Firman yang Terus Menerus Memperbarui Kehidupan Khotbah Minggu 2 September 2018

20 August 2018

Pembukaan Bulan Kitab Suci / Minggu Biasa
Stola Hijau

Bacaan 1: Kidung Agung  2:8-13
Bacaan 2: Yakobus  1:19-27
Bacaan 3: Markus 7:1-8, 14-15

Tema Liturgis: Tekun Bergumul Dengan Firman Tuhan Dan Melakukan Dalam Kehidupan
Tema Kotbah: Firman Yang Terus Menerus Memperbarui Kehidupan

 

KETERANGAN BACAAN
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)

Kidung Agung 2:8-13

Kitab Kidung Agung adalah Kitab yang nampaknya berasal dari adat Yahudi tentang hubungan mempelai laki-laki dan perempuan yang penuh cinta kasih.  Kitab ini dipandang menggambarkan hubungan Tuhan dengan umat-Nya.  Bagian ini merupakan pujian mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang sama-sama dimabuk rindu, yang digambarkan seperti kijang yang meloncat-loncat penuh suka cita dan kegairahan.  “Bangunlah manisku, lihatlah musim dingin telah berlalu!  Musim semi telah datang, kuncup bunga-bunga mulai merekah, bunyi burung tekukur terdengar…sang mempelai rindu sekali untuk mendengarkan suara mempelai perempuan.  Mereka berdua saling memiliki.  Begitulah, Tuhan dan umat-Nya saling memiliki dan saling merindukan suara dan kehadiran masing-masing.

Yakobus 1:19-27

Nasehat Yakobus supaya umat Tuhan menjadi pelaku-pelaku Firman.  Supaya mereka tidak cepat marah dan berkata-kata, tetapi lambat mendengar.  Menjadi pelaku Firman adalah seperti orang yang bercermin, mengamat-amati wajah atau tubuhnya dan segera memperbaikinya ketika kedapatan noda atau kesalahan.  Sehingga terjadi terus menerus perubahan makin baik dalam kehidupannya.  Beribadah adalah hidup sesuai dengan Firman-Nya, tulus dan jujur serta sesuai dengan kehendak Allah, misalnya memperhatikan yang menderita, seperti mengunjungi anak yatim, piatu, janda-janda.  Oleh karena itu ibadah yang benar tidak hanya terkunci dalam tembok-tembok gereja, melainkan juga nyata dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat.

Markus 7:1-8, 14-15.

Orang-orang Yahudi sangat memegang teguh adat nenek moyangnya, misalnya membasuh tangan sebelum makan, membersihkan diri sepulang dari pasar, selalu mencuci cawan, kendi dan lain-lainnya.  Oleh karena itu ketika mereka melihat murid-murid Yesus tidak melakukan nya, segera mereka bertanya kepada Yesus: “Mengapa murid-muridMu tidak mengikuti adat nenek moyang?  Mereka makan dengan tangan yang najis.  Tuhan Yesus menjawab dengan mengutip dari Yes 29:13 “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, pada hal hatinya jauh daripada-Ku.  Perintah Allah diabaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.”  Bukan apa yang masuk kepada seseorang yang menajiskannya, tetapi apa yang keluar daripadanya.  Tuhan Yesus bukan mengajarkan anti adat, melainkan Firman Tuhan yang harus menjadi dasar untuk menilai dan membangun kehidupan.

Benang Merah Ketiga Bacaan

Dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan, Firman-Nya menjadi dasar dalam membangun pikiran, perasaan, kata-kata, perbuatan, kebiasaan dan kehidupan kita.

 

RANCANGAN KHOTBAH: Bahasa Indonesia
(Ini hanya sebuah rancangan, sila dikembangkan sendiri sesuai konteks jemaat)

Pendahuluan

Saudaraku yang dikasihi Tuhan dan mengasihi Tuhan, setiap suku mempunyai adatnya masing-masing.  Adat adalah wujud gagasan budaya yang berupa kebiasaan, nilai-nilai, norma atau pathokan hidup, upacara-upacara, hukum dst.nya.

