Minggu Biasa | Bulan Kitab Suci
Stola Hijau
Bacaan 1:Yehezkiel 33 : 7 – 11
Bacaan 2: Roma 13 : 8 – 14
Bacaan 3:Matius 18 : 15 – 20
Tema Liturgis: Kitab Suci sebagai Pedoman Nilai-nilai Kerajaan Allah
Tema Khotbah: Memurnikan Gereja dengan Hidup Saling Mengasihi
Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
Yehezkiel 33 : 7 – 11
Kitab Yehezkiel adalah kitab yang berisikan nubuatan-nubuatan. Diperkirakan kitab ini berasal pada zaman pembuangan Babel (593-571 sM). Sebagai bangsa yang dibuang maka Israel sejatinya mengalami penindasan namun mereka tetap boleh beraktivitas dan mengumpulkan harta (Yer. 29:5). Bahkan kalau melihat sumber lain dalam kitab Ezra 1:6; 2:68 maka kita membaca di sana bahwa Israel yang berada di pembuangan juga mengirim bantuan sejumlah harta ke Yerusalem. Jadi dapat digambarkan bahwa tatanan kehidupan orang-orang pembuangan dalam konteks Yehezkiel tidak melulu ditindas dan dirampas kebebasannya karena masih diberi kebebasan untuk menjalani kehidupan walaupun terbatas adanya.
Pada Yehezkiel pasal 33-39, kita dapat membaca nubuatan yang berisikan harapan-harapan bagi bangsa Israel. Pada perikop pasal 33, bagian ini berisikan tugas Yehezkiel sebagai penjaga umat Israel. Tugas utama penjaga adalah memberikan tanda dan peringatan adanya bahaya yang akan menimpa umat. Gambaran figuratif yang nampak adalah tanda itu dengan tiupan sangkakala ketika Tuhan hendak menghukum Israel. Dengan bahasa lain, Yehezkiel memiliki tugas menegur dan mengingatkan umat Israel ketika Tuhan hendak menjatuhkan hukuman. Oleh sebab itu, dalam ayat 7 disebutkan panggilan dan tugas Yehezkiel sebagai penjaga. Tugas utamanya adalah memperingatkan dan menyerukan pertobatan supaya petaka tidak menimpa bangsa Israel.
Tentu saja tugas itu penuh resiko bukan hanya berhadapan dengan umat Israel saja, tetapi resiko juga akan ditanggung oleh Yehezkiel di hadapan Tuhan. Saat ada orang jahat mati dalam kejahatannya tanpa mendapatkan peringatan dari penjaga maka kesalahan orang jahat itu ditanggung oleh si penjaga. Demikian sebaliknya jikalau ada orang jahat dan ditegur supaya bertobat tetapi tetap saja ia berbuat jahat, maka ketika orang jahat itu mati sejatinya si penjaga telah menyelamatkan jiwanya sendiri.
Kesimpulan dari perikop ini adalah bahwa hukuman akan dijatuhkan kepada orang yang berbuat jahat, tetapi hukuman akan dibatalkan ketika ada orang jahat bertobat dari kejahatannya. Tugas dari penjaga adalah memberikan teguran dan peringatan. Ini berarti Yehezkiel ditugaskan untuk tidak mendiamkan bangsa Israel berbuat jahat. Mendiamkan kejahatan terjadi di dalam kehidupan bangsa Israel sesungguhnya sama jahatnya dengan perbuatan bangsa itu. Keberanian menegur dan mengingatkan orang yang jahat adalah upaya menjaga kemurnian dan kesucian bangsa Israel supaya tidak mendapatkan hukuman Tuhan.
Roma 13 : 8 – 14
Kehidupan bersama selalu membutuhkan aturan. Taurat adalah aturan hidup bersama, bukan hanya mengatur relasi sesama manusia saja, tetapi juga relasi manusia dengan Tuhan. Oleh sebab itu, Taurat dianggap sebagai hukum tertinggi, yang jikalau dilanggar maka rusaklah tatanan hidup bersama dan relasi manusia dengan Tuhan. Namun demikian ada sikap yang dapat memenuhi hukum Taurat, yaitu relasi yang didasari oleh kasih. (Roma 13:8, 10). Relasi yang diwarnai kasih tidak akan melawan satu hukum Tauratpun, sebab segala sesuatu yang dilakukan seturut dengan aturan hukum Taurat.
