Minggu Biasa – Penutupan Bulan Kitab Suci
Stola Hijau
Bacaan 1 : Keluaran 17 : 1 – 7
Bacaan 2 : Filipi 2 : 1 – 13
Bacaan 3 : Matius 21 : 23 – 32
Tema Liturgis : Firman Khalik Semesta
Tema Khotbah: Firman Yang Merangkul Perbedaan
Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
Keluaran 17 : 1 – 7
Ayat 1 menunjukkan kondisi Bangsa Israel di perantauan padang gurun. Mengapa perantauan mereka ini memakan waktu hingga 40 tahun padahal jaraknya tak lebih dari 400 km saja (jarak Banyuwangi ke Kediri), para penafsir secara klasik menyatakan bahwa penulis Keluaran 17 ingin menunjukkan kepada pembacanya bahwa pengalaman eksodus puluhan tahun tersebut adalah upaya TUHAN Allah untuk mengajar dan membentuk Israel menjadi bangsa seperti yang Dia kehendaki. Bisa jadi secara teologis dimaknai demikian, karena penamaan tempat-tempat dalam perjalanan mereka, seperti dalam perikop ini – Masa dan Meriba – menunjukkan bagaimana ingatan kolektif bangsa tersebut. Ingatan kolektif itu selalu terkait dengan sejarah bangsa tersebut dengan Tuhan (Bnd. penyebutan mata air Meriba dalam Bil. 27: 14; Ul. 32:51; Mzm. 81:7; 106:32)
Mesir adalah masa lalu bagi bangsa Israel di padang gurun. Dan orang Israel – tak berbeda dengan banyak orang hari ini – punya kecenderungan yang sama: ketika hidup hari ini menjadi berat (krisis), maka orang cenderung menoleh ke masa lalu dan mengatakan “Enak jaman dulu”. Israel padang gurun ini pun mengatakan “Enak di Mesir dulu” (ayat 3). Ada perbedaan antara janji Tuhan dengan kenyataan yang terjadi pada orang Israel saat itu. Yang sangat mudah diserang adalah sang utusan, Musa. Marahnya kepada TUHAN, tapi yang bisa ditemui Musa, akhirnya Musa yang kena. Musa marah kepada bangsa itu juga marah kepada TUHAN.
Peristiwa itu melahirkan istilah Meriba yang berarti bertengkar atau cekcok; dan Masa yang berarti menguji atau mencobai. Orang-orang Israel sampai bertanya, “Apakah memang TUHAN ada di tengah-tengah kita?” Kalau ada mengapa Dia membiarkan kita menderita? Dan TUHAN pun memberikan air kepada mereka melalui mujizat memukulkan tongkat kepada batu. Kalau TUHAN mau, sesuatu yang mustahil bisa kok dilakukan, tapi lebih dari itu, kalau ada perbedaan ngomong enak-enak dulu kan bisa, kok ya langsung bertengkar dan marah-marah. Kok kayak kita saja, hehehe!
Filipi 2 : 1 – 13
Surat Filipi memiliki nada paling hangat dari semua surat Paulus. Surat tersebut bukanlah sebuah surat untuk menyelesaikan masalah tertentu dalam jemaat, tetapi lebih sebagai surat gembala dari seorang bapa pendiri gereja kepada jemaatnya. Namun, justru dari sanalah tampak beberapa teologi khas Paulus.
Filipi 2:1-13 menekankan pada beberapa poin penting dari teologi Paulus :
- Keselamatan dalam Kristus adalah nyata, karena Yesus Kristus adalah Tuhan (ayat 11). Setiap orang perlu mengerjakan keselamatannya dalam Kristus, dengan ketaatan (ayat 12). Ketaatan tidak hadir ketika diawasi, tetapi dalam setiap kesempatan.
