Relasi yang Organik dengan Tuhan Khotbah Rabu Abu 17 Februari 2021

3 February 2021

Rabu Abu – Masa Pra Paskah
Stola Ungu

Bacaan 1 : Yoel 2 : 1 – 2, 12 – 17
Bacaan 2 :
2 Korintus 5 : 20b – 6 : 10
Bacaan 3 :
Matius 6 : 1 – 6, 16 – 21

Tema Liturgis : Ketergantungan Mutlak kepada Kasih Karunia Kristus
Tema Khotbah:
Relasi yang Organik dengan Tuhan

Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)

Yoel 2 : 1 – 2, 12 – 17
Yoel merupakan sebuah kitab yang diduga berasal jauh setelah masa pembuangan (kurang lebih tahun 400 SM). Bait Allah sendiri (periode kedua) sudah selesai pembangunannya pada tahun 515 SM, sehingga pada masa Yoel, Yudaisme sudah berdiri dengan kokoh sebagai bagian integral dari iman bangsa Israel. Sebenarnya pada masa hidup Yoel, Israel masih dalam kondisi terjajah oleh bangsa Persia, dinasti Akhemenayah, namun agaknya karena trauma berat atas masa pembuangan di Babilonia, dan karena Persia sendiri lebih lunak kepada Israel, maka urusan politik tidak terlalu memakan perhatian besar bangsa Israel. Hal tersebut menjadikan bangsa Israel lebih banyak fokus pada urusan sehari-hari ke dalam dan urusan keagamaan, dan kurang awas pada urusan luar negeri. Agama menjadi sesuatu yang cukup memabukkan masyarakat Israel, karena menjadi pelarian dari kenangan pahit atas penderitaan.

Yoel hidup dalam masa yang seperti ini, sedikit banyak mewarisi gaya berpikir beragama eksklusif yang diturunkan oleh Ezra dan Nehemia, tetapi dia cukup menyadari bahwa bahaya masih mengintai, penderitaan bisa kembali datang. Penderitaan tersebut digambarkan sebagai Hari Tuhan. Masa ketika keadilan Tuhan akan terjadi. Dan untuk menghindari penderitaan ketika hari Tuhan maka bangsa itu perlu bertobat. Pertobatannya dilakukan dengan berpuasa, menangis, mengaduh, dan mengoyakkan pakaian berseru-seru kepada Tuhan (Yoel 2: 12-17). Yoel meminta supaya TUHAN membela bangsanya.

2 Korintus 5 : 20b – 6 : 10
Surat 2 Korintus menjadi surat gembala yang emosional bagi Paulus, karena kerasulannya dipertanyakan oleh banyak orang Korintus. Jemaat Korintus didirikan oleh Paulus dalam perjalanan kerasulannya yang kedua, kurang lebih pada musim gugur tahun 52 M. Karena konteks Korintus sebagai kota metropolitan pada masanya, sehingga perjumpaan orang dari berbagai macam kelompok tidak terhindarkan (seperti Surabaya misalnya). Di sisi lain, setelah Paulus meninggalkan Korintus untuk melanjutkan karya pelayanannya, jemaat tersebut tumbuh besar bersama pekabaran Injil yang lain, seperti hadirnya kelompok Apolos, Petrus, dan Yesus. Mungkin ada kelompok lain selain-kelompok tersebut. Hal tersebut menjadikan Jemaat tersebut terpecah-pecah baik secara horizontal (antar kelompok pekabar injil) maupun secara vertical (antar kelas sosial).

Ada dua bagian penting yang saling terhubung dalam perikop ini:

  1. Pentingnya peristiwa salib, dan kaitan peristiwan salib dengan penyelamatan (5-20b – 6:2 dimulai dari 5:15).
  2. Kesaksian Paulus tentang pelayanannya yang tidak selalu diterima baik oleh pendengarnya (6:3-10).

Paulus ingin menunjukkan bahwa dia tidak khawatir dengan berbagai tanggapan orang atas pelayanannya karena dia tahu persis bahwa dia melakukan pelayanannya karena berangkat dari dasar yang benar (a). Paulus benar-benar menunjukkan keterbukaan diri luar biasa dalam surat ini. Dia merasa bahwa dia berdiri di atas pondasi yang kokoh, yaitu karya salib Kristus, dan tidak tidak bergeser dari karya salib itu, sehingga dia siap menerima semua konsekuensi atas segala karyanya.