Sikap yang didasarkan pada kasih tidak akan menyakiti bahkan berbuat dosa kepada Tuhan dan sesama. Kasih menjadi inti dari bangunan relasi dalam hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia. Oleh sebab itu, Paulus menasihati Jemaat Roma supaya setiap anggota persekutuan menjalani hidup didasari oleh kasih. Kejahatan tidak akan pernah terjadi ketika setiap orang hidup dalam kasih. Hidup dalam kasih juga berarti upaya menjaga laku supaya layak menyambut kedatangan Tuhan. Hidup dalam kasih menurut Paulus adalah perwujudan hidup dalam terang (Roma 13: 12). Dengan hidup penuh kasih, maka tidak ada lagi yang disembunyikan, sebab dengan kasih masing-masing orang menjaga kehidupannya supaya berkenan kepada Tuhan. Dengan bahasa lain, orang yang hidup penuh kasih akan menjaga relasinya dengan orang lain, sekaligus menjaga laku dirinya sendiri supaya benar dan berkenan kepada Tuhan. Kasih tidak hanya diarahkan kepada orang lain saja, tetapi juga diarahkan bagi dirinya sendiri. Mengasihi diri berarti tidak hanya mengejar pemenuhan hasrat diri, tetapi juga diarahkan untuk memuliakan Tuhan melalui tubuhnya. Oleh sebab itu, menjalani hidup dalam kasih maka kita sedang diingatkan kembali bahwa tubuh dan jiwa kita adalah milik Kristus dan Kristus ada dalam diri kita. Di sinilah setiap laku hidup bukan hanya diarahkan bagi pemuasan diri, tetapi untuk menjaga kekudusan. Inilah yang dimaksudkan dengan mengenakan Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang.
Matius 18 : 15 – 20
Secara naratif perikop ini oleh Matius diletakkan di antara perumpamaan domba yang hilang dengan perumpamaan tentang pengampunan. Tentu ini menarik sebab pada perumpamaan domba yang hilang, kita telah ditunjukkan keberpihakan Tuhan Yesus kepada mereka yang tersesat, mereka yang terhilang dan mengalami derita atas keterpisahannya dengan komunitas. Demikian juga dalam perumpamaan pengampunan, kita diajari tentang kualitas pengampunan. Pada perumpamaan pengampunan terkesan bahwa kualitas relasi antara orang per orang walaupun juga tidak berarti sedemikian tertutupnya. Patutlah kita bertanya, mengapa topik tentang memberikan nasihat kepada orang yang berbuat dosa ada di antara kedua perikop tersebut?
Secara umum kita dapat menduga bahwa perkara menasihati orang yang berbuat dosa adalah wujud dari keberpihakan kita kepada orang yang terpisah dari komunitas dan sekaligus bahwa menasihati orang yang berdosa haruslah ditekankan kepada pemberian ampunan secara berkualitas. Mari kita periksa isi perikop ini. Berkaitan dengan memberikan teguran kepada orang yang berbuat dosa, maka yang dilakukan adalah dengan bertemu secara empat mata. Jelas pertemuan empat mata adalah upaya menjaga kerahasiaan dengan tujuan supaya orang yang berbuat dosa tidak merasa dihakimi dan diserang. Pada satu sisi sikap ini adalah menunjukkan keberpihakan kepada orang yang tersisih – perbuatan berdosa disisihkan dari orang lain – supaya dapat kembali bersekutu, tetapi juga perwujudan memberikan pengampunan supaya orang yang berbuat dosa tidak dihukum oleh komunitas.
