Jumat Agung | Pekan Suci
Stola Merah
Bacaan 1: Yesaya 52 : 13 – 53 : 12
Mazmur: Mazmur 22 : 1 – 6
Bacaan 2: Ibrani 10 : 16 – 25
Bacaan 3: Yohanes 18 : 1 – 19 : 42
Tema Liturgis: GKJW Berkorban Bersama Yesus Mewujudkan Perdamaian
Tema Khotbah: Kasih-Nya Sempurna
Penjelasan Teks Bacaan:
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)
Yesaya 52 : 13 – 53 : 12
Yesaya 52:13-53:12 termasuk dalam bagian yang disebut Deutero Yesaya (Yesaya ke II). Deutero Yesaya ditulis oleh seorang nabi dari tradisi Yesaya pada masa pembuangan. Yesaya 49-55 ditulis setelah Raja Koresy menaklukkan Babel dan Raja Koresy memperbolehkan orang-orang Yahudi yang berada di pembuangan kembali ke Yerusalem. Peristiwa ini terjadi pada tahun 539 SM. Dengan demikian hamba Tuhan yang menderita dalam Yesaya 52 muncul dalam konteks keluarnya atau kembalinya bangsa Israel dari pembuangan.
Di kalangan Kekristenan, gambaran tentang hamba Allah yang menderita kemudian dikaitkan dengan Mesias. Hal ini tentu bisa dimengerti karena Kitab Yesaya dikutip oleh beberapa teks dalam Perjanjian Baru, khususnya kaitanya dengan penderitaan Kristus di kayu salib (lihat Yes. 53:1, bdk Yoh. 12:38, Rom. 10:16; Yes. 53:4 bdk Mat. 8:17, 53:5-6, 1 Ptr. 2:24-25; Yes. 53:7-8 bdk Kis. 8:23-33; Yes. 53:7 bdk Why. 5:6; Yes. 53:9 bdk 1 Ptr. 2:22; Yes. 53:12 bdk Luk. 22:37). Gambaran hamba Tuhan dalam Yesaya 52:13 – 53:12 memberikan gambaran perjuangan, penderitaan, serta kesetiaan utusan-Nya mengemban panggilan dan perutusan dari Tuhan.
Ibrani 10 : 16 – 25
Dalam Ibrani 10:16-25, penulis memperbandingkan secara tajam antara kurban yang dipersembahkan dalam diri Yesus dengan kurban-kurban yang dipersembahkan oleh para imam. Dalam ayat 14 dinyatakan demikian, “Sebab oleh satu kurban saja Ia telah menyempurnakan untuk selama-lamanya mereka yang ia kuduskan.” Kurban dalam diri Yesus hanya dipersembahkan satu kali dan berlaku untuk selama-lamanya. Menjadi pendamaian bagi seluruh umat yang percaya kepada-Nya. Penulis Kitab Ibrani memperbandingkan dengan kurban pendamaian yang disampaikan melalui para imam, yang harus diulang terus menerus setiap tahunnya. Kurban-kurban hewan yang dilakukan para imam harus dilakukan tiap-tiap hari dan berulang-ulang namun tidak juga menghapuskan dosa (10:11) bahkan hal itu hanya untuk menyadarkan manusia akan keberdosaannya.
Penulis Kitab Ibrani menekankan tentang penting dan berharganya darah Yesus. Dalam ayat 19-20 dikatakan demikian, “Jadi, saudara-saudara, oleh darah Yesus kita sekarang penuh keberanian dapat masuk ke dalam tempat kudus, karena Ia telah membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kita melalui tabir, yaitu diri-Nya sendiri.” Darah Yesus mendatangkan pendamaian serta menjadi pembuka tabir atau relasi yang pulih dengan Allah.