Matius 6 : 1 – 6, 16 – 21
Bagian perikop ini menjadi bagian dari khotbah Yesus di bukit (Matius 5-7). Ada empat hal yang disoroti Yesus dalam bagian bacaan kali ini: tentang memberi sedekah (Mat. 6:1-4), tentang berdoa (Mat. 6:5-7), tentang berpuasa (Mat. 6:16-18), dan tentang mengumpulkan harta di sorga (Mat. 6:19-21). Keempat tradisi tersebut adalah tradisi tua dalam Yudaisme yang diturunkan turun temurun dari generasi ke generasi. Injil Matius tidak menjelaskan secara panjang lebar masing-masing bagian, agaknya karena kesadaran bahwa para pembacanya sudah memiliki pemahaman bersama (common knowledge) tentang masing-masing tradisi (kecuali tentang doa yang dijelaskan lebih panjang – dengan Doa Bapa Kami, namun itu pun doa yang lebih sederhana daripada doa-doa Yahudi pada umumnya).

Namun yang menarik, masing-masing bagian dimulai dengan frase, “Janganlah kamu…” sebagai tesis, dan “Tetapi jika kamu …” sebagai antitesisnya. Yesus mengambil contoh dari cara para pemuka agama Yahudi dan meletakkan mereka sebagai orang munafik. Tradisi ekshibisionisme iman – memamerkan iman di depan umum – agaknya merupakan tradisi yang wajar ditemukan dalam cara beragama para pemuka Yahudi pada masa itu. Dan tradisi tersebut dijadikan ukuran kedekatan seseorang dengan Tuhan. Semakin nampak hidup beriman seseorang di depan umum, maka semakin tinggi imannya. Dampaknya adalah:

  1. Terjadi kesenjangan antara hidup beriman dan hidup sehari-hari.
  2. Terjadi kesenjangan antara kelompok-kelompok beriman Yahudi satu sama lain dan antara kelompok pemimpin umat dan kelompok umat.

Dengan tidak menampakkan hal tersebut, Yesus berusaha secara kultural mengeliminasi kesenjangan yang muncul, menjadikan hidup adalah bagian yang utuh dan tidak terpisahkan antara elemen satu dengan yang lain. Perlawanan Yesus atas tradisi yang membuat jarak adalah dengan dengan perlawanan yang kultural – menjadikannya sebagai laku hidup.

Benang Merah Tiga Bacaan:

  1. Yesus meminta supaya relasi yang dibangun antara para pengikutnya dengan Tuhan adalah relasi yang otentik, bukan sekadar untuk ditunjukkan kepada orang lain.
  2. Relasi yang otentik ditandai dengan kejujuran, seperti yang ditunjukkan oleh Paulus dalam pelayanannya. Jika dalam kejujuran itu masih ada keterbatasan masih ada kesempatan untuk mengalami pertobatan.
  3. Relasi yang baik dengan Tuhan akan membuahkan relasi yang baik dengan sesama.

Rancangan Khotbah : Bahasa Indonesia
(Ini hanya sebuah rancangan, silahkan dikembangkan sesuai konteks Jemaat)

Pendahuluan
Ada suatu masa ketika para raja dan ksatria akan menghilang. Dalam wiracarita Mahabharata, Pandawa menghilang ke tengah rimba selama 13 tahun; dalam Ramayana, Rama menyingkir dari Ayudya dan hidup di tengah belantara selama hampir satu setengah dasawarsa. Dalam tradisi Veda, ritus demikian disebut vanaprastha, menyingkir jauh ke dalam hutan. Mereka tak berpenampilan raja dan ksatria lagi, tak berteman hulubalang dan punggawa. Mereka berpakaian seadanya, hanya bersama orang-orang terdekat belaka. Dalam kedua wiracarita tersebut hutan meniadakan penampilan. Ketiadaan penampilan ini mengisyaratkan hidup yang menjauhi goda nafsu dan angkara.

Ketidaknampakan bukanlah selalu abai. Kadang justru menjadi penanda kelekatan dengan Sang Maha Kuasa. Demikianlah para resi dan guru ngelmu memilih undur dari jagad persilatan ke tengah hutan pada akhir masa hidupnya. Tradisi Nusantara menuliskan beberapa raja dan kesatria yang moksha, lenyap begitu saja di tengah hutan. Di antaranya Prabu Siliwangi, Brawijaya V, Gajah Mada, Jaya Baya, dan Sabda Palon Naya Genggong. Mereka menghilang, bersatu dengan Sang Empunya Hidup. Keindahan tak selalu ada pada yang nampak, bisa jadi pada yang sama sekali tak berupa.

