Dipanggil untuk Menjadi Milik Allah yang Aktif MelayaniNya Khotbah Minggu 17 Januari 2021

4 January 2021

Minggu Epifania 2 – Bulan Penciptaan
Stola Hijau

Bacaan 1 : 1 Samuel 3 : 1 – 10
Bacaan 2 :
1 Korintus 6 : 12 – 20
Bacaan 3 :
Yohanes 1 : 43 – 51

Tema Liturgis : Berkat Terindah adalah Kembali menjadi Milik Allah
Tema Khotbah: Dipanggil untuk menjadi Milik Allah yang Aktif Melayani-Nya

Penjelasan Teks Bacaan
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)

1 Samuel 3 : 1 – 10
Kisah ini dilatar belakangi dengan kondisi bangsa Israel sebelum masa-masa kejayaan Saul. Ada periode yang sangat panjang – beberapa ratus tahun, dimana Israel mengalami penderitaan akibat penjajahan dari bangsa-bangsa di sekitarnya, mereka mengalami kelaparan dan penindasan, lalu melalui Hakim-hakim, Allah berupaya membebaskan bangsa Israel dari penjajahan. Maka bangsa Israel kini mengalami ketenangan dan kedamaian secara temporal (pahami siklus dalam kitab Hakim-hakim!) Dan dalam masa-masa tenang inilah, bangsa Israel kembali kepada gaya hidup yang santai sehingga bisa digambarkan sebagai zaman dimana masing-masing orang merasa puas dengan dirinya sendiri, merasa bosan dan acuh tak acuh kepada Tuhan dan perintah-Nya, sehingga terjadilah paceklik Firman. (1 Sam. 3 :1).

Kelahiran seorang Samuel bisa dikatakan melalui proses yang penuh keunikan, dia lahir dari seorang perempuan bernama Hana yang sebenarnya mandul yang telah lama menderita penghinaan (1 Sam.1:1-20) dan terus meminta mujizat dari Tuhan. Akhirnya Tuhan memberikan Samuel sebagai anugerah dalam hidupnya. Anak hasil jeritan doa itu akhirnya dipersembahkan kepada Tuhan oleh Hana, orang tuanya “Seluruh hidupnya, kiranya diminta oleh Tuhan” (1 Sam. 1:28). Samuel dibawa ke rumah Tuhan dan di bawah bimbingan imam Eli, Samuel kecil melayani Tuhan.

Saat itu imam Eli telah renta bahkan kabur mata. Tak berdaya bahkan tak dapat melihat dengan jelas. Inikah sebabnya mengapa ia tidak lagi dapat mendengarkan firman Tuhan dan mempunyai visi sebagai imam Tuhan di Silo? Menurut narasi 1 Samuel 3 ini tidaklah demikian. Imam Eli sendirilah yang sebenarnya mengalami paceklik firman dan penglihatan dari Tuhan. Dialah yang tak berdaya mendengarkan sapaan Tuhan yang mengingatkannya akan segala perbuatan anak-anaknya, Hofni dan Pinehas, yang tidak berkenan di hadapan Tuhan. Ialah juga yang tidak mau melihat dengan mata jujur apa yang dilakukan oleh anak-anaknya itu, sehingga ia tidak mampu menegur mereka sebagai ayah dan sebagai imam Tuhan. Di saat-saat itulah Samuel mendengar suara Tuhan dan mendapat panggilan Tuhan.

Sejak panggilan itu, Tuhan selalu menyertai Samuel dan sejak peristiwa inilah Samuel memulai peranannya bagi bangsa Israel. Samuel menjadi nabi pertama bangsa Israel dalam konteks kerajaan. Dialah yang mengurapi dua raja awal bangsa Israel, yaitu Saul dan Daud. Kehadiran Samuel dalam perjalanan bangsa Israel selanjutnya sungguh mewarnai dinamika iman sebagai bangsa terpilih karena ia dipilih oleh Allah membimbing dua raja Israel itu agar tetap pada jalur perjanjian dengan Allah.

