Minggu Biasa – Bulan Kitab Suci
Stola Hijau
Bacaan 1 : Keluaran 16 : 2 – 16, 32 – 35
Bacaan 2 : Filipi 1 : 21 – 30
Bacaan 3 : Matius 20 : 1 – 16
Tema Liturgis : Firman Khalik Semesta
Tema Khotbah: Senantiasa Berjuang untuk Hidup dalam Genggaman Sang Khalik Semesta
Penjelasan Teks Bacaan :
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
Keluaran 16 : 2 – 16, 32 – 35
Kekurangan makanan menjadi persoalan yang seringkali dihadapi oleh Bangsa Israel ketika melakukan perjalanan keluar dari tanah perbudakan Mesir menuju tanah yang dijanjikan, yaitu Kanaan. Hal inilah yang seringkali membuat Bangsa Israel seringkali bersiteru dengan saudara sebangsanya, dengan Musa dan Harun selaku pemimpin perjalanan mereka, dan terlebih-lebih mereka bersungut-sungut dan protes terhadap Allah. Kalau diperhatikan sifat kekerasan hati dari pada Israel sudah terlihat sejak dari awal. Semenjak peristiwa di Mara dan dilanjutkan dengan Manna sampai di Masa dan Meriba, ketiga peristiwa ini terjadi secara berantai. Dari awal Israel sudah begitu keras terhadap Allah, terus menggerutu, protes dan bersungut-sungut terhadap Allah. Keluaran pasal 16 menjadi pelajaran yang sangat penting buat kita orang percaya bagaimana kita menghidupi iman kita di hadapan Allah berkenaan dengan kebutuhan materi. Dalam perikop ini digambarkan bahwa sesudah tiba di padang gurun Sin, umat Israel mulai bersungut-sungut dengan membayangkan jikalau keadaan mereka dahulu di Mesir jauhlah lebih baik daripada pada kondisi yang saat itu mereka hadapi. Mereka melupakan penindasan yang mereka derita sebagai budak dan menganggap negeri itu hanya sebagai sumber makanan yang menyenangkan. Mereka berpikir bahwa kebutuhan mereka akan makanan dan minuman jauhlah lebih penting daripada nasib mereka pada masa depan, mereka jauh lebih suka berada dalam penghukuman Tuhan asal terpuaskan secara duniawi, daripada hidup dalam kekurangan sekalipun dalam rengkuhan tangan Tuhan.
Kalau melihat ke bagian yang lebih luas, keseluruhan pasal 16 ini terdapat riwayat panjang mengenai cara Tuhan memuaskan Bangsa Israel dengan makanan sekaligus menuntut mereka untuk mempercayai providensi-Nya (pemeliharaan) dan taat kepada hukum-Nya, terutama hukum Sabat. Tuhan berjanji kepada Musa bahwa Dia akan memberikan kepada umat Israel roti dan juga daging burung dara yang berasal dari Sorga sebagai makanan mereka setiap hari. Diterangkan pada ayat 13b-15 tentang bagaimana bentuk dan wujud roti dari Sorga itu, dijelaskan pula bahwa Bangsa Israel sebelumnya tidak pernah melihat roti seperti itu sehingga mereka pun bertanya, “apakah ini” itulah juga yang kemudian menjadi nama dari roti ini dalam bahasa Ibrani. Apabila embun turun di tempat perkemahan orang Israel pada waktu malam, maka turunlah juga Manna di situ. Bangsa itu berlari kian ke mari untuk memungutnya, lalu menggilingnya dengan batu kilangan atau menumbuknya dalam lumpang. Mereka memasaknya dalam periuk dan membuatnya menjadi roti bundar; rasanya seperti rasa panganan yang digoreng. Adapun Manna itu warnanya putih seperti ketumbar, kelihatannya seperti Damar Bedolah dan rasanya seperti rasa kue madu. Mereka harus memungutnya menurut perintah Tuhan dan pada hari keenam mereka akan diminta untuk mengumpulkan sebanyak dua kali lipat dan Tuhan akan menurunkan Manna sebanyak dua kali lipat dari biasanya, sedangkan pada hari ke tujuh mereka harus berhenti untuk mengumpulkan demi menguduskan hari Sabat. Di sanalah Tuhan ingin menguji apakah mereka mempercayai pemeliharaan-Nya ataukah tidak (ay. 4-5).