Orang Jawa misalnya mempunyai adat slametan untuk berbagai tujuan seperti wetonan atau slametan kelahiran yang dilakukan setiap 35 hari (selapan) sekali, slametan tedhak siti atau turun tanah, ruwatan.  Sehubungan dengan tanam padi, ada banyak slametan seperti: ketika padi ditebarkan, padi dicabut untuk ditanam, padi ditanam kembali, ketika padi mulai mengandung bakal buah, menjelang panen dan yang terbesar setelah panen ketika padi masuk lumbung.  Sehubungan dengan orang mati ada 3 harian, 7 harian, 40 harian, 100 harian sampai 1000 harian.  Adat-istiadat ini dipegang teguh sering karena perasaan takut mendapatkan kecelakaan dan penderitaan jikalau tidak melakukannya.

Sebagai orang Kristen, ada kalanya adat-istiadat itu sejajar atau parallel dengan Firman Tuhan.  Tetapi tidak jarang antara adat dengan Firman Tuhan berbeda, bahkan bertentangan.  Disinilah muncul berbagai pertanyaan, sebagaimana ditanyakan oleh orang-orang Yahudi kepada Tuhan Yesus.

Isi

Kritik orang-orang Farisi dan Ahli Taurat terhadap beberapa murid Tuhan Yesus

Ketika orang-orang Farisi dan Ahli Taurat melihat beberapa murid Yesus makan tanpa membasuh tangan mereka, merekapun datang dan bertanya kepada Tuhan Yesus, mengapa murid-muridNya tidak mengikuti adat istiadat nenek moyang, tetapi makan dengan tangan yang najis?

Dengan pertanyaannya ini sebenarnya orang-orang Farisi dan Ahli Taurat tsb tidak bertanya karena tidak mengerti, melainkan ingin memojokkan para murid bersama Tuhan Yesus di tengah khalayak ramai bahwa mereka telah meninggalkan kewajaran umum yang berasal dari nenek moyang untuk menjaga keteraturan alam semesta (kosmos) dan ketenangan masyarakat.  Yesus bersama murid-muridNya itu anti adat, anti budaya, anti masyarakat.  Dengan tidak mengindahkan adat-istiadat itu akan mendatangkan malapetaka bagi seluruh masyarakat.

Tuhan Yesus menjawab dengan mengutip dari Yes 29:13, bahwa mereka memegang teguh adat istiadat manusia, tetapi mengabaikan Firman Tuhan.  Orang Farisi dan Ahli Taurat itu ingin menunjukkan kepada masyarakat, maka Tuhan Yesuspun bersabda kepada orang banyak: “apapun dari luar yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang (dari hati, pikiran), itulah yang menajiskannya.”

Dalam jawabanNya ini Tuhan Yesus tidak menyatakan bahwa iman Kristen itu anti adat-istiadat, budaya dan masyarakat, melainkan bahwa Firman Tuhan harus menjadi dasar pertama dan utama untuk membangun kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa.  Mungkin mula-mula adat-istiadat itu muncul untuk tujuan yang baik, sebagai kebijaksanaan local (local wisdom) untuk menjaga kelestarian alam, ketenangan lingkungan serta keharmonisan hubungan antara manusia dengan sesama dan lingkungan hidupnya.  Namun bagaimanapun juga adat-istiadat sebagai bagian dari budaya adalah buatan manusia.  Sebagai buatan manusia adat adalah bersifat sementara, dapat berubah, penuh karat, ngengat dan gegat serta tidak pernah sempurna.  Tidak jarang adat selanjutnya menjadi membelenggu kehidupan manusia dan masyarakatnya.  Oleh karena itu adat-istiadat perlu selalu dimurnikan, diperbarui dan disempurnakan, bahkan kadang ditentang dan ditolak atau ditinggalkan.  Sehingga kehidupan manusia dapat terus tumbuh, berkembang dan makin sejahtera sesuai kehendak Tuhan.  Untuk semua perubahan itu dasar satu-satunya untuk menilai, mengisi, memodifikasi dan memaknai adalah Firman Tuhan.  Firman Tuhan adalah dasar kehidupan.

