Upaya Memulihkan Keutuhan Ciptaan Mensyaratkan Kerjasama yang Berkelanjutan Khotbah Minggu 28 Januari 2024

15 January 2024

Minggu Biasa 3 | Bulan Penciptaan
Stola Hijau

Bacaan 1: Ulangan 18 : 15 – 20
Mazmur: Mazmur 111 : 1 – 10
Bacaan 2: 1 Korintus 8 : 1 – 13
Bacaan 3: Markus 1 : 21 – 28

Tema Liturgis: GKJW Dipanggil untuk Memulihkan Keutuhan Ciptaan
Tema Khotbah: Upaya Memulihkan Keutuhan Ciptaan Mensyaratkan Kerjasama yang Berkelanjutan 

Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)

Ulangan 18 : 15 – 20
Sebagian teolog meyakini bahwa keseluruhan dari Kitab Ulangan ini merupakan sejumlah kumpulan dari hukum yang berhasil disusun dari berbagai tempat yang berbeda-beda, namun semuanya bersumber dari intisari ajaran Yudaisme mula-mula. Sejumlah hukum tersebut diduga berasal dari Kerajaan Utara (Israel) sesudah direbutnya Samaria dalam tahun 721 SM, dan kemudian disahkan sebagai bagian yang utuh dari Kitab Taurat di Kerajaan Selatan (Yehuda). Bila mencermati bagian per bagian dari Kitab Ulangan ini, kita dapat menemukan bahwa bagian-bagian itu menunjukan berbagai tanda perkembangan yang telah ditempuh oleh bangsa Israel di bidang hidup kemasyarakatan dan keagamaan yang menuju tingkat kematangan tertentu.

Apabila berfokus pada bacaan, yaitu Ulangan 18:15-20, yang merupakan bagian singkat dari keseluruhan perikop (Ulangan 18:9-22),  sebagian penafsir berpendapat bahwa ini berkaitan dengan janji Allah tentang dikirimkannya seorang nabi, yang secara berkelanjutan akan tetap menjaga keadaan Israel, terutama dalam hal spiritualitasnya. Nabi itulah yang akan menuntun dan menunjukkan jalan kepada Israel agar mereka senantiasa berkenan di hadapan Allah. Nabi itu bertugas untuk menegur mereka atas kesalahan-kesalahan mereka, mengingatkan mereka akan kewajiban mereka, dan menubuatkan hal-hal yang akan terjadi, yaitu hukuman sebagai peringatan, dan pembebasan sebagai penghiburan bagi mereka. Meskipun agaknya terlampau jauh apabila kita mengatakan bahwa janji Allah akan kehadiran seorang Nabi tersebut diarahkan kepada nubuat kehadiran Tuhan Yesus, namun beberapa teolog Kristen dengan beragam dasar dogmatikanya, menfasirkannya demikian.

Bacaan ini tidak hanya memuat janji Allah yang akan mengutus nabi-Nya di tengah-tengah kehidupan bangsa Israel, tetapi juga berisi perintah agar Bangsa Israel memiliki tanggung jawab mendukung para Nabi Allah yang tugas-tugasnya telah disebutkan di dalam konteks sebelum dan sesudahnya (Ay. 1-8). Sesudah itu Musa memerintahkan agar bangsa Israel mau memurnikan diri dari semua orang yang memberikan nubuat palsu, termasuk nabi palsu (Ay. 9-22). Di dalam kaitan itu, Musa mengemukakan ketetapan tentang nabi-nabi yang benar (Ay. 15 dst.), melengkapi pembahasan mengenai para pemimpin pemerintahan teokratis (Hak. 16:8  dan 1 Raj. 17:14 dst.; imam dan orang Lewi, 18:1 dst.) yang secara tepat dicantumkan di dalam bagian peraturan hukum mengenai pelaksanaan keadilan yang resmi di dalam kehidupan teokratis bangsa Israel.

