Greja Kristen Jawi Wetan hadir dalam sidang WCRC (World Communion of Reformed Churches – Persekutuan Gereja-gereja Reform Dunia) yang diadakan pada tanggal 29 Juni – 7 Juli 2017 di Leipzig, Jerman. Sebanyak 230 gereja dari 109 negara menggumuli persoalan kemanusiaan yang berlangsung akhir-akhir ini dan berusaha merumuskan apa yang bisa dilakukan gereja-gereja anggota WCRC.
Persidangan tahun ini bersamaan dengan peringatan 500 tahun reformasi gereja. Oleh karena itu, tema dan semangat reformasi gereja mewarnai persidangan ini. “Living God, Renew and Transform Us (Allah yang hidup, perbarui dan transformasikan kami)” menjadi doa dan ikrar transformasi yang menyatu dalam tubuh gereja dan masyarakat.
Jerry Pillay, president WCRC menjelaskan bahwa Allah yang hidup dihayati kehadiranNya sebagai Allah yang mengatasi kematian, penyakit, setan dan bahaya. Oleh karena itu, gereja harus mewujudkan tanda-tanda kehadiran Allah melalui keadilan, damai, kasih dan kelimpahan hidup untuk semua.
Dan untuk itu, gereja harus terus memperbarui dan mentransformasi diri. Menjadi gereja yang siap berubah dan membangun sesuatu yang baru demi tersiarnya kabar baik keselamatan dan hidup di dalam Yesus Kristus. Sedangkan yang dimaksud kami dalam tema adalah gereja dan dunia sebagai entitas tidak terpisahkan, yang harus berani memperbarui diri dari praktek ketidakadilan, korupsi, ketidakbenaran dan ketidakjujuran.
Banyak peristiwa lokal yang menjadi perhatian dalam persidangan kali ini. Diantaranya ialah masalah migrasi penduduk, perdagangan manusia dan pengungsi, tercerabut dan terlantarnya penduduk di Mauritius, perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang Kristen secara global dan masalah penyatuan Korea Utara dan Selatan.
Selain itu mengemuka pula perjuangan untuk mewujudkan perdamaian di tanah Palestina, kekerasan berbasis orientasi seksual dan identitas gender, diskriminasi suku bangsa pribumi, kekeringan dan kelaparan di Afrika, perdamaian di Cuba, kekerasan di Amerika Utara, perwujudan damai di Colombia, serta kasus perampasan harta milik masyarakat minoritas di Rumania.
Kekerasan rasialis melawan orang kulit berwarna di Amerika Serikat juga menjadi perhatian persidangan. Selain itu, pendampingan gereja Afrika dalam menjalankan misi, dukungan proses pemilihan di Kenya, keutuhan ciptaan dan relasi antar iman menjadi masalah di tingkat lokal yang diangkat menjadi pergumulan bersama WCRC sebagai keluarga.
Pergumulan-pergumulan tersebut menjadi butir kesaksian umum yang dihimpun oleh komite khusus dan selanjutnya menjadi pokok-pokok doa, pikiran dan program gereja-gereja anggota di tahun-tahun mendatang.
Deklarasi Bersama tentang Doktrin Justifikasi
Rangkaian persidangan WCRC diisi juga dengan penandatanganan Deklarasi Bersama tentang Doktrin Justifikasi (JDDJ) di kota Wittenberg. Deklarasi ini merupakan dokumen yang dihasilkan, dan disetujui, oleh Dewan Kepausan dan Federasi Lutheran se-Dunia pada tahun 1999. Pada tahun 2006 Gereja-gereja Methodis menandatangani Deklarasi ini disusul Gereja-gereja Reform pada tahun 2017.
Penandatanganan dokumen itu menjadi hari yang bersejarah karena penyatuan dilakukan di tempat perpecahan gereja (Di kota Wittenberg – Tempat Martin Luther memulai gerakan reformasi gereja). Dokumen tersebut telah menjadi symbol penyatuan jalan yang akan ditempuh gereja-gereja selanjutnya.
Pdt. Najla Kassab yang memimpin ibadah waktu itu mengatakan bahwa acara itu bukan hanya sekedar penandatangan dokumen, tetapi pembangunan sebuah gereja bersama-sama. Paus Fransiskus melalui pesan yang dibaca Bishop Farrell menyampaikan bahwa peristiwa ini adalah peristiwa penuh penghayatan tentang komitmen untuk hidup bersama, sebagai saudara dan saudari dalam Kristus dalam sebuah perjalanan dari konflik menuju persekutuan, dari perpisahan menuju perdamaian.
