Minggu Pra Paskah 2
Stola Ungu
Bacaan 1: Kejadian 17 : 1 – 7, 15 – 16
Mazmur: Mazmur 22 : 23 – 32
Bacaan 2: Roma 4 : 13 – 25
Bacaan 3: Markus 8 : 31 – 38
Tema Liturgis: Ketaatan kepada Allah Membuahkan Perdamaian dan Keadilan Sosial
Tema Khotbah: Tahapan – tahapan Mengenal Mesias
Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
Kejadian 17 : 1 – 7, 15 – 16
Narasi ini berbicara tentang peneguhan ulang janji Allah kepada Abram. Bisa dikatakan bahwa ini perulangan janji Allah yang diucapkan pada Abram sebelumnya yang tertulis dalam Kejadian 12:1-3. Mengapa Allah mengulangi lagi janjinya? Tampaknya karena Abram sendiri saat itu ada dalam kebimbangan dan keraguan. Apakah benar janji Allah itu akan terwujud dalam hidupnya. Dia sudah lama menunggu janji itu akan terwujud tetapi dia tidak kunjung mendapatkan jawaban. Kebimbangan Abram begitu terasa kuat dalam narasi sebelumnya (Kej. 16:1-6) ketika dia mengikuti saran Sarai istrinya untuk menghampiri hamba istrinya, yaitu Hagar. Abram menurutinya dan lahirlah Ismail. Kebimbangan dan keraguan Abram atas janji Allah semakin terasa ketika dia menertawakan peneguhan janji itu (Kej. 17:7). Dia tertawa karena di situ dia menjumpai kemustahilan. Dalam pikirannya: “Bagaimana mungkin dia dan istrinya yang sudah tua akan mendapatkan anak laki-laki?”
Allah sang pemberi janji tidak ingin Abram tenggelam dalam kebimbangannya. Oleh karena itu, Allah kembali meneguhkan janji-Nya kepada Abram supaya Abram percaya. Allah tidak akan pernah lupa akan janji-Nya. Allah tak mungkin tidak menepati janji-Nya. Namun demikian kita bisa merasakan pergolakan emosi dan pergolakan batin yang ada dalam diri Abram. Tidak mudah baginya untuk hidup dalam situasi ini. Barangkali dia kecewa kepada Allah dan kecewa atas keberadaan dirinya yang “malang.” Namun janji yang telah didengarnya kembali dari Allah itulah yang terus mendorongnya untuk sungguh-sungguh menghayati akan kepercaayaan pada panggilan Allah. Dia telah memulai untuk percaya, itulah yang harus dibuktikannya dalam hidupnya dan dipertanggung-jawabkannya kepada Allah. Sehingga kepercayaannya itu sungguh dihayatinya dalam hidup, bukan sekedar percaya pada Allah dari bibirnya, tetapi percaya yang terwujud dalam sejarah panjang hidupnya.
Roma 4 : 13 – 25
Paulus melalui tulisannya ini sebenarnya mengasumsikan bahwa para pendengarnya telah mendengar kisah tentang Abraham sebagaimana tertulis dalam Kejadian 17:1-7, 15-25. Di sana Tuhan menampakkan diri kepada Abraham dan meneguhkan kembali janji yang pernah diucapkannya. Paulus berusaha untuk “menghidupkan kembali” tokoh Abraham dalam narasinya sebagai figur ideal orang percaya atau beriman. Figur yang menghidupi hidupnya atas janji yang didengarnya. Figur yang hidup di dalam dan karena percaya kepada Allah.
Bagi Paulus, tokoh Abraham ini menjadi penting, bukan hanya karena dia adalah figur ideal orang percaya, tetapi juga karena dia adalah bapa dari banyak bangsa; yang bersunat maupun tidak bersunat. Jika Abraham telah mempercayakan hidupnya pada Allah yang menghidupkan orang mati dan menjadikan apa yang tidak ada menjadi ada, maka rasul Paulus juga menghendaki supaya, pewaris iman Abraham untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Abraham. Percaya sepenuhnya kepada Allah Abraham. Karena Allah yang sama inilah yang juga dikatakan Rasul Paulus sebagai Allah yang telah membangkitkan Kristus dari antara orang mati (Roma 4:24).