Isi
Mungkin agak sulit membayangkan hidup tak nampak di masa sekarang. Era media sosial ini memaksa orang untuk selalu nampak. Budaya penampilan memaksa orang sesering mungkin dilihat, dikomentari, kalau bisa disukai. Berbagai aplikasi bahkan meminta orang untuk terus mengupload foto, video, status, pesan. Berbagai upaya dilakukan agar terus terlihat. Karena ketidaknampakan berkonotasi dengan bukan siapa-siapa, tidak penting, bahkan tak jarang dianggap bermasalah. Era keterbukaan mensyaratkan keterlihatan, tak nampak maka hoaks, palsu. Masyarakat hari ini adalah masyarakat ekshibisionis, mendapatkan kepuasannya dengan melihat yang nampak.

Dalam empat hal yang Yesus ajarkan melalui perikop Injil hari ini (memberi sedekah, berdoa, berpuasa, mengumpulkan harta), sayangnya, Dia menegur dengan keras budaya ekshibisionisme iman tersebut. Bagi Yesus, budaya penampilan dalam iman bisa memiliki kecenderungan untuk jatuh dalam kemunafikan.

Orang bisa memanipulasi penampilannya, hanya menyajikan yang baik melulu, menolak dan mengedit yang nampak buruk. Ketika menonton sebuah foto atau video di media sosial, kita hanya melihat apa yang ada di dalam bingkai foto atau video itu. Di dalam foto atau video kita bisa melihat sebuah kamar yang bersih ditata rapi, tapi di balik kamera bisa jadi tumpukan baju kotor dan ruangan yang amburadul. Budaya penampilan hanya mengurusi yang nampak dalam bingkai itu, mengeditnya sedemikian rupa, tak benar-benar menunjukkan otentisitas, yang organik.

Memang, iman punya dimensi sosial, tapi sebelum berdimensi sosial, iman selalu masalah personal: antara saya dengan Tuhan. Jika yang personal ini belum selesai, maka yang sosial pun akan bermasalah. Kalau yang personal ini tidak organik, yang sosial pun bisa jadi juga tidak organik.

Pada tahun 1942, semasa Perang Dunia II yang menakutkan, H. W. Auden, seorang penulis puisi Inggris, menggubah sajak panjang, 1.500 baris, For the Time Being. Sajak itu bukanlah sebuah khotbah, bukan pula kumpulan nasihat. Baris-baris itu berisikan kegelisahan Auden tentang perang yang tak kunjung berhenti, dikaitkannya dengan tradisi beriman Kristen.

Beberapa baris puisi Auden itu berbunyi demikian:

“He is the Way.
Follow Him through the Land of Unlikeness;
You will see rare beasts, and have unique adventures.”

Yang kekira, apabila diterjemahkan bebas akan menjadi demikian:

“Dialah sang Jalan.
Ikutlah Dia menempuh Tanah Ketidak-bermiripan
Engkau akan berjumpa hewan-hewan buas yang langka,
dan masuk dalam petualangan yang unik.”

 Hidup bersama Tuhan digambarkan sebagai masuk ke tanah ketidak-bermiripan, tanah di mana segalanya berbeda, selalu berubah, dan tak benar-benar dapat kita kendalikan arahnya. Bagi Auden, hidup bersama Tuhan bukan yang serba tenang dan terprediksi, kita akan bertemu hewan-hewan buas dan perjalanan kita bersamaNya tak ada duanya. Tidak ada editing supaya semua serba kelihatan baik.

Serupa dengan gambaran puisi Auden, dalam relasi yang organik dengan Tuhan dan pelayanannya, Paulus tak selalu baik-baik saja. Paulus bahkan menyatakan bahwa ada saatnya dia dihormati tapi kali lain dia dihina; diumpat tapi juga dipuji; ada yang menganggapnya sebagai penipu, ada yang mempercayainya (2 Kor 6: 8). Relasi yang organik tak selalu sekadar nampak baik-baik saja. Bagi Paulus, relasinya dengan Tuhan melebihi tanggapan dan komentar orang atas hidup dan pelayanannya. Jadi kalau dalam beriman, hidup kita penuh gronjalan, jujurlah, akuilah, terimalah sebagai bagian dari proses beriman kita. Sebelum memikirkan komentar orang pada hidup kita, tanyakan dulu, ‘apakah aku sudah baik dengan Tuhan?’ Jika belum baik masih ada kesempatan; bagi Yoel, pertobatan menjadi salah satu kunci dalam hidup beriman.