Firman Tuhan menjadi dasar membangun kehidupan

Saudaraku, Firman Tuhan dapat membangun kehidupan secara effektif, manakala Firman itu tidak sekedar dibibir saja, dalam ingatan dan pikiran saja, melainkan terpateri di dalam hati pusat hidup manusia, menguasai pikiran dan perasaan dan mewujudkan diri dalam tingkah laku dan tindakan sehari-hari.

Hubungan Tuhan dan UmatNya atau GerejaNya, dalam Kitab Kidung Agung digambarkan seperti hubungan mempelai laki-laki dan perempuan yang dipenuhi cinta dan kerinduan.  Cinta dan kerinduan ini yang menjadikan mereka yang jauh menjadi begitu dekat.  Cinta kasih beranak pinak cinta kasih yang mengalirkan inspirasi, harapan, kesabaran, ketabahan dan kekuatan.  Kerinduan mempertautkan kedua pihak menyatu.  Tuhan selalu rindu menemui umatNya dan umatNya selalu merindukan bertemu Tuhannya, merasakan kehadiranNya, mendengarkan suaraNya dan mengalami sentuhan serta karyaNya.

Dalam cinta dan kerinduan itu nasehat Rasul Yakobus (Yak 1:9-17) supaya kita menerima FirmanNya dengan lembut, artinya dengan kerendahan hati, terbuka dan siap melaksanakannya.  Cepat mendengar, lambat berkata-kata dan menjauhi kemarahan.  Karena yakin bahwa FirmanNya itu semata untuk kebaikan kita dan semesta.  Hal ini seperti tanah yang subur yang menerima benih dan mengeramnya dalam rahimnya dengan penuh syukur, sehingga benih itu tumbuh dengan subur pula.  Selanjutnya hendaklah menjadi pelaku Firman, sehingga Firman itu menyejarah, mewujudkan diri dalam kehidupan nyata kita.  Hal ini dapat digambarkan seperti orang yang bercermin dan di sana kita dapat melihat diri kita mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, kegagahan dan ketampanan atau kecantikan kita, tetapi juga kekurangan kita, cacat cela dan noda-noda kita.  Dari situ segala kelebihan dapat kita kembangkan terus, sebaliknya segala kekurangan dapat kita kikis sampai habis.  Bahkan yang semula terpendam masih berwujud potensi kebajikan dapat kita gali, kita temukan dan kita bangun dan kita bagi.  Selain untuk pribadi, Firman itu juga dapat menjadi cermin untuk membangun keluarga kita, jemaat kita dan masyarakat kita.  Pikiran, kata-kata dan perbuatan yang terus menerus kita tebarkan akan tumbuh menjadi kebiasaan.  Dari kebiasaan tumbuh menjadi karakter dan ketika karakter itu tumbuh bersama akan menjadi adat-istiadat yang membebaskan, menyejahterakan dan menjadi berkat.

Penutup

Alangkah indahnya ketika dalam cinta dan kerinduan Firman itu mewujudkan diri dalam realita kehidupan kita.  Namun, berapa banyaknya hari berlalu, bulan berganti dan tahun melayang membawa kehidupan ini memanjang hingga kehidupan menjadi renta, banyak FirmanNya yang berlalu begitu saja?  Sehingga tidak banyak membangun dalam kehidupan kita.  Oleh karena itu alangkah berbahagianya bagi orang yang menjadi pelaku Firman.  Kehidupannya tentu akan terus tumbuh kokoh, makin baik dan menjadi berkat.

Pujian: KJ. 49

RANCANGAN KHOTBAH: Bahasa Jawa

Pambuka

Sadherek ingkang kinasih ndalem asmanipun Gusti Yesus Kristus,  saben suku nggadhahi adat-istiadatipun piyambak-piyambak.  Adat saestunipun wujuding gagasan kabudayan ingkang arupi pakulinan, patokan gesang, paugeran, upacara-upacara, hukum ingkang dipun ugemi ing saklebeting gesang.  Tumrap kita suku Jawi contonipun nggadhahi adat slametan wetonan, tedhak siti, ruwatan.  Sesambetan kaliyan nanem pantun wonten katah slametan, kadosta rikala gabah kasebar, kacabut saking uritan, katanem malih ing sabin, rikala pantun meteng, ngadhepaken panen lan ingkang paling ageng sasampunipun panen rikala pantun kalebetaken ing lumbung.  Sesambetan kaliyan tiyang tinggal donya katindakaken slametan 3 dintenan, 7 dintenan, 40 dintenan, 100 dintenan ngantos 1000 dintenan.  Sadaya ila-ila lan adat-istiadat punika kaugemi asring karana raos ajrih.  Ajrih kuwalat, ajrih nampi musibah, kacilakan lan kasangsaran.

