Hati yang Penuh Pengampunan Menuntun Kepada Kehidupan Khotbah Minggu 17 September 2023

4 September 2023

Minggu Biasa | Bulan Kitab Suci
Stola Hijau

Bacaan 1: Kejadian 50 : 15 – 21
Bacaan 2: Roma 14 : 1 – 12
Bacaan 3: Matius 18 : 21 – 35

Tema Liturgis: Kitab Suci sebagai Pedoman Nilai-nilai Kerajaan Allah
Tema Khotbah: Hati yang Penuh Pengampunan Menuntun kepada

Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)

Kejadian 50 : 15 – 21
Kegelisahan saudara-saudara Yusuf akibat dari rasa bersalah karena perbuatan mereka terhadap Yusuf di masa lalu, membuat mereka takut dan kemudian “mencatut” nama ayah mereka (Yakub yang baru saja mati) untuk mendapatkan pengampunan dari Yusuf. (Ay. 15-17)

Tanggapan Yusuf terhadap saudara-saudaranya yang sedang ketakutan mengungkapkan sikap Yusuf terhadap Allah dan mereka (Ay. 18-21). Yusuf merendahkan dirinya di bawah otoritas Tuhan. Dia menganggap Tuhan sebagai yang berdaulat atas dirinya dan berpemahaman bahwa Tuhanlah yang telah mengatur semua kejadian dalam hidupnya. Dia tahu bahwa tujuan Allah bagi dia, keluarganya, dan semua orang adalah baik (bdk. Kej. ps. 1-2). Akibatnya dia berperilaku dengan penuh kasih sayang terhadap saudara-saudaranya. Ia terbukti sebagai penjaga saudara-saudaranya (lih. 4:9).

Kitab Kejadian dibuka dengan kisah pasangan Adam dan Hawa yang mencoba untuk menjadi seperti Tuhan. Dan ditutup dengan kisah seorang pria, Yusuf, yang justru menyangkal bahwa dia ada di tempat Tuhan. Pendapat ahli menyejajarkan perbuatan saudara-saudara Yusuf terhadap Yusuf seperti perbuatan Yudas terhadap Yesus. Rentetan penipuan yang membuat keluarga ini begitu menderita, berakhir ketika Yusuf memilih untuk tidak membalas dendam kepada saudara-saudaranya. Yusuf lebih memilih memberikan pengampunan dan kasih sayang yang besar kepada saudara-saudaranya.

Di balik semua peristiwa dan rencana manusia yang diceritakan dalam kisah Yusuf, terdapat rencana Tuhan yang tidak berubah. Ini adalah rencana yang sama, yang diperkenalkan sejak awal kitab di mana Tuhan melihat apa yang baru saja Dia ciptakan untuk manusia dan melihat bahwa ‘itu baik’ (bdk 1:4-31). Melalui urusan-Nya dengan para bapa bangsa dan Yusuf, Allah terus mewujudkan rencana baik-Nya. Dia tetap setia pada tujuan-Nya, dan inti cerita ini adalah untuk menunjukkan bahwa umat-Nya dapat terus mempercayai Dia dan percaya bahwa ‘dalam segala hal Allah bekerja untuk kebaikan mereka yang mengasihi Dia, yang telah dipanggil sesuai dengan kehendak-Nya, untuk tujuan-Nya. (Rom. 8:28).

Roma 14 : 1 – 12
Rasul Paulus membahas pentingnya tidak menghakimi satu sama lain. Pertikaian yang banyak muncul dalam kehidupan berjemaat saat itu adalah akibat dari perbedaan kultur antara Yahudi dan non Yahudi. Masing-masing golongan berusaha menerjemahkan aktivitas “menyenangkan hati Tuhan” melalui  praktik perilaku moral yang menurut tradisi masing-masing dianggap paling benar. Atas dasar itulah mereka merasa berhak untuk saling menyalahkan. Praktik-praktik yang dimaksud itu adalah hal-hal yang tidak melibatkan dosa, tetapi lebih pada perilaku atau aktivitas hidup sehari-hari, yang lebih berkenaan dengan masalah moralitas. Contohnya, termasuk hal makanan, minuman, rekreasi, pakaian, perawatan pribadi, pengendalian kelahiran, sekolah, gaya hidup, dan lain-lain.