1 Korintus 8 : 1 – 13
Berdasarkan pengamatan para teolog, setidaknya terdapat tiga permasalahan yang perlu dipecahkan untuk memahami pandangan Paulus tentang “daging yang dipersembahkan kepada berhala-berhala” dalam 1 Korintus 8:1–11:1, yakni hubungan antara 10:1-22, 10:23–11:1 dan 9:1-27. Sebagai tambahan terhadap ketiga permasalahan tersebut kita perlu juga melihat bagaimana relasi antara 1 Korintus 8:1-13 dan bagian-bagian tersebut di atas. Hubungan antara keempat bagian dalam pokok bahasan “daging yang dipersembahkan kepada berhala-berhala” tidak jelas. Tampaknya keempat bagian ini tidak cocok satu dengan yang lain, bahkan cenderung kontradiktif. Dalam 1 Korintus 8:1-13 Paulus menganjurkan agar orang Kristen mempertimbangkan hati nurani orang lain sebelum makan makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala. Sebaliknya, di 1 Korintus 10:1-22 dia melarang orang percaya untuk berhubungan dengan penyembahan berhala. Lalu di 1 Korintus 10:23-11:1, dia berkata bahwa makanan seperti itu, yang juga dijual di pasar, dapat dimakan tanpa keberatan hati nurani. Selain itu, kita juga perlu melihat bagaimana 1 Korintus 9:1-27 memberikan sebuah jawaban dapat cocok dalam konteks ini.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, ada beberapa argumentasi yang ditawarkan: Pertama, berita utama 1 Korintus 8:1-13 adalah Paulus dengan sungguh-sungguh menasihatkan orang percaya di Korintus untuk tidak makan “daging yang dipersembahkan kepada berhala.” Dia memberikan tiga prinsip pertimbangan sehubungan dengan hal ini, yakni: pertimbangan motivasi (8:1-13), pertimbangan teologis (8:4-6), dan pertimbangan praktis (8:7-13). Jika kita gabungkan semua pertimbangan Paulus tersebut, maka kita dapat melihat argumentasinya yang sangat persuasif: “Benar bahwa orang Kristen dapat makan daging seperti itu tanpa mengalami apa-apa karena memang Allah kita lebih besar dari segala berhala tersebut. Kendati demikian, melihat bahaya yang lebih besar dan iman yang belum bertumbuh dari mereka “yang lemah,” adalah lebih baik apabila mereka tidak makan “daging yang telah dipersembahkan kepada berhala-berhala.” Dalam hal ini mereka “yang kuat” harus rela melepaskan hak mereka dan ini hanya dapat dilakukan jika mereka dimotivasi oleh kasih Allah sendiri.

Kedua, “kontradiksi” sehubungan dengan argumentasi Paulus sebenarnya tidak ada. Bahkan segala unsur dalam bagian ini saling mendukung. Dia mengembangkan pendapatnya agar jemaat Korintus tidak makan “daging yang dipersembahkan kepada berhala” bukan hanya dalam perikop ini saja, tetapi juga dalam konteks yang lebih luas. Melalui contoh dari kehidupannya di 9:1-27, Paulus menegaskan bahwa dia rela melepaskan begitu banyak haknya demi kepentingan orang lain agar mereka dapat mendengar Injil. Jadi Paulus menyarankan agar mereka “yang kuat” juga rela melepaskan hak mereka dengan tidak makan “daging yang telah dipersembahkan kepada berhala-berhala” supaya “yang lemah” tidak jatuh ke dalam dosa. Kemudian dia memperkuat argumentasinya dengan menjelaskan bahaya nyata dari praktik tersebut, yaitu dapat mengakibatkan mereka “yang kuat” jatuh ke dalam penyembahan berhala (10:1-22). Pada akhirnya, barulah dia mengembangkan ketiga pertimbangan prinsipil tadi, yakni motivasi, teologis, dan praktis, dalam konteks yang lebih luas, yakni dalam hubungan sosial di 10:23-11:1.