Jikalau langkah pertama itu tidak berhasil, maka langkah selanjutnya adalah dengan mengajak saksi. Saksi tentulah bukan sembarang orang. Saksi pastilah orang yang mengetahui sendiri jikalau ada perbuatan dosa. Jadi saksi bukan hanya sekadar mencari kawan untuk menegur orang berdosa apalagi saksi baru tahu permasalahannya, karena kita yang memberikan informasi. Kalau saksi dipilih dari orang yang kita beri informasi, maka jelaslah bukan saksi tetapi upaya untuk mengeroyok orang yang berbuat dosa. Jika itu dilakukan maka kualitas dari pengampunan tentu dipertanyakan, sebab dengan mengeroyok orang yang berbuat dosa, jelas akan menimbulkan rasa malu dan melukai orang yang berbuat dosa. Langkah ketiga barulah ketika didatangi bersama saksi tetapi orang berdosa itu tidak juga sadar akan dosanya, maka dibawalah ia kepada perkumpulan yang lebih besar, yaitu jemaat. Langkah-langkah ini menjadi penting jikalau dilihat posisi perikop ini dari perikop sebelum dan sesudahnya karena menunjukkan keberpihakan kepada orang yang tersisih dan juga pengampunan haruslah berkualitas dengan menyembuhkan luka orang yang berbuat dosa.
Mengapa perlu teguran? Bukankah sering dosa dianggap urusan masing-masing orang dengan Tuhan? Rupanya ayat 19 dan 20 memberikan penjelasan akan makna persekutuan orang percaya. Ketika orang percaya bersekutu maka Tuhan Yesus ada ditengah-tengahnya. Oleh sebab itu, ketika ada orang berbuat dosa maka sejatinya orang itu telah terpisah dari persekutuan. Jikalau terpisah dari persekutuan, maka Tuhan tidak akan pernah ada di dalam kehidupannya. Hal kedua adalah bahwa ketika persekutuan itu utuh, maka persekutuan memiliki kuasa untuk meminta apapun juga kepada Tuhan (Ay. 19). Oleh sebab itu, menjaga kesucian dan kemurnian persekutuan adalah upaya menjaga kesatuan umat dengan Tuhan, agar Tuhan berada di antara persekutuan dan persekutuan memiliki kuasa untuk menaikkan permohonan kepada Tuhan.
Benang Merah Tiga Bacaan:
Kehidupan bersama selalu memiliki norma yang mengikat setiap anggota komunitas. Saat ada salah satu anggota melanggar norma, maka ada kewajiban bagi anggota lainnya untuk menegur dan mengajak dia kembali hidup dalam norma yang dimiliki. Pada titik inilah kesatuan persekutuan bukan sekadar kesatuan semu tetapi kesatuan yang utuh dengan bersedia saling mengingatkan, menopang, dan menolong semua anggota persekutuan, sehingga keutuhan dan kemurnian persekutuan berkenan kepada Tuhan. Dalam persekutuan yang utuh, Tuhan ada ditengah-tengahnya dan oleh sebab itu, jangan sampai ada anggota persekutuan yang tersisihkan karena perbuatan dosanya.
Rancangan Khotbah: Bahasa Indonesia
(Ini hanyalah sebuah rancangan khotbah, silakan dikembangkan sesuai dengan konteks jemaat masing-masing)
Pendahuluan
Gereja adalah persekutuan orang percaya. Berisikan manusia yang berbeda-beda, tetapi yang dipanggil untuk hidup bersama dalam kekudusan. Oleh sebab itu, Gereja disebut dalam pengakuan iman kita sebagai kudus dan am. Keberbedaan anggotanya tentu sebuah kekayaan, tetapi juga sebuah tantangan, karena tidak jarang menimbulkan perbedaan dan kadang kala gesekan di antara sesama warganya. Pada titik inilah, Gereja sedang diajak kembali menerima keberbedaan, tetapi tetap rekat dalam persekutuan. Oleh sebab itu, Gereja tidak hanya terdiri dari organisasi, tetapi juga organisme, yaitu relasi antar anggota jemaatnya.