Markus 8 : 31 – 38
Yesus memberikan pengajaran pada para murid tentang identitas diri-Nya sebagai Mesias. Tidak seperti biasanya yang mengajar dengan perumpamaan-perumpamaan, kali ini Yesus mengajarkan dengan terus terang. Tampaknya Yesus tidak ingin apa yang menjadi pengajaran-Nya itu disalah- pahami oleh murid-murid-Nya. Namun demikian di situ kita tetap menemukan kesalahpahaman para murid. Mengapa hal itu terjadi? Karena para murid telah menghidupi dirinya dengan pemahaman yang hidup di tengah-tengah kehidupan orang Yahudi secara turun temurun, bahwa Mesias itu adalah seorang yang akan membebaskan bangsa Yahudi dari kesesakan dan penderitaan dengan kekuatan dan kekuasaan yang ada pada dirinya. Mereka melihat semua itu ada dalam diri Yesus.
Dan ketika Yesus mengajarkan tentang Mesias yang berbeda dengan pemahamnan mereka, yaitu Mesias yang menderita, mereka terkejut. Mereka tidak bisa menerima konsep Mesias yang ditawarkan Yesus. Karenanya mereka menolak konsep itu sebagaimana diwakili oleh Petrus yang menarik dan menegor Yesus. Apa yang dilakukan Petrus sebenarnya adalah ironi. Karena dalam narasi sebelumnya diceritakan Petrus mewakili murid yang lain mengatakan: Yesus itu Mesias. Tapi sesungguhnya mereka tidak begitu memahami pengakuan mereka tentang Mesias itu sendiri. Oleh karenanya dengan segera setelah pengakuan ini, diikuti oleh sebuah hardikan Yesus: “Enyahlah Iblis sebab engkau hanya memikirkan apa yang dipikirkan manusia , bukan apa yang dipikirkan Allah.”
Dengan hardikan-Nya itu, sebenarnya Tuhan Yesus ingin supaya para murid berani melihat pengakuan mereka dan mengoreksi pemahaman mereka yang keliru tentang Mesias. Bukan Mesias dalam pengertian politik, tetapi Mesias yang menderita demi keselamatan atas dunia ini. Singkat kata, Yesus ingin para murid menyejajarkan pengakuan mereka dengan penghayatan mereka tentang Mesias. Bukan hanya di bibir tetapi juga dalam hati dan jiwanya.
Benang Merah Tiga Bacaan:
Orang percaya adalah orang yang mengungkapkan pengakuannya akan siapa Allah dan siap menghidupi pengakuan itu sepanjang hidupnya. Bukan hanya mengaku di bibir, tetapi juga berusaha berjuang untuk hidup berdasarkan pengakuannya itu meski hal itu tidak selalu mudah. Abraham dan murid-murid Yesus mengalami semuanya itu.
Rancangan Khotbah: Bahasa Indonesia
(Ini hanyalah sebuah rancangan khotbah, silakan dikembangkan sesuai dengan konteks jemaat masing-masing)
Pendahuluan
Pernahkah kita saudara berjalan di tengah hutan yang gelap seorang diri? Bagaimanakah perasaan saudara? Bisa dipastikan kita akan merasa takut, bimbang dan gelisah. Kita takut karena kita tidak dapat melihat jalan atau keadaan di depan kita. Salah jalan berarti kita akan tersesat. Kita juga merasa bimbang karena tidak ada seorang pun yang menolong kita atau tidak ada alat penerang yang dapat kita gunakan. Demikian juga kita merasa gelisah karena bisa jadi kita menjadi mangsa binatang buas. Sungguh berjalan dalam kegelapan, sendirian adalah suatu hal yang tidak kita inginkan.
Di saat itu ada penduduk setempat yang datang menghampiri kita dengan membawa obor sebagai penerang. Kita merasa lega dan senang karena ada seseorang yang mendampingi dan menolong kita dari kegelapan hutan. Kita tidak takut tersesat atau takut di mangsa binatang buas, karena kita ada bersama dengan penduduk setempat yang tahu kemana jalan keluar dari hutan tersebut menuju ke pemukiman terdekat di sana.