Markus 1 : 21 – 28
Sebagaimana pada tulisan-tulisannya yang lain, Markus memberikan porsi yang berlebih pada respon para lawan bicara Yesus dari pada menjelaskan secara mendetail pokok-pokok ajaran Yesus. Pada perikop inipun Markus tidak memberitahu isi pengajaran Yesus, tetapi dia mencatat kesan para pendengar Yesus. Disebutkan bahwa mereka takjub akan pengajaran Yesus, karena Ia mengajar sebagai orang yang memiliki otoritas (Ay. 21-22). Tentu hal ini tidak berarti bahwa para ahli Taurat yang disebut itu tidak punya otoritas. Mereka tetaplah memiliki otoritas, tetapi otoritas mereka tidak sama seperti otoritas Yesus karena otoritas mereka terbatas hanya sebagai seorang pemimpin agama. Orang-orang segan kepada mereka karena posisi yang mereka duduki. Berbeda dengan Kristus, otoritas Kristus dapat melahirkan rasa hormat dan takjub pada diri pendengar-Nya.

Diceritakan dalam perikop ini bahwa setelah memanggil murid-murid-Nya, Yesus mengajak mereka ke rumah ibadah. Di sana Yesus mengajar dan terlihat berkuasa. Kita tidak tahu isi pengajaran Yesus, tetapi Markus menjelaskan bahwa Ia mengajar tidak seperti ahli-ahli Taurat (Ay. 22). Ahli-ahli Taurat adalah guru yang mengajar hukum-hukum yang tertulis dalam PL. Otoritas ahli Taurat diterima masyarakat berdasarkan tradisi dan sejarah. Bila Markus menjelaskan bahwa Yesus mengajar tidak seperti ahli Taurat, maka kita dapat mengasumsikan bahwa Yesus mengajar dengan menunjukkan otoritas rohani yang berasal dari Allah. Yesus membuat firman menjadi hidup dan menimbulkan kekaguman orang yang mendengar Dia.

Sementara roh jahat tidak bisa diam-diam begitu saja melihat kehadiran Yesus. Mereka tahu benar siapa Yesus dan karena itu mereka merasa terancam. Namun pengenalan roh jahat terhadap otoritas Yesus bukan sebuah pengakuan iman, tetapi lebih didorong karena rasa takut yang besar bila Yesus mengusir mereka keluar dari tempat itu. Dan benar saja, Yesus mengusir roh jahat agar keluar dari tubuh orang yang dia rasuki. Meski enggan, roh jahat tidak berkuasa sedikit pun untuk mengelak dari perintah Yesus yang penuh kuasa agar mereka keluar dari tubuh orang Saduki tersebut (Ay. 26).

Hal itu menjadi bukti bahwa otoritas yang dimiliki oleh Yesus terlihat bukan hanya melalui perkataan-Nya saja, tetapi juga melalui tindakan yang ditunjukkan-Nya secara nyata, yaitu ketika Yesus mengusir roh jahat dari diri orang yang dirasuki di Bait Allah (Ay. 23-27). Roh jahat itu memberi kesaksian tentang kemanusiaan Yesus dengan menyebut “Yesus orang Nazaret” dan tentang keilahian-Nya dengan menyebut “Yang kudus dari Allah”. Ini memperlihatkan bahwa roh jahat itu memahami kemanusiaan dan keilahian Yesus. Roh jahat itu juga memahami sumber otoritas yang Yesus miliki. Terusirnya roh jahat dari diri orang yang dirasukinya memperlihatkan bahwa otoritas Yesus benar-benar mampu mengalahkan otoritas roh jahat, nyata bahwa Yesus lebih berkuasa daripada roh jahat. Roh jahat harus bertekuk lutut di hadapan Yesus, sehingga orang yang kerasukan roh jahat itu dipulihkan dan hidup normal dalam kodratnya sebagai manusia.