Filipi 1 : 21 – 30
Ketika menulis surat ini ke jemaat yang ada di Filipi, Paulus berada dalam penjara. Ia tidak pernah tahu keadaannya kemudian akan selamat, ataukah harus mati di penjara. Kalau kita menyoroti kedua kemungkinan ini secara negatif, maka dua-duanya kelihatannya jelek : 1) kalau ia mati, itu berarti ia dihukum mati. Itu sesuatu yang menakutkan. Mungkin ia akan menjadi tontonan dan pembicaraan orang banyak. Itu merupakan sesuatu yang memalukan. Di samping itu, musuh-musuhnya pasti akan bersukacita. Ini merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Atau 2) Kalau ia dibiarkan hidup, sebagai seorang rasul, ia pasti akan menginjil lagi. Maka jelas bahwa segala penolakan, permusuhan, kebencian, bahkan penganiayaan, akan ia terima lagi. Ini lagi-lagi merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan! Tetapi, baik mati maupun hidup sama baiknya bagi Paulus. Apa sebabnya Paulus dapat memiliki keyakinan seperti itu? Hidup Paulus berubah total setelah ia dijumpai Yesus dalam perjalanannya ke Damsyik. Sejak itu ia menjadi pengikut Yesus yang sangat giat memberitakan Injil sekalipun ia harus menghadapi banyak penolakan dan bahaya yang mengakibatkan Paulus pernah disiksa, dipenjara, diadu dengan binatang buas, sakit dan sebagainya. Paulus tidak pernah mundur, karena baginya hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.
Hidup untuk Kristus bukan hanya memberitakan Injil secara verbal, tetapi juga mencakup seluruh hidup yang ditujukan untuk kemuliaan Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama. Ketika kita bekerja dengan tekun dan bertanggungjawab, ketika kita mengembangkan kemampuan kita sepenuhnya, dan semuanya kita tujukan untuk mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama, maka kita telah hidup untuk Kristus, dan kalau mati menjadi keuntungan.
Dalam bahasa Yunani kata mati (ayat 21) adalah “analuein” yang berarti melanjutkan perjalanan. Kata analuein biasanya dipakai untuk menggambarkan kapal yang mengangkat tali dan jangkarnya untuk melanjutkan perjalanan. Hanya dengan mati, kita dapat melanjutkan hidup, yaitu dengan hidup bersama Kristus di sorga. Oleh sebab itu, kematian tidak perlu ditakuti, sebab kematian adalah jalan untuk bertemu muka dengan Kristus, dan hidup bersama Dia untuk selamanya di sorga. Dengan demikian, mati dalam Kristus menjadi keuntungan yang tidak perlu kita khawatirkan.
Matius 20 : 1 – 16
Tuhan Yesus mendidik para murid dengan memberikan perumpamaan mengenai pekerja-pekerja di kebun anggur. Kebun anggur dan pemiliknya adalah simbol Israel dan Allah yang memiliki Israel (Yes. 5:1-7). Dan pada bagian ini dikisahkan bahwa pemilik kebun anggur pergi mencari pekerja bagi kebun anggurnya. Dia mencari dan menemukan pekerja di dalam 5 waktu yang berbeda. Ada yang dari pagi-pagi sekali, ada yang jam 9, ada yang jam 12, ada yang jam 3 sore, dan ada yang jam 5 sore.
Angkatan yang pertama, yang bekerja seharian, adalah yang seharusnya menjadi paling penting. Mengapa? Karena merekalah yang merupakan pekerja berkualitas dan merekalah yang didapatkan pertama kali oleh sang pemilik kebun anggur. Mereka kaum profesional yang bekerja dengan giat di ladang milik tuan tersebut. Kelompok yang lebih belakangan adalah kelompok yang lebih sedikit pekerjaannya dan yang kurang ahli karena belum ada yang menyewa mereka untuk bekerja. Yang paling terbelakang adalah yang baru disewa sang pemilik kebun jam 5 sore. Mereka sendiri mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang mau menyewa mereka (ay. 7). Mereka adalah kelompok yang tidak laku. Mereka kaum buangan yang tidak punya keahlian apa-apa. Tuan pemilik kebun juga baru menyewa mereka jam 5 sore. Dari jam 5 ke jam 6, apakah yang bisa dikerjakan oleh mereka? Sangat sedikit. Jadi sepertinya sang tuan pemilik kebun itu mengupah mereka hanya karena belas kasihan saja, bukan karena perlu. Sebenarnya sangat aneh kalau pemilik kebun anggur itu masih mau menyewa orang-orang yang disewanya jam 5 sore itu.
