Minggu Transfigurasi
Stola Putih
Bacaan 1 : 2 Raja-raja 2 : 1 – 12
Bacaan 2 : 2 Korintus 4 : 3 – 6
Bacaan 3 : Markus 9 : 2 – 9
Tema Liturgis : Kebenaran tentang Siapa Allah yang Peduli atas Hidup Kita
Tema Khotbah: Yesus Kristus yang Dimuliakan adalah Perwujudan Kasih Allah dalam Menyelamatkan Manusia
Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
2 Raja-raja 2 : 1 – 12
Nabi Elia mengawali dan mengakhiri tugas kenabiannya di daerah Yerikho. Secara tidak langsung, dalam perikop ini ditunjukkan bagaimana Elia memberi dorongan dan memberi tahu baik kepada Elisa maupun kepada kelompok para nabi bahwa Elisa adalah penggantinya. Kesetiaan Elisa benar-benar telah teruji ketika sampai tiga kali Elia meminta supaya Elisa meninggalkannya, yaitu ketika sampai di Gilgal, Betel, dan Yerikho. Dengan bersumpah, Elisa mengatakan bahwa tidak akan meninggalkan Elia. Artinya, dalam situasi bagaimanapun, Elisa tidak akan pernah meninggalkan tugas kenabiannya bersama dengan Elia.
Dalam perjalanannya, beberapa kali Elia dan Elisa bertemu dengan rombongan nabi (ayat 3). Yang dimaksud adalah para nabi dan anak-anak mereka yang saat itu lazim hidup secara berkelompok membentuk semacam tarekat. Secara sederhana, salah satu pengertian tarekat menurut wikipedia adalah sistim kerahasiaan, sistim kekerabatan (persaudaraan) kaum sufi, orang-orang yang mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri kepada Tuhan. Nabi Elisa rupanya juga berhubungan erat dengan tarekat itu yang ditunjukkan dengan begitu “akrabnya” teguran mereka kepada nabi Elisa dan jawaban nabi Elisa di ayat 5. Tetapi tidak demikian dengan nabi Elia yang dalam beberapa tulisan disebutkan bahwa nabi Elia hidup seorang diri, dalam arti tidak menjadi bagian dari rombongan nabi manapun di Israel.
Kedekatan hubungan nabi Elia dengan penerusnya yaitu nabi Elisa nampak di ayat 9, yaitu saat Elisa meminta dua bagian roh dari nabi Elia (ayat 9). Ini seperti melambangkan hubungan antara ayah dengan anak. Di Israel, anak sulung biasanya mendapatkan warisan 2 bagian lebih banyak dibandingkan adik-adiknya (lih. Ul. 21:17). Mendengar permintaan Elisa sebelum berpisah dari Elia yang juga gurunya itu, Elia menjawab bahwa hal itu “sukar” (ayat 10). Kecuali jika Tuhan mengijinkan Elisa melihat Elia terangkat dari hadapanya. Dalam hal ini nabi Elia ingin mengatakan bahwa roh kenabian itu tidak bisa diwariskan. Roh kenabian itu datang dari Allah, menjadi rahasia Allah, maka juga Allah yang akan memberikan. Yaitu jikalau Elisa mampu melihat apa yang tidak dapat dilihat mata manusia pada umumnya, yaitu peristiwa nabi Elia terangkat. Rombongan nabi yang berjumpa dengan nabi Elia dan Elisa di perjalanan hanya mampu melihat tanda-tandanya saja (lih. ayat 5b). Akhirnya Allah mengabulkan keinginan Elisa karena kehendak-Nya dan kesetiaan Elisa pada nabi Elia dan tugas kenabiaannya supaya melanjutkan tugas nabi Elia di tengah kemurtadan umat Allah itu. Elisa diijinkan oleh Allah untuk melihat sebuah “rahasia”, yaitu peristiwa Elia yang terangkat dengan kereta berapi dan kuda berapi.
Dari peristiwa nabi Elia terangkat itu, Allah menunjukkan betapa mulia dan tak terbatasnya kuasa Allah. Elisa memang takjub, namun juga sedih dan menyesal karena kehilangan melihat Elia terangkat yang diwujudkan dengan mengoyakkan pakaiannya (ayat 12).