- Dalam Kristus ada kasih mesra – nasihat pun jika dilakukan dalam Kristus adalah nasihat kasih (ayat 1) – karena itu setiap pengikut Kristus diminta untuk mengupayakan kasih mesra tersebut dalam hidup mereka setiap hari.
- Untuk itu mereka harus bersehati sepikir (ayat 2). Tidak hanya memikirkan kepentingannya sendiri tetapi juga memikirkan kepentingan orang lain juga (ayat 4). Hal tersebut telah diteladankan oleh Yesus Kristus sendiri, sekalipun dia dalam rupa Allah, tetapi dia justru mengosongkan dirinya (ayat 7), mengambil rupa seorang hamba, menjadi sama dengan manusia. Yesus konsisten dengan pilihan untuk menjadi sama dengan manusia tersebut hingga pada kematian-Nya. Dia tidak mempertahankan dan meletakkan dirinya di posisi tertinggi atau lebih tinggi, tetapi memilih menjadi setara dengan manusia, bahkan rela menjadi manusia yang terendah.
Paulus menyatakan jangan takut menjadi yang kecil dan remeh, jangan takut menjadi yang rendah dan dianggap bukan siapa-siapa; malah justru ikutlah menjadi yang rendah berjuang untuk kebenaran kasih Allah, karena di sanalah karya Allah sedang terjadi.
Matius 21 : 23 – 32
A. Melampaui yang politis dan birokratis
Pertanyaan mengenai kuasa yang diajukan oleh imam kepala dan tua-tua (anggota sanhedrin) orang Yahudi kepada Yesus adalah pertanyaan yang sebenarnya wajar. Pertanyaan tersebut mengarah pada siapakah yang memberikan Yesus wewenang untuk mengajar di Bait Allah. Yesus bukan imam, bukan Lewi, bukan ahli taurat, sehinga tidak seharusnya Yesus mengajar di situ. Dalam logika birokratis, tidak ada masalah dalam pertanyaan tersebut. Secara politis Yesus memang tidak memiliki hak untuk mengajar di tempat itu.
Namun Yesus mengajak para pendengarnya untuk melihat melampaui logika politis dan birokratis – suatu hal yang sulit sebenarnya untuk diterapkan karena orang pasti terikat dengan aturan tertentu, sistem tertentu; tapi Yesus melakukannya. Karena itu Yesus mengajukan pertanyaan tentang baptisan Yohanes. Yohanes, secara politis dan birokratis tidak memiliki posisi dan wewenang untuk membaptiskan orang. Dia bukan anggota sebuah kelompok keagamaan tertentu (karena itu kelompok imam kepala dan sanhedrin tidak percaya kepadanya bahkan membencinya), tapi secara sosial baptisan yang dia lakukan membuat banyak orang mengenal keselamatan dari Allah Israel, orang diubahkan hidupnya melalui baptisan tersebut. Yohanes mungkin tidak punya otoritas lembagawi tertentu, tetapi apa yang dia lakukan membuat orang-orang – secara kultural – mempercayainya sebagai nabi (membuat kelompok imam kepala dan sanhedrin menjadi takut kepadanya).
B. Kebaikan menjadi kebaikan karena itu dilakukan
Hal di atas mengarahkan Yesus pada bagian berikutnya bacaan ini. Bukan posisi politisnya yang menentukan kebaikan seseorang, tetapi apa yang dilakukannya. Kegiatan pengajaran Yesus dan tindakan pembaptisan Yohanes adalah dua hal yang secara politis dan birokratis mungkin tidak memiliki landasan, tapi berdasarkan prinsip kebaikan, yang dilakukan oleh kedua orang tersebut tidak bermasalah sama sekali. Ada orang-orang yang mengatakan kebaikan-kebaikan tapi ternyata tidak dilakukan (seperti anak pertama yang mengatakan bersedia berangkat ke kebun tapi ternyata tidak berangkat). Ada orang-orang yang seharusnya menerima Yesus karena merekalah yang paling tahu tentang nubuat Mesias, tapi mereka justru tidak menerima dia dan pengajaran-Nya. Mereka tahu baptisan Yohanes adalah benar, tapi mereka tidak menerima dia. Bagi mereka kebaikan dan kebenaran hanya terbatas sesuai tafsir kelompok mereka. Tetapi ada orang-orang yang setelah mengatakan tidak, tetapi menyesal dan bertobat lalu berangkat ke kebun (digambarkan melalui simbol pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal). Orang-orang demikian lebih baik daripada kelompok pertama.