Tetapi yang lebih aneh lagi adalah bahwa pada waktu pembagian upah, tuan pemilik kebun anggur itu tidak mulai dari yang lebih dulu masuk, tetapi dari yang masuk jam 5 sore. Bahkan dia memberikan upah satu dinar bagi mereka. Upah untuk kerja satu hari penuh! Mereka hanya bekerja satu jam tetapi diperhitungkan upah sehari penuh. Pastilah ini membuat pekerja-pekerja lain bersemangat. Kalau mereka yang tidak layak saja dapat satu dinar, apalagi kami yang sudah seharian bekerja. Kalau mereka yang disewa hanya karena belas kasihan saja diberi satu dinar, apalagi kami yang profesional, mungkin itu yang ada dalam pikiran mereka. Di dalam ayat ke-9 dikatakan bahwa mereka yang telah mulai bekerja lebih dahulu merasa akan mendapat lebih banyak lagi. Tetapi kemudian mereka kecewa karena mereka juga mendapat satu dinar sehari. Kalimat mereka di dalam ayat 12 menunjukkan bahwa mereka adalah golongan yang masuk pertama kali, yaitu yang sudah seharian penuh bekerja keras. Mereka bersungut-sungut bukan karena diperlakukan tidak adil. Mereka bersungut-sungut karena mereka tidak diberikan perlakuan lebih spesial daripada yang masuk jam 5 sore. Upah satu dinar adalah upah untuk bekerja sehari penuh, sehingga mereka sebenarnya telah mendapatkan apa yang pantas bagi mereka. Mereka marah karena belas kasihan yang diterima oleh yang masuk jam 5 sore.
Inilah penyakit dari orang-orang yang masuk terlebih dahulu. Mereka merasa berhak, layak, dan sudah sepantasnya diperlakukan paling istimewa. Mereka merasa bahwa keberadaan mereka di kebun itu adalah karena kemampuan mereka. Tetapi yang masuk belakangan, apalagi yang masuk jam 5 sore, mereka sadar akan anugerah. Mereka tahu bahwa keberadaan mereka di kebun anggur hanyalah karena belas kasihan si pemilik kebun anggur. Itulah sebabnya mereka tidak pernah merasa diri layak, apalagi merasa diri berjasa. Sebaliknya dengan yang masuk pertama kali. Mereka sangat mudah merasa berjasa dan sangat gampang meremehkan orang lain karena mereka merasa yang paling pantas untuk menerima sesuatu dari tuan tersebut.
Benang Merah Tiga Bacaan :
Kita dapat senantiasa melihat dan merasakan kebaikan Allah atas umat-Nya, dipelihara, dijagai-Nya dan diberi kecukupan roti setiap hari. Kitab Keluaran membicarakan tentang kemuliaan Tuhan atas bangsa Israel yang dibebaskan dari belenggu tanah Mesir, demikian juga dengan pemeliharaan Tuhan itu, kita dapat melihat kemuliaan Allah dinyatakan. Kemuliaan Tuhan atas berkat-Nya selalu ditambahkan, Tuhan memberikan lebih dari yang kita minta kepada-Nya. Dan yang terbesar anugerah keselamatan atas jiwa kita diberikan dengan tujuan supaya nama Tuhan saja di permuliakan. Secara paradox, di padang gurun yang panas, kering, tandus ternyata ada kelimpahan jasmani dan rohani. Namun sikap terbalik yang justru dimiliki bangsa Israel kepada Allah. Mereka menjadi umat penuntut yang tidak mau bersyukur dan begitu mudahnya melupakan kebaikan Allah atas hidup mereka. Seolah mereka memposisikan diri sebagai tuan/raja sedangkan Allah adalah sebagai hamba yang layak mereka suruh-suruh, diprotes, dan digugat. Mereka jauh lebih memilih hidup secara tidak merdeka dalam penindasan, hidup tanpa rengkuhan cinta kasih Allah, tetapi berkelimpahan materi di negeri Mesir.
Pandangan hidup bangsa Israel ketika berada di pandang gurun tersebut sangatlah berbeda dengan pandangan hidup Paulus ketika berada dalam ketertindasan. Paulus yang saat itu berada dalam keterhimpitan justru dapat senantiasa melihat cinta kasih Allah dalam kehidupan-Nya. Bagi Paulus, hidup baginya adalah untuk melayani dan memuliakan nama Tuhan, sekalipun selalu mendapatkan tantangan dan penolakan. Jikalau mati, Paulus mempercayai bahwa kondisi seseorang yang mati dalam rengkuhan cinta kasih Tuhan adalah sebuah keuntungan baginya. Paulus lebih memilih hidup dalam genggaman tangan Tuhan sekalipun menderita daripada hidup dalam kemewahan dan gelimpangan harta tetapi jauh dari Tuhan.
