Minggu Biasa – Bulan Kitab Suci
Stola Hijau
Bacaan 1 : Keluaran 14 : 19 – 31
Bacaan 2 : Roma 14 : 1 – 12
Bacaan 3 : Matius 18 : 21 – 35
Tema Liturgis : Firman Khalik Semesta
Tema Khotbah: Relasi : Antara Pengampunan dan Keadilan
Penjelasan Teks Bacaan :
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
Keluaran 14 : 19 – 31
Narasi ini adalah salah satu narasi yang paling terkenal dan bisa dikatakan sebagai salah satu yang paling “seru” dalam kisah perjalanan Bangsa Israel. Teks menceritakan, bahwa kelegaan Bangsa Israel yang akhirnya berhasil keluar dari Mesir itu tak berlangsung lama. Allah memang menuntun mereka memutar jalan ke arah Laut Teberau agar mereka tak perlu menghadapi peperangan dengan orang Filistin (13:17). TUHAN sendiri berjalan di depan bangsa Israel dalam tiang awan di siang hari dan tiang api di malam hari, sehingga mereka dapat berjalan terus siang dan malam (13:21). Namun kemudian “berubahlah hati Firaun”, ia menyesal membiarkan para budaknya melarikan diri. Firaun membawa enam ratus kereta pilihan untuk mengejar dan bala tentara terlatih itu dapat menyusul bangsa Israel di dekat Pi-Hahirot dengan sangat mudah (ay. 5-7). Menariknya, ay. 8 memberikan keterangan bahwa TUHAN sendirilah yang mengeraskan hati Firaun. Penulis Keluaran menempatkan TUHAN sebagai inisiator dalam peristiwa ini.
Secara perhitungan strategis, tentara Mesir bersenjata lengkap ini pasti akan dengan mudah mengalahkan dan menangkap orang Israel kembali. Karena itu, saat menyadari bahwa mereka dikejar oleh Firaun dan tentaranya yang perkasa, jelas orang-orang Israel merasa ketakutan yang luar biasa dan mulai bersungut-sungut dan menuntut TUHAN melalui Musa (ay. 10-12). Respon Israel ini sebenarnya menunjukkan betapa mereka lebih mengenal kekuatan Firaun dan tentaranya, daripada kekuasaan TUHAN yang telah membebaskan mereka. Musa, menjawab keluhan Israel dengan menunjukkan citra kepahlawanan TUHAN: “TUHAN akan berperang untuk kamu” (ay.14). Setelahnya TUHAN bereaksi dengan memberikan instruksi pada Musa tentang strategi yang akan dijalankan: menyuruh bangsa Israel untuk segera berangkat, mengangkat tongkat untuk membelah air laut dan semua orang berjalan di tengah laut, di tempat kering (ay. 15-16). Di saat yang sama, Dia berencana untuk terus mengeraskan hati Firaun dan seluruh pasukannya untuk terus mengejar Israel. Ini semua adalah agar “orang Mesir mengetahui bahwa Akulah TUHAN” (ay. 17-18).