2 Korintus 4 : 3 – 6.
Di ayat 3, Rasul Paulus ingin mangatakan bahwa Injil itu sifatnya terbuka untuk siapa saja, tidak pandang bulu. Jika ada orang yang menutup diri dari pemberitaan kabar baik dan kebenaran ini, tentunya itu pekerjaan “kegelapan” atau iblis. Orang-orang seperti itu tentunya tidak akan menjadikan Yesus Kristus sebagai Tuhan-Nya. Hal ini dikarenakan sesuai pemberitaan Paulus bahwa Tuhan Yesus Kristus adalah kebenaran dan kabar baik (Injil) itu sendiri.
Fokus pemberitaan Paulus adalah Kristus, bukan dirinya sendiri (ayat 5). Meskipun pemberitaan diri Paulus bukan berarti tidak menarik untuk diberitakan sebagai sebuah kesaksian iman dari orang yang menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya. Dalam memberitakan kabar baik, seseorang harus diperkenalkan kepada Kristus dan bukan kepada diri orang yang memberitakan. Paulus adalah pembawa kabar baik dan bukan isi dari pemberitaan kabar baik itu. Menurut Paulus, kalau ada orang yang membawa orang lain kepada dirinya sendiri dalam memberitakan kabar baik, maka itu bukanlah pengajar yang benar. Paulus mengatakan bahwa dia bisa menjadi hamba Tuhan Yesus (pengikut Kristus), itupun karena kehendak-Nya. Dalam hal ini tentunya Paulus merasa tidak ada keistimewaan dirinya sebagai seorang hamba yang memberitakan kabar baik. Yang istimewa adalah Tuhan Yesus Kristus yang ia beritakan.
Menjadi pengikut Kristus berarti juga melayani sesama, termasuk jemaat Korintus. Hasilnya memang bisa saja tidak sesuai dengan ekspektasi dari yang memberitakan. Menerima Kristus dan kebenaranNya dalam hidup seseorang, sesungguhnya merupakan harta rohani yang tak ternilai, dimanapun berada. Itulah harta bagi Paulus. Kebenaran inilah adalah terang sejati dalam hidup manusia. Terang itu hanya didapat dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah (ayat 6). Kemuliaan Allah itulah yang nampak pada wajah Kristus. Artinya, seluruh penampakan perbuatan, karya dan pengajaran Kristus merupakan perwujudan dari kehendak Allah sendiri. Hal ini memang semacam “rahasia” yang tentunya tidak semua orang memahami atau menerimanya. Paulus sendiri juga mengalaminya, bahwa Yesus yang demikian mulia itu dulu sangat ia benci hingga para pengikutnya. Paulus bersyukur karena akhirnya Tuhan ijinkan untuk memahami kebenaran itu bahwa Yesuslah kabar baik dan keselamatan itu.
Markus 13 : 24 – 37
Dalam Alkitab, gunung sering dipakai Allah menjadi tempat menyingkapkan rahasia kehendak-Nya. Misalnya, Musa yang menerima Sepuluh Perintah Allah di gunung Sinai, dan Elia yang menerima perintah Allah di gunung Horeb. Yang jelas, gunung menjadi tempat yang relatif lebih sepi dan terpisah dari orang-orang kebanyakan. Demikian juga ketika Tuhan Yesus hanya mengajak Petrus, Yakobus dan Yohanes ke subuah gunung untuk menyaksikan bagaimana Yesus dimuliakan di sana (ayat 2). Mereka ini memang orang-orang yang bisa dianggap “dekat” dengan Tuhan Yesus diantara kedua belas murid lainnya. Tuhan Yesus “memisahkan” mereka dari murid lainnya dan dibawa ke gunung yang tentunya lebih sunyi untuk menyaksikan sebuah “rahasia” kemuliaan-Nya (perubahan rupa Yesus dan kebersamaannya dengan Musa dan Elia).
