Minggu Biasa | Pembangunan GKJW
Stola Hijau
Bacaan 1: Yesaya 58 : 9b – 14
Mazmur: Mazmur 103 : 1 – 8
Bacaan 2: Ibrani 12 : 18 – 19
Bacaan 3: Lukas 13 : 10 – 17
Tema Liturgis: Membangun Budaya Kritis Apresiatif
Tema Khotbah: Konstruktif, Jangan Destruktif!
Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
Yesaya 58 : 9b – 14
Dalam teks ini, Allah berbicara melalui Nabi Yesaya, menyerukan umat-Nya untuk hidup benar dan menjauhi penindasan, tuduhan, dan perkataan jahat. Allah menjanjikan pemulihan, terang, dan berkat bagi mereka yang bersedia membuka diri untuk membantu orang lain dan memelihara keadilan. Pesan ini menunjukkan pentingnya komitmen untuk membangun kehidupan yang membawa dampak positif bagi sesama dan lingkungan.
Ibrani 12 : 18 – 19
Penulis surat Ibrani membandingkan pengalaman bangsa Israel di gunung Sinai dengan pengalaman orang percaya yang telah menerima anugerah di gunung Sion. Gunung Sinai melambangkan ketakutan dan hukuman, sedangkan gunung Sion melambangkan kasih karunia dan persekutuan dengan Allah. Pesan ini mengajak umat untuk memahami bahwa kehidupan beriman bukan lagi berdasarkan ketakutan, tetapi pada hubungan yang penuh kasih dan hormat kepada Allah.
Lukas 13 : 10 – 17
Kisah ini menceritakan Yesus yang menyembuhkan seorang perempuan yang telah menderita selama 18 tahun pada hari Sabat. Tindakan Yesus menimbulkan kritik dari pemimpin rumah ibadat, namun Yesus menegaskan bahwa kasih dan pembebasan jauh lebih penting daripada aturan formalitas agama. Peristiwa ini mengajarkan pentingnya menyelaraskan iman dengan kasih dan keadilan.
Benang Merah Tiga Bacaan
Ketiga bacaan ini berbicara tentang transformasi: dari kegelapan menuju terang, dari ketakutan menuju kasih karunia, dan dari beban menuju pembebasan. Semua ini menunjukkan panggilan Allah untuk hidup dalam kasih yang nyata, yang membangun sesama, menghormati Tuhan, dan mengkritisi sistem yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kerajaan Allah. Dalam konteks gereja, pesan ini relevan untuk membangun budaya kritis yang apresiatif, budaya yang tidak hanya berani mengoreksi, tetapi juga membangun. Ketiga bagian Firman Tuhan ini mengajarkan kita bahwa kritik yang tidak disertai dengan kasih akan membawa kehancuran, ketakutan, dan kekakuan. Namun, ketika kritik dipadukan dengan apresiasi dan belas kasihan, maka akan ada pemulihan, pertumbuhan, dan keadilan yang sejati.
Rancangan Khotbah: Bahasa Indonesia
(Ini hanyalah sebuah rancangan khotbah, silakan dikembangkan sesuai dengan konteks jemaat masing-masing)
Pendahuluan
Bulan ini kita masih di dalam rangkaian perayaan bulan Pembangunan GKJW. Sepanjang bulan ini kita diajak untuk menyadari bahwa pembangunan gereja tidak hanya berbicara tentang fisik bangunan, tetapi juga tentang karakter jemaat. Gereja yang kuat adalah gereja yang memiliki anggota jemaat yang mampu berpikir kritis, namun tetap bersifat membangun. Pernahkah kita melihat dua orang berdiskusi, tetapi akhirnya tidak menemukan solusi karena masing-masing hanya saling mengkritik tanpa apresiasi? Atau mungkin kita sendiri pernah mengalami situasi di mana kritik terasa seperti serangan, bukan sebagai dorongan untuk bertumbuh?
Ada sebuah ilustrasi tentang seorang pelatih sepak bola yang ingin membangun tim yang hebat. Jika ia hanya mengkritik pemainnya tanpa memberi apresiasi atas usaha mereka, semangat tim akan hancur. Sebaliknya, jika ia hanya memberi pujian tanpa evaluasi, tim tidak akan berkembang. Pelatih yang bijak tahu bagaimana menyeimbangkan antara kritik yang membangun dengan apresiasi yang tulus. Begitu juga dalam kehidupan berjemaat dan bermasyarakat. Tuhan memanggil kita untuk memiliki budaya kritis apresiatif, yaitu sikap yang mampu menilai dengan bijaksana tetapi juga menghargai kebaikan yang ada. Bagaimana Alkitab mengajarkan hal ini? Mari kita merenungkan ketiga bagian Firman Tuhan hari ini. Kita diajak untuk melihat bagaimana Yesaya, surat Ibrani, dan Injil Lukas mengajarkan kita tentang pentingnya membangun budaya kritis yang apresiatif di dalam gereja.