Isi
Dalam bacaan Injil diceritakan bahwa Yesus menghardik Petrus: “Enyahlah Iblis sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah melainkan apa yang dipikirkan manusia.” Hardikan ini mengingatkan kita pada apa yang dilakukan Yesus saat ia dicobai oleh Iblis di padang gurun. Di situ Iblis juga dihardik-Nya: “Enyahlah Iblis!” Yesus menghardik Iblis, karena Iblis menawarkan jalan pintas yang enak dan nyaman. Manfaat yang segera dinikmati. Keberhasilan yang semu. Tawaran yang kalau itu dituruti pasti akan menggagalkan misi kedatangan-Nya.
Kali ini melalui Petrus, Iblis juga mengajukan tawaran yang sama: “Ayo jadilah Mesias seperti yang diimpikan dan diharapkan orang-orang Yahudi. Bukankan Engkau punya kekuasaan dan kekuatan untuk mewujudkan semuanya itu. Jadilah Mesias. Tunjukkan diri-Mu sebagai Mesias dengan segala kuasa yang ada pada diri-Mu.” Itulah kira-kira suara Iblis melalui tindakan simbolik Petrus yang menarik Yesus ke samping dan menegor-Nya (Mrk. 8:32). Sehingga tak mengherankan kalau pada akhirnya Yesus menghardik Petrus dengan hardikan yang sama, seperti saat Yesus dicobai Iblis: ”Enyahlah Iblis.”
Dalam cerita sebelumnya Petrus sebenarnya telah mengucapkan pengakuan tentang siapa Yesus: “Engkau adalah Mesias.” Namun dengan segera cerita yang baik ini diciderai oleh hardikan Yesus pada Petrus: “Enyahlah Iblis!” Mengapa bisa demikian? Tampaknya karena pengenalan Petrus akan siapa Yesus belum sampai pada pengenalan yang benar. Pengakuannya: “Engkau adalah Mesias”, itu sudah benar, tetapi hati dan pikirannya belum sampai pada pengakuan yang benar. Pengakuan bibirnya benar, tetapi penghayatan atas pengakuan tersebut masih jauh dari benar. Kita boleh mengatakan pengakuan iman Petrus itu masih dangkal. Di sini tampaknya Markus hendak mengajak kita untuk merenungkan tentang bahayanya kedangkalan sebuah pengakuan iman.
Orang Yahudi percaya bahwa kedatangan Mesias itu akan dibarengi dengan banyak tanda, termasuk penyembuhan orang buta (lih. Yes. 35:5-6). Itulah sebabnya pengakuan Petrus bahwa Yesus itu Mesias ditempatkan setelah peristiwa Yesus menyembuhkan orang buta di Betsaida (Mrk. 8:22-26). Dan kalau kita sejenak memperhatikan proses penyembuhan orang buta itu, kita akan mengetahui ada tahapan prosesnya: 1. Buta, 2. Dapat melihat tetapi samar-samar, 3. Akhirnya bisa melihat dengan jelas.
Tiga tahap penyembuhan orang buta ini oleh Markus hendak disejajarkan dengan tiga tahap pengenalan orang akan siapa Yesus itu. Tahap 1, orang-orang yang mengakui Yesus itu sama dengan Yohanes, Elia, atau salah seorang nabi (Mrk. 8:28). Tahap ini seperti orang yang masih buta. Orang yang belum mengenal siapa Yesus. Tahap ke 2, tahap pengenalan murid-murid Yesus yang diwakili oleh Petrus di mana di situ Yesus diakui sebagai Mesias. Ini pengakuan yang benar, tetapi pengenalan ini masih setara dengan orang buta yang telah bisa melihat tetapi masih samar-samar.
Tahap yang pertama barangkali tak perlu dipersoalkan, karena ibaratnya orang masih buta. Orang belum mengenal siapa Yesus. Yang perlu dipersoalkan adalah tahap kedua. Saat orang mengenal Yesus tetapi samar-samar. Tahap sepertinya melihat tetapi sebenarnya tidak jelas. Mengenal tetapi hanya dipermukaan. Tidak mengenal dengan sesungguhnya. Mengakui Yesus sebagai Mesias hanya di bibir, tetapi penghayatan akan pengakuan itu masih patut dipertanyakan. Tahap ini ada bahayanya, karena didalamnya bisa memunculkan kepalsuan. Mengaku Kristen, tetapi penghayatan kekristenannya tak tampak dalam hidup. Kelihatannya dari luar baik, tetapi di dalamnya jauh dari baik.