Di ayat 4 tertulis bahwa Musa dan Elia berbicara dengan Yesus. Musa adalah salah satu nabi terkenal dalam Perjanjian Lama. Musa juga merupakan representasi dari hukum-hukum Allah, karena dialah yang menerima Sepuluh Perintah Allah di gunung Sinai. Sedangkan Elia juga nabi yang terkenal di kalangan bangsa Israel yang mewakili nabi-nabi yang banyak menubuatkan akan hadirnya Mesias di tengah bangsa Israel. Namun demikian, Injil Markus juga ingin menceritakan bahwa Yesus itu bukanlah reinkarnasi dari nabi Musa atau Elia. Sebab dalam perjumpaan Yesus dengan Musa dan Elia itu hanya Yesus yang berubah rupa menjadi berkilauan. Saat itu memang ada orang-orang yang menganggap bahwa Yesus itu Elia yang datang kembali. Yesus bukanlah perwujudan dari nabi-nabi. Hal ini ditegaskan dengan terdengarnya suara dari langit yang menyatakan bahwa Yesus adalah Anak Allah, dan semua orang harus mendengarkan Dia (ayat 7). Keilahian Yesus jelas diungkapkan oleh penulis Injil Markus ini. Mendengarkan Yesus berarti juga sebuah ketaatan dan kesetiaan melakukan apa yang dikatakan-Nya/diajarkan-Nya.
Perubahan wajah dan diri Yesus yang menjadi berkilauan, apalagi bercakap-cakap dengan Musa dan Elia, adalah hal yang tidak mudah untuk dicerna oleh para murid yang menyaksikannya. Dalam hal ini Injil Markus juga hendak mengungkapkan kenyataan Mesias yang sangat mulia, meskipun itu masih tersembunyi bagi banyak orang. Penampakan Yesus yang mulia ini tentu membahagiakan para murid. Bahkan Petrus mengungkapkan bahwa menyaksikan kemuliaan Yesus Kristus itu adalah sebuah kebahagiaan dan Petrus ingin membangun kemah untuk Yesus, Musa dan Elia. Tujuannya tentunya supaya mereka tetap bisa menikmati kebahagiaan itu. Tinggal bersama-sama dengan mereka.
Berubah rupa, dalam bahasa Yunani : metanzorphoo, adalah perubahan bentuk secara hakiki, bukan perubahan penampilan luar yang dangkal. Saat itu, tubuh manusiawi Yesus dimuliakan, dan pada suatu hari akan datang untuk mendirikan kerajaan-Nya. Dialah Sang Mesias. Peristiwa perubahan rupa Yesus ini sekaligus memberikan pemahaman baru kepada ketiga murid itu bahwa Yesus yang sedemikian mulia itu nantinya juga akan mati dan bangkit dari antara orang mati (lih. ayat 9).
Peristiwa penting dan luar biasa ini oleh Yesus tidak boleh diceritakan kepada orang lain (ayat 9, 10). Yesus tahu bahwa sesungguhnya ketiga murid-Nya itu belum sepenuhnya memahami perubahan rupa (transfigurasi) itu, demikian juga mereka belum memiliki kemampuan penuh untuk bersaksi tentang hal itu. Apalagi, ketika Yesus berbicara tentang hal kematian dan kebangkitan-Nya di masa yang akan datang. Ini tentunya lebih sulit lagi dipahami setelah ketiga murid itu menyaksikan kemuliaan dan luar biasanya Yesus, Guru mereka. Hal ini karena mereka tidak bisa melihat hal-hal yang akan datang. Itulah sebabnya, bagi Yesus, belumlah saatnya ketiga murid itu bersaksi / bercerita tentang kemuliaan-Nya itu.
Benang Merah Tiga Bacaan:
Salah satu kebenaran yang tidak bisa dipungkiri adalah kemuliaan Allah tidak pernah terpisah dari cinta kasih-Nya kepada manusia. Kemuliaan Allah yang dilihat, dirasakan, dialami oleh manusia dalam berbagai peristiwa kehidupannya, tidak lain adalah untuk menolong manusia memahami betapa Allah mengasihi manusia dan ingin menyelamatkannya.
Rancangan Khotbah : Bahasa Indonesia
(Ini hanya sebuah rancangan, silahkan dikembangkan sesuai konteks Jemaat)
“RAHASIA” YANG TERSINGKAP
(Nats : Markus 9 : 6)
Pendahuluan
Rahasia” bisa menjadikan seseorang merasa penasaran, bingung, takut, bahagia atau ada juga yang menjadi tidak peduli. Apalagi bila “rahasia” itu merupakan sesuatu yang belum pernah dilihat, didengar, ataupun dialami. Tak dipungkiri, banyak juga orang yang merasa mendapat kehormatan atau merasa dirinya istimewa jika bisa tahu apa yang menjadi “rahasia” tersebut. Karena kesempatan untuk mengetahui, mengerti dan menyingkap “rahasia” itu tidak dialami oleh semua orang.