Isi
Kritik yang Membebaskan (Yesaya 58:9b – 14)
Allah melalui Nabi Yesaya mengajarkan bahwa kritik terhadap ketidakadilan, penindasan, dan perkataan jahat adalah bagian dari panggilan hidup orang percaya. Tetapi kritik yang benar harus diikuti oleh tindakan yang membangun: memberi makan kepada yang lapar, memulihkan hubungan, dan menjaga integritas hidup.
Bagian ini merupakan teguran Tuhan kepada umat Israel yang berpuasa tetapi tidak menunjukkan kasih kepada sesama. Tuhan menuntut mereka untuk berhenti menindas, menghakimi dengan kejam, dan berbicara dengan jahat. Sebaliknya, Tuhan menghendaki mereka untuk berbuat kebaikan dengan berbagi kepada yang membutuhkan. Jika mereka melakukan ini, Tuhan akan memberkati mereka dengan terang yang bersinar, kekuatan yang diperbarui, dan pemulihan yang sejati.
Demikianlah dalam kehidupan bergereja, kita diajak untuk tidak hanya mencari-cari bahkan membesar-besarkan kelemahan, tetapi juga menjadi bagian dari solusi. Dari bacaan pertama ini kita belajar bahwa sikap kritis yang tidak disertai kasih hanya akan membawa kehancuran, tetapi jika diimbangi dengan apresiasi dan perbuatan baik, maka akan ada berkat dan pemulihan. Tuhan ingin kita menjadi umat yang mampu menilai secara objektif tetapi juga membangun dan membawa terang bagi orang lain.
Kasih Karunia yang Mengubah Perspektif (Ibrani 12:18 – 19)
Melalui surat Ibrani, kita diingatkan bahwa hubungan kita dengan Allah tidak lagi berdasarkan ketakutan, tetapi pada kasih karunia. Penulis surat Ibrani mengingatkan jemaat tentang perbedaan antara pengalaman di gunung Sinai dan pengalaman anugerah dalam Kristus. Di gunung Sinai, bangsa Israel mengalami ketakutan yang luar biasa karena kedahsyatan kehadiran Tuhan. Namun, melalui Kristus, kita tidak lagi datang dalam ketakutan, tetapi dalam kasih karunia dan hubungan yang akrab dengan Allah.
Budaya kritis yang membangun, lahir dari pemahaman bahwa kita adalah penerima anugerah. Oleh karena itu, kita diajak untuk tidak hanya mencari kesalahan, tetapi juga mencari cara untuk memperbaiki dengan kasih. Bacaan kedua mengajarkan kita untuk melihat segala sesuatu bukan dari perspektif ketakutan dan hukuman, tetapi dari perspektif anugerah dan pertumbuhan. Kritik yang membangun tidak seharusnya membuat seseorang merasa terintimidasi, tetapi justru menolong mereka melihat peluang untuk bertumbuh dalam kasih karunia Tuhan.
Kasih yang Melebihi Aturan (Lukas 13:10 – 17)
Tuhan Yesus menunjukkan keberanian untuk menantang sistem yang tidak memuliakan Allah. Ia mengutamakan kasih dan pembebasan di atas aturan. Dalam kisah ini, Yesus menyembuhkan seorang perempuan yang sakit selama 18 tahun pada hari Sabat. Namun, pemimpin rumah ibadah justru mengkritik tindakan Tuhan Yesus karena dianggap melanggar aturan Sabat. Tuhan Yesus menegur mereka karena mereka lebih peduli pada peraturan daripada belas kasihan kepada sesama.