Segera setelah itu, kejadian Ilahi mulai dipertunjukkan, tiang awan yang tadinya ada di depan rombongan bergerak ke belakang dan menjadi penghalang antara Israel dan tentara Mesir (ay. 19-20). Dalam narasi ini ditunjukkan bahwa TUHAN bekerja dalam dan melalui entitas alam. Narasi berlanjut, TUHAN meneruskan pekerjaan-Nya dengan menggunakan Musa untuk mengendalikan alam: membuat angin timur semalam-malaman membelah air dan menciptakan tempat kering agar bangsa itu bisa menyeberang (ay. 21-22). “Semalam-malaman” sebenarnya menunjukkan proses pengeringan laut yang membutuhkan waktu, jadi terbelahnya air itu bukanlah suatu kejadian instan yang terjadi sekejab mata. Ini menunjukkan bahwa kuasa TUHAN bekerja dan berproses bersama manusia dan alam untuk mencapai tujuan Ilahi. Kerjasama tiga unsur (TUHAN, manusia dan alam) inilah yang menciptakan “tempat kering”, sebuah tempat yang memberikan ruang pada iman. Dampak “tempat kering” ini memang berlaku secara berbeda, bagi Israel yang dibela TUHAN, mereka melalui tempat itu dengan selamat dan gilang gemilang karena air itu bagaikan tembok di kiri dan kanan mereka. Namun, bagi Mesir yang menjadi lawan-Nya, “tempat kering” itu berarti kekacauan dan kekalahan telak, karena air berbalik ke tempatnya dan menutupi seluruh pasukan, semua orang Mesir “mati terhantar di pantai laut” (ay. 30). Meski demikian tujuan Ilahi tercapai, “tempat kering” itu melahirkan iman pada TUHAN. Bukan hanya Israel yang kemudian benar-benar percaya (ay. 31), namun ternyata orang Mesir pun menjadi percaya. Di tengah kekacauan “tempat kering” itu mereka membuat pengakuan iman: “TUHANlah yang berperang untuk mereka” (ay. 25). Demikianlah, “tempat kering” diciptakan TUHAN untuk memberi ruang bagi pertumbuhan iman.
Roma 14 : 1 – 12
Telah lama disimpulkan, bahwa Surat pada Jemaat di Roma adalah tulisan Paulus yang paling sistematis dan secara kuat menunjukkan posisi teologisnya. Tema-tema teologis yang dituliskan Paulus dalam surat ini kebanyakan bukanlah respon praktis terhadap peristiwa-peristiwa yang sedang dihadapi Jemaat secara aktual (tak seperti surat Paulus pada Korintus misalnya), namun lebih pada paparan teologi Paulus yang mengambil konteks jemaat-jemaat Kristen yang lebih umum saat itu. Inilah yang ditunjukkan pada bagian bacaan ini. Paulus sedang memberikan statement teologisnya, berkaitan dengan pertentangan yang secara umum terjadi di Jemaat-jemaat saat itu, yaitu pertentangan di ranah teologi ritual antara orang Kristen berlatarbelakang Yahudi dan orang Kristen berlatarbelakang pagan (non-Yahudi, yang sering dianggap sebagai bangsa kafir). Orang Kristen pagan dengan mudah menerima “kebebasan kristiani” sebagai bagian dari iman, itu bukanlah hal asing bagi mereka. Karena itulah dengan simpatinya Paulus menyebut mereka sebagai lawan dari “yang lemah iman”.[1] Berbeda dengan mereka, orang Kristen-Yahudi sangat sulit menerima kebebasan dalam Kristus karena mereka merasa terikat pada ketentuan-ketentuan khas Yahudi seperi tradisi halal-haram atau tahir-najis dan juga ritual yang berkaitan dengan perayaan-perayaan hari khusus. Golongan inilah yang disebut Paulus sebagai yang “lemah iman”.
Paulus memang mengakui ada pertentangan internal dalam gereja secara umum saat itu, dimana masing-masing golongan menganggap dirinya lebih benar dan lebih ngristeni dari golongan yang lain. Kita pun dapat melihat bahwa Paulus lebih berpihak pada golongan Kristen-Pagan yang sudah mampu memahami arti hidup dalam kebebasan Kristus. Namun, Paulus juga dengan jelas menegaskan bahwa semua orang dalam gereja harus: saling menerima (ay. 1), tak boleh menghina dan menghakimi satu sama lain (ay. 3) dan hendaknya tiap orang harus benar-benar yakin dalam hatinya sendiri (ay. 5). Menurut Paulus, hal-hal tersebut mesti dilakukan Jemaat karena semua orang hidup dan mati untuk Tuhan dan mustahil seseorang hidup untuk dirinya sendiri (ay. 7-8). Artinya, ia sedang mengingatkan Jemaat di Roma, bahwa perasaan lebih benar tidak memberi mereka hak untuk menghakimi orang lain yang dianggap kurang benar. Karena yang berhak jadi hakim hanyalah Allah sendiri dan setiap orang akan memberikan pertanggunganjawab tentang dirinya pada Allah (ay. 12).