1 Korintus 6 : 12 – 20
Ayat 12 dan bagian awal ayat 13 ini tampaknya berkaitan dengan perbantahan sebelumnya yang pernah terjadi di antara orang-orang Kristen perihal perbedaan soal makanan, namun kemudian menjadi pengantar bagi peringatan selanjutnya yang menentang percabulan. Kaitannya cukup jelas jika kita perhatikan ketetapan yang terkenal dari para rasul itu (Kis. 15), di mana larangan memakan makanan tertentu digabungkan dengan larangan melakukan percabulan.

Tampaknya ada beberapa orang dari jemaat di Korintus yang begitu bebas dalam melakukan hal percabulan seperti halnya kebebasan memakan semua makanan, terutama karena perbuatan percabulan itu tidak dianggap sebagai dosa menurut hukum di negeri mereka. Mereka siap berkata, bahkan di dalam hal percabulan, segala sesuatu halal bagiku. Di sini Rasul Paulus menentang kesombongan yang merusak ini. Ia memberi tahu mereka bahwa banyak hal yang halal pada dasarnya tidaklah berguna pada waktu-waktu tertentu dan dalam keadaan-keadaan khusus. Lagi pula, seharusnya orang-orang Kristen tidak hanya mempertimbangkan apa yang halal untuk dilakukan, tetapi juga apa yang pantas untuk mereka lakukan, dengan mempertimbangkan pengakuan iman, tabiat, hubungan-hubungan, dan semua pengharapan mereka. Mereka harus sangat berhati-hati supaya jangan memperlakukan kebenaran umum ini terlampau jauh sehingga dapat membawa mereka masuk ke dalam perhambaan, baik dalam bentuk penyesatan yang licik ataupun kecenderungan yang bersifat duniawi.

“Segala sesuatu halal bagiku”, kata Paulus, “tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apa pun” (ay. 12). Bahkan di dalam hal-hal yang dianggap halal sekalipun, ia tidak mau tunduk pada suatu kuasa yang dapat merampas kuasa yang ada pada dirinya. Sama sekali ia tidak menganggap halal bahwa perkara-perkara mengenai Allah dikuasai oleh pengaruh-pengaruh kuasa apa pun yang dari dunia ini. Perhatikanlah, ada suatu kebebasan yang digunakan Kristus untuk membebaskan kita dan dalam kebebasan inilah kita harus berdiri teguh. Namun, pasti Paulus tidak akan pernah menggunakan kebebasan ini untuk membiarkan dirinya diperhamba oleh berbagai hawa nafsu kedagingan apa pun. Walaupun semua makanan dianggap halal, ia tidak akan pernah menjadi orang yang rakus atau pemabuk. Terlebih lagi, ia tidak akan pernah menyalahgunakan kebebasan yang halal ini untuk menyetujui dosa percabulan. Walaupun percabulan ini diperbolehkan oleh hukum orang Korintus, namun perbuatan ini merupakan pelanggaran terhadap hukum alam dan sama sekali tidak pantas bagi orang-orang Kristen. Ia tidak akan menyalahgunakan kebebasan tentang makan dan minum ini untuk mendorong keinginan makan dan minum secara berlebihan, atau untuk menuruti nafsu jasmaniah.

Yohanes 1 : 43 – 51
Perikop ini diawali dengan adegan bertemunya Yesus dengan Yohanes Pembaptis. Yohanes bersaksi akan siapa Yesus Kristus, yang disampaikannya kepada murid-muridnya sendiri. Setelah mendengar kesaksian Yohanes itu, dua orang murid Yohanes Pembaptis itu pun mengikuti Yesus untuk menjadi murid-Nya.

Dalam bacaan ini, Yesus diceritakan melakukan pemanggilan murid-murid-Nya yang lain. Sesaat setelah Yesus memutuskan untuk berangkat ke Galilea, Yesus memanggil Filipus dan Natanael. Filipus dipanggil sebelum ia sendiri mencari Yesus. Filipus dipanggil langsung oleh Yesus sendiri, tidak seperti Andreas, yang dibawa oleh Yohanes, atau Petrus, yang diajak oleh saudaranya.