Di sisi lain, daripada kita sibuk berkomentar tentang hidup seseorang, ada baiknya masa ini menjadi masa ketika kita membangun komunitas penuh penghargaan dan penerimaan, mengijinkan seseorang memiliki hubungan yang dekat dengan Tuhan dengan caranya sendiri-sendiri. Kalau ada yang menurut kita tidak pas, dekatilah secara personal. Tidak perlu mengekspos iman kita dan orang lain secara berlebihan. Biarlah itu menjadi milik kita dan mereka dengan Tuhan.

Penutup
Hari ini kita memasuki masa Rabu Abu. Masa-masa ini adalah masa-masa kejujuran. Masa ketika kita diajak menyepi ke tengah hutan, merefleksikan kembali dengan mendalam relasi kita bersama Tuhan. Tentu tidak serta merta kita menjauh dari orang-orang di sekitar kita, tapi marilah kita dasari relasi baik kita dengan yang lain atas dasar relasi yang baik juga dengan Tuhan. Tak perlu segalanya dinampakkan, iman tidak perlu menjadi konsumsi publik. Kata seorang kartunis Amerika, James Thurber, “Beautiful things don’t ask for attention” Hal-hal yang (benar-benar) indah tidak minta diperhatikan. Amin! (gide).

Nyanyian : KJ. 363 Bagi Yesus Kuserahkan


Rancangan Khotbah : Basa Jawi

Pambuka
Ing pewayangan, wonten wekdal nalika para ratuning nagri lan para ksatriya medal saking keraton yang nyisih dhateng wana. Ing Mahabaratha, para pandawa ngasing dhateng wana ngantos 13 taun. Ing Ramayana, Rama lan brayatipun ugi nindakaken prekawis sami sawetawis setunggal setengah dasawarsa. Ing tradisi Veda, bab punika kasebat vanaprastha, nyingkir tebih ing lebeting alas. Para ratu lan ksatriya punika ngagem ageman para rakyat biasa, tanpa punggawa, namung dipun rencangi dening brayat lan rencang celak. Tebih saking gesang rame ing kutha punika nedahaken bilih piyambakipun nebihi napsu lan angkara.

Boten ketingal dening tiyang sanes boten ateges bilih pribadi-pribadi punika boten pedhuli dhumateng rakyatipun, nanging mangsa punika kaginakaaken kangge nyelak dhumateng Gusti kang Maha Kwaos. Kathah resi guru ngelmu ingkang undur saking jagad lan tindhak wana ing pungkasan gesangipun, ndadosaken dhirinipun boten ketingal malih. Malah kacarita puncak saking sedaya prekawis punika boten sanes nalika kapundhut dening Gusti kanthi moksha, ical kemawon saking jagad manunggal kaliyan Gusti. Kita enget cariyos bab Prabu Siliwangi, Brawijaya V, Gajah Mada, Jaya Baya, lan Sabdo Palon Naya Genggong, ingkang ngalami prekawis kados mekaten. Mboten katingal saged ngemu artos ingkang sae ing tradisi kita ing Indonesia.

Isi
Mbok bilik jaman sakpunika sedayanipun sampun benten. Sedaya tiyang ngupados supados piyambakipun saged ketingal dening tiyang sanes. Era media sosial punika meksa tiyang supados tansah tampil, dipun tingali, dipun komentari, dipun remeni. Kathah aplikasi kangge upload foto, video, status, utawi pesen supados tiyang tansah katingalan. Menawi wonten tiyang ingkang mboten katingal barang semingu, sesasi, tiyang lajeng nggadhahi pikiran macem-macem, punapa gerah, punapa wonten masalah. Mboten katingal punika sakpunika dados masalah. Cariyos nanging boten saged paring bukti ingkang katingal saged dipun wastani hoaks utawi nipu.

Mawi sekawan prekawis ingkang dipun wucalaken, inggih punika bab paring sedekah, ndedonga, siyam, lan ngumpulaken bandha swarga, Gusti Yesus ngengetaken para tiyang ingkang mirengaken khotbahipun gegayutan kaliyan bahaya ingkang saged kadadosan mawi tiyang kepingin tiyang sanes ningali gesang imanipun kados ingkang dipun tuladhani dening para pemimpin agama Yahudi. Tumindhak mekaten saged dadosaken tiyang munafik.

Tiyang saged ngetingalaken prekawis ingkang benten kaliyan ingkang sejatosipun. Ingkang dipun katingalaken biasanipun ingkang sae-sae kemawon. Ingkang awon dipun tutupi. Kados foto utawi video ing media sosial, ing foto saged kemawon ketingal sae, nanging punika awit foto punika boten nedahaken sedaya kawontenan, namung milih bagian alit saking setunggal ruangan, padahal sisih sanes saged awon sanget. Budaya penampilan ngatingalaken dhumateng tiyang sanes punika saged ndadosaken tiyang mboten asli, mboten organik.