Benang Merah Tiga Bacaan:
Ketiga bacaan di atas berbicara masalah pembaharuan. Ketika seseorang berbicara mengenai pembaharuan, maka pandangan umum yang muncul adalah yang lama sudah rusak dan perlu digantikan. Namun melalui penafsiran pada ketiga bacaan di atas, kita dapat melihat bahwa semangat  pembaharuan itu tidak bisa serta merta didasarkan pada perspektif menggantikan dengan yang lebih baik. Segala sesuatu yang diupayakan terlebih dahulu adalah baik adanya. Hanya saja karena seiring dengan perkembangan kesadaran, keterbukaan pikiran, dan berubah konteks kehidupan, maka hal tersebut tidak lagi relevan untuk diberlakukan pada situasi dan kondisi yang berbeda. Pembaharuan bukanlah upaya untuk menggantikan, melainkan meneruskan apa yang sudah ada dengan penyesuaian-penyesuaian terhadap situasi dan kondisi terkini.

Pada bacaan pertama, seorang Nabi yang dijanjikan sebagai penerus Nabi Musa, baik kita mengarahkan tafsiran pada sosok Yesus ataupun sosok nabi-nabi Perjanjian Lama, tentu kita tidak sedang berbicara bahwa nabi Musa adalah sosok nabi yang buruk bukan? Demikian pula dengan surat Rasul Paulus yang pertama kepada jemaat di Korintus mengenai “pemakan daging yang dipersembahkan kepada berhala-berhala”, Rasul Paulus tidak sedang berbicara bahwa para pemakan daging persembahan berhala itu, posisinya jauh lebih buruk katimbang mereka yang tidak memakannya. Paulus hanya menekankan agar jangan sampai mereka yang berpengetahuan lebih (secara teologis) menjadi batu sandungan bagi mereka yang baru bertobat. Cerita Markus mengenai ketakjuban para pendengar Yesus ketika mengajar, juga tidak serta merta dimaknai sebuah upaya memperbandingkan manakah di antara ajaran Yesus dan ajaran ahli Taurat yang lebih baik, melainkan berbicara tentang siapakah di antara keduanya yang lebih memiliki otoritas melakukan sesuatu yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang dihadapi oleh mereka.

 

Rancangan Khotbah: Bahasa Indonesia
(Ini hanyalah sebuah rancangan khotbah, silakan dikembangkan sesuai dengan konteks jemaat masing-masing) 

Pendahuluan
Barangkali masih tersimpan dalam memori ingatan kita tentang suasana perpolitikan di negara Indonesia menjelang dilakukannya proses pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 silam, dimana bertebaran slogan-slogan di media sosial maupun dalam bentuk stiker-stiker yang ditempelkan di berbagai tempat. Slogan tersebut kurang lebihnya memuat tulisan: “Piye kabare, isih penak jamanku to?” dan disampingnya terdapat gambar salah seorang mantan Presiden Republik Indonesia.

Kita tidak tahu pasti apa sebenarnya yang  menjadi dasar motivasi atau bahasa politik yang ingin dinyatakan melalui slogan tersebut karena tidak ada satupun pernyataan diberikan oleh tokoh politik tertentu di negara kita. Jelasnya, bertebarannya slogan-slogan tersebut berhasil menarik perhatian dari kalangan masyarakat, di mana kemudian ada banyak warga masyarakat yang membandingkan kenyataan hidup masa sekarang dan kenyataan hidup yang pernah dilalui di masa lalu (pada saat kepemimpinan sang mantan presiden). Slogan tersebut nyatanya mampu mempersuasi beberapa kalangan untuk kembali menghidupkan nostalgia masa lalu dengan berbagai macam dinamikanya.

Keberadaan slogan yang dimungkinkan digelorakan oleh salah satu kontestan dalam pemilu tersebut tentu berbeda dengan semangat yang dibawa oleh kebanyakan kontestan yang lain. Pada umumnya, para kontestan pemilu akan menggelorakan semangat pembaharuan dan perubahan. Dengan semangat tersebut, mereka menawarkan perbaikan atas keadaan di masa lalu yang penuh dengan kekurangan menurut penilaian mereka. Kekurangan dari situasi dan kondisi yang sebelumnya itulah yang terus menerus disampaikan seiring dengan konsep-konsep perubahan, perbaikan, dan pembaharuan yang mereka tawarkan.