Betapa bersukacitanya Filipus atas peristiwa perjumpaan dan dipanggilnya dia oleh Kristus ini, Filipus pun menceritakan kesukacitaan itu pada seorang lain yang bernama Natanael yang kemudian diajak untuk menjumpai Kristus. Ada banyak hal yang dikatakan tentang Natanael di sini, yang didalamnya kita bisa mengamati bahwa percakapan yang berlangsung antara Filipus dan Natanael, dan di dalam percakapan ini tampak ada percampuran antara semangat kesalehan yang menggebu-gebu dan kelemahan manusiawi. Dikatakan kesalehan yang menggebu-nggebu karena dengan rasa penasaran Natanael ingin segera mengetahui siapa sosok yang diceritakan oleh Filipus, sedangkan dikatakan kelemahan manusia, karena Natanael menunjukkan keragu-raguannya akan sosok Kristus sebagai Mesias, karena salah dalam mengerti asal muasal Kristus.

Keragu-raguanya itu timbul karena ketidaktahuannya. Jika yang dimaksudkannya adalah tidak ada hal baik yang bisa datang dari Nazaret, maka ini terjadi karena ketidaktahuannya akan kasih karunia ilahi, seolah-olah kasih karunia ilahi kurang berkuasa di satu tempat dibandingkan dengan di tempat lain, atau seolah-olah kasih karunia itu terikat pada penilaian-penilaian manusia yang bodoh dan jahat. Jika yang dimaksudkannya adalah bahwa Mesias, yang agung dan baik itu, tidak bisa datang dari Nazaret, maka sejauh itu ia benar (Musa, dalam hukum Taurat, berkata bahwa Mesias akan datang dari suku Yehuda, dan para nabi telah menentukan Betlehem sebagai tempat asal-Nya). Akan tetapi, ia tidak tahu fakta, bahwa Yesus ini dilahirkan di Betlehem, dan dengan demikian kesalahan yang dibuat Filipus itu, dalam menyebut-Nya Yesus dari Nazaret, membuat Natanael menyampaikan keragu-raguan ini.

Benang Merah Tiga Bacaan :
Dari ketiga bacaan di atas, kita dapat menarik satu benang merah sebagai suatu kesimpulan, bahwa Allah senantiasa memanggil dan mengharapkan siapapun untuk menjadi pelayan-Nya. Pelayan yang dimaksud tidaklah selalu berkaitan dengan status (sebagai Nabi, sebagai Rasul, sebagai Pendeta, atau sebagai anggota penatua/diaken), melainkan untuk menjadi saksi, menyampaikan kabar kebaikan dan membawa perubahan yang baik di dalam hidup bersama orang lain.

Panggilan dari Allah tidak memandang status dan latar belakang apa yang dimiliki oleh seseorang. Hal itu dapat kita temukan dalam peristiwa dipanggilnya Samuel oleh Allah. Samuel, bisa dikatakan tidak memiliki latar belakang dan status yang lebih unggul daripada Imam Eli. Saat itu dia hanyalah anak bimbing dari Imam Eli. Tetapi karena Allah berkenan terhadap Samuel, Allah pun memperdengarkan suaranya justru bukan kepada Imam Eli, tetapi kepada Samuel.

Allah dapat memanggil siapapun dengan cara apapun. Bila dibandingkan antara keterpanggilan Samuel, kedua murid Yohanes Pembaptis, Filipus, dan Natanael (serta murid-murid Yesus yang lain), masing-masing di antara mereka dipanggil Tuhan dengan cara yang berbeda. Samuel dipanggil melalui cara mendengarkan suara panggilan Allah secara langsung, kedua murid Yohanes Pembaptis mengalami keterpanggilan setelah mendengarkan kesaksian gurunya (Yohanes Pembaptis) tentang siapa Yesus. Filipus menerima ajakan langsung dari Yesus untuk dapat mengikuti-Nya, dan Natanael mengikut Yesus karena diajak oleh Filipus yang didahului dengan drama keragu-raguan akan asal muasal dan latar belakang Yesus.