Paragraf ini dibagi menjadi tiga bagian: ayat 1-3, 4-9, dan 10-12. Pembagian antar bagian ditandai dengan pertanyaan retoris yang serupa, masing-masing menggunakan kata ganti orang kedua tunggal: ‘Siapa kamu yang menghakimi hamba orang lain?’ (Ay. 4a); ‘Mengapa kamu menghakimi saudaramu?’ (Ay. 10a). Yang pertama (Ay. 1-3) dan yang ketiga (Ay. 10-12) menyatakan dalam bahasa yang hampir sama dengan poin utama paragraf: yang ‘kuat’ bukanlah untuk ‘meremehkan’ yang ‘lemah’; yang ‘lemah’ bukan untuk ‘menghakimi’ yang ‘kuat’ (lih. Ay. 3a dan 10a). Di bagian tengah, ay. 4-9, Paulus memberikan landasan teologis untuk perintah ini: setiap orang Kristen adalah hamba Tuhan; dan hanya kepada ‘tuan’ itu, dan bukan kepada sesama hamba lainnya, orang percaya harus menjawab. Istilah “lemah” dan “kuat” bisa jadi merupakan istilah yang sudah dikenal baik oleh para pembaca saat itu.

Yang dimaksud Paulus tentang “orang lemah”, mereka tampaknya kebanyakan adalah orang Kristen Yahudi yang menahan diri dari makanan tertentu dan menjalani hari-hari tertentu, karena mereka tetap setia kepada Hukum Musa. Petrus pernah bergumul dengan kebebasannya dan berubah dari lemah menjadi kuat dalam iman (Kis. 10). Namun dalam proses pertumbuhannya ia mengalami kekambuhan (Gal. 2:11-12). Orang yang lemah imannya memiliki hati nurani yang terlalu sensitif untuk melakukan hal-hal yang diperbolehkan bagi seorang Kristen. Orang yang makan tidak boleh menganggap dirinya lebih tinggi, meskipun dia benar, atau memandang rendah saudaranya yang sangat sensitif dengan sikap merendahkan. Saudara yang lebih lemah juga tidak boleh menilai orang Kristen yang lebih liberal sebagai tidak dapat diterima oleh Tuhan, karena Tuhan telah menerimanya.

Yang paling penting adalah berusaha untuk menyenangkan Tuhan dalam semua yang kita lakukan. Umat Kristiani akan sampai pada kesimpulan yang berbeda tentang bagaimana menerjemahkan dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, tetapi ketundukan mereka kepada ketuhanan Yesus Kristus adalah yang lebih penting dan utama. Maksud Paulus adalah bahwa satu orang tidak makan daging dan yang lain makan daging, tetapi keduanya bersyukur kepada Tuhan atas apa yang mereka makan (Ay. 2; bdk 1 Tim. 4:4-5).

Dalam pernyataan ringkasan ini Paulus mengidentifikasi tanggung jawab pribadi setiap orang Kristen untuk mempertanggungjawabkan dirinya sendiri kepada Allah. Kita tidak perlu bertanggung jawab atas sesama orang Kristen atau orang lain, tetapi kita harus bertanggung jawab atas perbuatan kita sendiri.

Matius 18 : 21 – 35
Konteks dekat dari bacaan ini (perhatikan Mat. 18:15-20): baru saja Yesus berbicara tentang pengucilan (Ay. 17), itulah sebab mengapa Petrus bertanya seberapa sering dia sebagai seorang murid harus mengampuni seorang saudara yang bersalah sebelum dia berhenti mengampuni. Para Rabi mengajarkan bahwa seorang Yahudi harus mengampuni dosa yang diulang sebanyak tiga kali, dan setelah itu tidak perlu lagi pengampunan. Para Rabi mendasarkan ajarannya pada nubuat Amos (Amos 1:3 -). Lalu Petrus mengusulkan tujuh kali, sebab tujuh adalah bilangan bulat yang terkadang dianggap sebagai bilangan sempurna dalam budaya Yahudi, dan jelas melebihi apa yang diajarkan para ahli Taurat. Mungkin dengan begitu Petrus merasa sudah sangat murah hati melakukannya. Tetapi bagaimana tanggapan Yesus?