Tumrap tiyang Kristen kadhang adat-istiadat punika sami utawi saemper kaliyan pangandikanipun Gusti.  Ananging asring ugi benten, malahan lelawanan.  Matemah nuwuhaken marupi-rupi pitakenan, kadosdene ingkang kapitakenaken dening tiyang-tiyang Parisi lan Ahli Toret punika.

Isi

Kritikipun tiyang-tiyang Parisi lan Ahli Toret dhumateng murid-muridipun Gusti

Kacariyos nalika tiyang-tiyang Parisi lan Ahli Toret ningali sawetawis murid-muridipun Gusti sami nedha kanthi mboten mwisuhi tanganipun, tiyang-tiyang punika lajeng pitaken dhateng Gusti Yesus, kenging punapa murid-muridipun mboten ngenut ila-ilaning para leluhur, nanging nedha kanthi asta ingkang najis?

Kanthi pitakenanipun punika saestunipun tiyang-tiyang Parisi lan Ahli Toret punika kepengin mojokaken para murid sesarengan Gusti Yesus ing saktengahing tiyang kathah bilih tiyang-tiyang punika sampun nilaraken pakulinan ingkang umum, patokan gesang ingkang kaparingaken dening leluhur kangge njagi lumampahing tata tertib alam (kosmos) miwah tata tentreming bebrayan.  Awit kanthi mboten nindakaken ila-ilaning leluhur punika badhe ngakibataken musibah ing saktengahing masyarakat.

Gusti Yesus njawab kanthi ngengetaken Yes 29:13, bilih “…..bangsa iki anggone ngluhurake Ingsun kalawan lambe, ananging atine ngedohi Ingsun”.  Gusti Yesus ugi lajeng ngendika dhateng tiyang kathah: “Kabeh padha ngrungokna lan padha pikiren sing temenan.  Samubarang kang saka ing njaba, lumebu ing manungsa, iku ora njalari najis, nanging apa kang metu saka manungsa (saking manah, pikiran, perasaan) iku kang marakake najis.”

Kanthi pangandikanipun punika Gusti Yesus mboten nelakaken bilih iman Kristen punika anti adat-istiadat, kabudayan lan bebrayan, ananging bilih pangandikanipun Gusti punika kedah dados dhasar ingkang utami kangge mbangun gesang sacara pribadi, brayat, masyarakat lang bangsa.  Saged kemawon wiwitanipun adat-istiadat punika tuwuh kanthi tujuan ingkang sae, minangka piwucal wicaksana (local wisdom) kangge njagi lestarinipun alam, saenipun sesambetan antawisipun manungsa lan sesaminipun lan lingkungan gesangipun.  Nanging kadosa pundi kemawon adat-istiadat punika bagian saking kabudayan asil karyanipun manungsa.  Minangka karyanipun manungsa adat-istiadat punika asipat mboten langgeng, ewah-gingsir, kebak teyeng, kebak renget lan singgat saha mboten nate sampurna.  Asring saklajengipun adat dados mbelenggu gesanging manungsa miwah masyarakatipun.  Mila adat-istiadat ugi prelu tansah kaenggalaken, kamurnekaken dhumateng makna ingkang luhur, kasampurnakaken, ateges kaewah, malahan kalawan lan katilaraken.  Matemah gesanging manungsa saged terus tuwuh, ngrembaka sangsaya tentrem raharja ndherek kersanipun Gusti piyambak.  Kangge sadaya ewah-ewahan punika satunggaling dhasar ingkang paling utami kangge nintingi, nimbang, mbiji, ngisi, modifikasi miwah nyukani makna inggih pangandikanipun Gusti piyambak.  Pangandikanipun Gusti punika dhasaring gesang.  Kadospundi ngginakaken pangandikaniun Gusti minangka dhasaring gesang?