Tuhan memiliki kehendak dan tujuan pada setiap orang yang dipanggil-Nya yaitu seorang pengikut dan pelayan yang mau membawa perubahan, perbaikan dan damai sejahtera Tuhan bagi dunia. Samuel dipanggil pada saat terjadi paceklik Firman Tuhan dalam bangsa Israel, diperparah juga dengan keberadaan anak-anak Imam Eli yang meremehkan kekudusan Allah. Para murid dipanggil oleh Yesus menjadi Rasul Kristus, membantu Yesus dalam pelayanan-Nya mengabarkan kabar sukacita Allah di tengah situasi bangsa Israel yang menderita secara sosial karena penindasan bangsa Romawi, dan penindasan spiritual akibat korupnya pemegang tatanan Bait Allah pada saat itu. Paulus pun demikian, dia dipanggil untuk menjadi agen perubahan orang-orang yang sudah mengenal kekristenan maupun belum. Ketika menyampaikan peringatannya tentang percabulan, dia berhadapan dengan situasi moralitas yang amburadul, dimana banyak orang-orang Korintus (entah yang sudah mengenal Kekristenan atau belum) membebaskan dirinya hidup dalam percabulan.

Maka disinilah setiap orang perlu mengenali betul siapa pencipta-Nya dan bagaimana suara-Nya. Setiap orang juga perlu mengenali identitas dirinya sebagai umat kepunyaan Tuhan. Dan lebih penting adalah mengenali apa yang menjadi panggilan Tuhan dalam hidupnya.

Rancangan Khotbah : Bahasa Indonesia
(Ini hanya sebuah rancangan, silahkan dikembangkan sesuai konteks Jemaat)

Pendahuluan
Bapak, Ibu, serta Saudara yang dikasihi Tuhan
,

Tentu siapapun di antara kita, pastilah memiliki barang kepemilikan pribadi yang kita simpan di rumah kita masing-masing. Dalam sudut pandang ilmu ekonomi, jenis barang kepemilikan seseorang dapat dibagi menjadi dua klasifikasi, yaitu “Barang Bergerak” dan “Barang Tidak Bergerak”.

Pengertian barang bergerak secara umum adalah barang yang dapat digunakan sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman atau kredit jangka pendek. Barang tersebut disebut bergerak karena dapat dipindah-pindahkan dengan mudah. Barang ini dapat dengan mudah kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari. Contohnya adalah televisi, perhiasan emas, kalung, cincin, motor, kulkas, dan radio, dll.

Sedangkan pengertian barang tidak bergerak secara umum adalah barang yang dapat digunakan sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman atau kredit jangka panjang. Sesuai dengan namanya, barang tersebut disebut tidak bergerak karena umumnya benda-benda tersebut tidak dapat dipindahkan dengan mudah. Dan, secara umum barang tidak bergerak bernilai lebih mahal dibanding barang bergerak sehingga bisa digunakan sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman jangka panjang yang jumlahnya besar. Contoh dari barang tidak bergerak antara lain adalah tanah dan rumah.

Sehingga dapat kita mengerti di sini bahwa dalam sudut pandang ilmu ekonomi, barang yang tidak bergeraklah yang justru memiliki nilai lebih tinggi daripada barang yang bergerak. Namun hal ini berbanding terbalik bila kita bandingkan antara sudut pandang ilmu ekonomi dengan sudut pandang iman Kristiani dalam melihat hidup kita sebagai milik Allah. Seseorang akan mendapatkan nilai lebih sebagai bagian milik dan kepunyaan Allah, justru ketika seseorang itu dapat bergerak secara aktif untuk menjadi saluran berkat bagi dunia, bergerak secara aktif untuk melayani Tuhan, menjadi seseorang yang mampu membawa dampak positif, mampu merubah kehidupan moral dan sosial disekitarnya ke arah yang lebih baik. Bukannya menjadi bagian kepemilikan Allah yang hanya pasif, berdiam diri, menjadi penonton, apalagi justru membawa pengaruh-pengaruh buruk bagi kehidupan sekitarnya. Karena kita sungguh dipanggil menjadi milik Allah untuk menjalankan tugas bersaksi secara aktif melayani-Nya.