Tema seperti ini bukan sebuah tema yang baru dalam Injil Matius. Di Injil Matius berkali-kali Yesus mengajarkan bahwa melakukan kehendak Allah menjadi lebih utama daripada sekadar melakukan ritual keagamaan yang terbatas (Mat. 7:21; Mat. 12:50; Mat. 6:10, dst.). Melakukan kehendak Bapa tidak dibatasi oleh perbedaan kelompok, perbedaan asal-usul, dan hal-hal birokratis lain, yang terpenting adalah apa yang dilakukannya.
Benang Merah Tiga Bacaan:
- Pertengkaran terjadi ketika terjadi krisis. Krisis biasanya menajamkan perbedaan, apakah kita kelompok yang ini atau yang itu. Dalam keadaan yang biasa dan aman-aman saja, kadang perbedaan itu tersamar.
- Tuhan telah menyiapkan rencana baik bagi setiap orang yang melakukan panggilan-Nya, bahkan di tengah situasi krisis sekalipun. Sehingga sebenarnya orang tidak perlu bertengkar berebut kepentingannya sendiri. Orang justru diajak untuk saling terbuka kepada yang lain, mendengar dan menghargai yang berbeda dengannya, bersatu, mewujudkan kehendak Tuhan.
- Dalam melakukan kehendak Allah, satu orang/ kelompok dengan yang lain tidak berkompetisi (berebut paling unggul) tetapi berkolaborasi (bekerja bersama-sama). Firman Tuhan yang terwujud nyata dalam hidup sehari-hari mampu menerima dan merangkul perbedaan, menjadikan orang menjadi sehati sepikir dalam satu kasih, satu jiwa, dan satu tujuan: melakukan kehendak Bapa.
RANCANGAN KHOTBAH : Bahasa Indonesia
(Ini hanya sebuah rancangan, silahkan dikembangkan sesuai konteks Jemaat)
Pendahuluan
Masyarakat Tionghoa sudah ada di tanah air bahkan sebelum Belanda masuk ke Nusantara. Susan Blackburn (dulunya Susan Abeyasekere) dalam bukunya Jakarta: Sejarah 400 Tahun menunjukkan bahwa ketika VOC datang, orang-orang Tionghoa ini dijadikan rekan dagang. Mereka diberikan posisi khusus, lebih rendah dari orang Eropa, tapi lebih tinggi dari suku-suku bumiputera. Hal tersebut menyebabkan kecemburuan sosial luar biasa. Oleh orang-orang Belanda, keadaan seperti itu dipertahankan, justru dibiarkan, supaya kalau ada yang tidak beres mereka bertengkar sendiri.
Hubungan romantis Belanda dan Tionghoa Nusantara ini tidak berlangsung lama, Oktober 1740, wilayah sekitar Batavia menjadi saksi pemberontakan petani Tionghoa dari luar kota. Sambil membawa senjata buatan sendiri para kuli Tionghoa berbaris menuju kota. Adrian Volckanier, Gubenur Jenderal saat itu, mengeluarkan surat perintah: bunuh dan bantai orang-orang Tionghoa. Di sisi lain sentimen orang-orang bumiputera kepada Tionghoa karena rasa iri dan ketidakadilan yang mereka alami selama ini luar biasa tinggi. Bersama dengan orang-orang Eropa di kota secara spontan mereka menyerang para Tionghoa tersebut.