Matius 18 : 21 – 35
Pengampunan sebenarnya bukanlah sesuatu yang sangat khas kristiani, karena siapapun orangnya dan apapun kepercayaannya, meminta dan memberi maaf adalah bagian dari kehidupan sesehari. Pengampunan menjadi isu lebih serius saat kesalahan yang dilakukan adalah kesalahan yang disengaja dan dilakukan berulang. Inilah yang nampaknya sedang ditanyakan oleh Petrus dalam bagian narasi bacaan kita hari ini. Petrus datang pada Yesus membawa pertanyaan bagus dan sudah mempersiapkan jawaban dengan sangat percaya diri: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” (ay. 21). Tentu yang dibahas Petrus di sini bukanlah kesalahan-kesalahan kecil yang tak disengaja, namun ia menyebutnya sebagai “dosa”. Sedangkan jumlah “tujuh kali” yang ditawarkan Petrus itu sebenarnya memiliki dasar teologis yang cukup kompleks. Dalam tradisi Perjanjian Lama, seringkali digambarkan tiga kali adalah jumlah maksimal dari seseorang untuk dapat diampuni Tuhan (Lih. Amos 1:2), jika kesalahan itu masih diulang kali keempat, bukan pengampunan yang didapat melainkan hukuman. Beberapa Rabi Yahudi akhirnya menetapkan tiga kali sebagai standar maksimal seseorang dapat diampuni. Namun, Petrus mengalikannya dengan dua dan ditambah satu, sehingga didapatlah angka sempurna (menurut Yahudi) yaitu tujuh. Jadi, sebenarnya angka tujuh yang ditawarkan oleh Petrus itu sudah sangat di atas standar yang dipahami saat itu. Petrus memandang perkara pengampunan dari sudut pandang relasi manusiawi. Petrus pun seakan sangat percaya diri bahwa gurunya akan setuju dengan pendapatnya. Ternyata tidak …
Yesus menjawab: “Bukan! Bukan tujuh kali melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (ay. 22). Ah… apa, Tuhan Yesus sejak mengajak kita menghitung matematika? Apakah artinya tujuh puluh tujuh kali tujuh kali? Apa itu 70×7? Atau 70×7 pangkat 7? Duh… pusing! Sebentar, nampaknya Yesus tidak sedang memberi kita soal cerita matematika. Dia melanjutkan jawabannya pada Petrus dengan sebuah cerita perumpamaan yang diawali dengan frase khas: “sebab hal Kerajaan Sorga seumpama …” (ay. 23). Bagi Yesus, soal pengampunan ternyata bukan hanya masalah relasi manusiawi, namun Dia membawanya ke aras yang lebih kompleks: Kerajaan Sorga, perkara Ilahi!