Merenungkan gereja sebagai organisasi dan organisme itulah, maka kita patut belajar kepada salah satu Bapa Gereja yang bernama Agustinus (354 M – 430 M). Dia adalah salah seorang tokoh besar yang memiliki gagasan besar tentang komunitas Kristiani, yaitu Gereja. Bagi Agustinus, Gereja adalah civitas Dei yaitu persekutuan yang dibentuk dan dipimpin Tuhan sendiri. Sebagai civitas, maka gereja juga bermaknakan societas (masyarakat) dan populus (bangsa) yang berisikan kepentingan. Namun karena civitas Dei maka kepentingan itu diarahkan kepada Allah yang menjadi pusat kehidupan Gereja. Oleh sebab itu, persekutuan yang dibentuk dan diperuntukkan bagi Tuhan, maka pada dirinya Gereja adalah persekutuan kudus. Namun demikian, anggota Gereja tetaplah ada yang tidak kudus. Oleh sebab itu, jikalau ada anggota Gereja yang berdosa, maka tugas Gereja adalah merengkuhnya dengan cinta bukan menghukum apalagi mengasingkan orang yang berbuat dosa tersebut. Hal ini sebagai perwujudan bahwa Gereja haruslah menampakkan perwujudan cinta Tuhan kepada persekutuan.
Upaya menjaga kekudusan Gereja adalah dengan cara hidup saling peduli supaya tidak ada anggota Gereja yang terjatuh dalam dosa. Kalaupun ada yang terjatuh dalam dosa, maka sudah menjadi tugas warga Gereja lainnya untuk kembali mengajak supaya warga yang jatuh tersebut bersedia bangkit dan kembali dalam rengkuhan Gereja. Masalahnya kemudian adalah bagaimana Gereja merengkuh warganya yang jatuh dalam dosa?
Isi
Bacaan Injil kita hari ini memberikan beberapa petunjuk dalam menjaga kekudusan Gereja. Matius 18:15-17 memberikan petunjuk yang sangat jelas, yaitu: pertama, menegur empat mata. Tidak perlu dijadikan bahan gosip jika ada saudara yang nyata-nyata berbuat dosa. Tidak perlu juga terburu-buru menyebarkan dosanya, tetapi juga tidak membiarkan saudara yang berbuat dosa dengan membiarkan saja. Jangan tergoda mengatakan: “Itukan urusan dia dengan Tuhan.” Jika kita membiarkan saudara berbuat dosa, maka kita sama berdosanya dengan dia ( Yeh. 33: 8). Menariknya dalam Matius 18 ini langkah pertama yang diambil ketika kita mendapatkan saudara yang berbuat dosa adalah dengan menegur empat mata. Sebutan “empat mata” adalah memperlihatkan kerahasiaan. Ditemui secara langsung supaya jikalau benar saudara kita berbuat dosa, maka ia tidak merasa dipermalukan. Orang yang berdosa tanpa ditegurpun sejatinya sudah merasa bersalah, namun ketika merasa dipermalukan pastilah akan berupaya membela diri. Pembelaan diri itulah yang kemudian sering menjadi penyebab masalah, karena akan ada yang membela dan memusuhi sampai akhirnya persekutuan mudah terbelah.
Hal kedua yang tidak kalah pentingnya adalah ketika ditegur empat mata, ia tidak juga merasa bersalah, maka panggillah saksi-saksi yang mengetahui pelanggaran saudara yang berdosa. Pemanggilan saksi bukanlah untuk menghakimi, tetapi untuk menyadarkan orang yang berbuat dosa tersebut. Saksi yang dimaksudkan tentulah bukan ditujukan untuk mengeroyok, tetapi dasarnya adalah supaya orang yang berbuat dosa menyadari akan pelanggarannya. Hal ini menjadi sangat penting, sebab Gereja sejatinya adalah persekutuan orang-orang kudus yang harus menjaga kekudusan. Jangan sampai ada anggota Gereja yang terpisah dari persekutuan, sehingga mengembalikan orang yang berdosa jelas menjadi tanggung jawab bersama.
Langkah ketiga, adalah ketika ditegur bersama saksi, tetapi ia juga tidak bersedia mengakui dosa, maka bawalah permasalahan itu ke dalam persekutuan yang lebih besar, yaitu jemaat. Pertanyaannya mengapa harus dibawa ke jemaat? Untuk semakin mengucilkan dan memusuhikah? Ayat 17b menyebutkan: “Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai.” Ungkapan ini tegas dan jelas bahwa sebagai upaya menjaga kekudusan persekutuan, maka Gereja tidak berkompromi dengan dosa, tetapi tetap mengasihi orang yang berdosa dengan memberikan kesempatan dia untuk bertobat.