Sekitar 600-700* rumah orang Tionghoa dibakar. Sebanyak 500 orang Tionghoa dipenjara di Balai Kota. Satu per satu dikeluarkan lalu dibunuh dengan keji. Selama seminggu, kota terbakar hebat dan kanal-kanal menjadi merah karena darah. Korban tercatat mencapai 10.000 orang yang sebagian besar bukan para Belanda, tetapi dari warga Tionghoa dan bumiputera. Kejadian tersebut saat ini diingat sebagai Geger Pecinan. Kebencian antar kelompok yang berbeda – yang sengaja dipelihara tersebut – ketika sudah mendarah daging, melahirkan ketegangan, yang jika tidak dicarikan cara untuk berjumpa, hanya akan melahirkan tragedi-tragedi. Peristiwa karena kebencian rasialis kelompok Tionghoa dan kelompok ‘WNI asli’ sampai hari ini pun mungkin masih menjangkiti beberapa orang, bahkan setelah ratusan tahun.
Isi
Perbedaan adalah hal yang tak terelakkan. Perbedaan memang akan selalu ada. Namun, bukankah menyedihkan, ada orang diajar berabad-abad, sejak kecil untuk membenci yang berbeda dengannya. Bayangkan sejak kecil seorang anak diajarkan bahwa orang yang beragama lain tidak akan masuk sorga. Ada juga yang mengajarkan orang dari gereja selain GKJW dan seasas dianggap kurang Kristen beneran, mereka cuma pamer kerohanian dan pertunjukan ibadah. Tetangga dan tetangga saling membenci karena punya masalah tetangga tersebut puluhan tahun yang lalu. Karena warisan saudara dan saudara menjadi saling membenci dan diturunkan kepada anak-anaknya. Akhirnya yang berbeda melulu dianggap hama yang sebisa mungkin harus dihabisi. Ada kebiasaan yang berbahaya: ketidaksukaan kepada yang berbeda dipelihara sebagai hal yang seolah-olah wajar.
Ketidaksukaan karena perbedaan itu ditampilkan jelas oleh imam-imam kepala dan tua-tua Israel kepada Yesus. Yesus bukan kelompok mereka, kok berani-beraninya mengajar di Bait Allah yang adalah wilayah mereka. Tidak peduli apa yang diajarkan, Yesus sudah terkenal sering mengkritik kelompok Yahudi, Dia harus disingkirkan dari tempat itu. Mungkin kalau situasinya aman-aman saja, misalnya Yesus mengajar di tempat lain, tidak apa-apa, tetapi Yesus kali ini dianggap sudah masuk wilayah mereka. Dalam situasi yang biasa-biasa saja, perbedaan kadang tersamar, tapi kalau yang berbeda itu masuk wilayah mereka, maka yang berbeda itu menjelma ancaman.
Bukankah orang Israel yang berjalan di padang gurun itu kalau situasinya enak ya mereka tenang saja, tapi begitu kenyataan yang mereka alami tidak sesuai dengan kenyataan, mereka marah. Katanya ke tanah terjanji yang berlimpah susu dan madu, kok sekarang air saja tidak ada. Ketika krisis terjadi, perbedaan bisa menimbulkan pertengkaran luar biasa. Dan kalau bertengkar siapa yang dibela? Pasti kelompoknya sendiri, yang lain, yang berbeda dianggap musuh. Saling menumpas, saling cari menang, seolah-olah itulah tujuan hidup mereka. Seolah-olah itulah kebenaran.