Isi
“Rahasia” yang disaksikan oleh ketiga murid Yesus yaitu Petrus, Yakobus dan Yohanes adalah sebuah penampakan kemuliaan Yesus. Yesus yang selama ini mereka kenal sebagai guru yang sehari-hari bersama dengan mereka, berjalan dari dari satu tempat ke tempat lain, pribadi yang banyak membuat mujizat, ternyata tampil di hadapan mereka dalam perubahan rupa. Perubahan rupa itu juga dalam wujud pakaian yang berkilat-kilat (Mrk. 9:3). Itulah perubahan rupa yang menyatakan kemuliaan Yesus. Peristiwa perubahan rupa Yesus itu bisa dikatakan sebuah “rahasia”, karena tidak semua murid mengetahuinya, dan peristiwa itu terjadi di atas gunung yang tinggi dan tentunya sunyi karena dalam Mrk 9 : 2b tertulis : “Di situ mereka sendirian saja”.
Peristiwa perubahan rupa Yesus itulah yang dikenal dengan istilah transfigurasi, yang berasal dari kata transfiguration artinya :
a. A change in form or appearance = perubahan bentuk/rupa atau penampakan
b. An exalting, glorifying, or spiritual change = keagungan, kemuliaan, atau perubahan rohani
Dalam bahasa Yunani metanzorphoo ini, adalah perubahan bentuk secara hakiki, bukan perubahan penampilan luar yang dangkal. Jadi, perubahan dalam bentuk / penampakan Yesus ini berkaitan dengan meninggikan, memuliakan, atau perubahan spiritual, termasuk dalam hal bagaimana para murid memandang Yesus setelah peristiwa itu.
Para pengikut-Nya yang selama ini hanya mengenal Yesus sebagai guru yang hebat, kini harus melihat-Nya sebagai pribadi yang penuh kemuliaan, namun sekaligus akan mengalami kematian dan kebangkitan (lih. ayat 12). Ada perubahan lainnya selain perubahan rupa yang harus dipahami oleh para murid dan para pengikut Yesus lainnya. Bahwa Yesus Kristus yang mereka muliaan itu juga akan mengalami kematian dan kebangkitan. “Rahasia” yang tersingkap dan disaksikan oleh ketiga murid Yesus ini menjadikan mereka takut, tetapi sekaligus bahagia (Mrk. 9:5,6). Mereka takut karena menyaksikan sesuatu yang luar biasa hebat dan belum pernah mereka saksikan, sekaligus bahagia karena hanya mereka bertiga yang mengetahuinya. Kebahagiaan itu tentunya juga berkaitan dengan memiliki guru yang demikian luar biasa, apalagi berbicara langsung dengan penampakkan nabi Musa dan Elia. Kedua nabi ini adalah tokoh yang besar bagi orang Yahudi dan sangat berperan dalam perjalan sejarah penyelamatan bangsa Israel. Musa adalah nabi yang menerima Sepuluh Perintah Allah di gunung Sinai. Elia adalah salah satu nabi yang banyak menubuatkan akan kehadiran Mesias yang melaksanakan tugas kenabiannya untuk pertama kali di gunung Horeb.
Kini ketiga murid Yesus itu menyadari bahwa Yesus bukanlah sekedar guru seperti pada umumnya. Yesus yang tampil bercahaya, berbicara dengan Musa dan Elia di gunung itu sangatlah luar biasa. Dan inilah kali pertama murid Yesus menyaksikan Yesus yang sedemikian mulianya. Namun Yesus lebih mulia dari pada Musa dan Elia. Sebab hanya Tuhan Yesuslah yang mengalami “perubahan rupa”. Hal ini ditegaskan dengan terdengarnya suara dari langit yang menyatakan : “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia” (ayat 7). Tidak ada lagi yang perlu diragukan, bahwa Yesus benar-benar Anak Allah. Perasaan semacam itu mungkin juga tidak jauh berbeda dari apa yang dirasakan oleh Elisa ketika menyaksikan tuannya, yaitu Elia terangkat dengan kereta berapi dan kuda berapi (2 Raj. 2:11). Semua itu terjadi di depan matanya, dan tidak ada orang lain yang tahu. Sebagai responnya, Elisa hanya bisa berteriak : Bapaku, Bapaku ! lalu Elisa mengoyakkan pakaiannya (2 Raj. 2:12) sebagai tanda duka, kehilangan dan penyesalan. Hanya Elisa yang menyaksikan peristiwa terangkatnya Elia. Inipun menjadi “rahasia” bagi banyak orang, termasuk rombongan para nabi yang saat itu mengingatkan Elisa. Bagi Elisa, Elia bukan sekedar tuannya, gurunya, atau seperti kebanyak nabi lainnya. Ada sesuatu yang menjadi “rahasia”, yaitu bagaimana Elia mendapatkan kemuliaan untuk “dijemput” kereta berapi dan kuda berapi.