Tentu muncul pertanyaan, mengapa Gereja harus menjaga kekudusannya? Sebab dalam kekudusan itulah Gereja mengamini bahwa ada Tuhan yang selalu hadir dalam setiap persekutuan (Ay. 20). Bahkan dalam ayat 19 disebutkan jikalau persekutuan memiliki kuasa untuk meminta apapun kepada Tuhan dan Tuhan akan mengabulkannya. Oleh sebab itu, menjaga kekudusan adalah bagian utama dari persekutuan yang disebut Gereja. Pada titik inilah, jangan main-main dan mempermainkan persekutuan, sebab Tuhanlah yang membentuk dan memiliki Gereja ini. Kita sebagai anggotanya tidak berkuasa apapun atas Gereja ini, tetapi kita diberi tugas untuk saling menjaga milik Tuhan ini.
Kita semua mendapatkan tugas untuk menjaga kekudusan persekutuan. Sebagaimana yang dihayati oleh Yehezkiel dalam bacaan pertama, kitapun mendapatkan tugas yang sama, yaitu menjaga kekudusan persekutuan. Sebagai seorang nabi, Yehezkiel memiliki tugas penting, yaitu agar umat pilihan Tuhan Israel tidak terjatuh dalam dosa dan kejahatan. Bahkan jikalau ada yang berbuat jahat, maka Yehezkiel dimandati tugas untuk selalu menegur dan mengingatkan, supaya orang jahat itupun dapat menerima keselamatan dari Tuhan. Andaikan orang berbuat jahat ditegur, tetapi ia tetap berbuat jahat maka Yehezkiel tidak memiliki beban lagi atas dosa orang tersebut. Namun jika ada orang yang berbuat dosa, tetapi Yehezkiel membiarkannya, maka Tuhan akan menuntut pertanggungjawaban kepada Yehezkiel atas dosa orang tersebut (Yeh. 33:8). Beratkah tugas itu? Ya, berat dan penuh resiko. Bisa saja orang yang berbuat dosa merasa tidak terima dengan teguran Yehezkiel dan kemudian memusuhi bahkan menyerang Yehezkiel. Tetapi perintah Tuhan adalah tetap perintah Tuhan dan harus kita lakukan dengan taat dan setia, bukan untuk kemuliaan dan keagungan diri, tetapi untuk keutuhan dan kemurnian persekutuan.
Oleh sebab itu, setiap hal untuk menjaga kemurnian persekutuan haruslah didasarkan kepada kasih. Roma 13:8-14 menjadi dasar kita bersama dalam hidup bersama sebagai persekutuan, yaitu Gereja. Tidak ada hukum yang bertentangan dengan kasih. Bahkan Tauratpun tidak ada satupun yang berlawanan dengan kasih. Oleh sebab itu, dalam menjalani hidup bersama di tengah persekutuan Gereja, maka saling mengasihi adalah kuncinya. Karena kasih maka ketika ada orang yang berbuat dosa, yang kita lakukan adalah upaya menolongnya bukan menghukumnya. Jikalau didasari kasih maka saat mendapati saudara kita berbuat dosa, maka kita berupaya menegurnya dengan lembut, bukan mencambuk apalagi membinasakannya. Kasih jugalah yang menjadikan hidup kita sebagai pribadi dituntun dalam kebenaran, menaruh empati kepada sesama, dan bersedia bersolidaritas dengan yang lainnya, bukan hanya menuntut yang lain memenuhi keinginan diri sendiri, tetapi berupaya membagi hidup demi kehidupan persekutuan yang lebih baik.