Lalu pertanyaannya, manakah di antara kedua cara kampanye itu yang lebih baik? Apakah semangat untuk membawa nostalgia masa lalu ke masa sekarang itu adalah lebih baik? Ataukah semangat untuk membawa perubahan, perbaikan, dan pembaharuan yang lebih baik? Maka jawabannya, bisa jadi tidak ada yang jauh lebih baik di antara keduanya. Karena masing-masing perspektif haruslah didasarkan pada hikmat dan kebijaksanaan yang benar serta pemahaman yang utuh pada konteks masing-masing kehidupan.

Isi
Setiap kita tentu menyadari bahwa setiap situasi dan kondisi tertentu yang kita alami saat ini adalah sebagai akibat dari peristiwa-peristiwa yang telah terjadi sebelumnya. Sederhananya, segala sesuatu yang dianggap baik pada situasi dan kondisi saat ini, itu disebabkan oleh peristiwa-peristiwa di masa lalu dengan segala dinamikanya. Demikian pula dengan sesuatu yang dianggap baik pada masa lalu, pastilah dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya. Maka jika seseorang atau sekelompok orang secara egois menyatakan bahwa dirinya sedang dalam situasi dan kondisi kehidupan yang jauh lebih baik dengan mengesampingkan kenyataan peristiwa di masa lalu, maka hal tersebut bisa dinilai sebagai suatu cara pandang yang tidak bijaksana. Demikian pula, apabila terdapat seseorang atau sekelompok orang yang menggaungkan semangat perubahan, perbaikan, dan pembaharuan hanya berpijak pada perspektif keburukan situasi dan kondisi pada saat ini, itu pun suatu sikap yang tidak bijaksana.

Melalui sudut pandang yang lain, kita dapat menemukan bahwa dalam bacaan Injil Markus 1:21-28, penulis sedang mengajak kita untuk melihat otoritas yang dimiliki Tuhan Yesus dibandingkan dengan otoritas yang dimiliki para ahli Taurat maupun para pengajar sebelum-sebelumnya. Tuhan Yesus mengajar dengan otoritas-Nya sendiri, dan firman yang disampaikan-Nya memiliki kuasa untuk mengubah hati dan kehidupan orang-orang lain. Orang-orang itu semakin takjub pada saat menyaksikan bahwa roh jahatpun taat pada perkataan-Nya. Pada waktu di dalam rumah ibadat tersebut ada seorang yang kerasukan roh jahat. Atas kendali roh jahat yang ada di dalamnya, orang itu berteriak-teriak. Maka dalam hal ini, kita pun dapat melihat bahwa roh jahat itu mengetahui identitas Yesus yang sebenarnya, yang membuat mereka begitu ketakutan. Sewaktu Yesus menghardiknya, maka roh jahat itu keluar dari tubuh orang tersebut.

Meskipun beberapa di antara kita mungkin memiliki pemaknaan yang berbeda atas apa yang dilakukan Yesus berdasarkan cerita Markus, tetapi pada dasarnya peristiwa pengusiran roh jahat itu bukanlah peristiwa demonstrasi dalam rangka membandingkan siapa yang terbaik di antara Tuhan Yesus ataukah ahli Taurat. Apa yang dilakukan Yesus sebenarnya adalah upaya untuk meyakinkan orang-orang tentang otoritas yang dimiliki-Nya. Nyatanya Tuhan Yesus memiliki otoritas yang lebih dibandingkan dengan otoritas yang dimiliki oleh para ahli Taurat yang berbatas pada posisi dan kedudukan mereka dalam agama Yahudi.