Perumpaan itu menceritakan, ada seorang hamba yang berutang pada seorang raja, jumlah hutangnya pun luar biasa: 10.000 talenta dan ia tak mampu melunasi hutangnya. Karena itulah sang raja memerintahkan agar ia dijual beserta dengan anak-istri dan semua harta miliknya. Keputusan raja ini secara implisit menunjukkan bahwa raja dalam perumpamaan ini bukanlah seorang Yahudi, karena dalam Yudaisme saat itu tidak diperkenankan menjual istri karena hutang suaminya. Untuk menghitung seberapa besar 10.000 Talenta itu memang ada banyak cara, namun kali ini saya mencoba untuk menggunakan data historis untuk menunjukkan besarannya. Besaran anggaran di propinsi-propinsi jajahan Roma di seputar Palestina saat itu “hanya” sekitar 300-600 talenta per tahun. Jadi, jika itu terjadi di masa kini, hutang si hamba itu lebih besar dari APBD Propinsi Jawa Timur! Namun, karena si hamba itu memohon, Sang Raja justru membebaskan dan menghapuskannya dari hutang-hutangnya yang besar itu. Namun, si hamba penghutang itu segera beralih posisi sebagai pemberi hutang saat ia berjumpa dengan sesama hamba yang berhutang padanya sebesar 100 Dinar. 100 Dinar juga bukan jumlah yang sangat kecil (karena 1 Dinar adalah upah pekerja dalam sehari), namun jika dibandingkan dengan hutangnya pada raja, hutang teman hamba itu kira-kira hanya seper-enamratusribu dari hutangnya sendiri (1 Talenta = 6000 Dinar). Sungguh tidak sebanding. Namun, ia justru menangkap dan mencekik kawannya dan dengan tanpa ampun ia menjebloskan sang kawan ke penjara (ay. 29-30). Hal ini diadukan pada raja, dan membuatnya marah besar, ia pun diserahkan pada algojo-algojo untuk melunaskan segala hutangnya (ay. 34). Lalu Tuhan Yesus menyimpulkan pengajaran-Nya dengan menegaskan bahwa Bapa di Sorga akan berbuat hal yang sama jika kita tidak mengampuni saudara yang berdosa dengan segenap hati (ay. 35). Demikianlah, menurut Yesus tiap orang harus ME-ngampuni saudaranya karena telah DI-ampuni oleh Sang Bapa. Tapi tentu hal ini tidak berarti sebaliknya, kita ME-ngampuni agar DI-ampuni.
Benang Merah Tiga Bacaan:
Relasi dengan Tuhan mestilah koheren (sejajar) dengan relasi dengan sesama manusia dan sesama ciptaan. Tak bisa seorang pun mengaku bahwa ia memiliki hubungan dekat dengan Tuhan, namun justru bermusuhan dengan sesamanya. Sejak awal perjalanan TUHAN bersama Israel, Dia memilih untuk melibatkan manusia dalam pekerjaan besar-Nya. Ia memilih untuk melibatkan Musa dan juga kekuatan entitas alam untuk menciptakan “tempat kering” guna mencapai tujuan Ilahi-Nya. Ini pun ditegaskan pula oleh Tuhan Yesus yang menyatakan bahwa tiap orang harus ME-ngampuni sesamanya, karena dirinya telah DI-ampuni Bapa di sorga. Karena itulah, Paulus pun mengingatkan bahwa tak ada seorang manusiapun yang patut merasa dirinya lebih benar dari yang lain sehingga merasa berhak untuk menjadi hakim bagi sesamanya. Penghakiman adalah hak Allah, tak ada manusia yang pantas merebut posisi itu dari-Nya.
RANCANGAN KHOTBAH : Bahasa Indonesia
(Ini hanya sebuah rancangan, silahkan dikembangkan sesuai konteks Jemaat)
Pendahuluan
(Pengkhotbah perlu menyiapkan dua buah telur – lebih baik telur rebus agar tak mudah pecah – dan wadah tertutup yang bisa menampung dua telur tadi)
Saudara-saudara, apakah yang akan terjadi jika dua telur ini digoncang-goncangkan? (pegang dua telur itu di tangan kanan dan kiri dan goyangkan tangan – berikan waktu bagi warga jemaat menjawab pertanyaan kita). Lalu, apa yang kira-kira akan terjadi jika dua telur ini saya masukkan ke wadah ini (masukkan telur dan tutup wadahnya), dan saya goncangkan? (kembali berikan waktu warga jemaat untuk menjawab). Ya… jika dimasukkan ke dalam satu wadah yang sama, kemungkinan dua telur ini untuk saling melukai, saling memecahkan, saling benthik akan lebih besar. Berbeda dengan saat dua telur ini saya pegang di tangan yang berbeda dan berjarak antara satu dengan yang lainnya. Mereka tidak akan saling melukai, mereka tidak akan saling benthik.