Yohanes 18 : 1 – 19 : 42
Bacaan Injil pada saat ini memuat bacaan dan episode yang panjang karena terdiri dari dua pasal. Yohanes 18 dan 19 memberikan gambaran berbagai peristiwa di akhir kehidupan Yesus di dunia. Meskipun terdiri dari dua pasal, namun sesungguhnya yang ada dalam narasi Yohanes 18-19 adalah peristiwa yang berlangsung kurang dari 24 jam. Karena pentingnya peristiwa dalam kurun 24 jam tersebut, maka penulis tidak ingin melewatkan mengisahkan adegan demi adegan penderitaan, pengadilan serta salib Yesus. Tidak lama sesudah Yesus berdoa, Ia ditangkap dan dibawa ke pengadilan. Gubernur Pontius Pilatus menjatuhkan hukuman mati kepada Yesus. Hal ini dilakukan untuk mencegah keributan. Kematian Yesus di kayu salib berlangsung dengan cepat. Melalui kematian-Nya, Ia telah menyelesaikan pekerjaan yang dikehendaki oleh Sang Bapa.
Di sepanjang jalan kesengsaraan, Ia menerima berbagai hinaan, cemoohan, bahkan siksaan. Gambaran ini seperti halnya diilustrasikan di dalam Yesaya 52. Tanpa perasaan empati, para tentara Romawi menyiksa Yesus menuju Golgota. Di antara keempat Injil, Injil Yohaneslah yang menggambarkan penderitaan Yesus dengan sangat dramatis, hingga untuk memastikan kematian-Nya, prajurit pun menikam lambung Yesus. Bagian ini untuk menggenapkan nubuatan dalam Kel. 12:46, Bil. 9:12, Mzm. 34:12.
Benang Merah Tiga Bacaan
Kematian Yesus bukanlah kekalahan atau ketidakberdayaan, namun justru menegaskan tentang kesetiaan dan keteguhan Yesus mengemban tugas dan perutusan dari Sang Bapa. Penderitaan Yesus yang demikian hebatnya tidak lain adalah demi pendamaian relasi antara ciptaan dengan Sang Pencipta. Darah Yesus yang sedemikian berharga harus dicurahkan demi mendatangkan pendamaian bagi seluruh ciptaan. Keteguhan hati serta kesetiaan Yesus dalam mengemban salib harus menjadi dorongan bagi kita semua untuk memiliki sikap setia di dalam mengemban perutusan dari Tuhan untuk mendatangkan damai. Ia telah menebus kita semua dengan darah-Nya yang mahal, maka jangan sia-siakan hidup kita dengan terus menerus hidup di dalam dosa.
Rancangan Khotbah: Bahasa Indonesia
(Ini hanyalah sebuah rancangan khotbah, silakan dikembangkan sesuai dengan konteks jemaat masing-masing)
Pendahuluan
Ada seorang tokoh India yang sangat terkenal, yang bernama Mahatma Gandhi. Gandhi lahir tanggal 2 Oktober 1869. Ia belajar hukum di Inggris. Setelah menyelesaikan pendidikannya, maka ia pergi ke Afrika Selatan. Disana ia mengalami diskirminasi ras, kala itu ada politik apartheid. Berdasarkan pengalaman itu, maka ia kemudian menjadi aktivis gerakan kemanusiaan. Sepulangnya ke India, ia membantu usaha kemerdekaan India dari Inggris. Tahun 1947 India merdeka dari Inggris, namun kemudian negara terbelah menjadi dua, yakni India dan Pakistan. Gandhi tidak menyetujui hal tersebut. Ia percaya bahwa ras, golongan, agama bukan sesuatu yang perlu dibedakan secara tajam. Ia melakukan perlawanan dengan cara damai, yang disebut dengan prinsip Satyagraha, “jalan kehidupan”. Namun hasil dari tindakannya itu, Gandhi dibunuh oleh seorang lelaki hindu, dan ia meninggal pada tanggal 30 Januari 1948.
Gandhi menulis kata-kata mutiara demikian, “Cinta tidak pernah meminta, ia senantiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah mendendam dan tak pernah membalas dendam. Dimana ada cinta, di situ ada kehidupan, manakala kebencian membawa kepada kemusnahan.” Gandhi dengan keberanian, ketulusan, dan kedamaian, berani menyuarakan suara kebenaran di tengah kekerasan. Ia berani melawan arus kuat, demi sebuah kebenaran. Dan tentu ada resiko dari keberaniannya, yakni dibenci, disingkirkan, dipenjara bahkan akhirnya ia dibunuh. Sebuah jalan cinta terkadang harus bersiap menghadapi penderitaan. Seperti halnya Gandhi, jalan cinta yang dipilih oleh Yesus juga berhadapan dengan penderitaan. Karena kasih-Nya kepada dunia, Ia rela menderita hingga disalib demi menjadi jalan pendamaian bagi seluruh ciptaan.