Sejajar dengan pemaknaan tersebut, teks dalam bacaan pertama (Ul. 18:15-20), juga dalam rangka menunjukkan kepada kita bahwa seorang nabi yang dijanjikan oleh Allah di tengah-tengah bangsa Israel adalah seorang nabi yang akan meneruskan perjuangan nabi Musa dalam menuntun bangsa Israel tetap berkenan di hadapan Tuhan Allah. Jadi kembali lagi bahwa semangat yang ingin disampaikan adalah semangat meneruskan bukan menggantikan. Apabila perspektifnya adalah “aku lebih baik” atau “aku lebih berpengetahuan” dibandingkan yang lain, maka Rasul Paulus pun menolak sikap itu. Pesan-pesan Rasul Paulus berkenaan dengan hal tersebut dapat kita temukan dalam bacaan yang kedua di mana dia mengkritik dengan tegas orang-orang yang merasa dirinya lebih berpengetahuan kemudian merasa bebas menafsirkan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan berdasarkan pengetahuannya sendiri.

Penutup
Ketika kita berbicara tentang upaya memulihkan keutuhan ciptaan, maka semangat yang mendasari adalah semangat melanjutkan, bukan menggantikan. Kita harus menyadari bahwa upaya pemulihan itu pastilah membutuhkan kerjasama antara generasi sebelum, generasi sekarang, dan generasi yang akan datang. Jika masing-masing generasi ini kemudian saling beradu pendapat tentang generasi manakah yang paling mampu mencapai titik terbaik dalam upaya memulihkan, maka sebenarnya kita tidak benar-benar berupaya memulihkan keutuhan ciptaan itu, melainkan sekedar membangun egoisme diri atau generasi.

Sebagai komunitas iman, persekutuan yang dipanggil oleh Tuhan Allah sendiri, marilah kita saling bahu membahu dalam upaya-upaya lokal dan global demi pulihnya keutuhan ciptaan Tuhan. Mari kita bekerjasama dengan organisasi-organisasi yang peduli terhadap alam, ikut berpartisipasi dalam kampanye-kampanye lingkungan, dan mendukung kebijakan-kebijakan yang berpihak pada alam dan masyarakat agar dunia ini menjadi tempat yang lebih baik, bagi kita dan generasi yang akan datang. Kiranya Tuhan memberkati kita sekalian. Amin. [YEP].

 

Pujian: KJ. 63 : 1, 2   Tuhan, Karya-Mu Sungguh Besar

 

Rancangan Khotbah: Basa Jawi
(Punika namung rancangan khotbah, saged dipun kembangaken miturut konteks pasamuwan piyambak)

Pambuka
Mbok menawi panjenengan sedaya taksih enget kaliyan swasana perpolitikan ingkang sampun kalampahan wonten ing bangsa lan negari kita nalika nindhakaken pemilihan umum kagem nemtoaken presiden lan wakil presiden ing taun 2014 kepengker. Nalika semanten kita saged manggihi kathah sanget seratan-seratan wonten ing media sosial utawi ing stiker-stiker ingkang dipun templekaken ing papan pundi-pundi. Seratan punika kirang langkungipun uninipun: “Piye kabare, isih penak jamanku to?” lan wonten ing sisih kiwa utawi tengenipun kapapanaken gambar salah satunggaling mantan presiden Republik Indonesia.

Kita mboten mangertosi punapa sejatosipun ingkang dados dhasaring krenteg utawi tujuan politikipun lumantar seratan-seratan kalawau, awit mboten wonten satunggal Panggedhe ingkang paring katrangan bab punika ing negari punika. Ingkang cetha, seratan-seratan kalawau kasunyatanipun saged dados kawigatosan tumrap warganing masyarakat, ing pundi kathah tiyang ingkang lajeng mbanding-mbandingaken kasunyatanipun gesang samangke lan kasunyatanipun gesang ing rikala rumiyin (nalika sang mantan presiden taksih mengku jabatanipun). Seratan kalawau saged dados pangaribawa tumrap tiyang kathah kangge ngemut-ngemut kasunyatan ingkang sampun kalampahan ing rikala rumiyin kalebet minggah mandhapipun lampahing jaman.