Saudara yang terkasih, sadarkah kita bahwa telur dalam wadah ini menggambarkan relasi kita dengan sesama kita? Saat kita memutuskan untuk membangun relasi dengan sesama, berarti kita memutuskan untuk memberinya kesempatan lebih besar bukan hanya untuk membahagiakan kita, namun juga memberi kesempatan lebih besar untuk kemungkinan benthik, kemungkinan saling melukai dan bahkan saling memecahkan. Semakin dekat sebuah relasi, semakin besar kemungkinan untuk benthik. Masalahnya di jaman serba digital dan jaman medsos (media sosial) ini, semua orang jadi terhubung satu dengan yang lain dengan lebih dekat. Mungkin tak sering kita ketemu di dunia nyata, namun kadang kita justru benthik di dunia maya. Kita bisa sebel dengan seseorang, hanya karena postingannya di medsos kita anggap lebay. Relasi menjadi perkara yang makin kompleks dewasa ini.
Isi
Kitab Keluaran menggambarkan relasi unik antara TUHAN, manusia dan alam dalam narasi eksodus. TUHAN tak bekerja sendiri untuk mencapai maksud-Nya, Ia justru bersedia untuk turut berproses “semalam-malaman” bersama Musa dan angin timur untuk menciptakan “tempat kering”. Itu tentu tak berarti bahwa TUHAN tak mampu bekerja sendirian, ah…tentu Dia bisa, tentu Dia mampu membelah laut itu dengan tangan-Nya sendiri. Namun, TUHAN bersedia masuk dalam wadah yang sama, masuk dalam sebuah relasi agar manusia turut ambil bagian dalam karya-Nya. Akhir ceritanya kita tahu, bahwa “tempat kering” itu tak hanya membuat orang Israel lebih mengenal TUHAN yang telah membebaskan dan memimpin mereka keluar dari perbudakan, namun juga membuat orang Mesir menyatakan kepercayaannya kepada Allah Israel.
Relasi sejati manusia dengan Tuhannya pastilah tercermin dalam cara berelasinya dengan sesamanya. Karena itulah standar tinggi tujuh kali pengampunan yang diusulkan Petrus ditolak oleh Tuhan Yesus, menurut-Nya relasi antar manusia berkelindan dengan anugerah Allah. Tiap manusia ternyata memiliki hutang tak terbayar yang dengan murah hati telah diberi pengampunan oleh Bapa di sorga. Pengampunan Ilahi itulah yang harus terus dihidupi dan dihayati dalam berelasi dengan sesama. Kesadaran bahwa kita semua telah DI-ampuni hendaknya membawa kita pada kemauan untuk juga ME-ngampuni. Namun, logika ini jangan dibalik! Jangan berpikir bahwa ME-ngampuni sesama adalah cara agar kita DI-ampuni Tuhan. Tak begitu caraNya. Sang Raja dalam perumpamaan tadi telah membebaskan hambanya dari hutang yang luar biasa besar, kemurahan hatinya luar biasa menakjubkan. Tapi, kemurahan hati itu tidak membuatnya buta. Sang Raja tetap mampu bertindak adil. Saat hambanya justru mencekik dan menangkap rekannya yang juga berhutang padanya, rasa keadilan Sang Raja terusik! Dia memutuskan untuk menjatuhkan hukuman berat pada si hamba yang tak tahu diri itu. Dan itulah yang akan dilakukan Bapa di sorga (ay. 35), kasih-Nya tak akan menumpulkan keadilan-Nya.