Tanggapan Yesus menyinggung kisah dalam Kejadian 4:24 di mana Lamekh yang fasik berkata, ”Jika Kain dibalaskan tujuh kali lipat, maka Lamekh tujuh puluh tujuh kali lipat.” Lamekh mengaku telah membalas dendam lebih banyak lagi pada orang yang memukulnya, daripada yang Tuhan terima atas Kain, karena membunuh saudaranya Habel. Dan Yesus membalikkan contoh buruk Lamekh ini dengan mengajarkan kepada para murid-Nya untuk mempraktikkan pengampunan yang murah hati ketika saudara mereka menyakiti mereka. Itulah sebabnya Yesus mengatakan bukan hanya tujuh puluh tujuh kali (=77), melainkan “tujuh puluh kali tujuh kali (70×7=490)” (Ay. 22), jauh lebih banyak dari tindakan balas dendam Lamekh. Dan ini dipertegas oleh Yesus dengan kisah perumpamaan tentang seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya (Ay. 23-34). Dalam hal ini Yesus tidak menentukan berapa kali murid-murid harus mengampuni saudara mereka, Yesus juga tidak menghapus apa yang baru saja Dia ajarkan tentang menghadapi saudara yang bersalah (Ay. 15-20), melainkan bahwa para murid seharusnya tidak membatasi berapa kali mereka saling memaafkan atau seberapa sering mereka saling memaafkan.

Benang Merah Tiga Bacaan:
Hal mengampuni kesalahan orang lain merupakan salah satu nilai Kerajaan Allah yang harus diejawantahkan dalam kehidupan umat percaya sehari-hari. Dengan memberikan pengampunan, orang akan terhindar dari kecenderungan menghakimi kesalahan orang lain. Hati yang penuh pengampunan akan menuntun kita kepada hidup bersama dengan yang lain menjadi hidup yang penuh damai sejahtera, sebagaimana teladan dari kisah Yusuf.

 

Rancangan Khotbah: Bahasa Indonesia
(Ini hanyalah sebuah rancangan khotbah, silakan dikembangkan sesuai dengan konteks jemaat masing-masing)

Pendahuluan
Viva.co.id melansir sebuah berita dari thefactsite.com tentang sepuluh (10) kekuatan menakjubkan yang dimiliki Ratu Inggris, Elizabeth II. Salah satu dari sepuluh kekuatan menakjubkan yang dimiliki Ratu Elizabeth adalah “Kemampuan untuk memberikan Pengampunan Kerajaan” (Royal Pardon). Semula Royal Pardon ini adalah hak Ratu untuk memberikan pengecualian dari hukuman mati. Namun karena hukuman mati sudah dihapuskan, tercatat hak ini digunakan oleh Ratu pada tahun 2001. Di tahun itu, Ratu menggunakan kekuatannya itu untuk mempersingkat hukuman dua orang narapidana di HMP Prescoed (Sebuah penjara di Selatan Wales), setelah kedua narapidana ini melihat babi hutan menyerang seorang pekerja di penjara, dan mereka berdua melakukan aksi melompat untuk menyelamatkan pekerja penjara tersebut. Untuk tindakan heroik ini Ratu kemudian memberi hukuman yang lebih ringan, dan mereka berdua dibebaskan lebih awal dari penjara.

Tercatat pada kesempatan lain, di tahun 2013 Sang Ratu menggunakan hak Royal Pardon ini untuk diberikan kepada Alan Turing (terkenal sebagai Bapak Komputasi Modern), sebuah pengampunan kerajaan anumerta (pengampunan setelah kematian pria yang bersangkutan). Alan Turing adalah pelopor komputer dan pemecah kode selama PD II. Karyanya yang luar biasa pada mesin enigma memberikan bantuan penting kepada Sekutu selama perang, dan membuat Sekutu menang perang. Sayangnya, Alan Turing dihukum karena homoseksualitas, dia dihukum sebagai tahanan rumah, lalu meninggal di tahun 1954, persis 2 tahun setelah Elizabeth menjabat sebagai Ratu Inggris (1952). 59 tahun setelah kematian Alan, pengampunan baru diberikan.

Itulah contoh wujud pengampunan dalam realita kehidupan. Jadi, pengampunan itu bukanlah sekedar pemberian maaf, namun secara konkrit diejawantahkan dalam bentuk remisi (pengurangan hukuman/sanksi). Sayangnya, selama 70 tahun masa jabatannya sebagai ratu, Elizabeth tidak banyak memanfaatkan royal pardon ini. Tentunya ada aturan atau ukuran yang membatasi kewenangannya ini (misal: pertimbangan parlemen), sehingga  tercatat hanya 2 kali itu ratu memanfaatkan kekuatan royal pardon ini. Sungguh mahal nilai sebuah pengampunan menurut ukuran Kerajaan Inggris.

Isi
Kamus memaknai kata “ampun” sebagai sinonim ‘maaf’ dengan penjelasan ‘pembebasan dari tuntutan karena melakukan kesalahan atau kekeliruan’. Melalui perumpamaan tentang hamba yang tidak berbelas kasih dalam bacaan kita ini, Tuhan Yesus mengajarkan kepada para murid untuk mempraktikkan pengampunan yang murah hati. Contoh konkrit dari tujuh puluh kali tujuh ditunjukkan melalui perumpamaan ini.