Tentu Yesus tak menghendaki para murid-Nya hanya sampai pada pemahaman yang seperti ini. Oleh karena itu, Dia menegur dengan keras dan mengajar dengan jelas tentang Mesias yang sebenarnya, yaitu Mesias yang menderita seperti diceritakan Markus 8:31-38 yang menjadi bacaan hari ini. Yesus berkata: ”Bahwa anak manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala, dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit pada hari ketiga. Hal ini dikatakanya dengan terus terang.” Dengan perkataan ini, Yesus ingin menyampaikan pada murid-murid-Nya dan juga kita bahwa kekristenan kita harus dibangun di atas dasar pengertian dan penghayatan yang benar tentang Yesus yang sengsara, mati, dan bangkit. Kekristenan yang mengatakan Yesus baik, kekristenan yang hanya mengakui Yesus akan membawa hidupmu senang, damai sejahtera, dan sukses, tanpa menghayati kesengsaran, kematian, dan kebangkitan Yesus itu tak bermakna apa-apa. Kekristenan seperti itu rapuh. Permukaannya barangkali menarik, tetapi isinya tidak baik.
Bahkan Yesus juga ingin pengakuan akan siapa Dirinya itu mempengaruhi para murid sampai kedalaman hati mereka. Pengakuan yang tidak hanya di bibir. Tidak hanya dipermukaan. Pengakuan itu harus menyentuh akar kepercayaan kita. Membentuk prinsip-prinsip dalam hidup kita, dan menata kembali urutan-urutan prioritas dalam hidup kita sebagai orang Kristen. Apakah iman Kristen kita sudah mempengaruhi kita sampai pada tingkatan itu? Atau hanya sebagai sebuah pengakuan di bibir: “Saya Kristen! Yesus itu Mesias.” Apakah iman kristen kita sudah menantang kita untuk menyangkal diri demi mengikut Yesus dan menjadi murid-Nya? Perhatikanlah ayat 34: “Lalu Yesus memanggil orang banyak dan murid-muridNya dan berkata kepada mereka: ”Setiap orang yang mau mengikut Aku harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku.”
Manusia selain mempunyai pikiran dan perasaan, manusia juga mempunyai kehendak. Dan unsur terdalamnya adalah pada kehendak. Iman Kristen yang benar harus merasuk sampai pada tahap kehendak ini. Meski tentu pikiran dan perasaan tetap penting, tetapi itu tidak cukup. Iman kristen itu harus menyentuh pada penggerak dari semua tindakan dalam hidup kita, yaitu kemauan. Lihatlah diri kita, kalau sudah punya kemauan, tidak mudah untuk dicegah bukan? Siapa yang bisa melawan orang yang punya kemauan kuat? Dalam hal apapun dalam hidup, kalau ada kemauan maka selalu terbuka jalan, tetapi kalau sudah tak ada kemauan maka tertutuplah seluruh jalan keluar. Jadi kemauan itu adalah penggerak dari semua tindakan kita. Jadi kalau iman Kristen belum menyentuh pada tahap kemauan, itu berarti belum merasuk ke dalam hidup. Iman itu hanya sampai pada tahap permukaan. Iman Kristen hanya di bibir saja.
Dan kalau kita melihat hal ini dari perspektif bacaan 1 dan 2 yang berbicara tentang hidup Abraham tampaknya cerita itu menjadi kebenaran teologis atas hidup orang percaya yang dimaui oleh Yesus. Abraham telah menjadi figur orang percaya yang sungguh percaya akan janji Allah dalam hidupnya. Bahkan dengan jatuh bangun berusaha untuk tidak sekedar percaya di bibir tetapi percaya dengan terus melakukan apa yang menjadi tugas dan panggilan yang diberikan oleh Allah. Dia pernah bimbang dengan janji Allah yang tak kunjung menghampirinya, tetapi senyatanya dia terus berjalan dalam janji itu. Itulah orang percaya. Itulah orang Kristen yang dimaui oleh Yesus.