Namun, bayangkan ketika kelompok yang berbeda itu akhirnya mau berjuang bersama. Bayangkan agama-agama yang berbeda saling berdiskusi dan melakukan aksi bersama untuk masalah sampah dan ekologi. Bayangkan gereja yang berbeda-beda denominasi berjuang bersama untuk memperjuangkan kebebasan beribadah. Bayangkan ketika kelompok yang berbeda berkumpul untuk mendirikan koperasi supaya semuanya sejahtera. Ketika melihat tujuan yang lebih berkelanjutan tersebut, rencana indah Allah untuk kehidupan tersebut, maka kebencian karena perbedaan bukanlah sesuatu yang seharusnya dipertahankan lagi. Justru perbedaan-perbedaan tersebut dihargai, kadang sejenak dikesampingkan, kadang justru perbedaan dipakai untuk saling melengkapi, demi terwujudnya rencana indah Allah untuk kehidupan tersebut.
Geger Pecinan mungkin tidak perlu terjadi andai saja kelompok Tionghoa dan bumiputera saat itu melihat bahwa yang harus mereka lawan sebenarnya adalah ketidakadilan dan pemecahbelahan yang dilakukan para penjajah – dan untuk itu mereka perlu duduk bersama. Para imam kepala dan tua-tua Israel mungkin tidak perlu bertengkar dengan Yesus kalau mereka sama-sama sadar bahwa tujuan mereka adalah menghadirkan kehendak Allah – dan untuk itu mereka perlu duduk bersama. Orang Israel dan Musa tidak perlu bertengkar, mereka cukup ngomong baik-baik, “Mus, ini tidak ada air, lo! Minta sama TUHAN dong.” Kalau saja mereka menahan amarah mereka, mungkin mereka tidak perlu berpuluh-puluh tahun di padang gurun – dan untuk itu mereka perlu duduk bersama. Kalau saja yang berbeda itu tidak sibuk berkompetisi tapi memilih untuk berkolaborasi. Duduklah bersama, sambil ngopi atau ngeteh bersama, berbicara dengan humor-humor yang menyenangkan.
Karena itu Paulus mengingatkan sebuah kata khas ‘sehati sepikir’lah terutama ketika krisis terjadi. Sebelum saling bertengkar sendiri-sendiri, marilah belajar saling duduk bersama, mendengarkan – bahkan Paulus menggunakan istilah rendahkanlah dirimu, kosongkan dirimu. Kalau terus-terusan merasa saya benar dan yang lain salah ya jadinya bertengkar. Tapi kalau diubah ‘dalam perspektif saya bisa jadi saya benar, tapi dia pun merasa dia benar, kami yang sama-sama benar kok malah bertengkar, wah ini saatnya duduk bersama ngomong bareng’ mungkin ceritanya akan lain.
Penutup
Dalam Penutupan Bulan Kitab Suci ini, firman Tuhan mengingatkan kita, Tuhan punya rencana indah untuk semua ciptaan. Rencana itu tidak akan terwujud kalau setiap kelompok yang berbeda cuma membela kebenarannya sendiri-sendiri dan menyingkirkan yang lain yang berbeda. Rencana indah itu akan terjadi ketika kita merangkul yang berbeda dan bersama-sama berjalan melakukan kehendak Allah. Kita mulai dari diri kita sendiri dulu, yuk! Amin! (gid).
Nyanyian : KJ. 249 Serikat Persaudaraan
—
RANCANGAN KHOTBAH : Basa Jawi
Pambuka
Tiyang Tionghoa sampun manggen ing Nusantara punika saderengipun para Walandi lumebet. Ing buku Jakarta : Sejarah 400 Tahun kacariyosaken bilih nalika VOC lumebet, tiyang-tiyang Tionghoa punika dipun dadosaken rencang dagang. Lan boten punika kemawon, dipun paring posisi ingkang mligi ing tata gesang masyarakat, langkung andhap tinimbang tiyang Eropa, nanging langkung inggil kabandingaken kaliyan tiyang bumiputera. Kawontenan masyarakat berkelas-kelas mekaten dipun sengaja kaliyan para penjajah, supados antawisipun kelompok-kelompok tiyang jajahan sami iri drengki, menawi wonten masalah lajeng tukaran piyambak antawisipun kelompok setunggal kaliyan ingkang sanes.