Rasul Paulus juga merasakan bagaimana “rahasia” dari Allah itu tersingkap pada dirinya, yaitu ketika dirinya diijinkan mengalami pertobatan total dan menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamatnya. Menyaksikan kemuliaan Allah, yang juga nampak pada wajah Yesus itu merupakan terang hidupnya (2 Kor. 4:6). Namun demikian, perlu tetap disadari bahwa secara mendasar juga ada hal yang masih tetap menjadi “rahasia” bagi para murid dan sulit dipahami. Yaitu, bagaimana memahami Yesus yang saat itu sedemikian dimuliakan, tetapi sekaligus juga akan mati dan bangkit dari kematian (ayat 9). Itulah sebabnya Yesus melarang mereka memberitakan kepada orang lain, karena sesungguhnya mereka bertiga belum sepenuhnya memahami “rahasia” itu. Selain itu, memberitakan tentang bagaimana Yesus dimuliakan itu juga akan menghambat pemberitaan Yesus selanjutnya.
Bisa menyaksikan kemuliaan Allah dalam kehidupan kita sesungguhnya merupakan hal yang patut disyukuri, karena hal itu menjadi “rahasia” bagi sebagian orang. Tetapi tidak cukup hanya itu. Perlu juga ada perubahan spiritual dalam memahami kemuliaan Yesus. Bahwa semua itu terjadi bukan untuk menunjukkan kehebatan-Nya, tetapi justru untuk menunjukkan bahwa Dialah yang sedang melaksanakan penyelamatan bagi umat manusia. Dialah Allah yang menyelamatkan. Semua itu Dia lakukan hanya karena cinta kasihnya kepada manusia, kepada Israel, juga kepada Paulus. Kehebatan Yesus adalah menunjukkan bahwa Dia peduli kepada manusia dan sanggup menyelamatkan mereka. Allah yang peduli ini bukan hanya dikenal dari kemuliaannya saja, tetapi juga dari kerelaannya mati dan bangkit demi menyelamatkan umat manusia. Dengan demikian, para murid juga harus mengalami perubahan spiritual dan pemahaman, bahwa kematian dan kebangkitan Yesus itu bukan menandakan kekalahan, tetapi justru membuktikan kemuliaan-Nya.
Penutup
Menyaksikan kemuliaan Tuhan Yesus dalam hidup kita tidaklah harus menyaksikan hal-hal yang luar biasa (spektakuler) sebagaimana Elisa (menyaksikan Elia yang terangkat), Rasul Paulus (mengalami pertobatan hingga Allah mengubah hidupnya 180 derajat) dan ketiga murid Yesus (menyaksikan perubahan wajah Yesus yang bercahaya). Dalam kehidupan sehari-hari yang tampaknya “biasa” saja, kitapun bisa menghayati kemuliaan Tuhan Yesus dinyatakan dalam hidup kita. Di saat orang lain menganggap sebuah peristiwa sebagai “peristiwa biasa”, namun kita bisa menghayati ada kemuliaan Allah yang dinyatakan dalam peristiwa tersebut, disitulah sesungguhnya “rahasia” itu tersingkap. Peran Tuhan Yesus bisa menjadi semacam “rahasia” bagi sebagian orang, karena mereka tidak mampu melihat/menghayati karya atau penyelamatan yang Tuhan Yesus lakukan dalam peristiwa itu.