Isi
Nubuatan tentang hamba Tuhan yang menderita telah diberitakan sejak zaman Nabi Yesaya. Jika kita merunut pada waktu penulisan Kitab, maka itu tertulis 500 tahun sebelum kelahiran Yesus. Nyanyian hamba Tuhan sebenarnya memang ada dalam konteks berpulangnya bangsa Israel dari pembuangan di Babel kembali ke Yerusalem. Setelah sekian tahun lamanya (70 tahun) berada di Babel, atas kerelaan Raja Koresh bangsa Israel diperkenankan untuk kembali ke Yerusalem. Dalam tradisi Kekristenan, hamba Tuhan ( Yes. 52:13-53:12) yang menderita kemudian dihubungkan dengan Tuhan Yesus. Dalam nyanyian hamba Tuhan, penderitaan Sang Hamba digambarkan sedemikian mengerikan. Dalam ayat 14 digambarkan demikian, “begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi, dan perawakannya bukan seperti manusia lagi.” Namun demikian, karena kesetiaan Hamba Tuhan, maka Ia akan mendapatkan kemuliaan, Ia akan ditinggikan, disanjung, dan dimuliakan (Ay. 13). Penderitaan yang Ia alami adalah karena kasih-Nya untuk memberikan pendamaian kepada ciptaan. Dalam ayat 53:4 tertulis, “Sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul, dan disakiti Allah.”
Dalam bacaan kedua, digambarkan penderitaan dan kematian dari Yesus sebagai kurban pendamaian yang sesungguhnya. Penulis surat Ibrani menyebut darah Yesus adalah pengorbanan yang sempurna. Orang Yahudi memiliki tradisi mempersembahkan hewan sebagai kurban pendamaian kepada Allah (Ay. 4). Namun menurut surat Ibrani, persembahan hewan tersebut tidaklah membawa keselamatan dan bukanlah persembahan yang sempurna karena harus dilakukan berkali-kali. Kematian Yesus adalah kurban yang sempurna. Dalam ayat 14 tertulis, “Sebab oleh satu korban saja Ia telah menyempurnakan untuk selama-lamanya mereka yang Ia kuduskan.”
Dalam bacaan Injil narasi penderitaan Yesus digambarkan dengan lebih lengkap. Dimulai dari pasal 18, selepas Yesus berdoa permulaan penderitaan dimulai. Tentara Romawi berdatangan untuk mencari dan menangkap Yesus. Setelah ditangkap, Yesus dibawa ke hadapan Hanas, ayah mertua dari Kayafas. Tidak selesai dengan Hanas, Yesus kemudian dibawa oleh para tentara Romawi menuju pada Kayafas. Kayafas pun tidak berani mengambil keputusan, sehingga Yesus dibawa ke hadapan Pilatus. Demi mengikuti keinginan orang banyak yang mendesak agar Yesus dihukum mati, Pilatus akhirnya mengikuti kemauan orang banyak dan memberikan salib kepada Yesus. Penderitaan demi penderitaan selanjutnya diterima oleh Yesus. Bahkan murid yang dikasihi-Nya pun, menyangkal Dia karena tidak sanggup menerima penderitaan yang sama dengan Sang Guru (Ay. 25-27). Sampai akhirnya Yesus menyempurnakan panggilan dan perutusan-Nya dengan mengalami kematian di atas kayu salib (Ay. 28-30). Sebelum Ia menghembuskan nafas yang terakhir Ia berkata, “sudah selesai!” (Ay. 30). Yesus telah menyelesaikan panggilan perutusan-Nya dengan sempurna, melalui pengorbanan-Nya di kayu salib.