Kisah seorang hamba yang berhutang kepada raja sebesar 10.000 talenta (1 talenta=6000 dinar; berarti hamba tersebut berhutang kepada raja sebesar 60 juta dinar; sementara 1 dinar=upah pekerja sehari). Dapat dibayangkan betapa besarnya hutang hamba ini, namun karena belas kasih raja, hamba ini mendapatkan pengampunan. Artinya bahwa hutang yang sedemikian besar itu tidak lagi dituntutkan kepada hamba itu untuk dilunaskan. Hamba itu dibebaskan dari hutang yang tidak mungkin terbayarkan. Sayangnya, saat ia telah bebas, ia tidak meneladani belas kasih raja yang baru diterimanya. Ia tidak mau mengampuni (membebaskan) hutang sesamanya, sekalipun hutang sesamanya itu tidak sebanding dengan hutangnya kepada raja. Hanya 100 dinar, tidak sampai 1 talenta. Sehingga pada akhirnya hukumanlah yang didapat oleh hamba itu, ia kembali kehilangan kebebasannya.

Hikmah yang dapat kita petik dari perumpamaan yang diajarkan Tuhan Yesus ini mengampuni adalah sebuah tindakan pembebasan. Dan pembebasan itu berdampak bukan hanya untuk orang lain, tetapi lebih pada membebaskan diri sendiri dari beban. Dendam itu beban. Mengampuni itu melepaskan beban. Maka dengan mengampuni, langkah hidup kita akan menjadi lebih ringan, tanpa beban. Inilah yang dikehendaki oleh Tuhan dengan mengatakan “… melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” (Ay. 22). Tuhan menghendaki kita untuk mau mengampuni dengan tulus. Pengampunan yang tulus sungguh sanggup memerdekakan.

Penutup
Lain Kerajaan Inggris (kerajaan duniawi), lain pula Kerajaan Allah (Kerajaan Sorga). Jika Royal Pardon dalam Kerajaan Inggris diterapkan secara khusus, diberikan dengan banyak pertimbangan dari berbagai pihak dan sangat berbatas sifatnya, maka hal pengampunan dalam Kerajaan Allah justru sebaliknya. Pengampunan menjadi ciri khas hadirnya Kerajaan Allah, yang dilakukan umat sebagai tanggapan atas penebusan dosa yang telah mereka terima, dan yang memerdekakan dunia. Amin. [WV].

 

Pujian: KJ. 434 : 1 – 2 Allah Adalah Kasih

 

Rancangan Khotbah: Basa Jawi
(Punika namung rancangan khotbah, seged dipun kembangaken miturut konteks pasamuwan piyambak)

Pambuka
Pawarta ingkang nate kababar dening thefactsite.com ing Viva.co.id nyariosaken bab sadasa (10) kuwaos agung kagunganipun Ratu Inggris, Elizabeth II. Salah satunggiling panguwaos ngedab-edabi kagunganipun Sang Ratu inggih punika bab “Panguwaos paring Pangapunten” (Royal Pardon). Swaunipun, Royal Pardon punika inggih hak-ipun Ratu ingkang kuwagang paring pangapunten saking paukuman pati. Ananging sasampunipun paukuman pati punika boten katindakaken malih ing negari Inggris, mila lajeng ing taun 2001, Sang Ratu nindakaken kuwaosipun punika kangge mrunggel cacah dangunipun paukuman ingkang kasanggi dening kalih narapidana ing HMP Prescoed (pakunjaran ing sisih Kidulipun Wales), sasampunipun para narapidana punika yasa pitulungan tumrap para sipir pakunjaran ingkang dipun godhag dening andhapan saking wana ingkang dumadakan mlebet ing lingkungan pakunjaran. Tumindak punika ingkang ndadosaken Sang Ratu dhawah asih, lan lajeng paring pangapunten tumrap kalih narapidana wau.