Maka di sinilah Tuhan Yesus memberikan perumpamaan tentang para kebun anggur. Tuhan Yesus menegaskan bagaimana seharusnya para pengikut atau pekerja Tuhan menjalani kehidupannya, bahwa mereka harus memiliki sifat kerendahan hati dan tahu diri. Jikalau mereka diberikan kesempatan untuk hidup dan berkerja di ladang Tuhan, maka semata-mata adalah karena anugerah Tuhan yang diberikan kepada mereka. Dengan demikian setiap pengikut dan pekerja Kristus dapat memahami dan mampu mengucap syukur bahwa segala sesuatu yang diberikan Tuhan Allah atas hidupnya adalah anugerah yang istimewa.
RANCANGAN KHOTBAH : Bahasa Indonesia
(Ini hanya sebuah rancangan, silahkan dikembangkan sesuai konteks Jemaat)
Pendahuluan
Bapak, Ibu, serta Saudara yang dikasihi oleh Tuhan,
Apakah anda termasuk orang yang mudah kesal atau emosi di saat sedang stres ketika menghadapi sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan anda? Tentu, kebanyakan orang akan begitu mudah bersungut-sungut, gelisah dan bahkan marah ketika mereka merasa terganggu oleh orang lain, ketika mendapati sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan atau angan-angan, tersinggung sedikit saja kita bisa meledak. Mari kita perhatikan cerita ilustrasi sebagai berikut:
Seorang ibu mendatangi Bapak Pendeta dengan tergopoh-gopoh setelah kebaktian dan berkata: “Aduh Pak, saya terganggu sekali, saat bapak berkotbah tadi, karena toga Bapak terlihat kumal.”
Pak Pendeta menjawab: ”Oh, iya… saya minta maaf, minggu depan toga saya akan saya cuci dan rapikan.”
Tibalah hari Mingggu kedua di bulan itu dan seperti Minggu sebelumnya, si ibu segera menerobos dari kerumunan jemaat yang sedang meninggalkan tempat duduk gereja untuk pulang dan langsung menemui Bapak Pendeta serta berkata: “Sekarang toga bapak sudah terlihat bersih dan rapi, tetapi saya terganggu ketika melihat bagian kiri stola bapak terbalik, sehingga ketika Bapak berkotbah tadi, sehingga saya menjadi kurang konsentrasi.” Pak Pendeta menjawab: “Oh iya… saya minta maaf, Minggu depan akan lebih saya perhatikan”.
Pada Minggu yang ketiga, sehabis ibadah, maka si ibu itu juga segera berlari-lari menjumpai Pak Pendeta dan langsung berkomentar : “Maaf Pak Pendeta, bagaimana saya bisa konsentrasi mendengar kotbah Bapak, sebab ketika saya memperhatikan rambut Bapak, rambut bapak tidaklah disisir dengan rapi. Bapak malah kelihatan kumal sekali dan tidak rapi”.
Pak Pendeta menjawab: “Ok, mulai Minggu depan saya tidak akan memakai toga dan stola, dan saya akan mencukur habis rambut saya saat berkhotbah. Seharusnya ibu memperhatikan khotbah saya dan bukan penampilan saya”.
Ilustrasi di atas menggambarkan betapa terburu-buru dan mudahnya seseorang berpikir, berprasangka dan memberikan penilaian negatif terhadap segala sesuatu tanpa melihat hal yang positif dalam suatu peristiwa yang terjadi, kemudian bersungut-sungut sehingga kehilangan bagian terbaik yang seharusnya dapat diperoleh.
Isi
Bapak, Ibu, serta Saudara yang dikasihi oleh Tuhan,
Mendengar kata bersungut-sungut kita akan segera ingat keberadaan Bangsa Israel yang terkenal dengan sifat ini. Padahal mereka berjalan dalam lindungan Tuhan secara langsung, mengalami sendiri bagaimana Tuhan menyertai mereka secara nyata. Namun tetap saja ketika situasi menjadi sulit, mereka pun dengan mudah mengeluh. Setiap menghadapi kesulitan atau masalah mereka tidak pernah mengoreksi diri terlebih dahulu sebab-musababnya, melainkan langsung menyalahkan orang lain dan bersungut-sungut. “Ah, kalau kami mati tadinya di tanah Mesir oleh tangan Tuhan ketika kami duduk menghadapi kuali berisi daging dan makan roti sampai kenyang! Sebab kamu membawa kami keluar ke padang gurun ini untuk membunuh seluruh jemaah ini dengan kelaparan.” (Keluaran 16:3). Mereka menyalahkan Musa, menyalahkan keadaan dan selalu membanding-bandingkan dengan keadaan sebelumnya. Melihat apa yang diperbuat oleh bangsa Israel ini Tuhan menjadi sangat marah sehingga mereka harus langsung menanggung akibatnya: mati dipagut ular, dibinasakan oleh Malaikat maut, dan puncaknya gagal memasuki Tanah Perjanjian. Mereka bersungut-sungut karena tidak mendapatkan apa yang diharapkan, ketika mendapat masalah dalam hidup, ketika merasa mendapat perlakuan tidak baik juga ketika ditimpa beban berat.