Penutup
Bulan Kitab Suci yang kita rayakan kini mengundang kita kembali menggali diri tentang makna hidup sebagai persekutuan Gerejawi yang bernama GKJW. Visi GKJW sangatlah jelas, yaitu: menjadi rekan kerja Allah untuk mewujudkan tanda-tanda hadirnya Kerajaan Allah di dunia. Dengan visi tersebut, maka pastilah GKJW pertama-tema menyadari dirinya sebagai perwujudan Kerajaan Allah. Gereja bukan sekadar perkumpulan orang-orang yang memiliki kesamaan kepentingan, tetapi Gereja adalah milik Tuhan yang adalah civitas Dei. GKJW adalah persekutuan yang dibentuk dan diperuntukkan bagi Tuhan, sehingga kehidupan persekutuannya haruslah menjadi persekutuan yang memancarkan kasih Tuhan. Tanda-tanda Kerajaan Allah haruslah menjadi norma hidup bersama. Jikalau ada dosa di dalam persekutuan ini, maka marilah dengan penuh kesadaran dan dijiwai kasih kita saling mengingatkan, bukan membunuh apalagi ramai-ramai menghakimi orang yang bersalah. Betapa indahnya Gereja kita jikalau semua orang hidup dengan sopan dan menanggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan (Roma 13:12-13). Amin. [to2k].
Pujian: PKJ. 106 Satukan Kami, Ya Tuhan
Rancangan Khotbah: Basa Jawi
(Punika namung rancangan khotbah, seged dipun kembangaken miturut konteks pasamuwan piyambak)
Pambuka
Greja punika patunggilanipun tiyang pitados. Anggotanipun tamtu kemawon manungsa ingkang mawarni-warni kahananipun, ingkang katimbalan nunggil muwujdaken gesang ingkang suci. Pramila, Greja ing pengaken pitados kita kasebat minangka patunggilanipun para suci. Kahananipun Greja ingkang makaten punika tamtu dados kabingahan, awit mujudaken sepinten sugihipun Greja, ananging ugi dados pambengan mirunggan awit kahanan ingkang mawarni-warni punika asring dados underanipun crah lan cecongkrahan. Pramila nampi kahanan ingkang mawarni-wanri punika minangka berkahipun Gusti estunipun ndadosaken Greja sansaya nunggil kanthi estu. Greja wanci boten anamung babagan organisasi kemawon, ananging Greja punika ugi ngandaraken organisme inggih punika gepok-senggolipun warga minangka perangan satunggal.
Anggen kita gegilut perangan Greja minangka organisasi lan organisme punika estunipun dadosaken kita saged sinau dhateng salah satunggalipun Bapa Gereja ingkang kaparingan asma Agustinus (354 M – 430 M). Pemanggih lan gagasanipun ingkang luhur tumrap Greja saged dados kacabenggala kagem kita ing zaman samangke. Miturut Agustinus, Greja punika estunipun kawastanan citas Dei inggih punika patunggilanipun para pitados ingkang dipun cipta dening Gusti lan kagem kaluhuranipun Gusti. Pramila Gusti Allah piyambak ingkang jenengi lan jumeneng wonten ing salebeting Greja. Minangka civitas, Greja ugi kagungan perangan-perangan kados dene cosietas (masayarakat) lan populus (bangsa) inggih punika dipun suh dening kepentingan. Awit Greja punika Civitas Dei, tamtu kemawon kahanan lan ginanipun anamung kagem kaluhuran asamanipun Gusti Allah piyambak. Awit ingkang anggadahi karya punika Gusti lan kagem Gusti. Pramila Greja punika kawastanan patunggilanipun para suci. Sanadyan makaten, perangannipun warga taksih tetep wonten ingkang kawengku ing dosa malah dumawah ing dosa. Pramila dipun betahaken pangrimat lan pangruwatipun Greja kagem sadaya warga mirunggan ingkang dumawah ing dosa. Pangrimat lan pangruwat punika estunipun nedahaken katresnanipun Gusti Allah piyambak dhumateng sadaya manungsa.
Babaring gesang kanthi mujudkaken ingkang suci punika srana gesang perduli supados boten wonten peranganipun warga ingkang dumawah ing dosa. Bilih wonten ingkang dawah ing dosa, estunipun Greja lantaran para warganipun katimbalan murih sami eling-ingelingan babagan kasucenipun gesang. Kados pundi wujudipun Greja ingkang sumadya jangkung warganipun ingkang dawah ing dosa?