Tentang WCRC
WCRC adalah suatu badan ekumenis gerejawi yang dibentuk pada tahun 2010 di Grand Rapids, Michigan, Amerika Serikat sebagai penyatuan dua lembaga ekumenis dunia gereja-gereja reform, yaitu World Alliance of Reformed Church (WARC) dan Reform Ecumenical Council (REC). Gereja-gereja anggota WCRC berjumpa melalui sidang umum setiap tujuh tahun sekali dan berusaha melaksanakan, mengawal dan mempertanggungjawabkan hasil keputusan persidangan dengan lima kunci panduan: teologi, keadilan, misi, persekutuan dan perjumpaan ekumene.
Dalam persidangan kali ini ditetapkan 9 gereja sebagai anggota baru. Kehadiran anggota baru tentu menggembirakan. Akan tetapi, di sisi lain, muncul tantangan untuk tetap menjaga keutuhan lembaga WCRC sebagai satu tubuh, mengingat perbedaan dan kekayaan tradisi, teologi, budaya dan konteks yang mewarnai.
Untuk memudahkan komunikasi dan koordinasi, pelayanan WCRC di seluruh dunia dibagi menjadi 8 regional council : Afrika, Eropa, Karibia dan Amerika Utara, Amerika Latin, Timur Tengah, Pasific, Asia dan Indonesia. Sesuai aturan WCRC, Indonesia dapat membentuk satu regional council karena Indonesia memiliki keanggotaan terbanyak di satu Negara. Di Indonesia sendiri terdapat 27 gereja sebagai anggota WCRC.
Di hari terakhir persidangan ditetapkanlah 22 anggota Executive Committee melalui komisi nominasi yang telah menerima, menggumulkan, mempertimbangkan dan mengajukan usulan nama-nama dari masing-masing regional. Nama calon Executive Committee ini mengalami empat kali perubahan, karena harus mempertimbangkan keseimbangan gender, usia, keragaman denominasi, keterwakilan regional. 22 Executive Committee ini selanjutnya dipimpin Presiden Pdt. Najla Kassab, seorang pendeta perempuan dari Gereja National Evangelical Synod of Syria and Lebanon (NESSL).
Sedangkan utusan dari Indonesia / GPIB, yaitu Pdt. Sylvana Apituley terpilih menjadi salah satu wakil president yang akan terlibat dalam pelayanan WCRC selama tujuh tahun mendatang. Persidangan juga menyetujui dimasukkannya seorang pemudi menjadi salah satu anggota Executive Committee yang kebetulan ditempatkan sebagai wakil president. Apa yang disampaikan Jerry Pillay terbukti, bahwa reformasi bukan hanya sekedar slogan, tetapi diwujudnyatakan sebagai bagian perubahan institusi.
***
Greja Kristen Jawi Wetan sebagai bagian dari keluarga Allah juga menghayati kerinduan, kebutuhan dan kewajiban bersatu yang semakin menguat. Sebab gereja yang mereformasi adalah gereja yang berekumene, meski di waktu yang sama, kesadaran akan perbedaan serta keragaman juga terasa nyata. Tetapi mengingat beratnya usaha menemukan keadilan, bagai mencari jarum di tumpukan jerami terlebih di tengah situasi kebangsaan ini, maka gereja harus terus bersama (persekutuan gereja, lembaga mitra, pemerintah ) untuk memperjuangkannya.
Maka perayaan 500 tahun reformasi semoga menjadi titik balik bagi GKJW dengan semangat ecclesia reformata semper reformanda (gereja yang mereformasi adalah gereja yang memperbarui diri terus menerus) mencari jalan dan cara untuk terus berekumene bekerja demi keadilan dan keberpihakan pada yang lemah. Seperti halnya keterbukaan dan keramahtamahan Leipzig – Jerman untuk menerima kehadiran liyan (pengungsi), maka gereja semakin meng’ada’, jika terbuka dan hadir bagi kehadiran sesama. Syukurlah, kita telah berjalan di jalan yang panjang meski tujuan kita belum tercapai sempurna.