Cerita yang menyinggung masalah serupa juga disampaikan oleh Tuhan Yesus melalui perumpamaan tentang upah para pekerja kebun anggur. Tentu kita semua bisa berpikir bahwa cerita ini menggambarkan tentang sebuah ketidakadilan seorang pemiliki kebun anggur yang tidak memberikan upah sepantasnya kepada para pekerjanya. Kita semua tidak senang diperlakukan tidak adil, bahkan beberapa dari kita mungkin sangat-sangat sensitif dengan ketidakadilan. Ketidakadilan bukan hanya merugikan diri kita tetapi melecehkan harga diri kita. Kalau kita pikir dengan akal sehat, sunggut-sungut para pekerja tersebut adalah normal. Membayar setiap orang dengan upah yang sama tanpa melihat berapa lama mereka bekerja, berapa banyak yang mereka hasilkan jelas merupakan tindakan yang tidak adil. Panen anggur di Israel biasanya terjadi pada bulan September. Pada saat itu temperatur masih cukup tinggi sehingga para pekerja out door benar-benar mengalami terik matahari yang menyengat dan juga angin kering yang tidak nyaman. Bisa kita bayangkan betapa lelahnya bekerja selama 12 jam dalam keadaan seperti itu. Lalu, mereka dibayar sama seperti para pekerja yang hanya satu jam, satu dinar. Cara pembayaran tuan dalam perumpamaan itu sungguh tidak adil.
Tetapi sebenarnya kita diajak untuk tidak berfokus pada persoalan adil atau tidaknya upah yang diberikan kepada para pekerja dalam cerita atau perumpamaan tersebut, tetapi lebih kepada sikap hati dan perasaan tahu diri dari para pekerjanya. Mari kita memperhatikan kembali perumpamaan ini. Apakah benar tuan itu telah bertindak dengan tidak adil dalam pembayarannya kepada para pekerja jam enam pagi? Bila kita selidiki dengan saksama, tuan itu telah membayar sesuai dengan perjanjian yang disepakati bersama, yaitu: “Satu dinar untuk satu hari kerja.” Lalu, dimana ketidakadilannya? Bukankah adil itu berarti berpegang pada kebenaran? Bukankah adil itu berarti memberikan apa yang menjadi hak orang lain? Tuan itu tetap berpegang pada kebenaran. Tuan itu telah memberikan apa yang menjadi hak para pekerja itu: yaitu upah satu dinar. Itulah sebabnya, tuan itu berkata kepada seorang dari mereka, “Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari?”
Bapak, Ibu, serta Saudara yang dikasihi oleh Tuhan,
Tuhan Yesus dengan sengaja menceritakan pembayaran itu dengan urutan yang sebaliknya. Ia dengan sangat pandai memperlihatkan kepada pendengarnya apa yang menjadi isu utama dari para pekerja jam enam pagi, yaitu perasaan diperlakukan tidak adil karena orang lain mendapatkan keberuntungan atau kemurahan. Andaikata para pekerja jam enam pagi itu tidak pernah tahu bahwa ada pekerja yang mendapat kemurahan dari pemilik kebun anggur itu, ia tidak akan bersungut-sungut. Perasaan diperlakukan tidak adil muncul ketika mereka melihat pekerja lain mendapat kemurahan. Kemudian, pemilik kebun anggur itu mempermalukan orang-orang itu dengan mengingatkan bahwa Ia adalah pemilik kebun anggur itu, Ia berhak atas seluruh miliknya. Tidak ada seorang karyawan pun yang layak untuk mengajar atau memerintah dia untuk ini dan itu. Ia berdaulat untuk bermurah hati kepada siapa Dia mau bermurah hati.
Kemudian tuan itu berkata lagi, “Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?” (ay. 14, 15). Ya, mereka iri hati. Hati mereka serasa terbakar bila mereka melihat orang lain mendapat keberuntungan. Mereka tidak siap untuk menghadapi hal itu. Mengapa mereka tidak siap untuk melihat itu? Karena mereka merasa diri mereka lebih baik daripada orang lain. Mereka merasa bekerja lebih lama, lebih produktif, lebih sungguh-sungguh, dan lebih lelah dari para pekerja jam lima sore. Oleh karenanya, sudah sepantasnya mereka yang harus dibayar lebih banyak, bukan yang lain. Inilah pola pikir yang Yesus kecam!
