Bacaan: Ratapan 2 : 1 – 22 | Pujian: KJ. 453
Nats: “Curahkanlah isi hatimu bagaikan air di hadapan Tuhan. Angkatlah tanganmu kepada-Nya demi hidup anak-anakmu, yang lemah lesu karena lapar di setiap ujung jalan!” (Ayat 19)
“Jika oleh pencobaan kacau-balau hidupmu, jangan kau berputus asa; pada Tuhan berseru! Yesus Kawan yang setia, tidak ada tara-Nya. Ia tahu kelemahanmu; naikkan doa padaNya!” (KJ. 453:2)
Kutipan lagu Kidung Jemaat 453:2, memiliki sebuah latar belakang yang istimewa! Joseph M. Scriven pencipta lagu tersebut lahir di Irlandia tahun 1819. Pada tahun 1842, ia menyelesaikan pendidikannya dan hendak melangsungkan perkawinannya dengan seorang gadis, akan tetapi sehari sebelum hari perkawinannya, gadis tunangannya mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Pada tahun 1844, Joseph pindah ke Canada. Beberapa waktu di sana, dia menjadi seorang guru. Sekali lagi Joseph bertunangan dengan seorang gadis, namun sekali lagi maut merenggut sukacita dari dia. Sakit yang dialami oleh gadis tunangannya menyebabkan dia meninggal, tidak lama sebelum perkawinan mereka. Sepuluh tahun setelah Joseph pindah ke Canada, ibunya di Irlandia sakit keras. Keadaan tidak memungkinkan baginya untuk pulang ke Irlandia. Akhirnya ia menuliskan sebuah syair tentang Yesus dengan judul “What a Friend We Have in Jesus.” Kepahitan yang dialami Joseph M. Scriven tidak lantas membuatnya patah dan menyerah. Dari syair lagu yang ditulisnya kepada sang ibu yang sedang sakit ini, menunjukkan bahwa dia berupaya untuk terus berproses dalam kepahitan itu dan berupaya untuk merangkul setiap tragedi yang dialaminya.
Ratapan 2:1-22 adalah sebuah puisi tentang penderitaan. Ratapan bukan hanya bercerita tentang kedukaan dan tangisan, melainkan sebuah perjuangan untuk bertahan dan berseru kepada Allah di balik segala tragedi. Dengan jelas, penulis Ratapan menuangkan isi hatinya di tengah murka Allah. Hal yang menarik adalah penulis Ratapan menempatkan sebuah syair, khususnya di ayat 17-20 untuk terus tidak kehilangan TUHAN dalam kehidupan, di tengah peristiwa yang tidak baik-baik saja! Merangkul setiap peristiwa, khususnya bagian yang sangat pahit memang dibutuhkan sebuah kesadaran, kedewasaan, dan keberserahan di hadapan Sang Maha Kuasa. Tanpa itu semua yang ada hanyalah amarah dan kecewa. Memang tidaklah mudah menghadapi realita hidup yang pahit dan sulit, namun percayalah Tuhan Allah setia menyertai dan menolong kita. Semoga kita dimampukan seperti Joseph M. Scriven. Amin. [ven]
“Tragedi: Untuk dirangkul, bukan untuk dibenci.”