Penutup
Cinta-Nya kepada seluruh ciptaan dinyatakan melalui penderitaan dan kematian-Nya. Darah-Nya tercurah demi menebus dosa kita semua. Masih pantaskan bagi kita menolak kasih-Nya dan terus hidup dalam dosa? Tuhan telah menyatakan cinta dan kasih-Nya dengan sempurna, sudahkah kita menyatakan kasih kita kepada sesama kita? Bukankah kita semua adalah mandataris karya pendamaian Allah bagi dunia. Maka marilah kita menyatakan cinta kita bagi dunia, meskipun terkadang harus mengalami berbagai tantangan dan penderitaan. Amin. [ANS].
Pujian: KJ. 178 : 1, 2 Kar’na Kasih-Nya Padaku
Rancangan Khotbah: Basa Jawi
(Punika namung rancangan khotbah, saged dipun kembangaken miturut konteks pasamuwan piyambak
Pambuka
Wonten satunggaling tokoh saking India ingkang kondhang, inggih punika Mahatma Gandhi. Gandhi miyos wonten ing 2 Oktober 1869. Piyambakipun sinau bab hukum wonten ing nagari Inggris. Sasampunipun ngrampungaken pasinaonipun, piyambakipun kesah dhateng Afrika Selatan. Wonten ing Afrika Selatan kala semanten wonten diskriminasi ras, ing nalikanipun wonten politik apartheid. Saking pengalaman punika, Gandhi lajeng dados aktivis ingkang peduli dhateng hak-hak asasi manusia. Sareng kondur dhateng India, Gandhi mbiyantu pangudinipun bangsa India anggenipun kepengin bebas lan mardika saking penjajahan Inggris. Wonten ing tahun 1874, India merdeka saking Inggris, nanging India lajeng pecah dados kalih, inggih punika India lan Pakistan. Gandhi mboten sarujuk prekawis punika. Tumrapipun Gandhi benten ras, golongan, agama mboten perlu ndadosaken pepisahan. Piyambakipun lajeng nindakaken perlawanan sacara bedhamen, ingkang sinebat prinsip Satyagraha, ‘margi agesang’. Nanging awit saking usahanipun punika, Gandhi malah lajeng dipun pejahi dening salah satunggaling tiyang Hindu. Piyambakipun seda wonten ing 30 Januari 1948. Gandhi nate nyerat pitembungan endah ingkang mekaten, “Cinta tidak pernah meminta, ia senantiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah mendendam dan tak pernah membalas dendam. Dimana ada cinta, di situ ada kehidupan, manakala kebencian membawa kepada kemusnahan.” Para sederek, kanthi tulus, kanthi bedhamen, Gandhi ngajak dhateng katentreman lan bedhamen. Piyambakipun wantun nglawan arus ingkang kiyat, kangge njejegaken kabeneran. Temtu kemawon wonten pituwas, inggih punika dipun tampik, dipun singkiri, kinunjara malah kepara lajeng dipun pejahi. Margining katresnan kadangkala kedah siap ngadhepi panandhang lan kasangsaran. Kados dene Gandhi, margining katresnan ingkang katindakaken dening Gusti Yesus ugi kedah kaabenajengaken kaliyan panandhang. Karana katresnanipun Gusti Yesus tumraping jagad, Panjenenganipun nampi kasangsaran malah kepara seda sinalib, minangka margining bedhamen tumraping jagad.
Isi
Pameca bab abdinipun Gusti ingkang nandhang sangsara sampun kapratelakaken wiwit zaman Nabi Yesaya. Menawi kita ngrunut wekdal kitab punika kaserat, tegesipun sampun 500 taun saderengipun Gusti Yesus miyos. Pameca bab abdinipun Gusti punika estunipun kaserat nalikanipun bangsa Israel wangsul saking Babel. Sasampunipun semanten dangunipun (70 taun) wonten ing Babel, awit kawelasanipun Koresy, bangsa Israel kaparengaken wangsul dhateng Yerusalem. Wonten ing tradisi Kekristenan, abdinipun Gusti (Yes. 52:13-53:12) ingkang nandhang sangsara salajengipun kagandhengaken kaliyan Gusti Yesus. Wonten ing pameca abdinipun Allah, kasangsaranipun Sang Abdi kagambarakan kanthi mbilaeni. Wonten ing ayat 14 kagambaraken mekaten, “Wong sing nyawang padha kagèt banget; saking rusaking rupané nganti ora mèmper manungsa.” Ewasemanten karana kasetyanipun abdinipun Allah, pramila Panjenenganipun nampi kamulyan, kaurmatan (Ay. 13). Kasangsaran ingkang kasandhang dening Panjenenganipun, estunipun karana katresnanipun dhateng kita. Wonten ing 53:4 kaserat mekaten, “Mangka sanyatane lelara kita kang disanggi lan kasangsaran kita kang dirembat, ewasamono kita padha ngira Panjenengae iku kena ing ipat-ipat, kagebag tuwin katindhes dening Gusti Allah.”