Isi
Bapak, Ibu, serta Saudara yang dikasihi Tuhan.

Kita bisa menemukan pelajaran berharga dari bacaan Firman Tuhan hari ini, akan arti panggilan hidup kita selaku bagian dari milik Allah. Kita belajar dari peristiwa dipanggilnya Samuel menjadi nabi atas bangsa Israel yang pada waktu itu mengalami kemrosotan moral dan spiritual luar biasa. Barangkali merupakan sesuatu yang agak lumrah (meskipun sebenarnya tidak) apabila keadaan kemrosotan moral dan spiritual itu terjadi di luar tembok Bait Suci Allah. Bait Allah yang pada saat-saat sebelumnya diyakini dan diperlakukan sebagai Rumah Kudus Allah, di mana setiap orang (umat Israel) tidak akan pernah berani sembrono ketika datang ke Bait Suci Allah, mereka harus benar-benar menjalankan ritus-ritus khusus untuk bisa masuk ke dalam Bait Suci, namun itu semua justru dirusak oleh anak-anak Imam Eli, Hofni dan Pinehas. Mereka mempermainkan kekudusan Allah dengan memandang rendah korban bakaran bagi-Nya. Setiap kali ada orang (umat Yahudi) yang mempersembahkan korban bakaran bagi Allah, mereka akan mengambil bagian yang baik dari daging korban itu untuk mereka makan (bdk. 1 Sam 2: 12 dan 17).

Tidak hanya itu, kemerosotan moral dan spiritual di Bait Suci juga terjadi pada saat anak dan menantu Imam Eli menjadikan Bait Suci yang seharusnya tempat untuk menghadirkan damai sejahtera bagi umat, menjadi tempat yang tidak nyaman dirasakan umat. Mereka secara sengaja melakukan tindak perundungan (pembullyan) kepada Hana, Ibu Samuel saat dalam kondisi mandul. (Lihat 1 Sam 1:7) Dikatakan bahwa perundungan itu terjadi dari tahun ke tahun; setiap kali Hana pergi ke rumah TUHAN, Penina (menantu Imam Eli) selalu menyakiti hati Hana, sehingga ia menangis dan tidak mau makan.

Lalu apakah yang dapat dilakukan oleh Imam Eli? Mungkin tidak terlalu menjadi soal apabila Imam Eli tidak mengetahui apa yang telah diperbuat oleh anak dan menantunya itu, sehingga dia pun tidak patut dipersalahkan jika dia tidak memperingatkan anak dan menantunya. Namun, Imam Eli ternyata mengetahui apa yang diperbuat anak-anak dan menantunya itu dengan jelas, tetapi dia memilih berdiam diri dan membiarkan itu terjadi (Bdk.1 Sam 3: 13). Barangkali pada saat itu Imam Eli hanya memikirkan kesalehan pribadi dirinya: “Ah itu kan perbuatan anak-anakku, yang penting aku tidak ikut-ikutan”. Jelasnya, di mata Allah, Imam Eli dirasa tidak lagi mampu menghadirkan kekudusan Allah di tengah umat kepunyaan-Nya, bahkan di ruang lingkup kecil keluarganya sendiri sehingga mereka layak menerima hukuman dari Allah.

Pada saat-saat itulah Samuel dipanggil oleh Allah untuk dapat menjadi perantara komunikasi Allah dengan Bangsa Israel, menyampaikan kabar sukacita dan menghadirkan keadilan bagi umat-Nya. Samuel dipanggil dalam statusnya sebagai murid magang (nyantri) pada Imam Eli. Status yang tidak jauh lebih tinggi dibandingkan Imam Eli, bahkan sangat jauh lebih rendah. Tetapi disanalah justru Allah berkenan kepada Samuel. Karena Allah tidak memandang Samuel dalam statusnya, tetapi Dia melihat keteguhan hati Samuel untuk mau menjadi milik Allah yang sejati, mau senantiasa berjalan seturut kehendak-Nya, serta membawa dampak positif bagi orang-orang di sekitar-Nya.