“Perubahan rupa” Tuhan Yesus bisa terjadi dimana saja, kapan saja, dan bisa dinyatakan kepada siapa saja. Bagaimana kita mengenalinya, tentunya tidak bisa dilepaskan dari pengenalan pribadi kita dengan Dia. Semakin erat relasi kita dengan Dia, maka akan semakin terasa “rahasia” itu tersingkap. Peran-Nya yang menyelamatkan kita akan semakin terasa. Namun, kita juga perlu menyadari bahwa dalam pribadi Tuhan Yesus ada yang masih menjadi semacam “rahasia” bagi kita, yang menjadikan kita belum mampu memahaminya. Sebagaimana ketiga murid-Nya yang belum mampu memahami akan peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus. Karena “rahasia” itu tidak tersingkap bagi semua orang, maka berbahagialah kita yang mampu merasakan kemuliaan Tuhan Yesus dalam hidup kita sehari-hari. Selanjutnya, perubahan rohani yang bagaimanakah yang kita rasakan setelah kita memahami bagaimana TuhanYesus dimuliakan? Hanya masing-masing kitalah yang mampu menjawabnya. Amin. (YM)
Nyanyian : KJ. 367 : 3, 5 PadaMu Tuhan dan Allahku
—
Rancangan Khotbah : Basa Jawi
“WADI” KANG KAWIYAK
(Nats : Markus 9 : 6)
Pambuka
“Wadi” saged nuwuhaken raos penasaran, bingung, ajrih, bingah utawi ugi wonten ingkang boten maelu. Punapa malih menawi “wadi” punika awujud prekawis ingkang dereng nate dipun tingali, dipun pirengaken, utawi dereng nate dipun alami. Boten saged dipun selaki bilih kathah tiyang ingkang rumaos kinurmat utawi rumaos dados tiyang ingkang maligi menawi ngertos punapa ingkang dados “wadi” punika. Awit boten sedaya tiyang saged gadhah wekdal kangge ningali, mangertosi lan ugi kangge ndadosaken “wadi” punika saged kawiyak.
Isi
“Wadi” ingkang sineksenan dening Petrus, Yakobus lan Yokanan, punika wujud kamulyaning Gusti Yesus. Para sakabatipun Gusti Yesus namung mangertos ing bab Gusti Yesus ingkang dados guru lan meh saben dinten gesang sesarengan kaliyan para sakabat, lumampah saking panggenan satunggal dhateng panggenan sanesipun, pribadi ingkang kathah nindakaken kaeraman (mujizat), nyatanipun ugi sineksenan ngalami ewah-ewahan ing sariranipun (santun rupa). Ewah-ewahan ing bab wujud lan sariranipun Gusti punika sineksenan para sakabat ing bab ageman ingkang pethak sumorot (Mrk. 9:3). Inggih punika santun rupa ingkang mratelakaken kamulyanipun Gusti Yesus. Gusti Yesus ingkang santun rupa lan sineksenan dening para sakabat tetiga punika saged dipun wastani kados dene “wadi”, awit boten sedaya sakabatipun nyekseni bab punika. Prekawis punika ugi kedadosan ing redi ingkang inggil lan tamtunipun sepi awit ing Mrk. 9:2b kaserat : “prelu miyambak”.
Anggenipun Gusti Yesus santun rupa punika ingkang sinebut transfigurasi, ingkang asalipun saking tembung manca transfiguration, ingkang tegesipun :
a. A change in form or appearance = perubahan bentuk/rupa utawi penampakan = santun rupa.
b. An exalting, glorifying, or spiritual change = keagungan, kemuliaan, utawi perubahan rohani = ewah-ewahan secara rohani / pamanggih ing bab kamulyanipun Gusti Yesus.
Ing tembung basa Yunani metanzorphoo punika, ateges santun rupa ingkang hakiki, sanes santun rupa lahiriah kemawon. Santun rupa ing sariranipun Gusti Yesus punika sesambetan kaliyan njunjung, mulyakaken, utawi ewah-ewahan ing bab karohanen, kalebet ing bab kados pundi para sakabat mangertosi bab Gustinipun saksampunipun kedadosan punika.