Kawontenan seratan ingkang menawi kemawon kaedalaken dening salah satunggaling kontestan pemilu punika, tamtunipun benten kaliyan dhasaring krenteg ingkang kabeta dening kathah-kathah kontestan lintunipun. Para kontestan pemilu limrahipun ngedalaken krenteg ngenggalaken lan nggentosi. Kanthi krenteg kados mekaten, piyambakipun paring pangajak ndandosi tumrap kawontenan ingkang kebak kekirangan ing rikala rumiyin miturut pemanggihipun. Kekirangan tumrap kawontenan punika ingkang kanthi terus-terusan dipun lairaken kalebet rancangan pangupadi ngenggalaken, ndandosi, lan nggentosi ingkang dados pangajakipun.

Lajeng ingkang dados pitakenan tumrap kita, cara kampanye ingkang pundi ingkang langkung sae ing antawis cara kalawau? Punapa cara kampanye ingkang dipun tindhakaken kanthi mangun nostalgia bab prastawa ingkang nate kalampahan? Utawi cara kampanye ingkang dipun tindhakaken kanthi adedhasar krenteg ngenggalaken, ndandosi, lan nggentosi? Tumrap pitakenan punika, wangsulanipun saged-saged mboten wonten ingkang langkung sae ing antawis kekalihipun. Awit sedaya penggalih kedah kadhasaran kalimpadan lan kawicaksanan ingkang estu sarta pengertosan ingkang wungkul tumrap sedaya kawontenanipun gesang.

Isi
Tamtunipun kita sedaya nggadahi kesadharan bilih kawontenan-kawontenan ingkang kalampahan ing pigesangan kita sapunika dipun sebabaken kaliyan prastawa-prastawa ingkang sampun kalampahan ing rikala rumiyin. Cekak-aosipun, sadengah ingkang kaanggep kawontenan ingkang sae samangke, mesthinipun inggih dipun sebabaken kaliyan prastawa ingkang sampun kalampahan, kalebet minggah mandhapipun kawontenan. Mekaten ugi bilih kita wicanten bab jaman rumiyin, jaman rumiyin punika inggih saged kalampahan, karena dipun sebabaken kaliyan prastawa-prastawa ingkang sampun kalampahan saderengipun. Pramila, namung tiyang ingkang egois ingkang mastani bilih kawontenan gesangipun langkung sae, ananging mboten peduli kaliyan prastawa-prastawa ingkang sampun kalampahan, saged kasebat sanes tiyang ingkang wicaksana. Mekaten ugi, bilih wonten tiyang ingkang ngersakaken mangun krenteg ngenggalaken, ndandosi, lan nggentosi nanging kadhasaran penggalih ingkang kebak kaliyan paningal ingkang awon tumrap kawontenan sakmangke, punika inggih sanes tumindhak ingkang wicaksana.

Kanthi penggalih ingkang benten, kita saged manggihi bilih waosan Injil Markus 1:21-28, ngajak kita sami ningali otoritas kagunganipun Gusti Yesus dipun bandingaken kaliyan otoritas para ahli Toret ugi para juru piwucal saderengipun. Gusti Yesus paring piwucal kanthi otoritas-ipun piyambak, lan Dhawuh ingkang dipun dhawuhaken nggadhahi panguwaos kangge ngenggalaken manah lan gesangipun tiyang sanes. Tiyang-tiyang kalawau sami nggumun nalika ningali dene roh piawon kemawon purun ngestokaken punapa ingkang dhawuhipun. Nalika semanten dipun cariosaken bilih wonten satunggal tiyang ing salebeting dalem pamujan ingkang dipun panjingi dening roh piawon. Karana dipun kendhaleni dening roh piawon, tiyang kalawau wicanten kanthi mboten sadar. Lajeng kita saged ningali bilih roh piawon kalawau mangertosi sinten sejatosipun Gusti Yesus ingkang damel piyambakipun ajrih. Nalika Gusti Yesus nundhung, roh piawon purun medal saking tiyang kalawau.