Penutup
Bapak, Ibu, serta Saudara yang dikasihi oleh Tuhan,
Ketika melihat dan membandingkan keberadaan diri kita dengan orang lain yang secara fisik, kekayaan, kedudukan jauh lebih beruntung daripada kita, tidaklah mudah untuk menemukan makna yang baik dari perumpamaan di atas. Mungkin sebagian dari antara kita akan mudah berkata dan bersungut-sungut: “Dimanakah keadilan Tuhan, sampai kapan Tuhan akan menjawab doaku?” Sifat bersungut-sungut mampu merampas sukacita yang berasal dari Tuhan. Itu adalah sebuah sifat yang sama sekali tidak produktif dan hanya akan menambah masalah bagi diri kita saja. Oleh karena itu kita hendaknya bisa mencermati apa yang ditulis oleh Paulus mengenai kesabaran tanpa menjadi kehilangan kepecayaan dalam menanggung beban yang tengah kita alami hari ini. Oleh Paulus kita diajak untuk menghayati bahwa ketika kita diberikan kesempatan oleh Allah, marilah kita mengucap syukur kepada-Nya dengan menggunakan kesempatan itu untuk setia dan terus melayani-Nya dengan kesungguhan hati. Kalaupun mati, marilah kita melihat peristiwa yang mendukakan secara manusiawi itu sebagai hal yang justru membawa keuntungan bagi kita, karena Allah telah menyiapkan kerajaan sorga bagi kita yang setia kepada-Nya. Amin. (YEP)
Nyanyian : KJ. 439 : 1 – 4 Bila Topan K’ras Melanda Hidupmu
—
RANCANGAN KHOTBAH : Basa Jawi
Pambuka
Bapak, Ibu, lan para sedherek ingkang dipun tresnani dening Gusti,
Punapa panjenengan punika salah satunggaling tiyang ingkang gampil gregeten lan emosi nalika ngadepi prekawis ingkang boten pener miturut pikajeng panjenengan? Tamtunipun, kathah-kathah tiyang gampil sanget ngedumel, judheg, lan ugi mangkel nalika rumaos dipun ganggu dening tiyang sanes, nalika manggihi prekawis ingkang boten nyodongi kaliyan pikajengipun, dipun singgung sekedhik kemawon saged mbledos. Sumangga kita pidhangetaken carios ilustrasi punika:
Satunggal ibu-ibu methukake Bapa Pendhita kanthi gupuh sak sampunipun bibar kebaktian lan matur: “Aduh Pak, kula kareridhu sanget nalika Bapak khutbah kalawau, awit toga Bapak katingal reget” Lan Bapa Pendita paring wangsulan: “Oh, inggih… nyuwun pangapunten, Minggu ngajeng badhe kula kumbah lan setrika”
Ing Minggu kaping kalih ing wulan ingkang sami, kados Minggu sakderengipun, si Ibu kanthi kesusu nrobos ing satengah-tengahing pasamuwan ingkang bibaran saking pangabekti, lajeng methukake Bapa Pendhita lajeng matur: “Sakmangke toga bapak sampun katingal resik lan rapi, ananging kula saestu kereridhu nalika ningali stola kiwanipun bapak kuwalik, pramila sakdangunipun bapak khutbah kalawau kula boten saged konsentrasi.” Lan Bapa Pendhita paring wangsulan: “Oh inggih, kula nyuwun pangapunten, Minggu ngajeng badhe langkung kula pirsani”.
Ing minggu kaping tiga, sak bibaripun pangibadah, si Ibu ugi enggal-enggal methukake Bapa Pendhita lan matur: “Nyuwun pangapunten Pak Pendhita, kados pundi kula saged konsentrasi mirengaken khutbahipun Bapak, awit nalika kula ningali rambut Bapak, rambut Bapak kados-kados boten dipun sureni kanthi rapi. Bapak katingal boten resik lan rapi”. Lajeng Bapa Pendhita paring wangsulan: “Inggih Bu, milai Minggu ngajeng, anggenipun kula kutbah, kula badhe boten ngagem toga lan stola. Rambut kula badhe kula telasaken resik nalika kula khutbah. Panjenengan punika kedhahipun langkung midhangetaken khutbah kula sanes rasukan kula”.