Kebenaran memang perlu diyakini dan bahkan dibela. Paulus juga menunjukkan keberpihakannya pada golongan Kristen berlatarbelakang pagan yang telah mampu menghayati dan menghidupi arti kebebasan dan kemerdekaan dalam Kristus. Namun, di saat yang sama sang Rasul juga mengingatkan agar mereka tak menertawakan, menghina apalagi menghakimi sesamanya yang mereka anggap tak lebih benar. Kebenaran yang diyakini tidak pernah memberikan hak untuk menghakimi orang lain yang menurut kita tak benar. Penghakiman adalah bagian Allah dan tak seorang pun (bahkan mereka yang benar) punya hak untuk mengambil bagian Allah untuk menjadi hakim.
Penutup
Demikianlah relasi kita dengan Tuhan hendaknya beresonansi dengan relasi kita dengan sesama manusia dan bahkan juga sesama ciptaan. Kesalehan ritual personal tentulah baik, namun harus terus diimbangi dengan usaha kesalehan spiritual komunal pula. Karena cinta-Nya yang luar biasa kita DI-ampuni, karena itu mari belajar mencintai sesama dengan ME-ngampuni dalam kerangka kebenaran dan keadilan. Amin. (Rhe)
Nyanyian : KJ. 467 Tuhanku, Bila Hati Kawanku
—
RANCANGAN KHOTBAH : Basa Jawi
Pambuka
Para sederek ingkang kinasih, “Punapa ingkang badhe kedadosan bilih wonten kalih tigan ingkang dipun goyang-goyangaken?” (pelados nyepeng kalih tigan ing tangan tengen lan kiwanipun lajeng tanganipun punika dipun goyangaken. Lajeng pelados maringi kesempatan kangge warga pasamuwan mangsuli pitakenan punika). “Punapa kinten-kinten ingkang badhe kedadosan bilih kalih tigan punika dipun lebetaken ing wadah punika?” (mlebetaken tigan lajeng dipun tutup wadahipun) “Kula goyangaken?” Inggih, bilih dipun lebetaken ing satunggal wadah ingkang sami, tigan kalawau saged ugi pecah, lan benthik. Benten kaliyan kalih tigan ingkang kula cepeng ing tangan ingkang benten punika lan wonten jarakipun antawisipun setunggal lan sanesipun. Tigan punika boten badhe pecah utawi benthik.
Para sederek ingkang kinasih, sadar punapa boten bilih tigan ingkang wonten wadah punika dados gambaran gegayutan kita kaliyan sesami? Nalika kita mbangun hubungan kaliyan sesami, tegesipun kita mbangun kesempatan ingkang langkung ageng boten namung kangge nentremaken kita kemawon ananging ugi saged dadosaken benthik utawi pecah ing salebeting hubungan laiyan sesami punika. Sangsaya raket anggen kita mbangun hubungan, sangsaya ageng anggenipun benthik. Masalahipun ing jaman ingkang serba digital lan jaman medsos (media sosial) punika, sedaya tiyang sami katunggilaken setunggal lan sanesipun langkung celak. Mbok menawi kita boten saged pepanggihan ing donya nyata, ananging malah asring kita benthik ing donya maya. Kita saged boten remen dhateng tiyang sanes, namung karana tulisanipun (posting) ing medsos ingkang boten kita remeni. Hubungan kita kaliyan sesami dados prekawis ingkang sangsaya kompleks wekdal punika.
Isi
Kitab Pangentasan gambaraken hubungan ingkang unik antawisipun Gusti Allah, manungsa lan alam ing cariyos Pangentasan punika. Gusti Allah boten makarya piyambak kagem nindakaken pakaryanIpun. Gusti Allah sumadya berproses kaliyan Musa lan angin saking wetan dadosaken “papan ingkang garing”. Bab punika boten ateges bilih Gusti Allah boten saged makarya piyambak. Gusti Allah saged, Gusti Allah kuwaos nyiwakaken seganten kaliyan Astanipun piyambak. Ing ngriki, Gusti Allah sumadya lumebet ing wadah ingkang sami, lumebet ing relasi kaliyan manungsa supados manungsa saged lumebet ing pakaryaning Gusti Allah. Ing pungkasan carita kita mangertos bilih “papan ingkang garing” punika, boten namung dadosaken bangsa Israel langkung mangertos Gusti Allah, ingkang sampun ngluwari lan mimpin bangsa Israel medal saking pangawulan, nanging ugi dadosaken bangsa Mesir ngakeni kapitadosanipun dhateng Gusti Allah Israel.