Iman gadhah dimensi sosial, kados pundi kita gesang sesambetan kaliyan tiyang sanes. Namung dimensi sosial punika estu gegayutan kaliyan dimensi personal kita, inggih punika relasi kita kaliyan Gusti. Menawi relasi personal punika boten sae, boten organik, dimensi sosial ingkang mawujud saking ngriku saged ugi boten organik, namung topeng. Menawi iman namung topeng kemawon, punika ingkang kasebat munafik.

Ing taun 1942, H. W. Auden, pujangga saking Inggris, nggubah sajak 1500 larik, jejeripun For the Time Being. Sajak punika wujud refleksi saking piyambakipun bab Perang Dunia II ingkang nalika semanten kadadosan wonten ing Eropa, dipun trepaken kaliyan tradisi gesang imanipun.

Sawatara larik saking sajakipun Auden kados mekaten:

“He is the Way.
Follow Him through the Land of Unlikeness;
You will see rare beasts, and have unique adventures.”

Tegesipun:

“Panjenenganipun punika Margi
Sumangga ndeherek Panjenenganipun ing Tanah Kebak Pabedan
Panjenengan badhe mirsa kewan alas langka, lan ngalami lumampahan ingkang adi.”

Gesang kaliyan Gusti punika kagambaraken, kita lumampah ing tanah ingkang sedaya isinipun benten-benten, tansah owah, lan boten saged kita tamtokaken arahipun kanthi sawetah. Kangge Auden, gesang kaliyan Gusti sanes gesang ingkang tenang lan saged dipun prediksi. Boten saged dipun edit supados namung ingkang sae kemawon ingkang katingal. Lan kados sajak punika, Rasul Paulus ugi jujur ngakeni kawontenanipun dados rasul. Boten sedaya tiyang nampi piyambakipun, wonten ingkang muji nanging wonten ingkang ngawonaken, wonten ingkang pitados ugi wonten ingkang nganggep piyambakipun tukang ngapusi. (2 Kor. 6:8).

Relasi ingkang jujur kaliyan Gusti punika boten namung ketingal sae-sae kemawon. Kangge Paulus relasi piyambakipun kaliyan Gusti boten gumantung kaliyan komentar saking tiyang sanes. Dados menawi ing gesang panjenengan ngalami ngronjalan, mangga sami jujur, ngakeni lan nampi kawontenan punika dados proses gesang kita. Saderengipun mikir punapa komentar tiyang sanes tumrap kita, mangga kita atur pitakenan dhateng dhiri kita piyambah, “Punapa kula sampun sae kaliyan Gusti?” Bilih dereng taksih wonten kesempatan. Awit punika kangge Yoel, pamratobat punika prekawis ingkang penting sanget ing gesang iman.

Ing sisih sanes, mangga boten prelu remen ngomentari gesangipun tiyang sanes. Ing mangsa Pra Paskah punika mangga sami mangun kelompok ingkang ajen-inajenan lan sami nampi tiyang sanes. Mangga sami paring dukungan dhumateng tiyang sanes supados saged gesang ing imanipun kanthi organik. Menawi wonten ingkang boten pas, mangga dipun celaki. Boten prelu ngumbar wadinipun tiyang sanes, boten prelu ugi mameraken iman kita ugi imanipun tiyang sanes, kersanipun dados bagian pribadi kita lan tiyang sanes punika kaliyan Gusti piyambak.

Panutup
Dinten punika kita lumebet ing dinten Rabu Abu. Mangsa punika mangsa kejujuran, mangsa nalika kita dipun ajak nyepi dhateng wana, ningali malih gesang lan hubungan kita kaliyan Gusti. Tamtu kita boten prelu nebih saking tiyang sanes ing sakiwa tengan kita, nanging sumangga sami ndhasari relasi kita kaliyan tiyang sanes mawi relasi ingkang sae kaliyan Gusti. Boten prelu sedaya dados konsumsi publik. Salah satunggaling kartunis Amerika, James Thurber, nate ngendikan, “Beautiful things don’t ask for attention.” Prekawis-prekawis ingkang estu endah, boten nyuwun dipun gatosaken kenemenen kok. Amin! (gide)

 Pamuji : KPJ. 435 “Gustimu Kepareng Mundhut”

Renungan Harian

Renungan Harian Anak