Ing sanes wekdal, taun 2013, Sang Ratu ugi nindakaken kuwaosipun punika tumuju Alan Turing (kasuwur minangka Bapak Komputasi Modern). Pangapunten ingkang kasebat Pangapunten Anumerta (pangapunten sasampunipun ingkang kuwagang nampi sampun tilar donya). Alan Turing punika pelopor komputer lan pemecah kode nalikanipun PD II. Pakaryanipun arupi mesin enigma dados pitulungan utama kangge para prajurit Sekutu sadangunipun paprangan, lan karana punika lajeng saged ngirid Sekutu nampeni kamenanganipun. Ewadene, Alan Turing taksih nampi paukuman pakunjaran karana homoseksualitas, ngantos sasedanipun ing taun 1954. 59 taun candhakipun, sasampunipun Alan tilar donya, pangapunten saking Sang Ratu nembe kanugrahaken.

Punika tuladha bab pangapunten ingkang mawujud ing gesang nyata. Mila, pangapunten punika sejatosipun boten namung bab paring pangapura, nanging sacara lebet malih kedah kawujudaken minangka remisi (nyingget paukuman/sanksi). Emanipun, sadanguning 70 taun lenggah jumeneng Ratu, Elisabeth II boten kathah paring Royal Pardon punika. Tamtu wonten paugeran ingkang winatesan (kadosta: panimbangipun parlemen), satemah kaemut namung kaping kalih (2) anggenipun Sang Ratu paring Royal Pardon punika. Estu kawastanan awis bab paring pangapunten punika miturut Kraton Inggris.

Isi
Miturut Bausastra, tembung “pangapunten” punika pancen ngemu teges “paring uwal saking paukuman karana kalepatanipun.” Lumantar pasemon bab Ngapura Kaluputan, Gusti Yesus saweg mulang dhateng para sekabatIpun supados sageda paring pangapunten kanthi terusing ati. Tuladha nyata ing bab punika inggih sageda para sekabat paring pangapunten ngantos gunggung pitungdasa kaping pitu.

Abdi ingkang nggadhah utang dhateng Sang Nata gunggung 10.000 talenta (1 talenta=6000 dinar; ateges abdi punika nggadhah utang cacahipun 60 juta dinar; karana 1 dinar = upah panyambut damel abdi sadinten). Sageda kita galih bilih cacahing utangipun abdi punika saestu ageng, nanging karana welas asihipun Sang Nata, abdi punika lajeng nampi pangluwaran. Artosipun, bilih utang ingkang ageng punika boten dipun tanggelaken malih dhateng abdi punika, karana sampun kaanggep lunas. Abdi punika saged uwal saking utang ingkang sejatosipun boten saged dipun bayar. Emanipun, nalika piyambakipun sampun uwal saking utangipun, abdi punika tumuli boten nuladha ing bab welas asihipun Sang Nata. Abdi punika boten purun paring apunten (paring pangluwaran) tumrap sesaminipun, sanajan utanging sesaminipun punika boten timbang kaliyan utangipun piyambak dhateng Sang Nata. Namung 100 dinar, boten ngantos 1 talenta. Mila pungkasanipun, Sang Nata lajeng paring paukuman, ingkang ndadosaken Sang Abdi punika kecalan pangluwaranipun.

Kawicaksanan ingkang saged kita tampi saking pasemon ingkang dipun wulangaken dening Gusti Yesus inggih punika bilih bab paring pangapunten punika inggih minangka tumindak paring pangluwaran. Pangluwaran punika sejatosipun boten namung katujokaken dhateng sesami, nanging ugi katujokaken dhateng dhiri kita, supados kita saged uwal saking awrating momotanipun gesang. Pangincim punika salah satunggiling momotanipun gesang. Kosokwangsulipun, pangapunten punika pangluwaran saking momotanipun gesang. Mila kanthi pangapunten, gesang kita sageda sangsaya entheng sakeca, tanpa momotan. Inggih punika ingkang dipun karsaaken dening Gusti, kanthi pangandika: “… malah ngantia ping pitungpuluh ping pitu” (Ay. 22). Gusti ngarsaaken kita supados puruna paring pangapunten kanthi terusing ati. Pangapunten ingkang tulus saged nuwuhaken kamardhikan.

Panutup
Royal Pardon ing Karajan Inggris dipun tindakaken kanthi sengker, winatesan, lan kanthi kathah panimbang saking para pangageng negari. Kosokwangsulipun tumrap pangapunten miturut Kratoning Allah. Pangapunten punika malah dados tenger saking rawuhipun Kratoning Allah, ingkang kedah kaupadi dening umat minangka sesanggeman kita tumraping panebusing dosa ingkang sampun kita tampi, lan ingkang saged ndadosaken donya ugi nampi kamardhikanipun. Amin. [WV].

 

Pamuji: KPJ. 416 : 1, 3 Saprakara kang Pantes

Renungan Harian

Renungan Harian Anak