Tanpa MSG Renungan Harian 8 November 2019

8 November 2019

Bacaan : Kisah Para Rasul 24 : 10 – 23   |  Pujian : KJ.  370
Nats
: “Sebab itu aku senantiasa berusaha untuk hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah dan manusia.” (ayat 16)

Ada sebuah warung pecel lele yang sangat saya sukai ketika di Jogja. Menurut saya sambalnya juara. Dasar saya tidak mengerti masakan, saya tahunya hanya enak dan enak buanget. Suatu saat, saya mengajak teman membeli makan di tempat itu. Saya menggombal tentang enaknya sambal di warung itu. Teman saya mencobanya, “Apanya yang enak? Rasa micin thok gini.” Saya plonga-plongo, “Oh, ya?” Untuk membuktikan saya pun membungkus satu dibawa pulang, saya pesan supaya sambalnya tanpa micin. Begitu kami pulang, teman saya mencoba sambalnya. “Tuh kan, rasanya gak seimbang.” Ganti saya yang mencobanya, “Tetap enak tuh!” “Itu lidahmu yang kadaluwarsa, makanya mati rasa.” ejek teman saya.

Kemampuan seorang meramu bahan makanan nampak ketika dia berani membebaskan diri dari MSG atau micin. MSG secara instan mampu memberikan rasa gurih atau umami pada makanan, menyamarkan rasa yang terlalu tajam dan tidak seimbang. Tapi itu bukan rasa masakan yang sebenarnya. Juru masak dan pecinta kuliner sejati tahu bedanya. Tapi bukan hanya itu, kita tahu bahwa MSG bisa menumpuk dalam tubuh dan menyebabkan berbagai macam penyakit jika dikonsumsi berlebihan.

Iman pun bisa ber-MSG. Kalau pas enak beriman, kalau pas tidak enak ya cari pembenaran sedikit-sedikit lah. Melenceng-melenceng sedikit boleh lah. Kalau melencengnya kebanyakan ya ditaburi MSG, ditaburi kebohongan dan pencitraan diri di sana-sini agar semuanya seolah-olah nampak serba baik.

Paulus menghadapi tantangan iman demikian. Dia dibawa ke hadapan Feliks sang wali negeri oleh orang-orang Yahudi dengan berbagai tuntutan, mulai dari melanggar kekudusan Bait Allah hingga mengacau orang banyak. Sebenarnya tuntutan tersebut bohong belaka, mereka tidak menyukai Paulus karena Paulus seorang Kristen. Paulus bisa bebas dengan tidak mengakui tuduhan dan mengatakan semua itu palsu. Nyatanya demikian. Namun, dengan mengatakan itu, dia juga seolah-olah mengatakan bahwa dia seorang Yahudi dan bukan Kristen. Dia seolah menutupi imannya kepada Yesus, sekadar supaya dia bebas dari hukuman. Maka dia memilih tetap beriman dengan hidup murni, apa pun risikonya. Bisa saja dia mencitrakan diri seolah-olah baik di hadapan orang banyak, tapi dia tidak melakukan itu. Kebohongan dan kemunafikan memang bisa saja tidak diketahui orang, tapi itu menumpuk penyakit dalam diri sendiri. Manusia mungkin saja tidak tahu, tapi Tuhan mengetahui segala hal. (gid)

“Mari beriman murni tanpa MSG agar dunia turut dimurnikan.”

Renungan Harian

Renungan Harian Anak