Dalam tema liturgis kita, orang yang menghidupi iman atau percayanya sampai pada taraf kemauan ini bisa dikatakan sebagai orang yang berusaha untuk taat. Abraham adalah orang yang taat kepada Allah karena percaya atas janji-Nya. Yesus juga ingin murid-murid-Nya taat dengan tetap dan terus belajar memikul salibnya demi mengikut-Nya. Tidak mudah memang, tetapi tanpa ketaatan tak akan ada hasil yang bisa didapat. Tak akan ada buah yang dihasilkan. Tak akan ada tujuan yang akan bisa dicapai. Bahkan tak ada perdamaian dan keadilan sosial di atas bumi ini.
Penutup
Para murid dan kita orang percaya memang perlu belajar dari Yesus. Dia sungguh menghayati pengakuannya akan kehadiran-Nya di dunia untuk melakukan kehendak Bapa-Nya. Dan itulah yang terjadi dalam sejarah hidup-Nya. Pengakuan-Nya itu dihayati sampai pada taraf kemauan untuk melakukan kehendak Bapa. Tak ada yang bisa menghalangi-Nya. Pengkhianatan, kesesakan, penderitaan, bahkan kematian tak membuat-Nya mundur karena kemauan-Nya adalah melakukan kehendak Bapa yang mengutus-Nya. Ingatlah ketika di Taman Getsemani Yesus berdoa, “Ya Bapa, jika mungkin biarlah cawan ini berlalu dari padaku, tetapi bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang jadi.” Yesus menghayati pengakuan akan tugas perutusan-Nya sampai pada tahap kehendak.
Tuhan Yesus ingin murid-murid-Nya dan kita orang Kristen setara dengan orang buta yang sudah melihat dengan jelas. Yang sudah tidak samar-samar lagi. Itulah orang Kristen. Yang bukan hanya bisa mengaku di mulut saja melainkan juga berani menjalani kebenaran-Nya setiap hari. Yang punya kesetiaan yang keluar dari kehendak yang serius untuk menjadi orang Kristen. Yang mau menghidupi konsekwensi dari imannya itu. Yang mau memikul salibnya setiap hari. Singkat kata, Yesus mau supaya kita bukan hanya menjadi orang Kristen verbal melainkan orang Kristen yang benar-benar melakukan yang dipercayai-Nya. Amin. [LH].
Pujian: KJ. 251 Maju, Berjuanglah Terus
Rancangan Khotbah: Basa Jawi
(Punika namung rancangan khotbah, saged dipun kembangaken miturut konteks pasamuwan piyambak)
Pambuka
Punapa panjenengan nate mlampah ing satengahing alas piyambakan ing wanci dalu? Kados pundi raosing manah panjenengan? Tamtu kita rumaos ajrih, mangu-mangu lan mboten tenang. Kita rumaos ajrih karana kita mboten saged ningali margi utawi daerah ing sangajeng kita. Kita rumaos ajrih awit bilih kita salah milih margi punika kita badhe kesasar. Kita rumaos mangu-mangu karana mboten wonten tiyang lewat ingkang saged nulungi kita ugi kita mboten nggadhah alat penerang ingkang saged kita ginakaken. Mekaten ugi kita rumaos mboten tenang awit kita saged dados buruan kewan buas ing alas punika. Mila mlampah piyambakan ing satengahing alas ingkang peteng dhedet punika prekawis ingkang mboten kita pengini.
Ing kahanan ingkang mekaten punika, wonten penduduk lokal ingkang dugi lajeng ngampiri kita kaliyan beta obar kangge alat pepadhang. Tamtu kita rumaos lega lan bingah awit wonten tiyang ingkang ngampiri lan nulungi kita saking pepetenging alas punika. Kita mboten rumaos ajrih kesasar utawi ajrih dhateng kewan buas malih, awit kita sampun angsal pitulungan saking tiyang punika, ingkang mangertos margi kangge medal saking alas punika tumuju dhateng pemukiman desa ingkang celak.
