tiyang punika dawah ing dosa, ingkang ndadosaken piyambakipun dipun kedaleni kaliyan pepenginanipun. Pepenginan punika biasanipun bab tumindak jahat, mboten rasional, lan mboten masuk akal. Para tiyang punika dipun kendaleni kaliyan nafsu jahatipun, lan mboten ajrih kangge nindakaken tumindak awon (Yak. 4:1-2).

Kaping kalih, tresna arta punika badhe ndadosaken tiyang punika cilaka (Ay. 9c) awit piyambakipun namung mburu kasugihan ingkang saged ngrisak gesang karohanenipun. Kitab Suci sampun nyerat conto bab tiyang ingkang cilaka awit tresna arta punika. Tresnanipun Akhan bab arta ndadosaken piyambakipun lan bangsa Israel kawon (Yos. 7:1, 26). Yudas nyingkur Gusti Yesus awit arta (Mat. 27:3-5). Ing Lelakone Para Pasul 8:20-23 kacariyosaken Petrus ingkang ngegetaken Simon, ingkang ngupaya numbas panguwaosing Roh.

Selajengipun Lukas ugi ngengetaken bilih tiyang ingkang gesangipun serakah, mboten peduli, apatis, lan namung mentingaken dhirinipun piyambak, kados tiyang sugih (Luk. 16:19-23), tiyang punika mboten badhe kaparingan papan ing ”pangkuanipun Rama Abraham”. Tiyang punika badhe musnah (Luk. 16:24-31).

Nasihat lan pepenget ingkang saged kita pendet minangka tiyang pitados lan pandherekipun Sang Kristus: Sepisan, minangka tiyang Kristen, kita kedah nebihi tumindak dosa, nebihi raos kepengin mangertosi, raos paling pinter piyambak, lan nebihi sikep tresna arta. Mekaten ugi kita kedah nebihi pemanggih bilih pangibadah punika mbeta kauntungan sacara finansial, nebihi tumindak mboten setya lan laku zina, sarta nebihi hawa nafsu lare enem.

Kaping kalih minangka umatipun Gusti (pendita, majelis, GI lan warga pasamuwan) kedah nguber kabeneran, kasucen, iman, tresnan, katekunan lan alusing budi. Tiyang ingkang dipun piji dados pelados greja, piyambakipun mboten mlajeng saking dosa, nanging kedah gesang ing kasucen. Bab punika laras kaliyan pepengetipun Paulus dhateng Timotius, ”Mulane ngedohana pepenginaning wong anom, ngudia marang kaadilan, kasetyan, katresnan, lan karukunan karo wong-wong kang padha nyebut marang Pangeran kalawan ati kang resik.” (2 Tim. 2:22). Paulus negesaken bilih 6 kabecikan punika kedah rumesep ing jiwanipun para palados lan mawujud ing salebeting gesang lahiriahipun. Awit punapa ingkang dipun tindakaken punika dados cerminan saking punapa ingkang dipun hayati. Para umatipun Gusti kedah gesang lair batin miturut karsanipun Gusti. Para umatipun Gusti dipun tepangi awit tumindak gesangipun ingkang bener. Gaya gesangipun dipun tandhani srana kasetyanipun dhateng printahipun Gusti.

Panutup
Palados mungkasi khotbahipun srana nyanyikaken malih tembang Manusia Setengah Dewa:

Wahai presiden kami yang baru
Kamu harus dengar suara ini
Suara yang keluar dari dalam goa
Goa yang penuh lumut kebosanan

Mangga kita mirengaken timbalan pamratobat, pepenget, lan pangaduh saking para nabi lan rasul punika. Mangga kita nglampahi gesang kita minangka umatipun Gusti. Kita pitados bilih Gusti Yesus sampun netepaken kita supados dados berkah kangge dhiri kita lan tiyang sanes. Mangga kita sami mawas dhiri. Sugeng dados umatipun Gusti Allah. Gusti Yesus tansah mberkahi kita. Amin. [Terj. AR].

 

Pamuji: KPJ. 124   Kula Sestu Ndherek Gusti

Renungan Harian

Renungan Harian Anak