Carios punika nggambaraken kawontenanipun kathah-kathah tiyang ingkang gampil sanget nggadahi pamikiran lan prasangka ingkang negatif tumrap satunggal prekawis ingkang kelampahan, lajeng ngedumel, pramila piyambakipun kecalan perangan ingkang mligi kedahipun saged dipun tampeni.
Isi
Bapak, Ibu, lan para sedherek ingkang dipun tresnani dening Gusti,
Mireng pitembungan ngedumel, enggal-engal kita emut kaliyan kawontenan bangsa Israel ingkang kasuwur nggadahi sipat kados mekaten. Kamangka Bangsa Israel kalawau tansah ngraosaken pangayomanipun Gusti sacara langsung, saged ngraosaken piyambak kados pundi Gusti paring panuntun sacara nyata tumrap piyambakipun. Ananging Bangsa Israel nalika ngalami pambengan, piyambakipun gampil sanget ngedumel. Nalika ngalami pakewed, Bangsa Israel boten niti pirsa kawontenan gesangipun langkung rumiyin, punapa ingkang dados sebab-musababipun, enggal-enggal nglepataken tiyang sanes lajeng ngedumel. “Adhuh, punapaa kula boten sami pejah kemawon dening astaning Pangeran Yehuwah wonten ing tanah Mesir, nalika sami ngadhep kuwali isi daging sarta roti ngantos tuwuk? Awit anggen panjenengan ngirid kula dhateng pasamunan punika, murih kula sapasamuwan punika sami pejah sadaya, margi saking kaliren.” (Pangentasan 16:3). Piyambakipun nglepataken Nabi Musa, nglepataken kawontenan lan tansah mbanding-mbandingaken kaliyan kawontenan sakderengipun. Mirsani punapa ingkang dipun tindhakaken dening Bangsa Israel kalawau Gusti saestu duka, matemah ing wusananipun Bangsa Israel nanggel paukuman: pejah dipun cakot ula, dipun pejahi dening malaekat, lan boten saged lumebet Tanah Prajanjian. Bangsa Israel sami ngedumel karana boten kaparingan punapa ingkang dipun pikajengaken, nalika ngalami panerak, nalika ngraosaken prekawis ingkang mbeta piawon, ugi nalika nyandang momotaning gesang.
Carios ingkang sami saged kita panggihi saking Gusti Yesus lumantar pasemon bab buruh tani ing kebun anggur. Tamtunipun kita saged kemawon nggadahi pemanggih bilih pasemon punika nggambaraken bab boten adilipun salah satunggal tiyang ingkang kagungan kebon anggur, ingkang boten paring pituwas pantes tumrap buruh-buruhipun. Kita boten remen bilih ngraosaken tumindhak ingkan boten adil, kita saged saestu sensitif kaliyan prekawis boten adil. Prekawis boten adil, boten anamung mbeta karugen tumrap gesang kita, ananging ugi saged dados tumindhak ingkang karaos ngremehaken gesang kita. Bilih kita galih kanthi manah ingkang padhang, ngedumelipun para buruh ing pasemon punika prekawis ingkang limrah. Paring bayaran buruh kanthi cacah ingkang sami tanpa ningali danguni lan kathahipun anggen medamel, kalebet tumindhak ingkang boten adil. Panen anggur ing Negari Israel biasanipun kalampahan ing wulan September, lan ing dinten-dinten punika srengenge saged sumunar kanthi banter lan mbeta angin ingkang saestu panas. Saged kita raos-raosaken kados pundi sayahipun para buruh ingkang medamel dangunipun 12 jam. Lajeng, para buruh kalawau dipun paringi bayaran ingkang sami kaliyan buruh ingkang medamel dangunipun namung 1 jam, 1 dinar. Saestu tumindhak ingkang boten adil ing salebeting pasemon kalawau.
Ananging sejatosipun kita dipun ajak boten anamung mirsani prekawis adil utawi boten adilipun piwales ingkang dipun paringaken dening ingkang kagungan kebon dhateng para buruh, ananging langkung mirsani kawontenan manah lan batosipun para buruh kalawau. Sumangga kita wangsul ningali malih pasemon punika, punapa leres bilih tuan ingkang kagungan kebon anggur punika tumindhak boten adil tumrap para buruh kagunganipun ingkang nyambut damel wiwitan jam 6 enjing? Bilih kita tingali kanthi tliti, tuan ingkang kagungan kebon anggur sampun paring piwales ingkang pantes miturut prajanjian ingkang dipun tampi dening sadaya, inggih: “satunggal dinar kagem satunggal dinten medamel”. Lajeng ing pundi boten adilipun? Adil punika rak tegesipun tansah nggodheli kasaenan? Punapa adil punika tegesipun tansah paring punapa ingkang dados hakipun tiyang sanes? Tuan punika saestu namung ngugemi punapa ingkang dados kasaenan. Tuan punika sampun paring punapa ingkang dados hakipun para buruh, inggih piwales satunggal dinar. Pramila, tuan punika ngandika tumrap satunggal buruh, ”Aku rak ora luput karo kowe. Kowe karo aku rak wis padha sarujuk nyadinar sadina?”.