Isi
Wonten Injil waosan kita dinten punika, kita nyumurupi bilih Gusti Yesus ndukani Petrus: ”Sumingkira, heh, Iblis sebab kowe ora mikir apa kang digalih dening Gusti Allah, nanging apa kang dipikir dening manungsa.” Punapa ingkang kita sumurupi punika ngengetaken kita nalika Gusti Yesus ngadepi pacobaning Iblis wonten ing ara-ara samun lan ing ngriku Gusti Yesus ugi ngandika dhateng Iblis: “Wis, lungaa setan!” Iblis dipun tundhung dening Gusti Yesus awit ngiming-imingi margi ingkang gampil nanging mboten leres. Lan menawi margi ingkang gampil kalawau dipun turuti mesti badhe murugaken tujuan rawuhiPun ing jagad badhe mboten kasil.
Saklajengipun, lumantar Petrus Iblis ugi ngiming-imingi Gusti Yesus prekawis ingkang sami: ”Mangga Gusti Paduka dadosa Mesias kados ingkang dipun idam-idamaken bangsa Israel. Paduka punika gadhah panguwaos lan kakiyatan dados Mesias.” Punika kinten-kinten suwatenipun Iblis lumantar tumindakipun Petrus ingkang nggeret Gusti Yesus lan paring pepenget (Mrk. 8:32). Mila mboten nggumunaken pungkasanipun Gusti Yesus lajeng ndukani Petrus kanthi seru: “Sumingkira, heh Iblis!”
Wonten ing carios sakderipun Petrus estunipun sampun nglairaken pangaken sinten sejatosipun Gusti Yesus: ”Paduka punika Sang Kristus!” nanging pangaken ingkang sae punika kados mboten wonten paedahipun awit ing salajengipun Petrus dipun dukani Gusti Yesus: “Sumingkira, heh Iblis!” Kenging punapa Gusti Yesus duka? Awit punapa ingkang dados pangakening Petrus bilih Gusti Yesus punika Sang Kristus mboten cunduk kaliyan punapa ingkang wontening manahipun. Pangaken saking tutukipun Petrus sampun leres, nanging manahipun dereng ngantos dumugi wonten ing pangakenipun. Pangaken ingkang taksih cetek sanget. Pangaken ingkang winates ing tutuk, nanging dereng rumesep wontening manah lan batosipun. Lan kasunyatan ingkang kados punika mboten sae kangge gesanging tiyang pitados.
Tiyang-tiyang Yahudi pitados bilih rawuhipun Sang Kristus punika badhe dipun sarengi kaliyan macem-macem tandha kalebet nyarasaken tiyang ingkang wuta (Yes. 35:5-6). Mila miturut Markus, pangakening Petrus bilih Gusti Yesus punika Sang Kristus dipun papanaken saksampunipun Gusti Yesus nyarasaken tiyang wuta ing Betsaida (Mrk. 8:22-26). Lan menawi kita gatosaken cariyos punika kanthi setiti, ing ngriku kita nyumurupi bilih prekawis punika kelampahan kanthi urutan: 1. Wuta, 2. Saged ningali nanging burem (mboten cetha), 3. Saged ndeleng kanthi cetha.
Urutan-urutan anggenipun Gusti Yesus nyarasaken tiyang wuta punika, salajengipun dipun dadosaken urutaning tiyang nyumurupi sinten sejatosipun Gusti Yesus. Urutan sepisan inggih punika tiyang-tiyang ingkang mastani bilih Gusti Yesus punika Yokanan Pambabtis, nabi Elia utawi salah satunggaling nabi. Tiyang-tiyang ingkang dereng sumurup sinten sejatosipun Gusti Yesus. Urutan kalih, inggih punika tetiyang ingkang sampun sumurup sinten sejatosipun Gusti Yesus nanging dereng estu-estu sumurup. Tetiyang punika dipun wakili dening para sakabatipun Gusti. Sumurup nanging taksih burem, mboten cetha.
Urutan sepisan kadosipun mboten perlu dados persoalan, awit pancen taksih wuta. Tetiyang pancen dereng sumurup sinten sejatosipun Gusti Yesus. Ingkang dados persoalan punika urutan kalih. Tetiyang ingkang sampun sumurup nanging dereng estu sumurup. Saged ndeleng nanging mboten cetha. Tetiyang ingkang kados mekaten wonten bahayanipun awit saged dumawah wontening “kepalsuan”. Ngakeni dados tiyang Kristen, nanging sedaya pangucap lan tumindakipun mboten nedahakan gesanging Sang Kristus. Saking njawi ketingal sae, nanging lebetipun mboten sae.