Di sini kita melihat bagaimana kritik yang tidak disertai apresiasi bisa menjadi penghalang bagi pekerjaan Tuhan. Sebaliknya, ketika kita memiliki hati yang penuh kasih, kita bisa membedakan antara aturan yang kaku dan prinsip ilahi yang lebih tinggi, yaitu kasih dan pemulihan. Dalam gereja kita juga harus berhati-hati karena sering kali gereja terjebak pada kebiasaan atau tradisi yang tidak lagi relevan dengan misi Allah. Tuhan Yesus mengajarkan kita untuk bersikap kritis terhadap hal-hal tersebut, tetapi tetap dengan tujuan membangun iman dan kasih dalam komunitas.
Penutup
Mari kita mulai membangun budaya kritis apresiatif dalam kehidupan bergereja kita. Mari belajar untuk memberi kritik dengan tujuan membangun, bukan menjatuhkan. Dan jangan lupa untuk mengapresiasi kebaikan yang ada di sekitar kita. Seperti seorang pelatih yang bijak, kita dipanggil untuk menyeimbangkan evaluasi dengan dukungan, sehingga gereja dan masyarakat kita bisa bertumbuh dalam kasih dan kebenaran. Kiranya Tuhan menolong kita semua. Amin. [AAN].
Pujian: KJ. 257 Aku Gereja, Kau Pun Gereja
Rancangan Khotbah: Basa Jawi
(Punika namung rancangan khotbah, saged dipun kembangaken miturut konteks pasamuwan piyambak)
Pambuka
Ing wulan punika kita taksih wonten ing pahargyan wulan Pambangunan GKJW. Ing salebeting wulan punika kita dipun ajak mujudaken bilih pambangunaning pasamuwan mboten namung babagan bangunan fisik, nanging ugi babagan karakter umatipun. Greja ingkang kiyat inggih punika pasamuwan ingkang kagungan anggota pasamuwan ingkang kristis ing pamikiran, nanging ugi asipat mbangun. Punapa kita nate pirsa wonten tiyang kalih ingkang sami wawan rembag nanging pungkasanipun mboten manggihaken solusi amargi saben tiyang namung ngritik tanpa apresiasi? Utawi mbok menawi dhiri kita piyambak nate ngalami kawontenan ing pundi kritik punika kadya serangan, tinimbang dorongan kangge tuwuh?
Wonten ilustrasi bab pelatih sepak bola ingkang kepengin mbangun tim ingkang sae. Menawi sang pelatih namung ngritik pemainipun tanpa ngapresiasi punapa ingkang dados usaha para pemainipun, semangat tim bakal risak. Ing sisih sanesipun, menawi namung maringi pujian tanpa evaluasi, tim punika mboten bakal tuwuh. Pelatih ingkang wicaksana pirsa caranipun ngimbangi kritik ingkang mbangun kanthi apresiasi ingkang tulus. Semanten ugi ing gesang bebrayatan lan sosial. Gusti Allah nimbali kita nggadhahi budaya apresiasi kritis, inggih punika sikep ingkang saged nilai lumantar kritik kanthi wicaksana ananging ugi ngapresiasi kabecikan ingkang wonten. Kados pundi Alkitab paring piwucal ing bab punika? Mangga kita pirsani tiga perangan saking Sabdanipun Gusti ing dinten punika. Kita dipun undhang niti priksa kados pundi Yesaya, serat Ibrani, lan Injil Lukas mucal babagan pentingipun mbangun budaya kritis ingkang apresiatif ing pasamuwan.
Isi
Kritik ingkang Mbebasaken (Yesaya 58:9b – 14)
Gusti Allah lumantar Nabi Yesaya paring piwulang menawi kritik tumrap ketidakadilan, penindes, lan tembung ala minangka perangan saking timbalan gesangipun tiyang pitados. Nanging, kritik ingkang leres kedah kasembadan kaliyan tumindak ingkang mbangun: paring tedhan marang tiyang ingkang keluwen, ndandosi sesambetan, lan njagi integritas-ing gesang.
Waosan ingkang kaping pisan punika minangka pangeling (teguran) saking Gusti Allah marang umat Israel ingkang siyam (puasa), nanging mboten nedahaken tresna dhateng sesami. Gusti Allah nyuwun supados umatipun mandheg anggenipun nindakaken panindasan, ngadili kanthi kasar, lan ngucap tembung ala. Gusti ngersakaken supados umatipun nglampahi kabecikan kanthi andhum berkah dhateng tiyang ingkang mbetahaken. Menawi punika kalampahan, Gusti badhe mberkahi kalawan pepadhang ingkang sumunar, kakiyatan ingkang sejatos, lan pemulihan ingkang sejati.