Lan kedadosan, nalika sasi Oktober 1740, ing Batavia wonten pemberontakan saking para tani Tionghoa awit tindakanipun para kumpeni ingkang boten adil. Para kuli Tionghoa punika mbekta senjata piyambak-piyambak. Gubernur Jendral nalika punika, Adrian Volckanier ngedalaken serat perintah supados para Tionghoa dipun basmi. Mireng prekawis punika, para rakyat bumiputera ingkang sampun sawatara wekdal rumaos boten remen kaliyan tiyang Tionghoa lajeng ndherek tiyang Eropa numpes para pemberontak Tionghoa.
Sakathahing 600-700* griyanipun tiyang Tionghoa ing Batavia dipun obong. 500 tiyang Tionghoa dipun kunjara ing Balai Kota, setunggal baka satunggal dipun peksa medal lajeng dipun pejahi kanthi kejem. Seminggu kutha punika kobong lan kanal-kanal dados abrit mawi getih. Sedaya kurban kacathet ngantos 10.000 tiyang, ingkang kathah nggih saking tiyang Tionghoa lan bumiputera. Prastawa punika kaenget dados prastawa Geger Pecinan. Raos sengit marang kelompok sanes ingkang benten, menawi sampun mendarah daging lan boten dipun upadosaken rampung namung ndadosaken tragedi-tragedi. Dinten punika, sandayan sampun atusan taun, taksih wonten kemawon tiyang ingkang nggadhahi raos sengit dhumateng tiyang Tionghoa.
Isi
Benten punika limrah. Nanging ingkang ndadosaken sedhih punika wonten tiyang ingkang dipun wucal memengsahan kaliyan ingkang benten kaliyan piyambakipun. Wonten lare ingkang wiwit alit dipun wucal tiyang ingkang agaminipun benten boten saged mlebet Swarga. Wonten warga greja ingkang dipun wucal bilih greja saklintunipun GKJW lan greja seasas punika kirang Kristen, namung pamer karohanen lan ibadahipun kados tontonan. Wonten tanggi ingkang mataun-taun sami sengit awit masalah ingkang sampun kalampahan pinten-pinten taun kepengker. Wonten sedherek ingkang sami memengsahan awit prekawis warisan, lan memengsahan punika dipun turunaken dhumateng anak-anakipun. Ingkang benten dipun anggap ancaman. Boten remen kaliyan ingkang benten punika wajar.
Raos boten remen punika kanthi jelas dipun katingalaken dening para imam lan para pinisepuhipun Israel dhumateng Gusti Yesus. Yesus punika sanes kelompokipun, kok wantun mucal ing Padaleman Suci. Padahal wilayah punika wilayahipun para imam lan pinisepuhipun Israel punika. Para tiyang punika boten purun mirengaken punapa ingkang dipun wucalaken, ingkang dipun mangertosi Yesus kedah dipun singkiraken saking ngriku. Tumindak dhumateng ingkang benten punika asring kados mekaten, menawi kondisinipun biasa-biasa kemawon, nggih aman-aman kemawon. Nanging menawi ingkang benten punika lumebet ing daerah wewengkunipun, nyrempet prekawis ingkang sensitif, lajeng dados ambyar. Ing suasana ingkang tenang, ingkang benten punika saged kaslimuraken, nanging menawi adhep-adhepan ingkang benten lajeng dados ancaman lan mengsah.
Prekawis punika katingal saking gesangipun bangsa Israel nalika lumampah ing ara-ara samun. Nalika situasinipun sekeca nggih tenang kemawon. Nanging nalika kesunyatan punika boten pas kaliyan janji ingkang dipun tampi saking Gusti, lajeng sedaya tiyang dados ngamuk. Ngendikanipun lumebet dhumateng tanah ingkang kebak susu lan madu, nyatanipun toya kemawon boten wonten. Nalika krisis, raos benten punika asring ndadosaken crah. Lan menawi sampun crah, ingkang dipun belani boten sanes kelompokipun piyambak. Ingkang benten saksaged-sagedipun dipun tumpes.