Sama seperti Samuel, demikian jugalah kedua murid Yohanes Pembaptis, Filipus dan Natanael, serta Rasul Paulus yang mau mengikut Kristus untuk menjadi murid-Nya. Mereka merasa tidak cukup apabila hanya menjadi “barang tidak bergerak-Nya Allah”, yang hanya pasif dan berdiam diri ketika, sebenarnya dia bisa melakukan sesuatu yang baik.

Penutup
Bapak, Ibu, serta Saudara yang dikasihi Tuhan. Panggilan Allah terhadap Samuel, dua orang murid Yohanes Pembaptis, Filipus dan Natanael, serta Paulus, juga berlaku bagi kita. Melalui Firman Tuhan hari ini kita diajak untuk menyadari akan keberadaan hidup kita yang telah menjadi milik kepunyaan Allah. Kita telah ditebus dan diselamatkan oleh-Nya. Kita adalah kepunyaan Allah yang berharga.

Namun nilai berharganya hidup kita akan semakin tinggi ketika kita juga mau turut aktif untuk melayani-Nya, mewartakan cinta kasih Tuhan bagi dunia, membawa dampak positif bagi lingkungan sekitar. Tidak hanya sekedar berdiam diri, pasif, apalagi memberikan pengaruh-pengaruh buruk yang tidak berkenan di mata Allah. Umat Allah dipanggil untuk tidak hanya memikirkan kesalehan pribadi, membutakan mata terhadap realitas buruk yang terjadi di sekitarnya. Tentu saja itu semua harus kita lakukan dengan penuh hikmat kebijaksanaan, tanpa harus terkesan menjadi hakim bagi sesama kita. Sebagaimana ungkapan bijak berikut ini: “Kejahatan dapat merajalela bukan karena banyaknya orang jahat yang melakukannya, melainkan juga karena banyaknya orang baik yang hanya berdiam diri dan membiarkan kejahatan itu terjadi.” Mari bergerak, menebarkan kebaikan, menghadirkan damai sejahtera Tuhan bagi dunia. Tuhan memampukan dan memberkati kita semua. Amin (YEP)


Nyanyian : KJ. 429 : 1, 3 Masih Banyak Orang Berjalan

Rancangan Khotbah : Basa Jawi

Pambuka
Bapak, Ibu, lan para sedherek ingkang dipun tresnani dening Gusti.

Tamtu sintena kemawon kagungan barang darbe pribadi ingkang dipun simpen wonten ing griyanipun piyambak-piyambak. Miturut ilmu ekonomi, kawontenan barang darbe punika kapilah ing kalih perangan: “Barang saged obah” lan “Barang mboten saged obah”.

Tegesipun barang saged obah, nggih punika barang ingkang saged dipun damel minangka jaminan nalika kepingin ngutang utawi kredit jangka pendek. Barang punika kasebat barang saged obah karena saged kanthi gampil dipun pindah. Barang punika saged kanthi gampil kita panggihi wonten ing pigesangan kita saben dinten, contonipun: tv, emas-emasan, kalung, ali-ali, sepedah motor, kulkas, radio, lsp.

Lajeng, tegesipun barang mboten saged obah sacara umum dipun mangertosi barang ingkang saged dipun ginakaken minangka jaminan nalika kepingin ngutang utawi kredit jangka panjang. Kadosdene penyebatipun, barang punika kasebat barang mboten saged obah karena pancen barang punika mboten saged dipun owah-owahi kanthi gampil. Sacara umum, barang ingkang mboten saged obah kalawau nggadahi nilai ingkang langkung awis katimbang barang ingkang saged obah nalika dipun ginakaken minangka jaminan ingkang cacahipun langkung ageng, contonipun: pekarangan utawi bale griya.