Pangandikanioun Gusti dados dhasaring  mbangun gesang

Sadherek kinasih,  pangandikanipun Gusti saged mbangun gesang kanthi effektif, menawi pangandikanipun Gusti punika mboten namung wonten ing lambe kemawon, utawi namung dumugi pikiran lan engetan kemawon, ananging tumancep lebet ing telenging manah minangka pusating gesanging manungsa ingkang lajeng nguwaosi pikiran lan perasaan saha maujud ing pitembungan miwah tindak-tanduk padintenan.

Sesambetan antawisipun Gusti Allah lan umatipun ing Kitab Mustikaning Kidung kagambaraken  kadosdene sesambetaning temanten jaler lan estri ingkang kebak sih katresnan miwah kangening manah.  Sih katresnan miwah kangening manah punika ingkang ndadosaken sanajan tebih raosipun celak sanget, tansah gawang-gawang ing netra lan dhumeling ing talingan.  Sih katresnan miwah kangening manah punika ngilekaken wewengan, pangajeng-ajeng, kasabaran, teteging manah miwah kekiyatan.  Kangening manah tansah nyambetaken kekalihipun dados manunggal.  Gusti Allah tansah kangen kepanggih umatipun saha umatipun ugi tansah kangen kepanggih Gustinipun, ngraosaken rawuhipun, mirengaken suwantenipun miwah ngalami pakaryanipun.

Ing saklebeting sih katresnan lan kangening manah punika Rasul Yakobus maringi pitutur (Yak 1:19-27), supados kita nampi pangandikanipun Gusti kanthi legawaning manah, artosipun kanthi andhap asoring manah sarta sumadiya nindakaken kersanipun.  Karana pitados bilih pangandikanipun Gusti punika kangge kasaenan kita miwah kesaenaning jagad raya.  Bab punika kadosdene tanah subur ingkang nampi winih, ngrengkuh ing gua garbanipun kanthi kebak syukur, saengga winih punika ugi tuwuh ngrembaka kanthi subur lan ngwedalaken who kathah.

Saklajengipun kita kakarsakaken supados nindakaken pangandikanipun Gusti, matemah pangandikanipun punika maujud ing kanyataning gesang kita.  Bab punika kagambaraken kadosdene tiyang ingkang ngilo ing pangilon, lajeng saged nyumerepi dhirinipun wiwit pucuking rambut dumugi pucuking suku, kaelokanipun, nanging ugi kekirangan sarta cacatipun.  Kanthi nindakaken pangandika, wonten ing ngriku sadaya ingkang sae saking dhiri kita kita kembangaken, suwalikipun sadaya ingkang awon saged kita kikis lan icali.  Malahan pangilon punika ugi saged kita ginakaken kangge mbangun brayat, masyarakat lan bangsa.  Saking pangandika numusi pikiran, pitembungan lan tumindak ingkang sae lan leres.  Menawi sadaya punika terus kita sebaraken lan tindakaken badhe dados pakulinan ingkang sae, lan saking pakulinan dados sifat, sarta saking sifat ingkang sae mangun adat-istiadat lan kabudayan ingkang sae miwah mbabaraken berkah.

Penutup

Iba endahipun menawi sih katresnan miwah kangening manah kita maujud ing kanyataning gesang kita.  Nanging sampun pinten cacahing dinten lumampah, wulan ginantos wulan saklajengipun sarta gesang terus lumampah tebih ngantos sepuh, sepah, samun, kathah sanget pangandikaning Sang kekasih kita ngleyang kados angin mekaten kemawon?  Matemah mboten mbangun pagesangan kita?  Saiba begjanipun tumrap tiyang ingkang nindakaken pangandikanipun Gusti.  Sebab gesangipun badhe terus tuwuh ngrembaka, sangsaya dangu sangsaya sae miwah kebak berkah.  Amin.

Pamuji: KPJ. 441

Renungan Harian

Renungan Harian Anak