Nanging, cobi kita bayangaken kosok wangsulipun, nalika ingkang benten punika purun berjuang sanes. Bilih agama-agama ingkang benten purun berjuang sareng mengatasi masalah sampah lan ekologi. Cobi kita bayangaken menawi greja-greja ingkang benten-benten denominasipun purun berjuang sareng kangge kebebasan beribadah. Cobi kita bayangaken endahipun nalika kelompok-kelompok ingkang benten purun kempal sareng mujudaken koperasi supados sedaya sejahtera. Kangge tujuan ingkang langkung utami, rancanganipun Gusti Allah ingkang kebak tentrem rahayu kangge sedaya tumitah, raos sengit awit rumaos benten punika kedah dipun tilar. Sedaya ingkang benten dipun rangkul mujudaken kasaenan sesarengan. Sedaya dipun tindakaken kanthi adil, setunggal njangkepaken ingkang sanes supados karsanipun Allah saged kababar. Cobi menawi punika ingkang kedadosan, punapa boten endah sanget?
Geger Pecinan mbok bilih boten badhe kedadosan nalika kelompok Tionghoa lan bumiputera rumaos bilih piyambakipun dipun adu domba mawi tumindak boten adil saking para penjajah – lan prekawis punika saged kalampahan menawi purun lenggah sareng. Para imam lan pinisepuhipun Israel boten badhe mengsahi Gusti Yesus menawi purun ngrumaosi menawi piyambakipun lan Gusti Yesus nggadhahi misi ingkang sami, boten sanes supados karsanipun Allah kababar – lan prekawis punika saged kalampahan menawi purun lenggah sareng. Tiyang Israel lan Musa boten prelu geger, cekap ngendikan ingkang sekeca, “Mas Musa, boten wonten toya, Mas. Mbok, jenengan nyuwun dhumateng Gusti.” Mbok bilih mboten prelu nesu lan sedaya purun mangertosi kawontenan, bangsa punika boten prelu puluhan taun wonten ing ara-ara samun – lan prekawis punika saged kalampahan menawi purun lenggah sareng. Mangga sami lenggah sesarengan, ngopi utawi ngeteh, ngrembug prekawis-prekawis ingkang benten kanthi gegujengan.
Awit punika, Paulus ngengetaken satunggal kaliyan sanes saged ta tunggal budi, tunggal pangrasa, mliginipun nalika wonten masalah. Saderengipun sami tukar padu, mangga sami lenggah sesarengan, sami mirengaken – malah Paulus ngginakaken tembung andhap asor lan nyuwungaken sarira. Menawi terus-terusan rumawos piyambak lan kelompokipun leres lan ingkang benten punika lepat, nggih tukar padu. Nanging menawi purun rumaos ‘aku ngene rumangsa bener, dheweke ngono ya rumangsa bener, kok isa sing bener karo bener malah geger, oh iki wayahe lungguh omong-omongan bareng’ mbok bilik cariyosipun badhe benten.
Panutup
Ing Panutupan Wulan Kitab Suci punika, sabdanipun Gusti ngengetaken kita bilih Gusti Allah punika nggadhahi rancangan ingkang endah kangge sedaya tumitah. Rancangan punika boten badhe kawujud menawi tiyang ingkang benten-benten sami memengsahan. Rancangan punika saged kawujud menawi ingkang benten purun sami rangkul rinangkul lan sengkut makarya sesarengan ing marginipun Gusti. Sumangga kita wiwiti saking dhiri kita piyambak-piyambak. Amin! (gid).
Pamuji : KPJ. 357 Endahing Saduluran
*: Di Rancangan Khotbah edisi cetak tertulis “Sekitar 6.000-7.000 rumah orang Tionghoa dibakar” yang benar 600-700 rumah orang Tionghoa dibakar