Para pandherekipun Gusti ingkang namung tepang ing bab Gusti Yesus dados guru ingkang ngedab-edabi, samangke ugi kedah mangertosi ing bab pribadi ingkang kebak ing kamulyan, nanging ugi badhe ngalami seda lan wungu saking antawisipun tiyang pejah (ayat 12). Wonten ewah-ewahan sanesipun kejawi santun rupa ingkang kedah dipun pahami dening para sakabat lan pandherekipun Gusti sanesipun. Bilih Gusti Yesus ingkang kamulyakaken punika ugi badhe ngalami seda lan wungu saking antawisipun tiyang pejah. “Wadi” kang kawiyak ingkang sineksenan para sakabat tetiga ndadosaken raos ajrih, ananging ugi bingah (Mrk. 9:5,6). Para sakabat ajrih awit nyekseni prekawis ingkang dereng nate dipun tingali, ananging ugi bingah awit inggih namung para sakabat tetiga ingkang nyumurupi ing bab punika. Kabingahan punika tamtunipun ugi sesambetan kaliyan raos mongkog, awit gadhah guru ingkang ngedab-edabi, punapa malih saged wawan rembag kaliyan nabi Musa lan Elia. Nabi kekalih punika dados pangajenge bangsa Israel ingkang misuwur lan kinurmat ing bab kawilujenganing bangsa Israel. Musa punika nabi ingkang nampi Pepaken Sedasa saking Allah ing redi Sinai. Dene Elia salah satunggaling nabi ingkang paring pameca ing bab rawuhipun Sang Mesih, lan ugi nindakaken pakaryan dados nabi ingkang kawiwitan ing redi Horep.
Samangke sakabatipun Gusti tetiga mangertos bilih Gusti Yesus sanes namung guru kados salimrahipun. Gusti Yesus ingkang santun rupa, sumorot pasuryanipun mekaten ugi rembagan kaliyan Musa lan Elia ing redi punika saestu ngedab-edabi. Punika ingkang wiwitan tumrap para sakabat anyekseni Gusti Yesus ingkang saestu mulya. Ananging nyatanipun Gusti Yesus langkung mulya tinimbang Musa lan Elia. Awit inggih namung Gusti Yesus ingkang santun rupa. Punika dados langkung cetha saking wontenipun swanten saking mega ingkang mratelakaken : “Iki PutraningSun kang Sunkasihi, padha estokna dhawuhe” (ayat 7). Boten wonten malih raos mangu-mangu, bilih Gusti Yesus saestu Putranipun Allah. Raos ingkang mekaten punika mbok bilih boten benten kaliyan punapa ingkang dipun raosaken dening Elisa nalika nyekseni bendaranipun, inggih punika Elia ingkang minggah ing swarga nitih kreta murub ingkang tinarik jaran murub (2 Raj.2:11). Sedaya punika kedadosan ing sangajenging mripatipun Elisa, lan boten wonten tiyang sanes ingkang ningali. Dene Elisa namung saged nguwuh : “Dhuh rama kula, rama kula!” (2 Raj. 2:12). Salajengipun Elisa nyuwek agemanipun dados kalih minangka tandha sisah, raos kecalan lan panelangsanipun. Inggih namung Elisa ingkang saged anyekseni nalika Elia minggah ing swarga. Punika kados dene “wadi” tumrap tiyang kathah, kalebet pepanthane para nabi ingkang ing wekdal semanten ngengetaken Elisa. Tumrap Elisa, Elia punika sanes namung dados bendaranipun, gurunipun, utawi kados dene para nabi sanesipun. Wonten prekawis ingkang dados “wadi” ing ngriku, inggih punika anggenipun Elia nampi kamulyan kapethuk kareta murub tinarik ing jaran murub.
Rasul Pulus ugi ngraosaken kados pundi “wadi” saking Allah punika kawiyak tumrap pribadinipun, nalika Rasul Paulus ngalami pamratobat ingkang wetah lan nampeni Gusti Yesus Kristus dados Juruwilujengipun. Anyekseni kamulyaning Allah, ingkang ugi kababar ing sariranipun Gusti Yesus punika dados pepadhang tumrap gesangipun (2 Kor. 4:6). Ananging, kedah tansah dipun sadhari bilih taksih wonten kemawon prekawis ingkang dados “wadi” tumrap para sakabat lan ugi ewet dipun mangertosi. Inggih punika, kados pundi saged mengertos ing bab Gusti Yesus ingkang saestu kamulyakaken punika ugi badhe seda lan wungu saking antawisipun tiyang pejah (ayat 9). Pramila, Gusti Yesus boten marengaken para sakabat tetiga wara-wara dhateng tiyang sanes ing bab punika, awit estunipun para sakabat piyambak ugi dereng mangertos saestu “wadi” punika. Kejawi saking punika, pawartos ing bab kados pundi anggenipun Gusti Yesus kamulyakaken punika ugi saged dados pepalang ing bab pamucalipun Gusti Yesus ing wekdal salajengipun.