Pramila ing gesang pasamuwan, kita kaengetaken supados mboten namung madosi kalepatanipun sedherek utawi nggedhek-gedhekaken kekiranganipun, nanging kita dipun timbali dados perangan saking solusi. Saking waosan punika, kita sinau bilih sikep kritis ingkang mboten kairing katresnan namung badhe njalari karisakan, nanging menawi kinanthenan kaliyan apresiasi lan tumindak becik, badhe wonten berkah lan pamulihan. Gusti kepengin supados kita dados umat ingkang saged menilai sacara obyektif, ugi mbangun lan paring pepadhang dhumateng sesami.
Katresnan Ingkang Nggantos Cara Pandeng (Ibrani 12:18 – 19)
Lumantar serat Ibrani, kita dipun engetaken menawi sesambetan kita kaliyan Gusti Allah mboten malih adhedhasar ajrih ananging karana sih-rahmat. Pangripta serat Ibrani ngengetaken pasamuwan bab bentenipun swasana antawisipun pengalaman ing gunung Sinai lan pengalaman sih-rahmat ing Sang Kristus. Ing gunung Sinai, bangsa Israel ngalami kasangsaran ageng amargi rawuhipun Gusti Allah ingkang ngedab-edabi. Nanging, lumantar Sang Kristus, kita mboten malih lumebet ing raos ajrih, nanging lumebet ing sih-rahmat lan sesambetan ingkang raket kaliyan Gusti.
Budaya kritis ingkang mbeta kasaenan lair saking pangertosan bilih kita punika nampi sih-rahmat. Pramila kita dipun ajak supados mboten namung madosi lepatipun tiyang sanes, nanging ugi ngupadi margi kangge ndandosi kanthi tresna. Waosan kaping kalih punika paring piwucal dhateng kita supados saged ningali samukawis mboten namung saking sudut pandang ajrih lan paukuman, nanging saking sudut pandang sih-rahmat lan pertumbuhan. Kritik ingkang mbangun mesthinipun mboten ndadosaken tiyang rumaos kaintimidasi, nanging saged nulungi supados tiyang punika pirsa lan sadhar bab kesempatan kangge tuwuh ing sih-rahmatipun Gusti.
Tresna Ingkang Ngungkuli Angger-angger (Lukas 13:10 – 17)
Gusti Yesus nedahaken kakendelan kangge nantang sistem ingkang mboten mulyakaken Gusti. Panjenenganipun mucalaken bab katresnan lan pembebasan ingkang ngungkuli angger-angger. Ing cariyos punika, Gusti Yesus nyarasaken pawestri ingkang nandhang gerah salami 18 taun nalika dinten Sabat. Nanging, para pangarsa agami kala semanten malah nglawan pakaryanipun Gusti Yesus amargi kaanggep nglanggar angger-angger Sabat. Gusti Yesus ngelingaken para pemimpin agami kalawau amargi para pemimpin agami punika langkung peduli bab aturan tinimbang welas asih dhumateng sesami.
Ing ngriki kita sami pirsa kados pundi kritik ingkang mboten kasarengan apresiasi saged dados alangan tumrap pakaryanipun Gusti. Nanging, nalika kita kagungan manah ingkang kebak tresna, kita saged mangertosi pambeda antawisipun aturan ingkang kaku lan prinsip ilahi ingkang langkung luhur, inggih punika tresna lan pemulihan. Ing pasamuwan kita ugi kedah waspada, amargi asring pasamuwan kepincut dhateng tradisi ingkang mboten relevan malih kaliyan misinipun Gusti. Gusti Yesus paring piwucal supados kita kritis ing bab-bab punika, nanging tetep kaliyan tujuan mbangun iman lan tresna ing antawisipun pasamuwan.
Panutup
Sumangga kita wiwiti mbangun budaya kritis ingkang apresiatif ing gesang pasamuwan kita. Sumangga kita sinau paring kritik kanthi tujuan mbangun, sanes kangge mbubrahaken. Lan sampun ngantos kesupen kangge ngapresiasi kabecikan ingkang wonten ing gesang pasamuwan kita. Kados dene pelatih ingkang wicaksana, kita dipun timbali supados saged nglarasaken evaluasi kaliyan apresiasi, satemah pasamuwan lan masyarakat kita saged tuwuh ing katresnan saha kayekten. Mugi Gusti Allah maringi pitulungan dhateng kita sedaya. Amin. [AAN].
Pamuji: KPJ. 339 Iba Dennya Mbingahaken