Wonten ing waosan ingkang kaping kalih, kagambaraken bilih kasangrasan lan sedanipun Sang Kristus minangka juru bedhamen. Ingkang nyerat Kitab Ibrani nelakaken bilih rahipun Sang Kristus minangka kurban ingkang sampurna. Tiyang Yahudi nggadahi tradisi misungsungaken kewan minangka kurban bedhamen dhumateng Gusti (Ay. 4). Ananging miturut Kitab Ibrani, minangka pisungsung awujud sato kewan punika mboten nuju dhateng kawilujengan lan sanes pisungsung ingkang sampurna karana kedah katindakaken kanthi makaping-kaping. Sedanipun Sang Kristus pisungsung ingkang sampurna. Wonten ing ayat 14 sinerat mekaten, “Sabab srana kurban siji bae Panjenengane wus damel sampurnane para kang kasucekake ing salawas-lawase.”
Wonten ing waosan Injil, carios kasangsaranipun Gusti Yesus kagambaraken kanthi cetha. Kawiwitan wonten ing bab 18, sasampunipun Gusti Yesus ndedonga, wiwitaning panandhang dipun wiwiti. Bala tantra Romawi sami dumugi madosi saperlu nyepeng Panjenenganipun. Sasampunipun kacepeng, Panjenenganipun kabeta dhateng Hanas, marasepuh saking Kayafas. Mboten cekap dhateng Hanas, Gusti Yesus lajeng kabeta bala tantra Romawi dhateng Kayafas. Kayafas ugi mboten wantun paring pangadilan, pramila lajeng Gusti Yesus kabeta dhateng Pilatus. Karana nuruti pepenginanipun tiyang kathah ingkang nyuwun supados Gusti Yesus dipun sedani, Pilatus lajeng paring ukuman salib dhumateng Gusti Yesus. Salajengipun marupi-rupi kasangsaran kasandhang dening Gusti. Malah kepara siswa ingkang kinasih ugi selak karana mboten sanggup ngalami panandhang kados dene Sang Guru (Ay. 25-27). Dumugi ing wekasanipun, Gusti Yesus nyampurnakaken timbalan peladosanipun kanthi ngalami pepejah wonten ing kajeng salib (Ay. 28-30). Saderengipun Panjenenganipun seda, Panjenenganipun ngendika, “wus rampung!” (Ay. 30). Gusti Yesus sampun mungkasi timbalan peladosanipun kanthi sampurna, lumantar pangorbanan wonten ing kajeng salib.
Panutup
Katresnan Panjenenganipun dhateng sedaya manungsa katindakaken lumantar panandhang lan pepejah. Rahipun Sang Kristus tumetes saperlu mbirat dosanipun jagat. Punapa taksih pantes menawi kita nampik katresnanipun lan tansah gesang ing salebeting dosa? Gusti Yesus sampun nelakaken katresnanipun lan katresnanipun sampurna, punapa kita ugi sampun nindakaken katresnan dhateng sesami? Kita sedaya umat ingkang kautus nindakaken lan mbagekaken katresnanipun Gusti dhateng sedaya tumitah. Pramila sumangga kita nelakaken katresnan kita dhateng sedaya tumitah, sanadyan kadhangkala kita kedah ngadepi maneka warni panandhang lan kasangrasan. Amin. [ANS].
Pamuji: KPJ. 270 : 1 – 3 Sang Kristus Sinangsara