Bapak, Ibu, lan para sedherek ingkang dipun tresnani dening Gusti,
Gusti Yesus sangaja nyariosaken bab piwales kalawau kanthi urut-urutan ingkang kuwalik. Panjenenganipun kanthi pinter ngatingalaken dhateng kita sami punapa ingkang dados prekawis mirunggan saking para buruh ingkang medamel wiwitan saking jam 6 enjing, inggih pangraos mboten nampeni kaadilan karana buruh sanes nampeni kauntungan lan kawelasan ingkang langkung. Bilih para buruh ingkang medamel wiwit jam 6 enjing kalawau boten pirsa bilih wonten salah satunggal buruh ingkang nampeni piwelas saking ingkang kagungan kebon, menawi piyambakipun boten badhe ngedumel. Pangraos nampeni tumindhak ingkang boten adil kalair nalika piyambakipun ningali buruh sanes ingkang nampeni piwelas. Lajeng, tuan ingkang kagungan kebon anggur ndamel wirangipun para buruh kalawau kanthi ngemutaken bilih panjenenganipun ingkang kagungan kebon anggur, ingkang nggadahi hak tumrap sadaya ingkang dipun kagungi. Boten wonten buruh satunggal kemawon ingkang saged nggurui utawi paring prentah tumrap panjenenganipun. Panjenenganipun kagungan kuwaos kangge paring piwelas dhumateng sintana kemawon ingkang panjenenganipun ngersakaken.
Lajeng tuan ingkang kagungan kebon anggur ngandhika: “Apa kowe meri, dene aku kok loma?”(ayt. 15). Inggih karana para buruh kalawau nggadahi raos meri. Manah piyambakipun kobong nalika piyambakipun ningali tiyang sanes nampeni kauntungan. Para buruh kalawau boten siyaga nampeni kasunyatan ingkang kados mekaten. Kenging punapa piyambakipun boten siyaga ningali prekawis punika? Karana tiyang-tiyang kalawau rumaos langkung pantes nampeni ingkang langkung sae katimbang timbang sanes. Tiyang-tiyang kalawau rumaos langkung dangu anggenipun medamel, langkung produktif, langkung setiti, lan ngraosken langkung sayah katimbang buruh ingkang medamel wiwit jam 5 sonten. Pramila piyambakipun rumaos ingkang pantes nampeni pituwas ingkang langkung kathah, sanes tiyang sanes. Pamikiran ingkang kados mekaten ingkang Gusti welehaken.
Panutup
Bapak, Ibu, lan Para Sederek ingkang dipun tresnani Gusti,
Nalika ningali lan mbandingaken kawontenan gesang kita kaliyan gesangipun tiyang sanes sacara fisik, kasugihan, pangkat langkung sae katimbang gesang kita, boten gampil manggihi makna ingkang sae saking pasemon kalawau. Menawi sakperangan ing kita saged kanthi gampil wicanten lan ngedumel: teng pundi kaadilanpun Gusti, ngantos kapan Gusti badhe paring wangsulan saking pandongaku? Sipat ngedumel saged ngrampas kabingahan ingkang saking Gusti. Sipat punika saestu sipat ingkang produktif lan namung badhe nambahi momotaning gesang kita. Pramila kita kedah emut kaliyan seratipun Rasul Paulus bab kesabaran tanpa kecalan kapitadosan nalika nanggel momotaning gesang. Rasul Paulus ngajak kita sami ngraos-ngraosaken bilih kita dipun paringi wekdal dening Gusti, sumangga kita ginakaken wekdal punika kanthi kebak ing raos sokur lan ngginakaken wekdal punika kangge setya tuhu leladi wonten ing ngarsanipun. Bilih kita dumugi ing dinten pejah kita, sumangga kita ugi ningali kawontenan ingkang mbeta panggirising manah punika malah dados prekawis ingkang mbeta kauntungan kangge kita, karana Allah sampun nyawisaken kratoning sorga tumrap kita ingkang setya dhateng panjenenganipun. Amin (YEP)
Pamuji : KPJ. 412 : 1 – 4 Ratu Adil Kang Sejati