Mbok menawi ing antawis kita nggadhahi pemanggih ingkang benten tumrap punapa ingkang dipun tindhakaken dening Gusti Yesus lumantar cariyosipun Markus, ananging kita kedah purun ngakeni bilih prastawa panundunging roh piawon kalawau sanes kadhasaran tujuan pamer lan mbandingaken sinten ing antawis Gusti Yesus lan ahli Toret ingkang langkung sae. Punapa ingkang dipun tindakaken dening Gusti Yesus sejatosipun kangge paring keyakinan tumrap tiyang-tiyang gegayutan kaliyan otoritas-Ipun. Kasunyatipun Gusti Yesus saestu kagungan otoritas ingkang langkung katimbang otoritas-Ipun para ahli Toret ingkang kawicalan dening tanggel jawab piyambakipun ing salebeting agama Yahudi.

Sami kaliyan bab punika, wonten ing waosan ingkang sepindah (PT. 18:15-20) ugi nggadahi tujuan kangge mratelakaken dhumateng kita bilih salah satunggaling nabi ingkang dipun prasetyakaken dening Gusti Allah ing satengah-tengahing bangsa Israel punika nabi ingkang badhe nglajengaken perjuanganipun nabi Musa ingkang paring panuntun tumrap bangsa Israel supados tansah katrimah ing ngarsanipun Gusti Allah. Pramila wangsul malih bilih krenteg ingkang dipun welingaken inggih punika krenteg nglajengaken sanes nggentosi. Bilih dhasar penggalihipun “aku luwih apik” utawi “aku luwih ngerti” katimbang sanes-sanesipun, Rasul Paulus mboten ngersakaken penggalih kados mekaten. Pangandikanipun Rasul Paulus gegayutan kaliyan bab punika saged kita panggihi wonten ing waosan kaping kalih, ing pundi piyambakipun mboten sarujuk tumrap tiyang-tiyang ingkang rumaos piyambakipun langkung nggadhahi pangertosan lajeng piyambakipun kanthi senengipun medharaken punapa ingkang saged dipun tindhakaken lan punapa ingkang mboten saged dipun tindhakaken.

Panutup
Nalika kita wicanten bab merjuang kangge mulihaken kawontenan titahipun Gusti, krenteg ingkang kedah dados dhasar inggih punika krenteg nglajengaken, sanes nggentosi. Kita kedah sadar bilih perjuangan kangge pemulihan punika mesthi mbetahaken sangkul-sinangkul kaliyan generasi sakderengipun, generasi sakmangke, lan generasi tembe. Bilih generasi-generasi kalawau sami otot-ototan bab sinten ingkang paling saged nindhakaken prekawis ingkang sae ing salebeting merjuang kangge mulihaken kawotenan, sejatosipun kita sedaya dereng estu-estu ngupadi kangge merjuang bab punika, kajawi kita namung mangun egosime dhiri utawi generasi kita piyambak.

Minangka pakempalanipun tiyang pracaya, pasamuwan dipun timbali dening Gusti Allah pribadi, sumangga kita sangkul-sinangkul kagem pulihing titahipun Gusti punika. Sumangga kita purun nyambut damel sesarengan kaliyan organisasi-organisasi ingkang peduli dhateng tumitah punika, purun tumut ing babagan kampanye-kampanye lingkungan, lan ugi purun nyengkuyung wonten ing kebijakan-kebijakan ingkang condong kaliyan kawontenanipun tumitah lan masyarakat, supados donya punika saged dados papan ingkang langkung sae kangge kita lan generasi tembe. Mugi Gusti tansah paring berkah tumrap kita sedaya. Amin. [YEP].

 

Pamuji: KPJ. 340 : 1, 2, 6  Ing Paprentahaning Allah

Renungan Harian

Renungan Harian Anak