Saged anyekseni kamulyanipun Allah ing gesang kita, estunipun prekawis ingkang ndadosaken kita sami kedah saos sokur, awit punika saged dados “wadi” tumrap sawetawis tiyang. Ananging boten cekap namung punika. Taksih kedah wonten ewah-ewahan ing bab karohanen kita wonten anggen kita mangertosi ing bab kamulyanipun Gusti Yesus. Bilih sedaya punika kedadosan boten kangge nedahaken panguwaosipun ingkang ngedab-edabi, ananging nedahaken bilih Panjenenganipun saweg nindakaken pakaryan kangge milujengaken manungsa. Inggih Panjengenganipun punika Allah ingkang paring kawilujengan. Sedaya punika katindakaken awit saking tresnanipun dhateng manungsa, tumrap bangsa Israel, ugi tumrap Paulus. Panguwaosipun Gusti Yesus punika inggih kangge nedahaken bilih Panjenenganipun punika saestu preduli/maelu dhateng manungsa lan ugi kuwawi milujengaken manungsa. Allah ingkang preduli punika boten namung kita tepangi saking kamulyanipun kemawon, ananging ugi anggenipun cumadhang seda lan wungu malih kangge milujengaken manungsa. Kanthi mekaten, para sekabat ugi kedah ngalami ewah-ewahan ing bab karohanen lan pangertosanipun, bilih anggenipun Gusti Yesus seda lan wungu malih punika sanes pratandha kawon, ananging malah dados bukti nyata ing bab kamulyanipun.
Panutup
Anyekseni kamulyanipun Gusti salebeting gesang kita boten kedah nyekseni prekawis-prekawis ingkang ngedab-edabi (spektakuler) kados dene Elisa (nyekseni anggenipun Elia minggah ing swarga), Rasul Paulus (ngalami pamratobat ingkang ndadosaken gesangipun kaewahan 180 derajat) mekaten ugi sekabatipun Gusti Yesus tetiga (nyekseni Gusti Yesus ingkang santun rupa lan pasuryanipun dados sumunar). Ing salebeting gesang padintenan ingkang ketawis “limrah” kemawon, kita ugi saged ngayati kawontenan kamulyanipun Gusti ingkang kababar salebeting gesang kita. Nalika tiyang sanes gadhah pamanggih bilih satunggaling kedadosan punika dados prekawis ingkang “limrah” kemawon, ananging kita saged ngayati kamulyanipun Allah ingkang kababar ing kawontenan punika, lah ing ngriku estunipun “wadi” punika kawiyak. Pakaryanipun Gusti Yesus pancen saged kados dene “wadi” tumrap sawetawis tiyang, awit tiyang-tiyang kalawau boten saged ningali utawi ngayati pakaryan utawi kawilujengan ingkang katindakaken dening Gusti Yesus salebeting kawontenan punika.
“Ewah-ewahan” ing pasuryanipun Gusti Yesus saged kelampahan ing pundi kemawon, sawanci-wanci, lan ugi kababar dhumateng sinten kemawon. Kados pundi anggen kita saged ngraosaken, tamtunipun boten saged kauwalaken ing bab pitepangan kita secara pribadi kaliyan Panjenenganipun. Menawi langkung raket sesambetan kita kaliyan Panjenenganipun, kita badhe langkung saged ngraosaken kawiyaking “wadi” punika. Pakaryanipun Gusti Yesus ingkang paring kawilujengan badhe langkung saged karaosaken salebeting gesang kita. Ananging, kita prelu nyadhari bilih ing pribadinipun Gusti Yesus taksih wonten prekawis ingkang dados “wadi” tumrap kita, lan ndadosaken kita dereng saged mangertosi. Kados dene sakabatipun Gusti Yesus tetiga ingkang dereng saged mangertosi ing bab seda lan wungunipun Gusti Yesus. Awit dene “wadi” punika boten kawiyak tumrap sedaya tiyang, pramila rahayu kita ingkang saged ngraosaken kamulyanipun Gusti Yesus ing salebeting gesang padintenan kita. Selajengipun, ewah-ewahan karohanen ingkang kados pundi ingkang kita raosaken saksampunipun kita ngayati kados pundi Gusti Yesus kamulyakaken? Inggih namun kita piyambak ingkang saged mangsuli. Amin. (YM)
Pamuji : KPK. 87 : 1, 2 Sumendhe Ing Gusti