Temtu Gusti Yesus mboten kepingin para sakabatipun namung ngantos wonten kawontenan ingkang mekaten. Mila Gusti Yesus ndukani lan paring piwucal dhateng para sakabatipun bab sinten sejatosipun Sang Kristus. Gusti Yesus ngandika: “Yen Putraning Manungsa iku kudu nglampahi sangsara akeh, sarta ditampik dening para pinituwa lan para pangareping imam tuwin para ahli toret, banjur disedani lan sawise telung dina wungu maneh. Bab punika dipun pangandikakaken kanthi ngeblak.” Lumantar ingkang kawedhar punika Gusti Yesus kepingin para sakabat nyumurupi bilih kapitadosan Kristen punika dipun bangun lan kalandesaken kasunyatan bilih Gusti Yesus nandang sangsara, seda, lan wungu. Kapitadosan Kristen ingkang namung dipun landesaken kaliyan pangaken bilih Gusti Yesus badhe ndadosaken gesang ayem lan binerkahan nanging ngiwakaken kawontenan sangsaraning Gusti Yesus, mboten trep kalian punapa ingkang dados pangandikanipun Gusti punika. Malah Gusti Yesus ugi kepingin supados pangaken bilih Gusti Yesus Sang Kristus punika ngoyot ing gesang para sakabat lan nemtoaken prinsip gesang ingkang leres minangka tiyang Kristen. Mboten namung pangaken ing tutuk: “Kula tiyang Kristen. Kula pitados Gusti Yesus punika Sang Kristus.” Satemah kanthi mekaten tiyang pitados badhe sagah nyingkur awake dewe lan tut wingking Gusti Yesus.
Meniwi kita tingali prekawis punika saking kaca tingal waosan 1 lan 2 ingkang nyariosaken gesanging rama Abraham, kadosipun punika dados prekawis ingkang estunipun dipun kersakaken dening Gusti Yesus. Abraham dados pribadi ingkah pitados dhumateng sedaya prajanjining Allah ing sadengah lampah gesangipun. Mboten namung ngaken pitados ing tata lair nanging ugi ing manah lan batosipun. Abraham pancen nate mangu-mangu lan kuatos, nanging sanyatanipun Abraham tetap mantep jumangkah nglampahi gesang manut punapa ingkang dados prajanjining Allah.
Pribadi ingkang ngegesang gesangipun ngantos kados Abraham punika saged kawastanan pribadi ingkang setya lan taat. Gusti Yesus tansah kepingin supados para sakabatipun setya kalian sedaya pangaken ingkang dipun lairaken lan tansah sumadya mikul salib sarta tut wingking Gusti. Pancen mboten gampil. Nanging tanpa kasetyan mboten wonten gesang ingkang badhe metokaken woh, mboten badhe wonten punapa ingkang kasebat karukunan lan kaadilan.
Panutup
Para sakabatipun Gusti Yesus lan kita sedaya kedah sinau saking punapa ingkang sampun kelampahan ing gesanging Gusti Yesus. Gusti Yesus sampun nedahaken bilih gesang-Ipun namung kangge mujudaken punapa ingkang dados kersaning Ramanipun. Mboten wonten satunggal prekawis ingkang saged ngalang-alangi termasuk ugi kasangsaran, salib, malah pepejah. Sedaya kalawau mboten saged ngendek Gusti Yesus ingkang kersa mujudaken punapa ingkang dados kersanipun Sang Rama.
Gusti Yesus kepingin para sakabatipun lan kita para pitados kados tiyang wuta ingkang estu sampun kasarasaken. Saged ndeleng kanthi cetha. Lah punika tiyang Kristen. Ingkang mboten namung ngakeni bilih Gusti Yesus punika Sang Kristus ing tata lair, nanging ingkang ugi mujudaken pangaken punika ing gesangipun padintenan. Ingkang setya estu mujudaken dados pandhereking Gusti ingkang tumemen. Ringkesipun, Gusti Yesus paring pangatag supados kita mboten namung dados tiyang Kristen verbal, nanging dadosa tiyang Kristen ingkang nglampahi gesang kados pangaken kita. Amin. [LH].
Pamuji: KPJ. 390 Gunakna Wektumu Paringe Gusti