Hubungan ingkang sejati antawisipun manungsa kaliyan Gusti Allah saged dipun tingali saking kados pundi hubunganipun manungsa kaliyan sesaminipun. Karana punika usulanipun Rasul Petrus bab ngapunten ngantos kaping pitu dhateng sesaminipun dipun tolak Gusti Yesus. Miturut Gusti Yesus hubungan antawisipun manungsa punika sami kaliyan sih rahmatipun Gusti Allah. Saben manungsa nyatanipun nggadhah utang ingkang boten saged kabayar, ananging karana sih rahmat lan kamirahanipun Gusti Allah, manungsa kaapunten dosanipun dening Gusti Allah. Pangapuntenaning Gusti Allah punika ingkang terus wonten ing salebeting gesang lan kedah dipun hayati anggenipun mbangun hubungan kaliyan sesami. Pangertosan bilih kita sampun kaapunten kedahipun dadosaken kita ugi saged ngapunten sesami kita. Nanging, bab punika sampun ngantos dipun walik! Sampun ngantos kita nggadahi pemanggih bilih kita ngapunten sesami kita, punika minangka cara supados kita kaapunten dening Gusti Allah. Sanes punika karsa-Nipun Gusti. Sang Prabu ing pasemon punika, ngluwari abdinipun saking utang ingkang ageng punika, nedahaken sih kamirahanipun ingkang ngedap-edapi. Nanging sih kamirahanipun punika boten dadosaken Sang Prabu wuta, Sang Prabu tetep saged tumindak adil. Nalika abdinipun punika nyilakani lan nangkep rencangipun ingkang nggadahi utang dhateng piyambakipun, Sang Prabu saged tumindak adil. Panjenenganipun ngukum abdi ingkang boten sae punika. Inggih mekaten ingkang badhe dipun tindakaken Gusti Allah dateng manungsa ingkang boten purun paring pangapunten dhateng sesaminipun (ay. 35). Katresnanipun Gusti Allah boten badhe ngicali kaadilanIpun.
Kayekten kedah dipun yakini lan dipun bela. Paulus nedahaken keberpihakanipun dhateng tiyang Kristen ingkang saged ngraosaken lan gesangipun ngraosaken pangluwaran lan kamardikan ing Kristus. Ananing ing wekdal ingkang sami, Rasul Paulus ugi ngengetaken supados tiyang boten gujeng lan ngawonaken punapa malih ngadili sesaminipun ingkang dipun pandeng boten leres. Kayekten ingkang dipun yakini boten dadosaken tiyang punika ngakimi tiyang sanes ingkang miturut pemanggihipun boten leres. Pangadilan punika wenangipun Gusti Allah lan boten wonten setunggal tiyang ingkang nggadahi hak kangge ngadili sesaminipun.
Panutup:
Mekaten hubungan kita kaliyan Gusti Allah kedah selaras kaliyan hubungan kita kaliyan sesami lan titahipun. Kasalehan ritual pribadi punika sae, nanging kedah dipun imbangi kaliyan upaya nedahaken kasalehan komunal ugi. Karana katresnanIpun ingkang ageng, kita kaapunten, karana punika mangga kita sami sinau nresnani sesami kita srana ngapunten sesami kita ing kayekten lan kaadilan. Amin. (terj. AR)
Pamuji : KPJ. 351 Samangkya Kita Mardika
—
[1] Paulus memang tidak menyebut golongan orang Kristen berlatar belakang pagan ini sebagai orang yang “kuat iman”, melainkan hanya menempatkan mereka sebagai lawan dari yang “lemah” itu.