Isi
Waosan Injil dinten punika paring pitedah dhateng kita babagan anggen kita mujudaken pangrengkuhing tiyang ingkang dawah ing dosa. Matius 18:15-17 paring pitedah babagan ingkang kedah dipun lampahi inggih punika: Sepisan, menawi wonten sedherek ingkang nggadahi kalepatan kita kedah ngemutaken piyambakan. Boten usah dados rerasanan bilih wonten sedherek ingkang dawah ing dosa, boten perlu dipun wartos-wartosaken tiyang sanes, ananging boten lajeng kita lingsem kemawon. Punapa malih lajeng kita anggadahi pemanggih: “Kui rak yo urusane deweke karo Gusti.” Boten mekaten anggenipun kita nresnani sedherek kita ingkang dawah ing dosa. Malah kepara bilih kita lingsem kemawon kita ugi nandang dosa ingkang sami kaliyan sadherek ingkang dawah kala wau (Yeh. 33:8). Ananging boten ateges lajeng kita sebar warta supados sadaya tiyang pirsa kahananipun sedherek ingkang dawah ing dosa punika. Pramila Mateus 18 punika paring pitedah bilih kedah dipun emutaken piyambakan. Punika anggadahi maksud supados sedherek ingkang dawah ing dosa boten kawirangan punapa malih rumaos dipun ukum. Tiyang ingkang dawah ing dosa tanpa dipun ukum estunipun sampun ngrumaosi bilih piyambakpun lepat. Pramila boten sisah kita ukum, sampun ngukum dhirinipun piyambak. Ananging wujudipun ngukum dhiri punika mawarni-warni, wonten ingkang srana nyisih, boten purun srawung, wonten ugi ingkang ketawisipun boten rumaos lepat, sanadyan ing salebetipun manah tamtu rumaos lepat. Pramila ngemutaken piyambakan punika dipun lampahi supados sedherek ingkang dawah punika boten rumaos dipun krayak lan dipun adili dening tiyang kathah.
Bilih sedherek ingkang dawah ing dosa punika taksih dereng sumadya mratobat nalika kita panggihi piyambakan, ingkang kaping kalih, kita kadangu ngajak seksi. Seksi punika tiyang ingkang pirsa babagan dosa ingkang dipun lampahi sedherek punika. Seksi sanes tiyang ingkang kita caosi pirsa lajeng kita ajak manggihi sedherek punika. Bilih seksi punika kita ingkang nyaosi pirsa estunipun seksi punika sami kemawon kaliyan tiyang ingkang kita ajak ngroyok. Awit nimbali seksi punika boten katujukaken supados ngakimi sedherek ingkang dawah punika, ananging supados sedherek punika sumadya nglenggana lan mratobat. Babagan punika estu wigati supados boten wonten perangan patunggilan ingkang ketriwal saking patunggilan ingkang suci punika. Pramila bilih wonten perangan warga ingkang katriwal estunpiun dados tanggeljawab sesarengan sak pasamuwan murih saged wangsul malih.
Perangan ingkang kaping tiga, bilih sampun dipun emutaken mawi seksi sedherek punika taksih dereng mratobat, estunipun lajeng dipun wartosaken ing pasamuwan. Kenging punapa kedah dipun wartosaken ing pasamuwan? Punapa supados sadaya tiyang sansaya sumingkir lan boten purun srawung kaliyan sedherek ingkang dawah ing dosa punika? Estunipun punika nedahaken bilih Greja boten saged kompromi kaliyan tiyang ingkang tumindhak dosa, ananging Greja sumedya nampi tiyang ingkang mratobat. Pramila ing Mateus 18:17 dipun dawuhaken makaten: “Ewadene yen ora gelem manut, aturna marang pasamuwan. Lan yen meksa ora manut karo pasamuwan, anggepen wong kapir utawa juru-mupu-beya.” Dawuh pangandika punika tegas lan lugas nedahaken bilih pasamuwan punika kedah suci anggenipun gesang lan boten saged perangan reget. Pramila sadaya tiyang kedah nandukaken gesang ingkang resik.