Kita saged mangertos miturut ilmu ekonomi, barang ingkang mboten saged obah punika nggadahi nilai utawi regi ingkang langkung awis katimbang barang ingkang saged obah. Ananging, kawontenan kados mekaten kalawau saestu benten bilih kita bandingaken kaliyan pamanggih iman kekristenan wonten ing salebeting ningali kawontenan gesang minangka kagunganipun Gusti Allah. Satunggal tiyang saged nampeni nilai ingkang langkung awis minangka kagunganipun Gusti, nalika piyambakipun saged obah sacara aktif dados talanging berkah tumrap jagad, saged obah kanthi aktif kangge leladi wonten ing ngarsanipun Gusti, dados tiyang ingkang saged mbeta dampak ingkang positif, saged ngowahi pigesangan moral lan sosial ing sakiwa-tengenipun tumuju dhateng kahanan ingkang langkung sae. Mboten namung ngaken dados manungsa ingkang dipun kagungani Gusti nanging namung pasif, mendel, dados penonton, punapa malih mbeta pengaruh-pengaruh awon wonten ing salebeting gesangipun. Awit saestu, kita punika dipun timbali dados kagunganipun Gusti supados saged nindhakaken tugas tanggel jawab dados paseksi ingkang aktif leladi wonten ing ngarsanipun.

Isi
Bapak, Ibu, lan para Sedherek ingkang dipun tresnani dening Gusti. Kita saged manggihi piwucal ingkang sae saking waosan dhawuh pangandikanipun Gusti ing dinten punika, tumrap makna timbalan gesang kita minangka perangan kagunganipun Gusti. Kita saged sinau saking prastawa Samuel ingkang dipun timbali dening Gusti dados Nabi tumrap bangsa Israel ingkang rikala semanten dawah ing kemerosotan moral lan spiritual ingkang mboten umum. Mbok menawi limrah kemawon (senaosa sejatosipun inggih mboten) bilih kawontenan mrosotipun moral lan spiritual punika kalampahan ing sakjawinipun Padaleman Suci. Bilih sakderengipun Padalemanipun Gusti punika dipun yakini lan dipun ginakaken minangka Papan ingkang saestu suci, ing pundi sadaya tiyang (umat Israel) boten badhe wantun kanthi sembrono nalika sowan umarek wonten ing salebetipun, tiyang-tiyang kalawau kedah nglampahi ritual-ritual mirunggan kangge saged lumebet Padaleman Suci, ananging kawontenan kados mekaten dipun risak kaliyan putra-putranipun Imam Eli, ingkang naminipun Hofni lan Pinehas. Kekalihipun wantun nggojeki kasucenipun Allah srana mandeng enteng kurban obaran ingkang dipun pisungsungaken dhateng Gusti Allah. Saben-saben wonten tiyang (umat Yahudi) ingkang ngurbanaken kurban obaran kagem Panjenenganipun, kekalihipun badhe mendhet perangan ingkang sae saking kurban punika lan dipun tedha sesarengan. (bdk. 1 Sam 2: 12 lan 17).

Mboten namung mekaten kalawau, kemrosotan moral lan spiritual ingkang kalampahan ing salebetipun Padaleman Suci inggih kalampahan nalika putra-putra lan mantunipun Imam Eli ndadosaken Padaleman Suci ingkang kedahipun dados papan ingkang saged mbeta tentrem rahayu tumrap umat, dados papan ingkang justru mboten paring katentreman tumrap umat. Mantunipun Imam Eli sacara sangaja nindhakaken perundungan (bully) tumrap Hana, biyungipun Samuel nalika taksih gabug/mandul. (lih. 1 Sam 1:7). Dipun cariosaken bilih perundungan punika kalampahan saben taun, nalika Hana tindhak dhateng Padaleman Suci, Penina (mantunipun Imam Eli) asring damel sakit manahipun Hana, pramila Hana lajeng nangis lan mboten purun nedha.

Lajeng, punapa ingkang saged dipun tindhakaken dening Imam Eli? Menawi mboten dados masalah ingkang mligi bilih Imam Eli mboten mangertosi punapa ingkang sampun dipun tindhakaken dening putra lan mantunipun punika, piyambakipun mboten saged dipun lepataken bilih mboten ngemutaken putra lan mantunipun kalawau. Ananging, wonten ing kasunyatanipun Imam Eli mangertosi punapa ingkang dipun tindhakaken dening putra lan mantunipun punika, ananging piyambakipun milih mendel kemawon (bdk. 1 Sam 3:13). Mbok menawi rikala semanten Imam Eli anamung nggalih kesalehan pribadinipun: “kuwi kan tumindhake anak-anakku, sing penting aku ora melu-melu, rak yo wes”. Tegesipun, Imam Eli dipun raoasken mboten saged malih ngrawuhaken Kasucenipun Gusti Allah ing satengah-tengahi umat kagunganIpun, malah-malah wonten ing salebeting gesang brayatipun piyambak. Pramila piyambakipun sakbrayat badhe nampeni paukuman saking Gusti.