Greja kedah jagi kasucenipun gesang, awit ing salebeting kasucen punika Gusti rawuh lan jenengi patunggilan (Ay. 20). Malah bilih gesangipun patunggilan punika suci estunipun sadaya ingkang dipun suwun dening patunggilan tamtu bakal kalaksanan (Ay. 19). Pramila kesucenipun patunggilan punika kedah dipun uri-uri supados lestantun gesang ing patunggilanipun Gusti. Sampun ngantos Greja namung kagem dolanan malah dipun manipulasi kangge kapentingan dhiri pribadi, awit Greja punika kagungaipun Gusti lan Gusti ingkang jenengi.
Kados dene nabi Yehezkiel ingkang anggadahi timbalan supados jagi kasucening gesang bangsa pilihan, mekaten ugi kita sak mangke kautus jagi kasucening gesang patunggilan. Menawi wonten sedherek ingkang dumawah ing dosa, kita kedah ngemutaken kados dene Yehezkiel ingkang ngemutaken bangsa Israel ingkang gesangipun mblasar lan tumindhak dursila. Kita boten saged mendel kemawon, bilih wonten kahanan ingkang lepat, awit bilih kita mendel kemawon, kita ugi lumebet nanggel kalepatanipun. Ananging bilih wonten tiyang lepat lajeng kita emutaken, kita sampun nulungi kasumanipun, dene raganipun taksih tetep nadukaken kelepatan, estunipun sampun sanes tanggel jawab kita (Yeh. 33:8). Jejibawan punika wanci awrat, awit bilih wonten tiyang lepat dereng tamtu nampi kita nalika kita emutaken, ananging bilih kita nggadahi pemanggih prentahipun Gusti kedah dipun lampahi, kita boten nate ewah gingsir nindakaken prentahipun Gusti punika. Tetales prentahipun Gusti punika, kita badhe nyamektakaken kagem kaluhuran asmanipun Gusti sanes kagem gungipun dhiri pribadi.
Pramila sadaya udipaya kita murih kasucenipun patunggilan kedah tetales katresnan. Rum 13:8-14 dados tetales anggen kita gesang sesarengan ing patunggilan, inggih punika Greja. Sadaya angger-angger cunduk kaliyan katresnan. Pramila Taurat kasampurnakaken mawi angger katresnan punika. Anggenipun kita nglampahi gesang sesarengan kedahipun katresnan ingkang dados tales lan underan gesang sesarengan. Awit saking katresnan, bilih wonten sedherek ingkang kadlarung ing dosa kedah tansah dipun tresnani supados boten sansaya kedlarung ing dosa, ananging enggal pulih wangsul malih. Kita boten ngukum piyambakipun, ananging nulungi tiyang sanes, awit katresnan kita. Awit saking katresnan, kita tansah badhe lelampah bener, katresnan punika minangka piranti suci murih gesang ing pepadhang saben dintenipun. Katresnan nandukaken patunggilan, supados kita lumampah langkung prayogi ing sak uruting lelampahanipun pasamuwan.
Panutup
Bulan Kitab Suci ingkang kita pengeti punika ngundang kita sami minangka patunggilan para suci ing salebeting GKJW. Menawi ningali visinipun GKJW inggih punika: “menjadi rekan kerja Allah untuk mewujudkan tanda-tanda hadirnya Kerajaan Allah di dunia.” Kanthi visi punika kita kedah emut bilih GKJW punika minangka endaripun Kratoning Allah. Greja boten anamung patunggilan tiyang ingkang anggadahi kepentingan ingkang sami, ananging Greja punika kagungan lan kagem kapentinganipun Gusti Allah piyambak. Greja punika civitas Dei. GKJW punika dipun timbali lan katujukaken kagem Gusti, murih pratandhanipun Kraton Swarga kagelar wonten ing bumi. Pramila sumangga kanthi estu, kita mundi lan jagi kasucening lelampahanipun pasamuwan lan patunggilan. Kita sumadya paring pitulungan dhateng tiyang ingkang dawah lan boten malah ngukum tiyang ingkang lepat. Sadaya warganipun gesang kanthi sopan, kados nalika siyang, boten wonten ingkang dipun tutupi lan dipun singitaken malih (Rum. 13:12-13). Amin. [to2k].
Pamuji: KPJ. 338 Greja Prasasat Baita