Ing kawonten ingkang kados mekaten kalawau Samuel lajeng dipun timbali dening Gusti Allah supados saged dados lantaraning Allah dhateng Bangsa Israel, paring pawartos rahayu lan ugi ngrawuhaken kaadilan tumrap umatipun Gusti. Samuel dipun timbali ing salebeting status minangka siswa magang (nyantri) dhateng Imam Eli. Kawontenan ingkang sejatosipun mboten langkung inggil bilih dipun bandingaken kaliyan Imam Eli, malah langkung andhap. Ananging Gusti Allah karenan tumrap Samuel. Gusti Allah mboten mirsani Samuel ing salebeting statusipun, ananging Panjenenganipun mirsani kesagahanipun Samuel minangka perangan Kagunganipun Gusti ingkang sejati, purun lumampah miturut karsanIpun, sarta mbeta dampak ingkang positif tumrap tiyang-tiyang ing sakiwa-tengenipun.

Sami kadosdene Samuel, mekaten ugi kekalihipun sakabatipun Yokanan Pembaptis, Filipus lan Natanel, sarta Rasul Paulus ingkang purun ndherek Gusti Yesus minangka sakabatipun. Tiyang-tiyang kalawau ngraosaken boten cekap namung dados “barang mboten saged obah kangunganipun Gusti”, ingkang namung pasif, namung mendel kemawon sanaosa saged nindhakaken perkawis ingkang becik.

Panutup
Bapak, Ibu, lan para sedherek ingkang dipun tresnani dening Gusti. Timbalanipun Gusti tumrap Samuel, kekalih sakabatipun Yokanan Pembaptis, Filipus lan Natanael, saha Rasul Paulus, ugi kalampahan tumrap gesang kita. Lumantar dhawuh pangandikanipun Gusti samangke, kita dipun ajak nyadhari kawontenan gesang kita ingkang sampun dados kagunganipun Gusti Allah. Kita sampun dipun tebus lan dipun paringi kawilujengan dening Panjenenganipun. Kita kagunganipun Gusti Allah ingkang saestu pangaji.

Ananging pangajinipun gesang kita badhe langkung inggil bilih kita purun sacara aktif leladi wonten ngarsanipun, paring pawartos bab katresnanipun Gusti tumrap jagad, paring dampak ingkang positif wonten ing lingkungan. Mboten namung mendel kemawon, pasif, langkung-langkung paring pengaruh awon ingkang mboten karenan wonten ing ngarsanipun Gusti. Umat kagunganipun Gusti dipun timbali mboten supados namung nggayuh kesalehan pribadi, nanging ngecakaken paningal nalika ningali kasunyatan ingkang awon ingkang kalampahan. Tamtunipun sadaya kalawau dipun tindhakaken kanthi kebak ing kawicaksanan, tanpa dados hakim tumrap sesami kita. Kadosdene tembung kawicaksanan ingkang mekaten: “Tumindhak dursila saged langkung sumrambah mboten karana kathahipun tiyang ingkang sami nindhakaken dursila, ananging saged kalampahan karana kathah tiyang sae ingkang namung mendel kemawon lan nglilani tindhak dursila punika kalampahan.” Sumangga obah, nyumrambahaken kabecikan, ngrawuhaken tentrem rahayunipun Gusti tumrap jagad punika. Gusti mugi paring kesagedan lan berkah tumrap kita sadaya. Amin (YEP)

Pamuji : KPJ. 429 : 1, 2 Dhawuhe Gusti.

Renungan Harian

Renungan Harian Anak